BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

MY IDIOT BROTHER! (SPESIAL RAMADHAN)

Aku hanya ingin bahagia....sedikit saja....

Tolong, selamatkan hidupku...

Jiwa yang lama segera pergi

Bersiaplah para pengganti...




PIDATO ANAK 12 TH YANG MEMBUNGKAM PARA PEMIMPIN DUNIA DI PBB

-Ronald Adriant-

Cerita ini berbicara mengenai seorang anak dari Kanada, bernama Severn Suzuki, seorang anak yg pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental Children’s Organization ( ECO ). ECO sendiri adalah sebuah kelompok kecil anak yg mendedikasikan diri untuk belajar dan mengajarkan pada anak” lain mengenai masalah lingkungan.

Dan mereka pun diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan hidup PBB, dimana pada saat itu Severn yg berusia 12 Tahun memberikan sebuah pidato kuat yg memberikan pengaruh besar ( dan membungkam ) beberapa pemimpin dunia terkemuka.

Apa yg disampaikan oleh seorang anak kecil berusia 12 tahun hingga bisa membuat RUANG SIDANG PBB hening, lalu saat pidatonya selesai ruang sidang penuh dengan orang terkemuka yg berdiri dan memberikan tepuk tangan yg meriah kepada anak berusia 12 tahun.

Inilah Isi pidato tersebut: (Sumber: The Collage Foundation)

Halo, nama Saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O – Enviromental Children Organization. Kami adalah kelompok dari Kanada yg terdiri dari anak- anak berusia 12 dan 13 tahun, yang mencoba membuat perbedaan: Vanessa, Suttie, Morga, Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk bisa datang kesini sejauh 6000 mil untuk memberitahukan pada anda sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, hari ini di sini juga.

Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan masa depan bagi diri saya saja. Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yg akan datang.

Saya berada disini mewakili anak-anak yg kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar. Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet ini karena kehilangan habitatnya. Kami tidak boleh tidak di dengar.

Saya merasa takut untuk berada dibawah sinar matahari karena berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena saya tidak tahu ada bahan kimia apa yg dibawa oleh udara.

Saya sering memancing di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan-ikannya penuh dengan kanker. Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang-binatang dan tumbuhan satu persatu mengalami kepunahan tiap harinya – hilang selamanya.

Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar binatang-binatang liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan burung dan kupu-kupu. Tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal-hal tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.

Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah- masalah kecil ini ketika anda sekalian masih berusia sama serperti saya sekarang?

Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua pemecahannya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki semua pemecahannya. Tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa anda sekalian juga sama seperti saya!

Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita. Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang telah punah. Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala di tempatnya, yang sekarang hanya berupa padang pasir. Jika anda tidak tahu bagaima cara memperbaikinya. TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA!
Disini anda adalah delegasi negara-negara anda. Pengusaha, anggota perhimpunan, wartawan atau politisi – tetapi sebenarnya anda adalah ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi – dan anda semua adalah anak dari seseorang. Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi udara, air dan tanah di planet yang sama – perbatasan dan pemerintahan tidak akan mengubah hal tersebut.

Saya hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama. Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan. Di negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia- nyiaan. Kami membeli sesuatu dan kemudian membuang nya, beli dan kemudian buang. Walaupun begitu tetap saja negara-negara di Utara tidak akan berbagi dengan mereka yang memerlukan. Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.

Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman, dengan sandang, pangan dan papan yang berkecukupan – kami memiliki jam tangan, sepeda, komputer dan perlengkapan televisi. Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami menghabiskan waktu dengan anak-anak yang hidup di jalanan. Dan salah satu anak tersebut memberitahukan kepada kami: ” Aku berharap aku kaya, dan jika aku kaya, aku akan memberikan anak-anak jalanan makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal, cinta dan kasih sayang ” .

Jika seorang anak yang berada dijalanan dan tidak memiliki apapun, bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih begitu serakah? Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak-anak tersebut berusia sama dengan saya, bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan yang begitu besar, bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari anak-anak yang hidup di Favellas di Rio; saya bisa saja menjadi anak yang kelaparan di Somalia ; seorang korban perang timur tengah atau pengemis di India .

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa jika semua uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa indah jadinya dunia ini. Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, anda mengajarkan kami untuk berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan orang lain, untuk mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang kita timbulkan; untuk tidak menyakiti makhluk hidup lain, untuk berbagi dan tidak tamak. Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang anda ajarkan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut?
Jangan lupakan mengapa anda menghadiri konperensi ini, mengapa anda melakukan hal ini – kami adalah anak-anak anda semua. Anda sekalianlah yang memutuskan, dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua seharus nya dapat memberikan kenyamanan pada anak- anak mereka dengan mengatakan, ” Semuanya akan baik-baik saja , ‘kami melakukan yang terbaik yang dapat kami lakukan dan ini bukanlah akhir dari segalanya.”

Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda semua? Ayah saya selalu berkata, “Kamu akan selalu dikenang karena perbuatanmu, bukan oleh kata-katamu”.

Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari. Kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami. Saya menantang A N D A , cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut.

Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.


Servern Cullis-Suzuki telah membungkam satu ruang sidang Konperensi PBB, membungkam seluruh orang-orang penting dari seluruh dunia hanya dengan pidatonya. Setelah pidatonya selesai serempak seluruh orang yang hadir diruang pidato tersebut berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah kepada anak berusia 12 tahun itu.

Dan setelah itu, ketua PBB mengatakan dalam pidatonya:

” Hari ini saya merasa sangatlah malu terhadap diri saya sendiri karena saya baru saja disadarkan betapa pentingnya linkungan dan isinya disekitar kita oleh anak yang hanya berusia 12 tahun, yang maju berdiri di mimbar ini tanpa selembarpun naskah untuk berpidato.

Sedangkan saya maju membawa berlembar naskah yang telah dibuat oleh asisten saya kemarin. Saya … tidak kita semua dikalahkan oleh anak yang berusia 12 tahun “
——— ——
*Tolong sebarkan tulisan ini ke semua orang yang anda kenal, bukan untuk mendapatkan nasib baik atau kesialan kalau tidak mengirimkan, tapi mari kita bersama-sama membuka mata semua orang di dunia bahwa bumi sekarang sedang dalam keadaan sekarat dan kitalah manusia yang membuatnya seperti ini yang harus bertindak untuk mencegah kehancuran dunia.

*(Copyright from: Moe Joe Free)*
«13456727

Comments

  • gila... merinding bacanya..... smoga lebih banyak yg terketuk hatinya...
  • OWH gitu aja to pidatonya. Biasa aja.


    #Nih kalo aku komen macem macem pasti diketawain lagi sama uda.
    #Pergi lagi
    #JANGAN KETAWAIN AKU UDA
  • rizky_27 wrote: »
    OWH gitu aja to pidatonya. Biasa aja.


    #Nih kalo aku komen macem macem pasti diketawain lagi sama uda.
    #Pergi lagi
    #JANGAN KETAWAIN AKU UDA

    hahaha...tuh kan... gimana ga ketawa...
    seluruh dunia tau cerita tersebut, tapi cuma kamu yang bilang "biasa" saja pidatonya. haha
  • kurang vulgar;

    keluarin vendi nyaaaa....

    .
  • Aku menutup netbookku dan beranjak dari kursi yang ku duduki. Ebook yang aku baca barusan, membuatku tertegun, andai dia adikku, pasti akan sangat bangga dan menyenangkan memiliki adik yang pintar, smart dan berpengetahuan luas seperti itu.

    Aku merapikan pakaianku. Ini hari ke lima belas aku masuk kerja. Sejak bunda tiada, tanggung jawab dibebankan kepadaku. Mengasuh seorang anak berusia 15 tahun dan merawat lelaki setengah baya yang terkena stroke, yang biasa aku panggil ayah. Tinggal di rumah sederhana. Rumah kecil dengan dua kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi.

    "Wika... Wikaaaa! Kesini kamu!" Akh, kadang aku percuma saja berteriak. Dia tidak pernah peduli dengan panggilanku. Selalu saja teriakanku berbalas dengan sunyi. Dimana ujung-ujungnya aku yang harus mendatanginya. Aku menutup pintu kamarku dan melangkah menuju kamar lelaki tua itu, lelaki yang biasa aku panggil ayah.

    Kamar itu semakin pengap. Lelaki itu, ayah, tidak pernah mau dibukakan jendela kamarnya. Terasa lembab dan baunya membuatku sesak nafas. Ku lihat Wika, satu-satunya adik lelakiku, yang memiliki paras tampan, namun mental bermasalah. Idiot, istilah orang kini. Aku tidak tahu apa yang salah. Dia kadang sibuk dengan dunianya sendiri. Kadang tertawa sendiri, kadang menangis tidak jelas dan itu sudah berjalan selama bertahun-tahun. Apakah dia gila? Aku tidak tahu, aku bukan psikolog. Cuma orang-orang menyebutnya idiot. Sedih memang! Tapi itu yang harus aku jalani.

