It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
*pundung dipojokan
Baca cerita ini membuat teringat pada anak teman kerjaku di kantor. Umur anaknya sekarang 11 tahun, dan idiot sejak kecil. Tiap aku main ke rumahnya, anaknya suka mengajakku bercanda. Kasihan kalau jalan ngesot. Dan tidak bisa bicara.
Baca cerita ini membuat teringat pada anak teman kerjaku di kantor. Umur anaknya sekarang 11 tahun, dan idiot sejak kecil. Tiap aku main ke rumahnya, anaknya suka mengajakku bercanda. Kasihan kalau jalan ngesot. Dan tidak bisa bicara.
siapa khalid sebernya??
apakah wika bisa melihat makhluk halus??
kita nantikan kisah selanjutnya..
yang perlu digaris bawahi, si reki lagi baca artikel itu di netbooknya, nah, jadi dia berpikir begini, seandainya saja dia punya adik sepintar dan se smart si severn suzuki itu. begitu ceritanya. hihihi
Terus-terus anak yg ketemu di bis itu bagaimana kelanjutannya? #adegannya berasa baca LOVE ACTUALLY Nayaka Al Gibran.
#tapi langgam Melayu tulisannya berasa baca tulisan-tulisan Bang @edmun_shreek
@fuumareicchi ,
@regieallvano , @luky , @cee_gee , @novian,
@elul , @tsu_no_yanyan , @egosantoso ,
@arifinselalusial , @babayz @dafazartin, @zeva_21 ,
@bombo , @aries18 , @dhika_smg , @bi_ngung ,
@edwardlaura , @san1204, @needu, @alfa_centaury, @peace123456789, @putrasuherman1, @diyuna, @edelwis, @faisalits_d , @erickhidayat, @jhonshan26, @mr_makassar, @zhar12, @adra_84, @afif18_raka94, @indraa156, @master_ofsun, @Dimaz_Deprince63, @sasadara, @Wilhem, @tarry, @CALLISTO, @zuyy18, @bumbellbee, @alvaredza, @d_cetya, @princearga, @Joewachecho, @naraku, @just_pj, @edogawa_lupin, @lulu_75, @amira_fujoshi, @kiyomori, @jockoni, @Mr_Makassar
Malam merayap menjemput kesunyian. Bulan memancarkan cahaya lembut. Bulatannya yang penuh terlihat begitu jumawa nun di langit sana. Malam bulan purnama. Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar memperhatikan rembulan yang bersinar terang. Dan sinarnya yang indah, kontras dengan suasana hatiku yang juga bahagia. Di alun-alun rumah gadang ini, aku membaringkan tubuhku di sebuah kursi panjang. Memandang jauh ke angkasa sana. Dimana aku menggantungkan semua mimpi-mimpiku, diantara kerlipan bintang yang berkilauan, dan disana, sebuah bintang yang paling terang, aku menyimpan semua lukaku, semua pedihku dan semua memori hitam dalam hidupku. Kenapa aku memilih bintang yang paling terang untuk menyimpan semua kepahitan hidupku? Tidak lain dan tidak bukan, karena dengan menatapnya sekian detik, aku bisa mengenang masa kelam, menjadikannya sebagai pijakan untuk melangkah ke arah yang lebih baik.
Aku memejamkan mataku sejenak, mencoba mencuri dengar gelak tawa dua anak manusia dari dalam rumah gadang. Yang satu dengan gelak tawa berderai-derai dan satunya lagi dengan tawa keras tapi tertahan-tahan, sebuah tawa yang aneh, dan sudah bisa ku pastikan, kalau yang tawanya tersendat-sendat itu, tawanya Wika. Hei, ini sudah suatu kemajuan baru, WIKA TERTAWA!!! Dan apakah yang telah membuat mereka tertawa begitu keras?
Aku beranjak dari kursi panjang, mencoba melongokkan kepala, menatap ke dalam ruangan, dimana cahaya lampu teplok membuat bayangan besar sosok Wika dan Khalid. Ku perhatikan bayangan tersebut, terlihat satu bayangan sedang membuat bayangan burung terbang dengan kedua tangannya, dan ku yakin itu tangannya Khalid, kemudian, ku lihat bayangan lain, berbentuk burung juga, terbang menuju burung satunya lagi, saling bertempur dan gelak tawa kembali membahana, lalu sesaat sunyi.
