BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

The Night, and The Day - END - page 111

19293959798117

Comments

  • apa itu 12..? 3? :-/
  • ini udah direload berkali-kali ga muncul2 ah..
  • Rio's View

    "Aku Mocca Milkshake, jangan ditambahin es ya mbak!"
    Aku mengetuk ketukkan tanganku dengan tidak sabar melihat orang didepanku membolak balik menu dengan santainya.
    "Rio, kamu mau apa? Kayaknya kita perlu cemilan, apa kamu mau kentang goreng? Ah! Ada roti panggang kopi! Aku mau yang ini satu, sama kentang goreng untuk Rio, kamu ga suka manis kan Rio? Minumnya apa? Ah~"
    Kutarik dengan kasar menu itu dari tangannya, dan kubanting ke meja.
    "Aku Teh, ga pakai gula...."
    aku menatap dengan tajam ke arah waitress yang segera mencatat dengan kikuk dan berlari menjauh dari kami karena merasakan aura tidak nyaman.
    "Ah! Aku padahal mau pesan roti bakar kornet..."
    "CHRIST!"
    "Eh..."
    Christ tampak terkejut karena aku membentaknya, dia menatapku dengan melotot, tapi kemudian segera melipat kedua tangannya di atas meja.
    Ia membersihkan atas meja dengan baik sebelum meletakkan lengan kemejanya disana.
    "Iya, tumben kamu ajak aku makan! Ada apa? Lama kamu ga kerumah, tadi mama cari kamu..."
    Aku memijat keningku dengan jengah.
    Selalu saja seperti ini.
    Selalu saja tidak bisa bersikap serius.
    Selalu tertawa dalam keadaan apapun.
    Benar benar menyebalkan.
    "Christ! Jangan bertingkah bodoh! Kamu tahu apa yang akan kita bicarakan kan?"
    "Eh, kenapa? Aku tidak tahu, kan kamu ga ada bilang apapun ke aku..."
    "Christ! Tolong serius sedikit!"
    aku sedikit menghentakkan meja dengan marah.
    Christ melebarkan matanya, kemudian akhirnya menutup kedua matanya dengan tangan, senyumannya tampak jelas dari mulutnya.
    "Okay, kalau kamu mau begitu, tentang Alvin, apa aku salah?"
    Christ menopangkan hidungnya diatas kedua telapak tangannya yang ditangkupkan. Ia menatapku dengan tatapan tajam.
    Aku mengangguk, dan ia hanya menghela nafasnya.
    "Oke, Bicaralah, aku mendengarkan..."
    Christ melipat kedua tangannya dan menyandarkan tubuhnya pada kursi bambu tempat kami duduk.
    "Kenapa diam? Ayo bicara..."
    Christ berbicara lagi, semakin membuatku kehilangan kesabaranku.
    "Aku mau bertanya padamu. Apa sebenarnya maksud semua ini...?"
    "Semua ini? Apanya?"
    "Jangan bodoh! Semua juga tahu kamu mendekati Alvin akhir akhir ini apa maksudmu?"
    Christ melebarkan matanya, dia tampak terkejut.
    "Ya aku mendekati Alvin, memangnya ada yang salah?"
    Aku menatapnya dengan pandangan tak percaya.
    "Bagaimana bisa kamu bertanya begitu! Apa maksudmu? Apa tidak cukup semua yang kamu lakukan selama ini?"
    Christ lagi lagi mengerutkan keningnya dan menatapku dengan pandangan bingung.
    "Apa maksudmu Yo?"
    "AKU YANG HARUSNYA TANYA APA MAKSUDMU! Apa kamu kurang mempermainkannya dan menyiksanya di dunia maya, sehingga kamu sekarang juga mendekatinya di dunia nyata? Kamu kurang menyiksanya di game? Sekarang kamu juga mau melakukannya di dunia nyata?"
    Christ melebarkan matanya, kali ini dia sampai membuka mulutnya dengan ekspresi terkejut, dan akhirnya menggeleng, sambil meletakkan kedua tangannya di atas meja.
    "T..Tunggu! Ada salah paham disini!"
