BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

T.R.O.U.B.L.E

1131416181953

Comments

  • Ko kayanya cepet amat ya bacanya tau2 udah selesai aja apdetannya :'( :'(
    Te es yang baek hati jangan terlalu lama ya aku penasaran sama nasibnya Jun..
  • wah ben mulutnya g ad saringan, aib orng d bongkar x_x , lanjoot
  • thx mention @Procyon :)
  • @Procyon tetap semangat ya
  • kayaknya Damien sama sam bakal rebutan dapetin jun <3 awawawak
  • Wew! Akhirnya update juga. Thanks :-)
  • aku tadi dah komen belum sii?? #mendadak amnesia
  • cuman mau bilang sugar glider beda bgt sama tupai.. sugar glider dari Marsupialia (hewan berkantung) sedang tupai dari Eutheria (hewan
    berplasenta)..
  • Chapter8

    Damien’s:

    “Truth or Dare?”
    Victoria tampak gelagapan. Ia tampak berpikir.
    Ben menyorakinya “Truth saja Nona, aku ingin tahu kau hari ini pakai bra warna ap—“
    “Tutup mulutmu, atau aku buat penismu seperti perkedel!” Victoria sudah kesal. Jika ia kesal mulutnya tidak bisa dijaga. Tapi Ben dan Sam justru tertawa terbahak-bahak termasuk aku.
    “Rasakan itu!” sahutku.
    “Kau menggoda gadis yang salah.” ujar Sam

    Aku tidak tahu harus menjelaskan dari mana, yang jelas setelah Ben membuat kami tidak nyaman dan meminta maaf, dia tidak beranjak. Mentraktir kami semua segelas latte dan pizza. Ia bahkan membelikan Victoria tiramisu dan si kecil Goldstein itu dengan fruitbasket parfait.Dia—Goldstein,benar-benar mirip anak kecil, bahkan selera makannya.

    Tapi bahkan walaupun Ben sudah membuat kekacauan, dia berhasil membuat suasana kembali nyaman. Bahkan dia berhasil meminta maaf pada si Goldstein. Padahal aku tahu Ben masih mabuk. Sekarang ini malah ia sudah mengeluarkan beberapa botol bir yang ia beli di minimarket 24 jam. Salah satu botol yang kosong (dihabiskan Ben dengan berbagi sama Sam) sudah didaulat untuk permainan ‘Truth Or Dare’. Menunggu pagi lagipula besok hari Sabtu.

    Oh, aku merasa lebih pecundang dari Ben. Sampai sekarang
    aku bahkan belum bisa meminta maaf pada bocah Goldstein itu.

    Sugarglider Coffee akan tutup satu jam lagi, tapi kami tidak peduli. Toh kami memilih seat di depan cafe yang memang diperuntukan untuk umum walaupun sudah tutup.
    “Aku pilih truth saja.” ujar Victoria akhirnya.
    “Oke, siapa yang mau memberi pertanyaan?” tanya Sam “Damien?”
    “Boleh juga sih, tapi aku mau ngasih pertanyaan apa padamu ya?” Aku menyeringai.
    “Jangan sampai itu memalukan!”
    “Baiklah, baiklah…” aku berpikir “Ah, berapa kali kau berkelahi dengan pria? Maksudku berkelahi sungguhan.”
    “Aku sudah tidak ingat, Damien… mungkin tujuh sampai delapan. Terakhir saat aku senior high school.” jawab Victoria.
    “Kau? Berkelahi? Astaga… kau benar Sam… aku menggoda orang yang salah…” Ben menampakan wajah horornya yang dibuat-buat. Sam tergelak.

    “Oke kita lanjutkan lagi…” Sam memutar botolnya dan botol itu mengarah ke arahnya. Dia mengumpat pelan dan semua tertawa.
    “Ini pelanggaran, aku yang memutar dan seharusnya bukan aku yang kena!”
    “Itu kesialanmu, jangan salahkan permainannya.” Damien membalas sambil meledek, “Baik, truth or Dare?”
    “Truth.”
    “Ah kau tidak seru! Truth melulu dari tadi!” protes Ben.
    “Baiklah giliranku bertanya, kau sudah punya kekasih, Sam?” tanya Victoria.

    Aku merasakan gesture aneh dari Sam.
    Jun’s:

    Aku mendongak dengan cepat.
    Astaga, Victoria menanyakan pertanyaan yang seharusnya kutanyakan pada Sam. Tembakan tepat.Sam gelagapan. Ben meledek dia habis-habisan.

    Tapi aku tidak yakin dengan jawaban Sam. Sam termasuk menarik, menarik sekali malah. Sama menariknya dengan Damien dimata wanita ataupun pria penyuka sesama sepertiku. Cuma mereka menarik dari segi yang berbeda.