    Aku menatap Wika yang asyik memandangi lelaki itu, yang biasa aku panggil ayah. Duduk di depannya yang terbaring lemah. Menatapnya berjam-jam. Aku tidak tahu, apa yang ada di pikiran Wika dan kenapa dia begitu menikmati menatap lelaki tua itu, yang terkapar lumpuh. Ayah, kenapa begitu sulit hatiku menerimanya dan mulutku melafazkannya.

    Aku memegang bahu Wika.

    "Kakak pergi ya! Kamu jaga dia!" Tanpa banyak bicara lagi aku segera keluar dari kamar tersebut. Tidak aku hiraukan tatapan memelas lelaki tua itu. Aku tidak harus menghabiskan waktu untuk mengurusnya. Semakin cepat dia mati semakin baik. Setidaknya bisa mengurangi beban hati dan pikiranku.

    Seperti biasa, aku berangkat dari rumah menggunakan angkutan kota. Jarak dari rumah sampai ke tempatku bekerja menghabiskan waktu seperempat jam. Aku bekerja sebagai pelayan di rumah makan Padang yang cukup terkenal. Ijazah SMAku tidak berguna untuk kantoran. Apalagi dengan nilai pas-pasan.
    Yah, akhirnya aku harus puas dengan kerja seadanya.

    Jam delapan pagi aku sudah sampai di tempat kerja. Pagi ini kerjaan rutinku menyapu lantai dan membersihkan meja makan. Mengaturnya serapi mungkin dan senyaman mungkin.

    Karyawan di rumah makan ini lumayan banyak. Ada sekitar 20 orang. Dan rata-rata berusia 20 sampai dengan 25 tahun. Datang dari berbagai daerah dan memiliki cerita tersendiri tentang kehidupan. Karyawan cowoknya 15 dan cewek 5 orang, termasuk kasirnya cewek.

    Pemilik rumah makan ini bernama Thomas, usianya sekitar 35 tahun. Masih muda, dan aku tidak tahu, kenapa dia belum menikah. Padahal tidak ada yang kurang darinya. Ganteng, gagah, banyak duit dan punya usaha tetap lagi. Yang aku suka dari dia, dia selalu mendongakkan kepalanya kalau berbicara. Menonjolkan keangkuhannya. Matanya menyorot tajam, selalu berkacak pinggang kalau berbicara. Suaranya lantang dan sukses membuatku terkagum-kagum atas kepribadiannya. Aku memujanya dari pertama kali bertatap muka dengannya. Walau dia selalu memandang sinis kepadaku, selalu memerintah ini itu, tapi itulah yang aku suka. Semakin dia mengasariku, aku semakin suka. Kadang, aku seperti benar-benar tidak punya harga diri di matanya. Dan aku, tetap memberikan senyum manisku kepadanya.

    "Reki, kau jangan kebanyakan bengong! Buruan kau rapikan meja-meja ini! Masih banyak yang mesti dikerjakan!" Tanpa ku sadari dia sudah berdiri disampingku. Aku menoleh ke arahnya. Dan tersenyum.

    "Baik pak!" Ujarku dan melanjutkan kerjaanku.

    "Senyam senyum ga' jelas! Freak!" Dia mengomel sambil meninggalkanku.

    Begitulah aktifitas keseharianku. Kadang aku berharap tidak usah saja ada malam hari. Kalau bisa siang saja. Jadi aku tidak perlu pulang ke rumah. Di sini aku lebih hidup. Lebih semangat dan bisa melepaskanku dari pikiran-pikiran buruk serta mimpi-mimpi kelam yang membelenggu. Akh, tapi apa bisa begitu? Kadang kala di kala malam membuaiku dalam lelap, aku berdoa semoga besok aku tidak terbangun lagi atau matahari tidak bersinar lagi, atau dunia ini porak poranda dan menghancurkan semua kehidupan bumi. Tapi itu tidak pernah terjadi. Matahari masih saja bersinar, hujan masih saja turun dan sang bayu masih menghembuskan bisikan lembutnya ke telingaku.

    Shif kerjaku untuk hari ini cuma sampai jam 3. Jam sibuk itu terjadi ketika orang makan siang. Pukul 12 sampai dengan setengah dua, itu benar-benar sangat rame. Orang makan siang dari berbagai kalangan. Di sini memang terkenal enak dan lezat masakannya. Khususnya rendang dagingnya. Mak nyoss deh rasanya.