    "Apa? Kamu tahu dia masuk rumah sakit karena apa? Aku sudah mencari tahu semuanya! Dia masuk rumah sakit akibat trauma karena reseptor dari alat gamenya memberikan pengaruh nyata padanya. Seharusnya dia tidak akan kenapa kenapa bila tidak memaksakan diri, tapi kau tidak memberikannya pilihan!"
    Christ mengatupkan dan membuka mulutnya berkali kali sambil melongo, dia menggeleng seakan ingin mengatakan sesuatu.
    "Tidak,,, tidak..."
    "Ya, kamu tahu, dia bertempur sampai akhir demi melindungi teman temannya! Kau tahu karena apa? Karena kau menjebak mereka semua, dan memaksa Alvin untuk berkorban tanpa pilihan apapun, hingga dia terpaksa dirawat dirumah sakit!"
    Christ kehilangan kata katanya, dia melepas kacamata cokelatnya, kemudian memijit keningnya.
    "Dan kau memaksanya... Tidak, kau memaksa kami berdua untuk saling bertarung. Sebenarnya aku menolak untuk menyerangnya, tapi Alvin sudah terlanjur menganggapku sebagai musuhnya, dan sekarang kami jadi seperti ini, aku harus berjuang agar bisa terus bertahan disisinya mesti dia menolakku, karena kamu!"
    "...................................................................."
    Christ hanya menatapku dengan pandangan yang susah diartikan, dia menatapku lekat, sesekali menerawang ke dalam mataku.
    "Jadi, kamu berpikir aku akan mencelakakannya sekali lagi, begitukah..?"
    Christ menatapku lekat, aku mengangguk, dan dia menghela nafasnya dengan berat.
    "Kamu ingat, aku pernah bercerita aku menyukai laki laki saat di rumah sakit, Rio? Ah, terimakasih..."
    Christ mengambil piring piring berisi makanan yang disajikan oleh waitress. Wanita muda itu hanya menatap kami dengan pandangan takut, kalau kalau kami akan mendadak berkelahi disini.
    "Kau ingat saat itu? Orang yang kumaksud waktu itu adalah Alvin..."
    Sekarang aku yang harus mengerutkan keningku, menatapnya dengan pandangan tak percaya.
    "Kamu menyukai Alvin?"
    Christ tersenyum datar dan mengangguk, dia mengangkat tangannya dan membuat huruf V dengan jarinya.
    "Entah kenapa, dia memiliki aura yang berbeda, aku merasa harus selalu ada di sampingnya, aku harus mendekapnya, dan aku benar benar senang saat terkadang dia menghubungiku karena dia memerlukanku, walaupun itu hanya sebagai teman bicara, tapi bagiku waktu saat kami hanya berdua terasa sangat istimewa..."
    Kulihat wajah Christ sedikit bersemu merah, Ia menundukkan kepalanya sedikit, dan mengaduk aduk minumannya dengan gugup.
    "Aku tidak penah menyukai laki laki, dan sampai sekarang pun tidak ada yang lain yang menarik perhatianku, kecuali dia..."
    Christ menarik nafasnya.
    "Aku masih tertawa kalau aku ingat dia dan kembarannya, siapa namanya? Arvin, benar. Aku selalu tersenyum saat ingat mereka berpelukan dalam kondisi telanjang di kamar rumah sakit."
    Christ menutup matanya, menengadah ke atas.
    "Aku juga kuatir saat aku melihat lukanya terbuka kembali karena dia terjatuh, kau tahu? Aku selalu mengambil shift malam, dan meminta pergantian shift agar tidak satu shift denganmu, supaya aku bisa memperhatikan dan menjaganya saat kau tidak ada disana, jadi aku bisa memastikan dia aman dengan tanganku sendiri. Aku menghabiskan waktuku setiap malam untuk berdiri di depan jendela kamarnya hanya untuk memastikan dia mendapatkan semua kebutuhan yang dia perlukan. Tidak adil memang, apalagi aku adalah dokter di rumahsakit itu, tapi tetap saja, perasaanku tidak mengijinkanku untuk meninggalkannya, aku selalu kuatir saat aku tidak berada di dekatnya..."
    Christ tersenyum, dia menatapku, kemudian mendorong piring kentang ke arahku.