    Sam tampan dengan gaya konvesionalnya –beruntunglah aku dapat melihat dirinya sehabis mandi yang sungguh menggoda dan tidak konvesional itu— dengan rambut pendek warna coklat madu ditata berdiri dan kacamata. Matanya menenangkan dengan warna hazel. Wajahnya terawat, tanpa jambang maupun kumis.

    Damien kebalikannya, acak-acakan dan sangat maskulin. Ia memiliki rambut hitam kecoklatan agak gondrong dan selalu tidak tertata. Wajahnya rough, menandakan dia jarang bercukur. bulu-bulu halus di sekitar pipi mencuat, dan matanya tajam. Bola matanya yang biru seolah ingin menerkammu jika kau cari masalah dengannya.

    Sam menarik bagaikan kekasih yang melindungi, Damien menarik yang berbahaya.

    Jadi kesimpulanku, Sam pasti sudah memiliki kekasih, dan berjenis kelamin wanita.

    Aku menatap Sam hati-hati karena sedari tadi ia berusaha mengacuhkan tatapanku. Aku yakin dia termakan omongan Ben dan menyadari bahwa aku homo. Dan sekarang dia pasti berusaha menghindariku.

    Tapi Sam menatapku. Ia menatapku dengan pandangan yang sama, dalam dan tajam.
    “Aku single, ada yang mau?” jawab Sam sambil tertawa kecil. Ia lalu menyeruput esspresonya.
    “Maaf Sam aku sudah mengajak kencan orang lain” balas Victoria sambil mengerling Damien.

    Eh? Jawabanku salah ternyata. Yah, bagian singlenya sedikit melegakan tapi tidak menghilangkan perasaan jengah karena kenyataan dia menghindariku saat ini.
    Lalu kemudian botol bergulir untuk kesekian kalinya dan giliran Ben. Dia memilih dare dan dipaksa menyanyikan lagu Whitney Houston dengan nada tinggi seperti wanita (Sam yang memberi tantangan) Ben melengking yang dia namakan— dengan narsis— sebagai suara melengking indah. Selanjutnya Damien. Ia memilih Truth.

    “Apa kau menyukai seseorang saat ini?” tanya Victoria, langsung tembak. Aku terperanjat, mereka belum sepasang kekasih ternyata.
    “Tidak.” jawab Damien santai.
    “Lalu apa ada seseorang yang menarik bagimu?” desak Victoria. Jelas sekali cewek ini tertarik kepada Damien.
    “Hei itu dua pertanyaan, Vic. Curang itu namanya.” protes Damien.
    “Jawab saja! Peraturan dibuat untuk sedikit dilanggar.”
    “Percuma Vicky, dia hanya cinta kepada mesin… bukan manusia.” ejek Ben.

    Damien terdiam.
    Dan memandangku.
    Aku untuk beberapa saat masih belum bisa menangkap apa yang terjadi tetapi Damien menatapku lama, membuat Victoria menatapku juga dengan bingung. Sam juga menyadarinya dan memandang kami bergantian. Hanya Ben –yang saking bebalnya karena sedikit mabuk— tidak menyadarinya.

    “Putar saja botolnya,” Damien segera memutar botolnya, mengalihkan rasa penasaran semua orang.
    Botol bening itu berputar cepat dan semua menunggu siapa selanjutnya.
    Beberapa detik botol itu segera berhenti.
    Dan botol itu mengarah padaku.
  • PERTAMAX LAGI!
  • Damien’s :

    Aku membopong tubuh mungil itu, ia menyanyikan lagu Unchained Melody dengan lantang dari mulutnya yang bersemu merah. Lagu itu membuatku merinding.

    “Oh my love, my darling..
    I've hungered for your touch…
    A long lonely time Oh—Shit aku lupa liriknya”
    Jun Goldstein menyanyikannya dengan meyayat. Lalu terputus karena dia lupa liriknya Ini lagu tahun kapan sih? Apa dia tidak punya referensi lagu yang lebih baru apa?

    “Ya, ya aku sudah menyentuhmu sekarang. Diamlah, Goldstein! Kau bisa membangunkan seluruh asrama.” Aku mulai tidak sabar dengan anak ini. Lalu kubaringkan dia.

    “Kau menyentuh apa? Sialan….” dia memprotes, meracau dan menggeliat seperti ikan salmon yang berenang melawan arus. Lalu dia menendang-nendang. Tidak bisa didiamkan.

    Sungguh, menaklukannya sangat memeras keringat.