    Dan aku setiap kali selesai kerja, selalu membawakan satu potong daging rendang untuk adik semata wayangku, Wika. Dia sangat menyukai masakan yang bernama rendang itu. Rendang tersebut dikasihkan oleh tukang masak di rumah makan ini. Aku tentu saja dengan suka cita menerimanya. Jadi terbayang wajah polosnya Wika ketika merasakan nikmatnya rendang tersebut di mulutnya. Akh, aku jadi pengen cepat pulang.

    Aku segera beres-beres dan merapikan penampilanku. Membuka seragam kerjaku dan menggantinya dengan pakaian harian biasa.

    "Ini Reki, Mak lebihkan rendang untuk adikmu!" Mak Ros, si pemegang rahasia resep rendang rumah makan ini, sangat baik kepadaku. Entah kenapa, ketika aku bercerita ke beliau kalau aku punya adik yang berketebelakangan mental dan bapak yang mengalami stroke, membuatnya kasihan dan simpati kepadaku. Padahal, aku tidak suka dikasihani.

    "Hmm, makasih Mak!" Ujarku sambil menerima bungkusan plastik tersebut. Mak Ros membelai kepalaku lembut. Aku segera hendak keluar dari dapur, namun langkahku terhenti mendapati Pak Thomas berdiri menatapku tajam. Tangannya terjulur.

    Langkah kakiku lunglai. Malu sekali rasanya.

    "Kau kira ini panti asuhan! Kalau mau harus bayar! Sini!" Dia merebut kantong yang ada di tanganku. Malunya minta ampun. Semua mata menatapku yang tertunduk dengan wajah merah.

    "Pak Thomas, saya yang salah! Biar saya yang bayar Pak!" Mak Ros berdiri di sampingku.

    "Tidak bisa! Saya tidak bisa mentolerir hal seperti ini! Mak juga harusnya paham, kalau saya tidak suka kalau barang dagangan diberikan secara cuma-cuma ke karyawan! Bisa bangkrut saya!" Mulutnya semakin tidak bisa di rem.

    "Sudah mak! Tidak apa-apa! Maaf Pak Thomas, pekerjaan saya sudah selesai. Saya pulang dulu!" Tanpa menunggu jawabannya aku melangkah melewatinya.

    "Nak Reki...!" Aku tidak menjawab panggilan Mak Ros. Ini benar-benar menyakitkan. Tapi aku tidak boleh lemah, aku akan meniru gayanya Pak Thomas, mengangkat dagu dan membusungkan dada, walau di dalam remuk redam. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di belakangku. Walau sekilas aku masih mendengar nada protes Mak Ros sama Pak Thomas. Perjaka lapuk itu, semoga tidak laku-laku sampai tua.

    Selama ini aku tidak tahu kalau ada larangan bagi karyawan membawa sepotong atau dua potong lauk untuk dibawa pulang. Ternyata Pak Thomas sangat perhitungan. Mungkin aku harus lebih hati-hati lagi dalam menerima pemberian orang lain. Aku tidak mau Mak Ros dipecat gara-gara aku. Aku harus menyisihkan sebagian belanjaku untuk membelikan Wika rendang. Makanan favoritnya.

    Aku menstop angkot yang akan membawaku pulang. Cuaca matahari sangat panas menyengat padahal sudah pukul tiga. Masih saja terasa membakar kulit. Di atas angkot, sesak dan penuh. Aku duduk dekat pintu keluar. Sudah padat, sopir angkot menstel musik keras-keras. Sungguh tidak nyaman. Musiknya pun musik ajip-ajip. Keringat membasahi punggungku.

    "Hei pam sopir! Kau kecilkanlah musik kau tu! Pekak telinga awak mendengarnya! Macam di diskotik saja kau buat angkot ni!!" Aku mengangguk setuju mendengar kata-kata ibu-ibu gendut di depanku. Wajahnya terlihat sangat kesal. Si sopis yang mendengar teguran si ibu gendut, mematikan musiknya.

    "Begini kan enak! Yang kau bawa ni orang! Bukan binatang! Jadi berlakulah kau tu layaknya manusia! Nak senang orang naik angkot kau ni!" Tambah si ibu, aku tersenyum ke ibu tersebut. Wajahnya menghembuskan nafas lega. Kentara sekali kalau dia sangat tersiksa dari tadi.

    Lalu perjalanan berlanjut dalam hening. Akh, aku lupa! Rendang untuk Wika!

    "Kiri bang!" Teriakku sambil mengetok jendela angkot. Aku langsung turun begitu angkot berhenti dan membayar tarif angkot seperti biasa.

    Di simpang gang rumahku ini, ada rumah makan sederhana. Yah, rumah makan kecil dengan harga murah meriah. Yang jualan alamak sangat pelit sekali. Mak mak gendut dan berwajah sangar. Tapi, masakannnya enak banget. Tidak kalah dengan masakannya Mak Ros.