    "Makanlah... Kamu belum makan kan? Aku mengenalmu, kamu pasti kepikiran sampai ga bisa makan kan?"
    Aku hanya membuang pandanganku darinya.
    "Kau tahu, aku memang orang yang jahat, tapi aku tahu bagaimana caranya menyayangi, mungkin memang caraku yang salah, tapi ketahuilah, aku menyesal karena itu..... Dan mungkin sekarang aku menerima karmaku..."
    Ujarnya sambil menerawang ke arah luar, memandangi kendaraan yang berlalu lalang menembus langit sore.
    Aku terdiam, hanya bisa mendengarkan, tidak tahu apa yang harus aku katakan.
    "Sekarang aku yang bertanya, sebenarnya saat perang itu, saat aku mengadu domba Aronia dan Harmonia, kamu sebagai High Priest di Aronia bisa saja memilih untuk tetap diam, tapi kenapa kamu memutuskan untuk maju menyerang?"
    Christ menatapku dengan santai.
    Aku terdiam.
    Memang benar, saat itu aku bisa saja menolak keputusan parlemen dan tetap mengambil sikap diam, tapi karena tidak tahan dengan semua tekanan dari mereka, akhirnya kuputuskan untuk mengikuti keinginan mereka.
    "Dan kutebak kamu baru tahu kalau kamu berhadapan dengan Alvin saat perang sudah berlangsung benar? Bukankah setelah itu kau bisa saja menarik pasukanmu mundur? Bukankah dengan begitu Harmonia juga tidak akan punya alasan untuk menggempur Aronia?"
    Kembali mulutku dikunci untuk menjawab.
    Benar, semua yang dikatakannya benar, tapi karena aku terlalu pusing dengan semua yang dikatakan parlemen, akhirnya aku memutuskan untuk menjauh dari Alvin.
    Ya, saat itu aku memutuskan untuk menjauhinya.
    Dan aku menyesal!
    "A..Aku menyesali keadaan itu, dan aku juga tidak punya pilihan..."
    "Kalau begitu kita impas...?"
    "Mana mungkin kita impas Christ! Kau menyiksa Alvin dengan sengaja, karena memang kau menginginkannya, sedangkan aku, aku ditekan oleh berbagai pihak! Mana bisa kau bilang itu impas?"
    "Kalau kau ditekan, mana usahamu untuk mempertahankan kekasihmu? Bukan malah meninggalkannya?"
    Christ menatapku dengan wajah meremehkan, tapi segurat kesedihan tampak di wajahnya.
    "Andai kau tahu, aku pun memiliki alasan kenapa aku melakukan semua itu padanya dulu..."
    Christ bergumam dengan suara rendah.
    "Apa alasanmu? Kenapa kau melakukannya?"
    Tanyaku dengan tidak sabar, tapi Christ hanya tersenyum dan menggeleng.
    "Kau bohong! Kamu cuma mengarang semuanya supaya kamu bisa bebas dari dosa!"
    Christ tampak memandangku dengan wajah kesal.
    "Diam!"
    Aku terkesikap, ini pertama kalinya Christ marah dan membentakku, aku terkejut karena ini pertama kalinya aku melihat wajah marahnya di hadapanku.
    "Kamu terlalu dimanjakan! Semua yang kamu pikirkan selalu kamu anggap benar! Kadang ada hal yang perlu dilihat dari dua sisi! Kamu melakukan kesalahan dan aku juga! Begitu juga dengan kesempatan untuk Alvin!"
    Aku mengerutkan keningku.
    "Aku berkata apa adanya!"
    Aku hampir kehabisan kata kata untuk mengembalikan ucapannya.
    "Okay, berarti kita berdua punya kesempatan yang sama...."
    Christ menatapku dengan tatapan tajam penuh tantangan.
    Aku mengangguk, dan membalas tatapannya.
    "Tapi hanya ada satu pemenang...."
    Lama Christ dan aku saling memandang, akhirnya Christ mengalah dan menghela nafasnya.
    "Baiklah, baiklah, kalau begitu...
    Christ menyeruput sedikit minuman dari gelasnya yang sedaritadi masih utuh.