    “Kau mau apa… Damien Brengsek…” dia meracau lagi. Aku mengunci kakinya dan membelitnya dengan jaketku.
    “Membuatmu diam, idiot! Kau sungguh bodoh. Sudah tahu tidak kuat menenggak yang begituan tapi masih nekat saja dirimu!”
    Aku berusaha merecoki Jun dengan airputih supaya ia tertidur. Dia ini memang lemah tetapi sok kuat.

    Permainan Truth or Dare tadi memang masalah. Akan kubunuh Ben karena berani mengusulkannya, dan juga berani memprovokasi si kecil ini untuk menenggak alkohol. Ketika leher botol mengarah ke arahnya, sontak Victoria dan Ben serta Sam menyorakinya, memilih truth atau dare.

    “Kalian sudah tahu aku gay kan? Itu adalah truth. Aku memilih dare saja.” ujarnya yang lagi-lagi sok berani. Sontak Ben lalu bersorak.
    “Kau sudah berapa kali minum alkohol?” tanya Ben.
    “Tidak pernah lebih dari 10%. Itupun satu kali dan aku mual.”
    “Sudah kuduga kau terlalu baik-baik. Kau mau menenggak ini?” Ben menunjukan sebotol bir kepada Jun. Bocah itu menyerngit.
    “Uh tidak…”
    “Ayolah , ini dare!” Ben yang kuasumsikan sudah mabuk berat mulai usil mengerjai Jun, “dengan minuman ini kau bebas! Bebas berekspresi! Jangan hiraukan yang ingin mengejekmu karena kau beda!”
    “Aku tidak perlu itu…”
    “Sudahlah, setenggak saja! Kalau tidak suka ya muntahkan lagi. Jika kau tidak mau, permainan ini tidak akan selesai.” Ben idiot. Dikiranya ini mainan Jumanji apa? Ya setelahnya dapat ditebak. Si Dungu Goldstein menenggak seteguk. Masih merasa asing dengan rasanya, tapi kemudian dia justru menghabiskan seluruh isi botol.

    Dan dia mabuk berat.

    “Kita harus mengantarnya kembali ke asrama.” Victoria tampak cemas karena Jun mulai meracau tentang ‘aku ingin hilang ingatan’ atau ‘kembalikan Robert’ dan sebagainya.
    “Biar dia tidur di flatku.” Sam menawarkan diri.
    “Bukannya kau bilang kau tinggal jauh? Ini sudah jam empat Sam, tidurlah di kampus.” kucegah Sam membawa si kecil ini. Selain karena sudah pagi dan Sam butuh istirahat, dia juga agak pusing karena sempat minum beberapa gelas bersama Ben. Aku khawatir dia menabrak sesuatu saat pulang.

    “Sudah, kalian meributkan apa sih?” Ben, si biang kerok masih setengah sadar tampak acuh tak acuh. Aku segera mendorongnya kesal.
    “Ini ulahmu Bodoh!”
    “Why’d you get mad? Bawa saja ke kamar kita. Aku akan ke kamar Winona malam ini. Dia SMS.” Lalu dia ngeloyor pergi. Tampak santai dengan hidupnya. Sam akhirnya menawarkan mengantar Victoria kembali ke asrama putri. Sebenarnya ia punya apartemen sendiri diluar tetapi dia lebih nyaman di kampus, sama sepertiku.

    Dan begitulah, tanggung jawab atas bocah Goldstein ini dibebankan padaku.

    “I don’t need to try to control you… looking to my eyes I’ll own ya…” Goldstein mulai menyanyi lagi. Suaranya sumbang dan mendayu.
    “Diamlah! Harus kuapakan kau hah?!” aku membentaknya.
    “Berhentilah berteriak! Telingaku sakit!”
    “Kau yang berhenti bersikap bodoh! Kau menyulitkan orang lain! Kau bencana!”

    Lalu tiba-tiba Jun Goldstein terdiam, rasanya aku seperti baru saja memantrainya sesuatu.
    Aku khawatir juga.

    “Goldstein?”
    “Aku memang pembawa bencana.” ia menggumam lirih. Lalu suaranya gemetaran. Aku terpaku ditempatku.
    “Kau tahu, Ibuku selalu mengataiku bahwa aku adalah perusak hidupnya. Ayahku yang sangat menyayangiku dan Robert yang mencintaiku tewas… Sepertinya memang aku pembawa bencana di kehidupan orang-orang terdekatku.”
    Jun Goldstein menangis. Membuatku kelabakan.

    “Goldstein, aku tidak bermaksud—“
    “Diamlah! Kau tidak tahu rasanya hidup sepertiku!” dia membentakku. Aku terdiam. Amarahku mendidih dan itu membuatku mati rasa. Tidak tahu, katanya? Apa dia tahu hidupku juga berantakan? Seberantakan mana dengan milikku sampai ia berani membandingkannya?
    Hidupku jauh lebih sulit!