    "Mak Na!" Begitu aku memanggilnya, "Beli rendangnya sepotong! Kalau bisa lebihkan kuahnya ya!" Teriakku semangat. Ku lihat Mak Na memandangku cemberut.

    "Tumben kau belanja di mari! Kemana saja kau lima belas hari ini! Tak pernah lagi kau beli masakan rendang Mak, Jang!" Ujarnya sambil melotot.

    "Hahaa, mak pelit! Ini gara-gara lupa aja belinya di tempat lain! Yah, warung mak ni jadi alternatif ke sekian buat Reki! Wehehehe!" Aku menerima bungkusan dari Mak Na.

    "Yah namanya juga dagang, Bujang! Harus berpandai-pandai! Cuma karena mak kangen sama kau, yahh mak lebihkan tuh rendang buat kau! Ngomong-ngomong, ayah kau gimana kabarnya?" Wajahku langsung berubah mendengar pertanyaan Mak Na.

    "Tak baik dendam gitu, bujang! Bagaimanapun juga dia tu ayah kau juga!" Mak Na menatapku sedih.

    "Iya mak! Dia masih seperti itu kok! Yah, sakit stroke itu kan kemungkinan sembuhnya kecil mak! Kaya'nya menunggu hari saja tu!" Lanjutku sambil melepaskan senyum lebar. Mak Na menjewer telingaku.

    "Dasar anak durhaka! Bagaimanapun juga, dia itu ayah kau! Jangan lupa itu!"

    "Iya mak! Reki pulang dulu! Kasihan Wika, pasti kelaparan dia sekarang!" Aku segera meninggalkan warung nasi Mak Na dan berjalan dengan cepat menuju rumahku yang berjarak sekitar 500 meter dari warung nasinya Mak Na.

    "Hoy bujang, salam untuk Wika!" Teriak Mak Na di belakangku. Aku menoleh ke arahnya.

    "Sampaikan aja sendiri!" Balasku sambil tertawa gelak-gelak.

    Aku membuka pintu rumah. Rumah ini begitu sunyi dan sepi. Padahal ada dua makhluk hidup di dalamnya. Makhluk yang apakah masih pantas disebut manusia. Yang satu lumpuh dan yang satunya lagi asyik dengan dunianya sendiri. Aku mecari Wika ke kamar lelaki tua itu. Keadaannya masij seperti pagi tadi. Meringkuk di dalam kamar. Tubuhnya sudah tinggal kulit pembalut tulang. Matanya menatap nanar langit-langit kamar. Akh, kemana larinya keperkasaan kamu dulu pak tua? Tangan kekar dan tendangan maut kau tu? Sekarang kau mau mati seenaknya di rumah ini. Menyebalkan!

    Aku beranjak meninggalkannya. Kalau aku mood, nanti aku masih makan dia! Tapi kalau tidak, biarkan saja dia membusuk di atas ranjang lapuk itu.

    "Wika, adek ganteng kakak! Disini kamu rupanya! Kakak bawa sesuatu untuk kamu!" Aku mendapati Wika sedang duduk di kursi belajarku di dekat jendela kamar. Matanya menatap keluar dengan tatapan kosong.

    Aku menaroh rendang tadi di atas meja. Aku keluar dan menuju dapur. Mengambil sepiring nasi dari magic jar. Dan segelas air putih. Sesaat aku melongok ke kamar lelaki tua itu. Dia masih terbaring dengan mata nanar. Huh! Lama amat sih matinya! Rutukku kesal dalam hati.

    "Wika, sini dek! Makan dulu!" Aku menarik tangannya. Dia berdiri pelan. Seumur-umur aku belum pernah bertemu pandang dengannya. Dia selalu menghindari kontak mata.

    "Makan ya dek! Ini rendangnya enak lho!" Aku mengeluarkan sepotong daging rendang dari dalam bungkus plastik dan menaburkan kuahnya di atas nasi. Aroma harumnya rendang membuat Wika mengalihkan pandangannya. Sekelumit senyum muncul dari bibirnya. Lesung pipi itu membuat senyumnya terlihat manis. Tidak terasa mataku panas. Aku mengusap kepalanya. Dan beranjak hendak meninggalnya yang mulai menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.

    "Pelan-pelan ya dek makannya! Ntar keselek lho! Hahaha!" Aku mengajaknya bicara layaknya orang normal. Air mata semakin bergulir membasahi pipiku.

    "Ayah!" Aku tertegun mendengar kata-katanya. Aku menghapus air mataku.

