It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku bersimpuh di dekat gundukan tanah yang kini sudah di tumbuhi rumput-rumput liar itu. Tempat dimana ayahku tidur selama-lamanya. Tidur dengan penuh kedamaian. Tanpa ada suara-suara berisik yang mengganggu tidurnya. Nyenyak, nyenyak sekali. Daun-daun kering juga nampak bertebaran di sampingnya. Seskali menari terbawa angina yang tengah berpetualang. Bau bunga kembang segarpun menyeruak setelah tadi kutaburkan di atas rumah terakhirnya. Langit mendungpun tampak suram di sore ini. Seolah mereka menyelimuti hatiku yang sedang mendung nan kelam. Kurasakan ada setetes air yang jatuh di punggung tanganku. Tetes demi tetes. Apakah awan mendung itu akan segera mencurahkan air hujan?. Bukan! Itu bukan air hujan, melainkan air mataku yang jatuh. Air mata yang selama ini selalu kutahan. Air mata yang selama ini selalu terbendung dalam benteng kokoh yang dinamakan kebencian. Namun sekarang mataku sudah tidak kuat lagi menampung air mata ini. Kini benteng-benteng kokoh itu tak mampu lagi membendung derasnya air mata ini. Sehingga air mata ini tumpah meluapkan emosi dan juga beban yang selama ini kutahan. Ku tahan meski batin ini selalu memberontak. Ku tahan meski hati ini selalu menjerit. Ku tahan meski tembik ini mulai rapuh. Namun sekarang aku sudah tidak sanggup lagi rasanya menahan semuai beban ini. Aku sudah tidak kuat lagi. Jiwa ini sudah rapuh, raga ini sudah remuk. Payah dan menyedihkan!! Itulah kata yang cocok untuk menggambarkan diriku sekarang. Ya, aku memang payah, pengecut, menyedihkan. Heh, payah….!!!!!!!!!!!!!!
Kubaringkan kepalaku di makam ayahku sehingga pipiku menyentuh tanah yang berumput itu bersamaan air mataki yang terus mengalir. Seolah-olah kepalaku tengah berada di pangkuan ayahku. Di pangkuan yang sudah lama tak kurasakan lagi. Di pangkuan yang selalu ku rindukan. Di pankuan yang menjadi sandaranku saat dulu aku sedang sedih, menangis karena berantem dengan teman-temanku. Saat malam menjelang tidurku. Aku rindu belaian itu, aku rindu.
"aku kangen padamu ayah" bisikku pelan yang entah didengarnya atau tidak, air mataku ini terus saja mengalir membasahi tanah yang menjadi sandaranku ini.
"apa ayah dengar? Aku kangen sekali sama ayah" lirihku pelan
"apa ayah benci pada anakmu yang cengeng ini? Apa ayah benci pada fadly? apa ayah benci padaku? Jawab ayah, jangan diam saja…!!!!” aku terus bermonolog sambil meremas tanah yang basah oleh air mataku itu.
“Aku memang anak yang tidak berguna ayah, tidak berguna sama sekali." Isakku pelan,
semilir angin sore tidak mampu membawa kesedihan ini terbang. Mereka hanya berhembus dan berlalu. Bahkan untuk sekedar menyapapun tak mau apalagi membawa kesedihan ini pergi dariku. Burung-burungpun tampak bernyanyi menertawakanku yang payah dan pengecut ini.
"aku tidak tau ayah. Apakah aku masih bisa menepati janjiku pada ayah. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi melihatnya menderita ayah. Terlebih itu semua karena aku. Aku sudah tidak kuat ayah. Aku tidak sanggup meneruskannya. Aku memang anak yang mengecewakan." kataku sedikit terkekeh menertawakan diriku sendiri
"kenapa ayah diam saja? Apa ayah marah padaku? Maafkan aku ayah, maafkan aku...!!" aku masih terisak dipangkuannya. Air mata ini terus saja mengalir tanpa bisa di bendung
tiba-tiba saja kurasakan seseorang mengelus rambutku.elusannya begitu nyata dan membuat hatiku damai. Begitu juga dengan tempatku membaringkan kepalaku. Rasanya begitu hangat dan nyaman. Perasaan hangat yang sudah lama kurindukan. Perasaan hangat yang sudah lama tak kudapatkan dari seorang ayah. Kudongakkan kepalaku keatas. Memastikan ini kenyataan atau khayalanku saja. Aku menatap sendu pada sosok yang kini tengah membelaiku. Aku menatapnya dalam. Tatapan yang suda lama aku rindukan.