Aku melangkah dengan pelan masuk ke dalam rumah. Kedua remaja itu terlihat berpelukan. Khalid membawa kepala Wika ke dalam pelukannya. Sementara Wika memeluk pinggang Khalid dengan erat. Akh, kenapa mereka bisa jadi begitu akrab? Wika? Apa yang dia rasakan? Dan Khalid, dia begitu menerima keadaan Wika? Pertanyaan itu semakin memuncak di pikiranku.
Sebenarnya sepulang dari hutan tadi, aku sudah tidak menegur Khalid sedikitpun, leluconnya sungguh mengerikan. Bisa-bisanya dia mengerjaiku sedemikian rupa. Membuatku kesal tingkat dewa. Huh, kalau saja dia bukan sepupuku, mungkin sudah aku benamkan ke dalam telaga, biar mati sekalian. Menyebalkan.
Aku membiarkan mereka yang tertidur berpelukan. Kembali ku langkahkan kakiku menuju kursi panjang di alun-alun rumah gadang. Cahaya bulan semakin terang karena bulan bergerak menuju titik 11 malam. Angin mulai bertiup lirih. Dingin menusuk ke dalam tulang. Ku rapatkan baju dingin tebal yang ku kenakan. Aku tidak mau masuk angin apalagi demam.
Nun jauh di tengah sawah sana, aku melihat beberapa ekor anjing berkeliaran, kepala mereka mendongak ke langit, dari mulut mereka keluar lolongan yang membuat bulu kudukku berdiri. Tapi suasana mencekam begini membuatku semakin penasaran. Bagaimanakah alam menunjukkan kepadaku keajaibannya malam ini. Walau masih dengan hati berdebar-debar, aku tetap mencoba bertahan.
"Kalau uda pengen tahu siapa pemilik tengkorak di dalam telaga, uda harus ke sana, tapi tepat jam 12 malam. Kalau uda beruntung, dia akan muncul dari dalam telaga. Dan Uda harus kuat. Karena sosoknya, sangat mengerikan!" Masih terngiang bisikan Khalid di telingaku ketika ku singgung perihal jerongkong di dalam telaga. Awalnya aku tidak percaya setelah apa yang dia lakukan. Tapi, rasa penasaranku malam ini kembali menggoyahkan pikiranku. Aku hanya heran, jerongkong siapakah yang telah memutih di dalam telaga kecil itu? Ku rasakan keringat dingin mulai membasahi punggungku. Entah kenapa, sebuah petualangan mistis sepertinya akan aku alami. Dan itu membuatku, bergetar.
Ku pandangi lagi langit, awan putih, dibaluti cahaya kuning sang bulan, berarak ditiup angin, perlahan tapi pasti bergerombol mendekati sang pemilik wajah ayu, bulan. Dan waktu terus berdentang menjemput kesunyian. Ketika jam taganku menunjukkan pukul 12 kurang seperempat aku mulai menuruni jenjang rumah gadang, tentunya dengan langkah sepelan mungkin. Kepergianku ke telaga tidak diketahui oleh siapapun. Begitu kakiku menyentuh tanah, lolongan anjing semakin bersahut-sahutan. Seolah-olah mereka melarangku untuk terus melangkah. Sempat bimbang meraja di dalam jiwa, namun, dengan menguatkan hati, kakiku mulai melesat meninggalkan halaman rumah gadang.
Sekali-kali aku menatap langit. Berharap bulan terus menerangi langkahku menuju telaga misterius itu. Dengan menambah kecepatan bahkan aku sudah setengah berlari. Batu-batu besar bagaikan raksasa yang berdiri pongah di hadapanku. Aku segera berlari ke balik batu yang paling besar, menyembunyikan diriku di antara bebatuan tersebut sambil memandang permukaan telaga yang berkilauan tertimpa cahaya rembulan.
Aku menunggu dalam hening. Tidak ada desir angin, tidak ada jeritan binatang malam, dan tidak terdengar lagi lolongan anjing. Dunia seolah membeku. Dan mataku mulai terbelalak, ketika tepat jam 12 malam, permukaan telaga beriak kecil. Aku menunggu dengan dada berdebar kencang. Riak itu semakin besar, bahkan telaga seperti mendidih. Laksana kuali raksasa, didihan tersebut mengepulkan uap ke angkasa. Kakiku terasa sangat lemas, ketika perlahan-lahan sesosok tubuh muncul ke permukaan.
Aku tidak bisa berpikir lagi. Mulutku ternganga dan mataku seolah mau melompat dari rongganya, ketika ku tahu, siapa sosok yang muncul dari dalam telaga. KHALID!