    “Kau mau menukar hidupmu dengan hidupku, Keparat? Kau akan tahu rasanya menjadi Iblis jika kau adalah aku!” aku mencoba menahan seluruh amarah yang siap meledak.
    “Omong kosong! Hidup orang-orang macam kalian itu menyenangkan! Makanya kalian suka membuat orang sepertiku sebagai lelucon!”
    “Coba saja kau menjadi diriku, dan lihat seberapa jauh kau ingin hidup!”
    “Kau tidak pernah dicabuli kan? Tidak pernah ditinggalkan orang-orang tersayangmu? KAU BAHKAN TIDAK PERNAH DISIKSA IBUMU!!!” Jun Goldstein berteriak.
    “Aku juga kehilangan Ayahku, Keparat Sialan! Kau tahu rasanya hidup di jalanan? Kau tahu rasanya membunuh?!”
    “Jangan membuat cerita film laga!” Jun berteriak.
    “Kau yang drama Bajingan! AKU BAHKAN TIDAK MAU HIDUP DALAM HIDUPKU!”

    BUK
    Tanpa sadar aku meninju Goldstein. Tepat di wajah. Dia mengerang. Aku mengatur nafasku. Terduduk lemas di lantai. Menenangkan diriku. Sialan, aku terpancing emosi. Padahal aku tidak mabuk.

    “Keparat kau Goldstein, kau membuatku mengingatnya lagi.” gumamku pelan.

    Jun Goldstein masih mengerang, bibirnya sobek dan mengeluarkan darah. Aku bangkit. Mengambil beberapa es untuk lukanya. Bagaimanapun, tidak seharusnya aku melukainya. Dia dibawah pengaruh alkohol.
    “Kemari,” aku menarik kepala Goldstein, mencoba menekan lukanya. Tapi dia malah menepis tanganku.
    “Kau jangan keras kepala!” ujarku tidak tahan.
    “Kau memang suka menghajar ya? Padahal aku tidak bersalah pun kau suka sekali menghajarku.”
    Aku langsung mengetahui arah pembicaraannya. Dia mengingat kejadian di kantin. Aku menghela nafas. Dia dalam keadaan mabuk, apa aku gunakan saja kesempatan untuk minta maaf akan hal itu?

    “Maaf soal itu Goldstein, aku hanya tidak dapat berpikir jernih.”
    “Otakmu memang hanya berisi oli dan adu otot.”
    “Tidak bisakah kau berhenti mencelaku, Brengsek? Aku bahkan sudah minta maaf! Itu bukan gayaku!”
    “Diamlah Damien! Kau yang brengsek!”
    “Lalu maumu apa?! Aku tidak mungkin menyembah ke kakimu hanya untuk minta maaf. Enak saja!”

    Lalu tanpa aku sadari dan entah kenapa gerak reflekku mati, Jun Goldstein menarik kerahku mendekat kearahnya. Menempelkan bibirnya ke bibirku
    Lalu dia menciumku.

    Ciuman yang sekilas. Bahkan aku sampai membeku tidak mampu berkata maupun bergerak.

    Jun menatapku tajam “Diamlah. Aku lelah.”
    Lalu Jun Goldstein ambruk. Dia tertidur. Dan aku masih membeku. Merasakan ada rasa zat besi di bibirku. Rasa darah.
    Lalu aku bangkit. Berjalan pelan dan jatuh terduduk. Begitu saja. Tidak merasakan apa-apa.

    Astaga…. Apa itu tadi?
    Jun’s:

    Kulitnya kasar tetapi bibirnya lembut.
    Bibirku perih saat aku menempelkannya disana, tapi aku tidak peduli. Asal dia diam itu tidak masalah. Aku ingin sekali melanjutkan ciuman itu tapi seluruh tubuhku rasanya rontok.
    “Diamlah.Aku lelah.”
    Aku tidak peduli apapun.Lalu aku terjatuh tertidur.
  • ughh...wild banget
  • cepet banget baca,selalu merasa kurang..
    hehe
  • Ya ampuuuuuuuuuuun mkin penasaran sama Damien.
  • edited May 2013
    @yuzz, harusnya tadi aku yg dapet pertamax :(( #salahkan provider busuk#

    ada 1 ato dua typo
    “Itu kesialanmu, jangan salahkan permainannya.” Damien membalas sambil meledek, “Baik, truth or Dare?”
    Damien's POV

    yg satu tadi mana yahh?? lupa.. :D :D

    kok pada suka apdet tengah malem ya??
Sign In or Register to comment.