"ayah?" dia tersenyum padaku
segera ku menelusupkan kembali kepala erat di pangkuannya. Mata ini terus saja mengeluarkan air mata. Ku terisak dipangkuannya. Meluapkan semua beban dan emosi yang selama ini membelenggu hatiku. Kurasakan ayahku kembali mengelus rambutku dengan hangat.
"maafkan fadly ayah!" bisikku lirih semakin mempererat pelukanku padanya
"fadly, apakah ayah pernah mengajarimu membenci orang? Apakah ayah pernah mengajarimu untuk balas dendam? Apakah kamu lupa, ayah selalu mengajarimu untuk memaafkan orang?" kata ayahku lembut
"..." aku hanya diam dan mempererat kepalaku dipangkuannya
“jagoannya ayah tidak pernah punya dendam sama sekali. Jagoannya ayah akan selalu buat ayah tersenyum. Tidak pernah sekalipun membuat ayah marah.” Kata ayahku yang kini tengah mrngusapa air mataku.
“…”
" jangan menangis nak! Setau ayah anak ayah tidak cengeng seperti ini. Katanya fadly mau jadi siperman. Masa superman cengeng begini.”
“….” Belaian itu semakin terasa nyaman di hatiku
“turutilah apa kata hatimu yang paling dalam. Ayah yakin, anak ayah ini adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Jadi, jangan kecewakan ayah. Ayah yakin fadly anak yang baik. Tau yang benar dan yang salah. Buatlah ayah bangga padamu fadly…!" kata ayahku
Kurasakan dia membelai rambutku lagi dan kemudian mengecup keningku pelan. Mata ini seketika terbuka. Kuamati hari sudah gelap. Kurasakan tanah yang keras dan dingin dipipiku, tidak hangat seperti tadi. Segera kubangun mencari ayahku. Tapi tidak ada. Aku menoleh kesana kemari tapi tak kunjung ku temukan keberadaannya.Yang ada hanya bekas air mata yang mengering dipipiku. Aku memegang keningku yang tadi di kecup oleh ayah. Rasanya itu nyata sekali. Apa aku tadi bermimpi? Tapi semua itu terasa nyata sekali. Rasanya kini perasaanku jadi ringan. Seolah beban yang tadinya membelenggu hatiku musnah begitu saja. Hilang dan kini rasanya begitu ringan. Tanpa sadar sebuah senyuman terlukis di bibirku.
"ayah, aku janji tidak akan mengecewakanmu" kataku lantas pergi meninggalkan tempat ini dengan setengah berlari.
***
'kosong?' dimana Chiko? Segera ku bergegas mencarinya. Apa mungkin dia dikamar mandi? Tapi diakan belum sadar?. Segera kubuka pintu kamar mandi yang ada diruangan itu. Tapi kosong, dia tidak ada disana. Pikiranku semakin cemas dan panik. Sebenarnya kamu kemana Chiko? Apa mungkin dia dipindahkan? Segera ku berlari keluar menyusuri lorong-lorong rumah sakit ini. Menilik setiap orang yang berlalu lalang di lorong ini. Tak kuhiraukan pandangan orang yang melihatku dengan tatapan bingung. Yang ada di pikiranku sekarang hanyalah keberadaan Chiko. Tuhan….!!!! Dimana dia sekarang. Aku semakin panic tatkala tak kutemukan batang hidungnya diantara lalu lalang orang ini. Langkahkupun semakin tergesa. 'Buuukkk' Tak sengaja ku menabrak seseorang.
"maaf" kataku
"Rama, kenapa kamu?" tanya orang itu yang tak lain adalah dokter Renita
"Dokter, apa Chiko dipindahkan?" tanyaku tergesa-gesa
"dipindahkan? Dia tidak dipindahkan. Malah sekarang aku mau ngecek kondisinya" kata dokter renita
"tapi Chiko tidak ada dikamarnya dok. Dia menghilang" kataku cemas
"tidak mungkin. Itu mustahil, Dia sedang koma. Jadi tidak mungkin dia bisa pergi" kata dokter Renita.
Lantas dia segera pergi ke kamar Chiko dirawat memastikan omonganku. Setelah sampai dia hanya mendapati kamar itu kosong. Dokter Renita lantas keluar dengan tergesa-gesa. Ku berjalan pelan mendekati ranjang Chiko. Kabel dan selang yang selama ini membantu agar dia tetap hidup berserakan diatas kasurnya. Pandanganku beralih kemeja didekatnya. Ada yang menarik perhatianku. Sebuah kertas putih terselip dibawah vas bunga. Kuambil kertas itu. Ada sebuah tulisan menggores di lembarnya.