    "Iya dek! Pasti kakak kasih makan kok! Adek jangan khawatir! Kita pasti akan merawatnya!" Aku mencium kepalanya. Adikku sayang adikku malang.

    Aku meninggalkannya dan masuk ke dalam kamar lelaki malang itu. Aku tidak peduli lagi dengan rengekannya. Segera ku buka jendela yang berbulan-bulan tidak pernah dibuka.

    "Hmmm...hmmmm!" Rengeknya. Aku tidak peduli. Kamar yang tadi gelap dan pengap jadi terang. Segera aku singkirkan kain-kain kotor. Piring-piring kotor dan semua yang tidak enak di pandang aku singkirkan.

    "Saya tidak ingin rumah ini jadi sarang penyakit! Mulai hari ini, anda akan saya rawat layaknya manusia. Saya sadar, saya tidak sama dengan anda. Jadi bersikap manislah! Menurut! Demi kebaikan anda!" Aku mengangkat tubuhnya yang ringkih. Uhhh, bau banget! Sudah lama aku tidak menyentuh tubuhnya. Ku taroh di kursi roda. Aku harus membersihkan ranjangnya. Ya ampun, kemana saja aku selama ini? Huh, tapi aku melakukan ini karena permintaan Wika. Kalau bukan karena Wika, aku tidak akan peduli.

    "Bau banget sih! Benar-benar merepotkan!" Aku menggerutu. Aku mengganti sprey dan sarung bantal dengan yang bersih. Lelaki tua itu menatapku. Matanya basah. Namun, aku tidak peduli dengan apa yang dia rasakan. Tidak peduli dengan air matanya yang bagiku merupakan suatu ejekan. Apa dia ingat bagaimana air mataku, air mata bunda memohon untuk tidak disakiti? Gara-gara dia, bunda harus meninggal. Rasa benci ini sampai kapan sanggup aku tanggung.

    Selesai merapikan kamarnya, aku menyemprotkan pewangi ruangan. Perlahan, aku mendorong kursi roda itu ke kamar mandi. Di kamar mandi, aku mengangkat tubuh tua berbau busuk ini. Menyandarkannya ke dinding. Ku buka semua pakaiannya. Dia tidak menolak sedikitpun dan matanya terus saja memandangku. Mata yang sarat dengan sejuta pengalaman. Entah apa saja yang sudah dilaluinya.

    Aku memandikannnya tanpa suara sepatah katapun. Menggosok semua daki yang menempel di badannya. Memandikannya seperti mencuci panci. Tanpa perasaan. Aku tidak peduli apakah dia kesakitan, aku terua menggosok semua daki-daki di badannya. Membersihkan semua kotoran di lipatan tubuhnya. Telinga dan hidungnya. Dan aku sangat ingin menghajarnya. Memukulinya sampai babak belur. Inilah lelaki yang mengajarkanku kebencian. Inilah lelaki yang membuatku kehilangan arah dan bingung dalam melangkah. Inilah lelaki yang seharusnya membuatku mampu menjadi seorang pria sejati. Tapi tidak, dia hanya mengajarkanku kekerasan. Aku sangat membencinya.

    "Ayah!" Aku tersentak dari kerjaku memandikan lelaki tua ini. Ku lihat Wika berdiri di depan kamar mandi. Dia memutar-mutar tangannya. Sementara matanya melihat ke arah lain. Aku tersadar, ku tatap sosok yang sedang ku mandikan. Matanya terpejam. Namun dari sudut matanya mengalir air mata. Aku segera menyudahi memandikan tubuhnya. Segera ku bersihkan bulir-bulir air di tubuhnya. Mengeringkan rambutnya yang basah dan tanpa kursi roda aku mengangkat tubuhnya kembali ke kamar.

    Wika membuntutiku dari belakang sambil mendorong kursi roda. Aku meletakkan dengan pelan tubuh kurus kerontang itu di atas kasur. Mengenakan pakaiannya. Mendudukkannya sambil menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. Aku berbalik hendak keluar dari kamar, tapi aku kembali tertegun. Wika berdiri di depanku dengan piring di tangannya.

    "Ayah! Makan!" Wika melewatiku. Dia duduk di samping pria tua itu. Dia menatapnya sekilas ketika menyendokkan nasi ke dalam mulut lelaki tua itu. Aku tidak kuat lagi. Segera aku masuk ke kamarku. Menangis menahan gejolak batinku. Tuhan, tolong aku. Bagaimana caranya aku menghadapi semua ini?

