It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Damien’s :
“Aku pembunuh…”
“Hahahaha… Kenapa baru mengatakannya saat ini? Kau sudah membunuh banyak orang.”
“Mereka berbeda… Aku membunuh— Aku membunuh orang baik-baik…”
“Apa bedanya? Apa bedanya membunuh satu orang saja kau baru menganggap dirimu pembunuh?”
“Karena dia tidak pantas dibunuh! Dia hanya penjaga toko!”
“Kau naïve sekali Damien. Ingat, noda darah tidak akan pernah hilang dari tanganmu.”
“TIDAAAAAK!!!!”
Aku mengerjap. Nafasku berlarian. Keringatku mengalir deras.
Poster besar tim baseball milik Ben. Lemari. PC. Ini masih kamar asrama.
Oh tidak, aku bermimpi lagi. Mimpi Armando. Keparat… Padahal aku sudah sejauh ini berusaha melupakan kejadian itu. Kejadian yang membuatku memutuskan ‘lari’ dari Armando. Kesehatan Ibuku hanyalah kamuflase. Ibu memang sekarat, tetapi aku masih bisa pulang tanpa harus lari dari geng.
Aku berdiri, membuka lemari es kecil dan meminum sebotol air langsung. Keringatku masih mengalir lancar. Kulihat tempat tidur Ben. Kosong. Mungkin dia menghadiri pesta-pesta liar lagi. Dia adalah raja pesta. Playboy dan beruntung karena dikenal banyak orang. Aku mungkin dikenal –kalau saja aku boleh pamer kalau aku terkenal—tapi aku bukan biang pesta.
Belum cukup air mineral, aku memutuskan membasuh muka di wastafel. Sialan lagi, aku kehabisan meprobamat. Aku tahu aku harus berhenti mengkonsumsi biji-biji penenang itu. Tapi jika orang sepertiku kehilangan kewarasanku….
Tidak. Tidak ada seorangpun yang mau kehilangan kewarasannya.
Pukul dua dini hari. Aku tidak mau tidur lagi takut bermimpi wajah hispanik Armando yang menyeringai mengejek. Tapi justru aku jadi mengingat hal menyakitkan itu saat terbangun seperti ini.
Aku masih ingat erangannya. Memanggil-manggil. Aku masih ingat darahnya mengalir di tanganku, dan tatapan mata kecoklatan itu. Ia meminta tolong padaku padahal aku baru saja menembaknya.
“Kau orang baik… Aku tahu itu. Tapi sayang sekali… Aku tidak bisa membawa pacarku berbulan madu di Yunani.”
Aku bahkan ingat kata terakhirnya. Sial!!!
Seandainya saat itu dia tidak berjaga di minimarket 24 jam. Seandainya orang itu tidak keluar untuk menyelamatkanku. Seandainya saja saat itu perkelahian geng bukan ‘disitu’. Dan seandainya saja bukan dia yang terkena peluruku.
Tapi yang namanya seandainya tetaplah seandainya.
Aku menyesal, sudah kutebus dengan masa hukuman lima hari penjara—dilihat dari segi manapun itu tidak cukup. Jelas sekali Armando tidak tanggung-tanggung menggunakan koneksinya di kepolisian. Aku bebas bersyarat.
Tetapi jiwaku tidak bebas.
Mungkin aku bisa dibilang psiko saat membunuh orang-orang dunia hitam. Sesama penguasa jalanan.
Tapi nuraniku tidak tumpul saat aku tahu aku membunuh warga sipil biasa.
Keparaaat!! Kepalaku mau pecah.
Aku meraih jaketku dan segera mengenakan celanaku. Ruangan ini terlalu sempit dan aku klaustropobis mendadak. Lorong tampak sepi. Tapi aku yakin masih ada yang ‘hidup’. Entah hanya sekedar mengerjakan tugas atau bahkan bersama pacarnya –biarkan alam saja yang tahu apa yang mereka lakukan— dan aku hanya ingin berjalan-jalan mencari udara segar dan kopi, setidaknya cafein bisa menenangkan juga.