"aku ingin terbang mengayun tinggi...
Mencapai bintang yang bersinar diatas sana..."
hanya itu kata-kata yang tertera di kertas itu. Apa maksudnya? Apa ini pesan dari Chiko? Apa memang benar dia yang telah menulis pesan ini? Sebenarnya dimana kamu Chiko?. Pikiranku semakin kalut. Segera ku berlari keluar mencari disetiap sudut penjuru di Rumah sakit ini. Namun dia tetap tidak ketemu. Semua itu semakin membuatku panik, cemas, dan takut. Semua rasa itu bercampur jadi satu. Tak terasa air mataku sedikit meleleh. Semua itu membuatku sangat frustasi. Dimana kamu sebenarnya Chiko?
Kini aku terduduk lemas di teras Rumah sakit. Apakah ini, mengapa tadi perasaanku tidak enak?
"Rama, ada apa?" tanya seseorang padaku
fadly, dialah orang yang tengah menanyaiku. Tanganku langsung mengepal keras. Rasa kesal dan marah kembali menguasaiku. Aku lantas berdiri dan 'buukk' sebuah pukulan kulayangkan padanya. Membuatnya sedikit terhuyung namun tidak jatuh
"dimana kamu menyembunyikan Chiko?" marahku padanya
"apa maksudmu? Aku baru saja datang" katanya
"jangan bohong kamu. Chiko menghilang dan ini pasti perbuatanmu kan!!" bentakku padanya
"ap..apa? Chiko hilang?" katanya terkejut
tanpa sengaja dia melihat kertas yang tadi jatuh saat aku memukulnya. Lalu dia mengambilnya dan membacanya. Keningnya mengkerut, dia tampak berpikir. Tiba-tiba saja matanya membulat dan dia berlari pergi. Ku kejar dia
"mau kemana kamu?" tanyaku
"kamu mau ikut atau tidak?" tanyanya
***
Kini aku tengah memacu motorku cepat. Rama tengah kubonceng dibelakang. Setelah membaca pesan yang tertulis di kertas tadi, satu tempat yang terlintas dikepalaku adalah bukit. Aku semakin mempercepat laju motorku. Tak ku hiraukan pertanyaan-pertanyaan Rama yang sedari tadi terus memekakan telingaku. Yang kufokuskan sekarang adalah secepatnya sampai di bukit itu. Dan benar saja, setelah sampai disana kudapati seseorang tengah duduk diayunan. Segera kuturun dari motor dan menghampirinya. Begitu juga dengan Rama, dia juga berlari kearah Chiko dengan tergesa-gesa. Terlihat sekali kalau dia sangat panik dan cemas.
"Chiko?" kataku dan Rama bersamaan
"kalian lama sekali. Aku sampai kedinginan menunggu kalian" kata Chiko mengeratkan tangannya pada tubuhnya setelah kami di dekatnya.
Lantas Chiko berdiri. Namun tiba-tiba saja dia limbung dan jatuh ketanah.
"chiko?" kataku dan Rama bersaan lagi
***
---RAMA POV---
"Chiko?" kataku dan Fadly bersamaan ketika melihat Chiko jatuh ketanah.
Aku langsung menghampirinya yang tergeletak ditanah dan bersiap ingin memapahnya.
"apa yang kamu lakukan? Ayo kembali kerumah sakit!" kataku padanya khawatir
"tidak, aku ingin disini bersama kalian menghabiskan sisa hidupku" katanya lirih
mukanya begitu pucat. Tubuhnya sangat dingin. Badannya lemas. Segera kupeluk erat dia agar tidak merasakan kedinginan. Memberikan sedikit kehangatan dari tubuhku. Kulihat Fadly hanya terduduk lemas dengan pandangan kosong di sebelah kanan Chiko.
"apa yang kamu katakan? Aku akan membawamu ke rumah sakit" kataku
namun Chiko tetap bersikeras tidak mau. Tubuhnya semakin lemah. Wajahnya semakin pucat. Aku peluk erat dia agar tidak kedinginan. Entah kenapa mataku jadi berkabut dan meneteskan air mata melihat keadaan Chiko sekarang. Kurasakan ada separuh jiwaku yang menjerit.