    "Jadi apa yang kamu maksud dengan pemenang? Kamu ingin berlomba?"
    Aku mengangguk, membiarkan keegoisanku menguasai pikiranku, menghadapi Christ.
    Christ menatapku tak percaya, dia memandangku dengan tatapan penuh selidik.
    "Jadi, apa yang mau kita lakukan, yo?"
    Christ mencomot sepotong roti bakar bertabur cokelat dari atas piring, dan menatap ke arahku sambil mengunyah rotinya perlahan.
    "Lanjutkan perang ini..."
    Christ mengerutkan dahinya, sekali lagi aku berhasil membuatnya kebingungan.
    "Kita akan bertempur nanti, dan menentukan siapa yang menjadi pemenang untuk ini..."
    Roti yang sedang digigit Christ terjatuh dari mulutnya, dia melongo dan melotot memandangku tak percaya.
    "Kamu menggunakan perang ini sebagai taruhan?"
    Aku mengangguk mantap.
    "Bagaimana kalau ternyata pasukanmu tidak berhasil menyerang sampai ke Great Temple?"
    "Berarti aku kalah, bersamaan dengan jatuhnya pasukan kami..."
    "Tapi, kau tidak berbicara dengan wajah seakan kau bersiap kalah...?"
    Christ memandangiku dengan tatapan bingung.
    "Tentu, karena aku akan bertempur dan akan kupastikan aku akan merebut Alvin darimu..."
    "Begitukah? Kamu melakukan semua ini hanya demi Alvin? Seberharga itukah dia bagimu...? kamu tahu? Kalau Alvin mendengar pertandingan ini dia mungkin akan mengamuk dan membenci kita, apa kau memang benar benar berniat mempertaruhkan semuanya hanya untuk merebutnya dariku?"
    Aku mengangguk dengan mantap.
    "Ya! Selama hidupku, walau selama ini aku memang ada ketertarikan dengan laki laki, tapi belum ada seorang lelakipun yang bisa menerobos hatiku, tapi Alvin, dia berhasil menarik hatiku dari pertama kami bertemu..!"
    Christ tertawa mendengar kata kataku, membuatku mendengus dengan sebal ke arahnya.
    "Rio kecil sudah besar sekarang! Ahahahaha! Baru kali ini aku melihatmu mau berkorban dan mengalah! Walau masih egois seperti biasa..."
    Christ tertawa semakin kencang, dia menepuk nepuk perutnya dengan geli.
    Semenit kemudian, Christ akhirnya mengakhiri tawanya.
    "Rio, bisa aku minta sesuatu..?"
    Christ memandangku dengan serius. Dia tampak akan mengatakan sesuatu yang benar benar penting.Aku mengangguk.
    "Aku mendengarkan..."
    Ujarku, kemudian melipat kedua tanganku di meja.
    "Kau tahu, kita sudah bersahabat sejak kecil, dan kalau karena ini kita berkelahi, rasanya tidak lucu, jadi..."
    Dia melirik ke arahku.
    "Bisakah, siapapun yang menang nantinya, kita tetap bersahabat, andaikan kau menangpun, kau tidak akan menjauhiku nantinya, bisakah? Bisakah kita kembali seperti dulu?"
    "Entahlah, aku masih tidak bisa menerima semua perbuatanmu dulu, kau benar benar keterlaluan saat itu, kau tahu...?"
    Christ mengangguk, wajahnya tampak kecewa.
    "Tak bisakah kau memaafkanku...?"
    Aku sejenak ragu, tapi akhirnya kuputuskan untuk memberikan jawaban abu abu dengan mengangkat kedua bahuku ke arahnya.
    Christ menghela nafasnya dengan sedih.
    "Kecuali kalau kau bisa memberikan alasan yang tepat."
    Ujarku, yang langsung dibalas dengan tatapan ragu darinya.
    Sejenak dia menatapku dengan ragu, tapi akhirnya dia membuang mukanya.
    "Kalau begitu kamu tetap bersalah di depanku..."
    Aku mengambil tasku, dan berdiri dari kursiku.
    Christ tampaknya hendak berusaha menahanku, tapi aku segera beralih dengan tergesa, agar dia tak mampu mengejarku.
    =======================================
    Silver's View