  • I wanna cry... Baru baca udah nyesek :( (╥﹏╥).
  • :(( :(( huaaa....
  • :(( :(( Banjir dah
  • Hari menunjukkan pukul sepuluh malam. Badanku sangat lelah sekali. Tenagaku habis terkuras. Benar-benar hari yang berat. Tiba-tiba ku rasakan mulutku asam, perutku melilit dan berbunyi. Astaga, aku sendiri lupa untuk makan. Sibuk dengan pekerjaan, mengurus Wika dan lelaki tua itu. Di sampingku, Wika tertidur dengan pulas sambil memeluk tanganku.

    Ku pandangi wajah polosnya. Kalau dilihat sepintas, orang tidak akan tahu kalau Wika mengalami keterbelakangan mental. Salah siapakah ini? Lelaki tua itu atau bunda? Kasihan adikku ini, ketika dia terlahir, dia lebih sering ditinggalkan di depan televisi. Bunda sibuk bertengkar dengan lelaki sialan itu dan aku, akh, aku menyesal mengabaikanmu dek! Aku sibuk kelayapan ke berbagai tempat. Hanya untuk menghindar dari rumah yang bagaikan neraka. Lelaki yang kamu panggil ayah itu biang keladinya. Penjudi, pemabuk, pemain tangan, pokoknya tidak ada satupun kebaikan yang aku lihat dari dirinya. Sampai pada saat usiamu memasuki 13 tahun, bunda yang kita cinta harus pergi. Selamanya, yah, aku tahu, kamu pasti sangat sedih. Bisa ku lihat bagaimana kamu meraung di malam buta. Memanggil bunda. Dan aku hanya bisa memelukmu. Merasakan kepedihan hatimu.

    Akh, Wika, masih ingatkah kamu dek, bagaimana lelaki yang kau panggil ayah itu menghajar kakak sampai babak belur? Hanya dikarenakan kakak meminta uang untuk membawa bunda berobat. Kenangan itu tidak akan pernah hilang begitu saja dari pikiran kakak. Coba seandainya saja, ayah mau memberikan uang untuk berobat bunda, mungkin sampai sekarang, bunda masih bersama kita.

    Tapi kakak bersyukur, setidaknya bunda sekarang bisa tenang di alam sana. Adek jangan sedih yah, percaya sama kakak. Kakak akan selalu menjaga dan menyayangimu. Cuma Wika satu-satunya keluarga yang paling berharga yang kakak punya.

    Aku memeluk tubuh mungilnya. Mencium pipinya. Mencium rambutnya yang harum. I love u, Wika. I love u.

    Aku segera bangkit dari tidur. Perutku lapar sekali. Aku tidak boleh sakit. Aku tidak mau kalau sampai berhenti bekerja dan tidak bisa membelikan rendang untuk Wika. Aku tidak boleh sakit, Tuhan.

    Seperti biasa, kamar tidur lelaki tua itu terlihat suram. Sesuram hidupnya. Perlahan-lahan aku dorong pintu kamarnya. Memastikan kalau dia baik-baik saja.

    Sudah dua tahun dia menderita kelumpuhan. Tepatnya, satu tahun setelah kematian bunda. Awalnya dimulai dari tidak bisa digerakkan kakinya. Terus tangannya. Terus mulutnya mulai pencong. Di waktu itu, penampakannya sangat mengerikan. Membuatku takut dan tidak mengenali tampangnya.

    Walau dalam hati aku bersorak gembira. Walau di dalam hati aku merasa terbebas dari kekejaman seorang lelaki yang aku panggil ayah. Tapi aku masih punya hati nurani, aku tidak ingin membalas kekejamannya. Tapi, tetap saja, aku memiliki dendam yang tidak mampu terucapkan. Aku sangat bingung menghadapi semua ini. Di satu sisi, dia ayah kandungku. Ayah yang telah membuatku hadir di muka bumi ini. Namun disisi lain, kalau mengingat semua perlakuannya, bara dendam seolah berkobar dan membakar hati dan jantungku.

    Disaat aku kalap, ingin mengakhiri hidupnya, ingin melenyapkan nyawanya dari kehidupan, Wika akan menyadarkanku. Dia akan menyentuh pipiku dengan tangannya yang lembut. Menarikku kembali kepada kesadaran. Atau mendengarkan sepatah kata darinya. "Kakak", walau sangat jarang sekali dia mengucapkannya. "Ayah", "Baik", "Bunda", "senyum", "sedih", "makan", "minum", "mandi", "tidur", "jangan" itulah sekelumit kata yang pernah terlontar dari mulutnya.