Seratus meter dari halaman kampus ada café yang buka sampai pukul empat. Café kecil bernama Sugarglider Coffee (karena pemiliknya mempunyai peliharaan sugarglider –sejenis tupai yang mampu terbang—).Biasanya tempat itu ramai para mahasiswa yang banyak tugas atau yang sekedar menghabiskan malam bersama. Aku ingin Americana black coffee. Pahit-asam. Tanpa gula.
“Damien, kau disini juga?”
Aku mengenal suara renyah ini. Victoria Campbell sudah berdiri di samping kasir mensejajariku.
“Kau belum tidur?”
“I’m such an imsoniac” dia tersenyum, “Lalu apa yang membawamu kemari?”
“Mimpi buruk.” jawabku bercanda. Tapi jujur. Victoria tertawa. Aku memandang yang dibawanya. Tampak ditangannya tumbler berisi Arabica black coffee.
“Kau kuat juga nenggak yang seperti itu.” godaku.
Victoria tertawa “ini tidak sekeras minuman beralkohol yang selalu kau habiskan bersama Seb.”
“Itu sudah beda lagi Vic.” aku mengalihkan pandanganku ke arah barista yang memberiku tumbler kecil dan bermaksud membayarnya tetapi Victoria malah menepis tanganku.
“My treat. Maaf atas kejadian tadi siang. Kaki dan olimu” Victoria membayar punyaku.
“Astaga, bahkan aku sudah lupa.”
“Sudahlah!” Victoria memutar bola matanya “kita cari seat yang enak.”
Aku sebenarnya ingin menghabiskan Americana ku sendirian sambil menyusuri jalanan. Tapi, aku masih seorang gentleman. Rasanya menolak hal sepele dari seorang wanita tidak etis bagiku. Aku menghela nafas, membiarkan Victoria memilih tempat duduk.
“Hei, Damien? Kau Damien Eastwood kan?”
Aku agak asing mendengar suara yang ini. Aku menoleh. Menatap seorang pria yang menatapku balik dengan gembira “kau ingat aku?”
Aku terbelalak, lalu tersenyum lebar “Sam!”
“Apa kabar kau adik kecil?” Sam menepuk punggungku. Aku tertawa hangat.
“Aku bukan kecil lagi, Sam. Please –“
“Oh oke… tapi kau dulu kecil sekali.” Sam lalu menoleh ke arah Victoria “Pacar?”
“Eh, bukan. Teman satu klub. Aku di klub mesin. Tapi lebih banyak ngurusin motor sih. Kenalkan, Victoria Campbell.” jawabku. Victoria dan Sam bersalaman dengan gesture basa-basi.
Aku tidak menyangka bertemu lagi dengan Sam. Dia adalah tetangga samping rumah saat keluargaku masih lengkap, maksudku ayah masih ada. Sam sudah seperti kakak. Dia yang selalu mengajakku memancing, main baseball, atau bermain playstation. Kadang kami liburan bersama. Keluarganya dan keluargaku dekat dan mereka menyenangkan.
Dia masih menyenangkan. Kulihat begitu.
“Bagaimana kabarmu sekarang?” tanyanya.
“Aku baik. Kau sendiri? Kau tampak lain… Kau sedikit rapi.” ujarku memandang setelan kemeja dan celana kain Sam dengan agak geli. Seperti orang tua.
“Baik. Aku tahu kau akan membatin aku terlalu muda dengan ini. Aku memang harus begini. Aku bekerja sebagai asisten dosen disini.”
“Disini? Maksudmu, di universitas ini?”
“Iya. Kau kuliah disini juga?”
“Whoooa…. Aku tidak menyangka dunia sesempit ini sekarang!” aku tidak menyangka. Sam yang dulu bandel luar biasa sekarang malah mengajar anak-anak bandel lainnya.