Kerongkonganku seolah dicekik, suaraku hilang. Aku ingin menjerit, ingin berteriak, tapi seperti ada kekuatan ghaib yang membungkam mulutku. Mataku terus melotot dengan hebatnya.
Sosok itu berenang dengan lincah kesana kemari. Dari mulutnya keluar nyanyian.
Bulan tarang, hati den sanang,
Bulan riang, jiwa den tanang,
Walau tabiaso surang, tapi hati den sanang,
Kalimat itu dia nyanyikan dengan riang. Sekali-kali dia keluar dari telaga, kemudian memanjati sebuah batu besar dan dia berteriak dengan kencang,
"Whuhaaa!" Dia meloncat dengan riang, bersalto di udara dan menukikkan badannya ke dalam telaga. Bunyi debur air berpicak ke udara. Dia berenang dengan pelan ke tepi telaga. Dia kembali berjalan mendekati batu besar yang landai, lalu membaringkan tubuh kecilnya disana.
Aku menunggu, kali ini debaran di dadaku sudah berlalu. Aku sudah bisa menenangkan gejolak hatiku. Terus ku perhatikan sosoknya yang terbaring. Ku pandangi langit, dan mataku kembali terbelalak karena ketika aku mendongak ke atas, sesosok tubuh berdiri di depanku. Tubuhnya menghalangiku dari menatap bulan. Dia berdiri di ujung batu besar mengacakkan pinggang dan menatapku dengan tajam. Tetesan-tetesan air berjatuhan dari tubuhnya, menimpa wajahku. Aku terkejut dan terjengkang ke tanah.
"Hahaha!" Dia tertawa dengan kerasnya melihatku yang terjatuh. Telunjuknya menunjuk ke arahku. Dia terus tertawa, lalu tiba-tiba dia meloncat, berlari lagi ke dekat telaga, dan menghambur ke dalamnya. Lalu hening.
Khalid! Khalid! Khalid! Permainan apa yang sedang dia tunjukkan kepadaku. Ya Tuhan, aku tidak bisa menebak semua ini. Akh, aku harus cari tahu sejarahnya Khalid.
Aku kembali berdiri setelah membersihkan debu di celanaku. Tawanya tadi sangat berbeda dengan tawa Khalid yang biasa aku dengar. Bahkan wajahnya jauh lebih dingin, megingatkan aku pada Khalid yang menyuruhku minggat dari kampung ini, yang ku temui pagi tadi. Apakah ada dua orang Khalid? Atau Khalid memiliki kepribadian ganda? Semua itu tidak teranalisa oleh otakku.
Ku perhatika lagi telaga. Sudah hening. Sosok itu sudah tidak ada lagi. Bahkan cahaya rembulan kembali memantulkan warna keemasan di permukaan telaga. Aku segera melangkahkan kakiku ke tepian telaga. Tanda-tanda telaga siap digunakan tidak berbekas sama sekali. Tidak ada sedikitpun percikan air yang membasahi batu dan dedaunan di tepi telaga. Membuatku kembali heran.
Angin semakin mencucukkan pisaunya di kulitku. Membuatku menggertakkan rahang melawan rasa dingin yang menyerang. Dan bau kemenyan, santer menyumbat hidungku. Bulu kudukku kembali meremang. Ku perhatikan tengah telaga yang beriak, jantungku kembali dipompa kencang, bayangan Khalid muncul dari dalam telaga, dia menjulurkan tangan, sementara seutas tali terikat di lehernya, dia mencoba meronta, dia menjerit dan terus menjerit.
"Khalid!" Teriakku tanpa sadar dan aku meloncat ke dalam telaga. Namun sampai di dalam sana, tidak ku temukan sosoknya. Terus ku coba masuk lebih dalam, badanku kembali menggigil ketika di dasar telaga, kembali kulihat benda itu, jerongkong putih itu. Dengan cepat aku berenang ke atas. Aku masih belum siap untuk mendekati tengkorak itu.
Aku sampai disisi telaga dengan nafas ngos-ngosan. Kepalaku terasa berat, karena berkali-kali aku tersedak air.
"Khalid!" Lirihku tanpa bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaanku tentangnya. Tubuhku basah semua. Aku perlahan-lahan berdiri. Meninggalkan telaga tersebut untuk kembali ke rumah gadang.
Awan di langit bergerak perlahan menutupi sang rambulan. Menenggelamkan jalan yang akan aku lalui. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku hanya ingin cepat sampai di rumah gadang. Aku lelah.