    Ku lihat lelaki tua itu tidur dengan mata terpejam. Jantungnya terlihat berusaha memompakan udara ke dalam paru-parunya. Dadanya bergerak kembang kempis. Dengan ritme yang lumayan cepat.

    Aku mendekati ranjangnya. Ku lihat pispot sudah penuh oleh air kencingnya. Ku ambil dan segera aku buang. Setelah itu aku kembali ke kamarnya. Menaroh kembali pispot di lantai dan memasangkan selang kecil yang terhubung langsung dengan penisnya. Hanya itu satu-satunya cara untuk dia bisa buang air kecil. Masalah terbesar adalah kalau dia mau buang air besar. Itu adalah hal yang paling menjijikkan yang pernah aku lakukan. Pernah suatu hari aku hendak membopongnya ke kamar mandi, namun belum sampai di kamar mandi, kotorannya sudah berceceran di lantai. Sungguh, waktu itu aku sangat murka. Aku menghempaskan tubuhnya ke lantai. Dan aku menendang tubuhnya disertai sumpah serapah yang berhamburan dari mulutku. Aku menghujaninya dengan pukulan dan tendangan. Tidak peduli dengan kotoran yang mulai meluberi seluruh tubuh ringkihnya. Sampai akhirnya pinggangku dipeluk Wika dari belakang. Dia menangis, meraung, masih ku ingat, itu raungan keduanya pasca kematian bunda.

    Dan kembali aku tersadar. Aku menyuruhnya menjauh. Karena ruangan ini sungguh menjadi tidak nyaman. Malah sangat menjijikkan dan membuat perut mual.

    "Wika, cepat masuk ke kamar kamu!" Aku berusaha melepaskan rangkulannya.

    "Kakak jangan! Kakak jangan!" Dia mengulang-ngulang kalimat itu. Sambil terus memeluk pinggangku. Aku hanya berdiri mematung. Berusaha menenangkan dadaku yang sesak dan ku lihat di depanku. Sosok tua yang terkapar menyedihkan. Darah mengalir dari mulutnya. Emosi telah melenyapkan akal sehatku. Aku membalikkan tubuhku dengan pelan. Tanganku kotor jadi aku tidak memegang sedikitpun tubuh Wika.

    "Adek, maafin kakak ya! Sekarang adek masuk ke kamar yah? Kakak bersihkan ruangan ini dulu!" Aku menatap matanya. Dia membuang muka, namun air mata masih mengalir di sudut matanya. Aku mencium pipinya.

    "Ayah!" Dia berteriak dan memeluk leherku.

    "Iya dek! Kakak akan mandiin dia! Kakak janji ga' bakalan mukulin dia lagi! Adek ke kamar ya?" Aku kembali mencium pipinya. Dia menghapus air matanya. Menatap ke arah lantai dimana sosok lelaki tua itu terkapar. Lalu beranjak meninggalkanku dan perlahan-lahan sosoknya menghilang di balik pintu.

    Akh, jika aku ingat, di rumah ini yang ada hanya kesedihan. Ku raba kepala lelaki tua itu. Lima bulan terakhir ini, sebenarnya dia sudah mengalami perkembangan yang lumayan bagus. Mulutnya tidak lagi pencong. Cuma dari leher ke bawah masih mengalami kelumpuhan. Dan sebenarnya lumpuhnya pun sudah tidak terlalu, sudah bisa dia menggerak-gerakkan tangannya.

    Aku merapikan selimut di badannya. Akh, semoga aku tidak menerima sifat buruk lelaki ini.

    Aku bergegas keluar dari kamar dan menuju dapur. Perutku tidak bisa di ajak kompromi lagi. Segera aku mengisi perutku dengan tenang.



    Selesai makan, aku merebahkan diri di ruang tamu. Dimana ada televisi disana. Ku hidupkan dan mencari acara yang lumayan bisa menghibur.

    Ku stay tune di salah satu stasiun tv lokal yang sedang menayangkan film religi gitu. Judulnya membuatku ingin mengikuti film ini. Tangisan Seorang Ayah, demikian judulnya.

    Di akhir film aku hanya bisa mendengus. Bullshit! Omong kosong belaka! Aku tidak percaya kalau ada ayah sebaik yang diceritakan dalam film tadi. Mimpi! Menyesal aku menontonnya!

    Aku mematikan tv dan beranjak ke kamarku. Merebahkan tubuhku di samping Wika yang masih tertidur pulas! Semoga besok, aku tidak bangun-bangun lagi!

    @farizpratama7, @yuzz, @fuumareicchi, @regieallvano, @luky, @cee_gee
Sign In or Register to comment.