“Tampaknya kau dan pasanganmu agak terganggu denganku, tapi kulihat kalian bingung mencari tempat. Kenapa tidak ambil seat di trotoar depan? Ada lebih dari dua kursi.”
Aku memandang Victoria, bagaimanapun juga dia yang berinisiatif mencari tempat untuk kami berdua. Victoria mengangkat bahunya. Ia setuju.
“Kuharap aku tidak mengganggu kalian.” Sam terus berceloteh. Itu memang gayanya, suka mencairkan suasana dengan obrolan.
“Aku justru senang melihatmu Bodoh!” ujarku.
“Aku juga tidak masalah.” Victoria tersenyum “asal kami dapat duduk yang enak.”
“Yah, tapi kuharap kalian tidak keberatan dengan tambahan penumpang,” Sam menyeret kursi untuk Victoria ,”aku membawa mahasiswaku.”
“Kau tidak boleh membawa gadis dibawah umur dini hari, Sam. Itu melanggar hukum.” aku mengejek Sam. Sam mendelik tajam.
“Jaga mulutmu, Jagoan. Dia bukan seorang cewek. Yah tapi dia cantik juga sih.” Sam menimpali.
Eh? Cantik? Cowok?
Kata-kata itu membuatku agak merinding sekarang.
“Akhirnya aku memilih latte saja. Coffee terlalu kuat untukku Sam.” suara yang ini sangat kukenal dan aku tidak perlu menebak.
Cowok cebol itu membawa satu tumbler dan satu cangkir di atas nampannya.
“Nah, ini dia ‘pasanganku’. Jun kau harus mengenal teman lamaku.” Sam segera mendorong lembut bocah Goldstein itu.
Dia menelan ludah dengan terbelalak. Aku pun begitu.
Victoria menutup mulutnya kaget. Sepertinya dia menyadari sosok Jun-lah yang kuseret dari kantin. Sam melihat ekspresi kami bertiga. Lalu tampak mengerti sesuatu. Ia lantas berdehem kecil.
“Apa… Apa kalian sudah kenal, ya? Baguslah. Aku tidak perlu mengenalkan lagi.”
Jun’s:
Ugh. Nasibku selalu begini.
Hal buruk datang setelah hal baik.
Hal baiknya, setelah mandi bersama itu –maksudku mandi ditempat yang sama— dengan Sam (lihat, bahkan kami sudah sangat akrab saling memanggil nama depan) Sam mengajakku jalan-jalan sambil brainstorming. Ia ingin kincir angin dan panel matahari di buat sesegera mungkin karena melihat progress pembangunan green house sangat pesat. Bisa dipastikan bulan depan sudah bisa digunakan. Sebenarnya aku punya ide tambahan, meniru gedung-gedung di Jepang, membuat taman pertanian di atap gedung jurusan. Sam menanggapi dengan sangat antusias, bahkan dia akan mengusulkannya ke Profesor James Scott dan beberapa mahasiswa aktivis lingkungan hidup di jurusan kami.
Lalu dia mengatakan “Kau hebat, Jun. Aku sangat menyukai passion mu”
Oke, aku masih belum mengakui diriku menyukai Sam (salah-salah nanti dia yang justru menjauhiku karena tahu mahasiswanya satu ini berpotensi mengejarnya sampai dapat) katakan saja, aku mengaguminya. Kagum seperti kau kagum terhadap Katty Perry atau Lady Gaga. Begitulah.
Dan dikatai “hebat” oleh yang dikagumi efek euforianya sungguh luar biasa.
Lalu selanjutnya brainstorming kami berlanjut di sebuah café kecil, Sugarglider. Sam memesan espresso dan menantangku memesan yang lebih kuat dari miliknya. Jujur saja, kopi yang ‘keras’ aromanya membuatku mual. Jadi aku berpura-pura menyetujuinya tapi berakhir dengan caramelle bruele latte dan beberapa camilan. Aku menyerah.