Sesampai di rumah gadang, aku dengan perlahan-lahan mendekati tempat pemandian. Luak kecil itu. Di sana masih tersampir baju yang belum ku cuci. Ku buka seluruh bajuku yang basah dan aku ganti. Setelah itu, aku menaiki jenjang rumah gadang, dengan pelan aku dorong pintu masuk. Dan aku berdiri terpaku, di tengah rumah gadang, Khalid ku lihat masih tidur memeluk Wika dengan erat, persis seperti waktu aku tinggalkan.
Aku mendekati keduanya. Ku baringkan tubuhku di samping Khalid. Ku dengar dengkuran halus dari mulutnya. Sepertinya dia benar-benar tertidur pulas. Tidak ada satupun di tubuhnya yang mencurigakan.
Aku menelentangkan tubuhku. Menatap langit-langit rumah gadang yang disangga kayu-kayu besar. Rumah gadang ini tidak berloteng, hanya ada pagu (sejenis loteng tapi tidak menutupi keseluruhan rumah). Pikiranku masih semrawut tidak bisa menebak ada apa gerangan yang terjadi di rumah ini.
Khalid, misteri permainanmu harus segera dipecahkan. Tidak menyangka aku akan menemui anak seperti Khalid, misterius dan mengerikan.
Masih ingat dengan jelas, bagaimana siang tadi aku seakan-akan ingin sekali membanting tubuhnya ke tanah setelah tahu kalau dia hanya berpura-pura. Dan darah yang membasahi tubuhnya, brengsek! Bagaimana bisa dia melakukan itu?
"Khalid!!! Khaliddddd!" Aku berteriak histeris melihat tubuhnya yang ambruk ke bumi dengan pakaian berlumuran darah. Ku goncang-goncang tubuhnya, namun dia tidak bergerak, aku sungguh panik dan berteriak-teriak memanggil namanya. Wika hanya berdiri dengan wajah pucat. Tapi dia hanya berdiri mematung. Aku terus menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Aku tidak bisa mengandalkan Wika. Apa yang bisa dia lakukan? Apa? Aku memeluk tubuh Khalid dengan erat. Dalam pikiranku, Khalid sudah tidak bisa diselamatkan. Aku takut membayangkan semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Aku menoleh ke arah Wika, ketika ku lihat dia mendengus, dan dia tersenyum. Senyum yang tidak aku mengerti. Lalu gelak tawa itu membahana, dekat telingaku.
"Hahhaa, aduhhh lepasinn Khalid, Uda! Tidak tahan juga pura-pura mati! Hahha!" Aku terkejut dan tanpa sadar melepaskan tubuh Khalid dalam pelukanku, mendorong tubuhnya dengan kuat, akibat keterkejutanku.
"Khal.. Khalid?" Aku bingung mendapatinya yang berdiri dengan gagahnya. Malah wajahnya cengengesan dengan perasaan tanpa bersalah sedikitpun.
"Santai uda, akh! Uda terlalu serius!" Ledeknya kepadaku yang masih memandanginya dengan tatapan bingung.
"Ini darah sesajen! Ada yang naroh darah ayam di dalam hutan! Hihihi, Khalid cuma pengen ngerjain uda doank! Ga' nyangka deh kalau uda akan sehisteris itu! Hahah!"
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menatapnya dengan tatapan memelas. Menarik tubuhnya dan memeluknya dengan erat. Walau hatiku kesal, tapi aku sangat senang mengetahuinya baik-baik saja. Aku memeluknya dan mendekapnya dengan erat.
"Uda!" Lirih Khalid di telingaku. Dia mengusap rambutku. "Maafkan Khalid!" Bisiknya lembut.
Aku melepaskan pelukanku. Ku tatap wajahnya sekali lagi. Wajah tampannya yang membuatku tenang. Matanya yang tajam dengan bola mata hitam pekat.
"Ayo kita pulang!" Aku menggenggam tangannya di sebelah kanan, sebelah kiri ku gandeng Wika. Aku memegang keduanya, dan melangkah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Ku tatap lagi Khalid yang terbaring di sampingku. Ku dekap punggungnga di dadaku. Ku ciumi kepalanya. Ketika mataku mulai berat, sesaat aku melihat sesosok tubuh melangkah keluar dari kamar nomor empat. Namun, mataku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Jiwaku hilang sering dengan derit pintu kamar nomor empat.
Hening.
makin mnakutkan ksahnya..
kaget pas tiba2 hantu khalid muncul d depan reki sambil netes2.. ><
Eh, Reki lupa menyalurkan listrik ya? Cepat disalurkan gih, biar tidak seram lagi ceritanya.