"aku sayang kalian. Kalian adalah orang terpenting dalam hidupku. Aku mencintai kalian " katanya lirih masih dalam dekapanku.
lantas dia berusaha mengangkat kepalanya. Sebuah kecupan lembut kurasakan dibibirku. Dan juga kecupan lembut mendarat dibibirnya Fadly. Ku pejamkan mataku dan merasakan kecupan sesaat itu. Hangat dan nyaman rasanya. Hatiku bergetar merasakan kecupan sesaat itu. Tak ingin aku melepaskan hangat bibirnya yang dingin itu. Ku pandang sorot matanya yang mulai melemah. Setelah itu matanya perlahan menutup. Perlahan-perlahan hingga akhirnya mata itu tertutup sempurna. Wajahnya semakin pucat. Badannya juga semakin dingin. Kurasakan detak jantungnya berhenti. Tidak? Apa ini? Apa yang terjadi? Kenapa detak jantungnya berhenti? Kenapa tak kurasakan lagi hembusan nafasnya? Ada apa ini? Chiko tidak boleh pergi. Dia tidak boleh mati. Bahkan aku belum sempat bilang kalau aku juga mencintainya, sangat mencintainya. Hati ini menjerit sakit. Sesak rasanya. Mata ini tak hentinya mengeluarkan air mata. Ku berteriak sekencang-kencangnya. Kudekap erat tubuhnya yang dingin. Berharap dia akan membuka matanya kembali. Namun itu hanya harapan kosong.
"aku mencintaimu" bisikku ditelinganya
***
Mataku menatapnya kosong. Hati ini rasanya perih melihatnya tergeletak lemah tak berdaya. Mukanya begitu pucat. Apa yang telah aku perbuat selama ini. Selama ini aku telah menyiksanya begitu kejam. Membuat mata indah itu selalu mengeluarkan air mata. Membuat bibir ranum itu mengeluarkan rintihan tangisnya. Kejamnya diriku selama ini. Tanpa terasa setetes air mata kembali membasahi pipiku. Mengalir bersama rasa penyesalan yang menyiksa hati. Aku masih memandangnya getir hingga Sebuah kecupan lembut kurasakan dibibirku. Bibirnya yang dingin namun begitu hangat dibibirku hingga menjalar di jantung hatiku yang paling dalam. Kecupan yang sudah lama aku rindukan. Yang selama ini tertutup rasa dendam bodoh ini. . Tak lama kudengar Rama berteriak-teriak. Mataku memandangnya. Kulihat Chiko sudah terbaring lemah dalam pelukannya. Wajah pucatnya begitu tenang. Seketika tubuhku jadi lemas. Jangan! Jangan terjadi, kumohon! Dia jangan mati kumohon. Jeritku dalam hati. Aku belum sanggup untuk kehilangan lagi. Hatiku menjerit sakit. Jangan! Jangan lagi!!! Aku belum minta maaf padanya. Aku berutang beribu janji yang belum ku tepati. Aku belum jadi superman yang dulu aku janjikan padanya. Aku belum menjaganya. Tuhan….!!!! Jangan ambil dia sekarang!!!!!
~~
Belum sempat ku membagi kebahagiaanku
Belum sempat ku membuat dia tersenyum
Haruskah ku kehilangan 'tuk kesekian kali
Tuhan kumohon jangan lakukan itu
Sebab ku sayang dia
Sebab ku kasihi dia
Sebab ku tak rela
Tak slalu bersama
Ku rapuh tanpa dia
Seperti kehilangan arah
Jikalau memang harus ku alami duka
Kuatkan hati ini menerimanya...
~~
***
---CHIKO ARIA POV---
Aku tengah berdiri memandang orang yang tengah bersendu itu. Aku tersenyum akhirnya. Aku telah menyelesaikan game ini. Permainan yang mereka mulai. Dan sekarang akulah yang memenangkannya. Ya, aku telah memenangkan hati mereka berdua. Aku sudah mendapatkan hati mereka berdua untuk kubawa pergi. Aku sudah meruntuhkan tembok-tembok besar dan musuh-musuh yang menghadangku untuk mendapatkan hati mereka. Akan kubawa hati mereka pergi bersamaku. Dan akan selalu ku simpan di dalam hatiku ini. Aku tersenyum senang.
"sudah waktunya Chiko" kata malaikat yang kemarin menjemputku
"..." aku hanya tersenyum dan kemudian mengangguk.
"hati bukanlah permainan. Kita tidak bisa mengatur dan mempermainkan hati. Tapi justru sebaliknya, hatilah yang telah mempermainkan kita."
END
Btw, thanx uda ngelarin cerita ny,, sneng ada penulis yg komit sma cerita yg d buat smp selesai,, d tnggu tulisan selanjutnya ya,,