Dan lantas, hal buruk itu ada di hadapanku sekarang.
Damien. Si Sok Ikut Campur itu. Aku berusaha sekali memegang nampan agar kulempar di depan wajahnya dan jatuh saking tegangnya.
Aku tidak tahu ternyata Sam mengenal Damien.
“Jun, eer – kurasa kau kenal Damien Eastwood dan Victoria Campbell. Damien ini dulu teman mainku. Kami dulu tumbuh bersama.” Sam akhirnya memperkenalkan kami.
‘Teman mainku.Kami dulu tumbuh bersama’ Hebat sekali. Sepertinya dunia ini sesempit Rhode Island –negara bagian terkecil— Padahal ini California. Luas dan padat.
“Oh, senang berkenalan denganmu, Jun.” Victoria yang menyalamiku. Aku menyambut salamannya setelah meletakan nampanku. Aku tersenyum canggung. Aku belum mengenal cewek ini sebelumnya. Mungkin dia pacar Damien. Sudah kuduga. Orang-orang seperti Damien memiliki wanitanya sendiri. Dia tidak harus peduli dengan kaum sepertiku, jadi bukan tempatnya sok perhatian seperti kemarin. Dan aku tidak tahu kenapa hatiku berkecamuk mengetahuinya. Padahal baru saja aku mendeklarasikan diri mengagumi Sam.
Jun you’re so cheap.
Sam dan Damien serta Victoria mulai mencairkan suasana. Mereka mengobrol seperti tidak ada kecanggungan sebelumnya. Sam dan Damien saling melontarkan pengalaman masing-masing (walau lebih banyak pengalaman memalukan) Victoria menimpali omongan secara alami. Cewek ini bahkan lebih bisa menyatu dengan obrolan para cowok dengan santai.
Dan aku, yang masih marah dengan keberadaan Damien dan tidak tahu harus menimpali apa dengan obrolan ini, merasa terasing. Rasanya meja ini menjadi panjang. Seolah-olah Damien, Sam dan Victoria berada di ujung barat sedangkan aku menjauh di ujung timur.
Latte ini rasanya enak tetapi entah kenapa berasa hambar. Aku merasa salah tempat.
“Wooow, lihat ini…Teman sekamarku.”
Aku mendongak, begitu pula yang lain. Aku tidak kenal cowok yang baru saja datang dan bermaksud masuk ke Sugarglider. Tapi tampaknya Damien kenal.
“Ben? Ngapain kau? Biasanya kau pulang pagi.”
“Ini hampir pagi teman… Aku bertemu dengan cewek yang super sexy tadi di Bloodstrock” Ben langsung duduk diantara kami. Jadi dia teman sekamarnya Damien.Kurasa Bloodstrock itu nama sebuah klub malam. Muncul lagi orang asing. Kayak aku ingin tahu aja ngapain dia sama cewek super sexy di Bloodstrock.
“Lalu?” Damien menimpali. Kulirik pacarnya, Victoria memasang wajah tidak suka. Sudah kuduga sih. Siapa yang tidak cemburu cowoknya ingin tahu cewek sexy lain?
“Seperti yang kau pikirkan teman; minum, dansa, lalu ke apartemennya. Having a quickie dan aku pulang. Bosan.”
“Dia bisa kena penyakit kelamin.” gumamku. Tanpa sadar. Dan ketika aku menyadarinya, semua tatapan di meja ini menatapku, termasuk Ben.
“Hei, kau benar Jun.” Victoria menyahutku, sedikit tertawa “Bagus sekali.” Tampaknya Victoria jengah karena kaum hawa dibuat mainan layaknya Barbie oleh kaum adam seperti Ben.
“Wah, wah… Maaf untuk kedua wanita disini. Maksudku, aku hanya melakukan dengan yang mau. Lagipula I’m play save. Mereka toh sama saja. Asal bisa senang-senang tidak masalah melakukan dengan orang berbeda bukan?” lalu Ben menatapku “Ah, maaf membuatmu tersinggung teman Asia ku. Kau bukan wanita kan? Aku kan sudah lihat punyamu saat dikeroyok seniormu. Tapi kau cantik juga dengan gaun ungu waktu itu. Nggak ada bedanya.”
“Lalu kau jatuh cinta padaku? Maaf jika aku jadi wanita, aku akan berpikir ratusan kali untuk jatuh ke pelukanmu. Kurasa tidak semua wanita menganggap sex adalah permainan. Mereka melakukannya dengan orang yang mereka sukai dan mereka berharap hanya dengan orang itu. Dan kau justru menganggap semua wanita satu stereotype: dekati,ajak tidur, tinggalkan.” entah kenapa muncul keberanian untuk melawan cowok menyebalkan ini. Aku tidak suka caranya memperlakukan orang lain bagai sampah.
“Kau mabuk Ben, belilah kopi dan kembali ke asrama.” kini Damien melihat potensi teman sekamarnya membawa suasana perkelahian, itupun kalau aku bisa berkelahi.
“Yah, kurasa Jun memang feminis sejati. Dia tidak akan rela wanita dipermainkan seperti barang bekas, iya kan Jun?” Victoria yang tambah panas. Kelihatannya dia sudah mendaulat dirinya sebagai musuh Ben. Lagipula Ben juga musuh wanita.
Ben nyengir masam “Feminis? Coba kau tanya dia Nona, jika dia tertarik kepada perempuan, apa dia masih berlaku layaknya pemuja Athena? Melindungi semua para gadis? Dia tidak tertarik kepada wanita makanya dia menganggapku menjijikan.”
Aku terpaku. Astaga, cowok ini akan menyebarkan kepada Victoria dan Sam bahwa aku ini gay. Aku menadang Sam. Dia memandangku ganti. Tatapannya dalam dan tajam.
Ugh… Belum sempat aku menikmati kekagumanku selama mungkin sudah ada pengacau yang memberitahunya bahwa aku mungkin saja menyukainya.
“Kalian para pria disini hati-hati saja. Mungkin dia menyukai salah satu diantara kalian.Padahal dia yang menjijik—“
“Sudah Ben!” Damien membentak
“Diam kau anak muda!” Sam segera menarik kerah Ben. “Aku tidak mengenalmu tapi aku sudah pastikan kau ini menyebalkan.”
“Oke, oke tampaknya aku membuat masalah di sini. Aku minta maaf. Goldstein aku minta maaf.”
Aku menahan nafasku dengan kesal. Dia memang tidak semenyebalkan Orlando tetapi…
Aku memandang Sam. Dia sudah membebaskan cengkramannya dari kerah Ben. Lalu dia memandangku sekilas dan…
Sam menghindari tatapanku.
maaf krisis kepercayaan diri :-S
@wessel @mr_Kim @Gabriel_Valiant @pyolipops @yuzz @Tsu_no_YanYan @chibipmahu
@leo90 @masdabudd @obay @YuuReichi @Duna @Adhi48 @yubdi @Silverrain @arieat @andhi90 @4ndh0 @Venussalacca @Ricky_stepen @ackbar204 @androfox @Ryuzhaki @brownice @Adam08
@greenbubles @apple_love @AjiSeta
@Bintang96 @Ardhy_4left @Ryuzhaki @sasadara @gue3 @Zhar12 @ardi_cukup
pake kata2mu deh
"kok dikiiitttttt.....????"
btw itu ada hamster, victoria si hamster..
@totalfreak dan @yuzz sekarang jadi pendiamm ah -___- hehehehe...
Lgi enak-enaknya baca, tapi koq cuma satu jengkal ya? Humm..
Apa mau bca komen versi panjangku?