    "Rio!"
    Christ menjangkaukan tangannya, berusaha menggapai sahabatnya yang pergi menjauh, tapi sahabatnya itu terus berlalu, entah mendengarnya ataupun tidak.
    "Ah...."
    Christ kembali duduk, meremaskan kedua tangannya di rambutnya, dan sejenak merenung.
    Tak lama kemudian dia kembali menegakkan tubuhnya, sebuah senyuman tampak jelas di wajahnya.
    "Ah, banyak sekali makanan, dan dia pergi! Mbak! Duduk disini! Temani aku makan!"
    Christ dengan santai memaksa duduk seorang waiter yang dengan salah tingkah terpaksa duduk di depannya tanpa berani menatap ke arah Christ.
    "Makan aja habiskan! Aku ga mungkin bisa ngabisin sendirian!"
    Christ mencolek saos dengan kentang gorengnya, kemudian memasukkannya ke mulutnya.
    Matanya menerawang ke jalanan di luar sambil mengunyah kentang di dalam mulutnya.
    "Alasan, kamu mau alasan Yo....?"
    =======================================

    Strategy Room, Valerie, Valerie Distric

    Ruangan remang dengan penerangan lilin dan obor itu tampak penuh sesak dengan manusia manusia berwajah murung.
    Sesekali gertakan gigi terdengar, tampak penuh dengan kemarahan dan kekecewaan.
    =======================================
    Rex's View

    "Kita menang, Valerie milik Arsais, dan Almekia milik Pixel sekarang resmi menjadi domain kita."
    Kanna mengumumkan sebuah pengumuman yang sama sekali tidak penting.
    Semua orang bersukacita dalam wajah muram mereka, pikiran masih melayang pada kejadian perang itu.
    "Kita harus mengakhiri ini secepatnya, sebelum orang seperti Yuber muncul dan menambah banyak korban dengan tangan dinginnya..."
    Windy berbicara dengan nada berwibawanya yang selalu menjadi ciri khas kedua wanita penyihir tertinggi di game ini.
    "Yeah, aku pun tidak menyangka kalau Eightfold rune disalahgunakan seperti itu..."
    Sierra memainkan rambut putihnya dengan telunjuknya, sambil memasang wajah sebal yang terlihat begitu lucu.
    "Lord Rex, kita tidak bisa tinggal diam, mereka bisa membunuh begitu banyak orang hanya untuk kesenangan, kita harus mengakhiri ini semua..."
    Aku mengangguk mendengar perkataan Lazlo, sesekali aku menatap ke arah Anabelle yang hanya melipat kedua tangannya.
    Ya, semua orang masih tampak terpukul, bagaimana tidak, kami baru saja melihat seorang Jendral perang menghabisi seluruh pasukannya.
    Ya, seluruhnya, tanpa terkecuali seorangpun.
    Dengan menggunakan True Runenya, dia mengambil kesempatan hidup banyak orang, dan yang lebih buruk, dia menganggapnya sebagai permainan, yang bisa ditinggalkan saat permainannya mulai membosankan.
    "Ya, kita akan menyerang Harmonia, esok...."
    Aku bergumam, semua orang tampak mengangguk setuju.
    Kelima Bishop berdiri di depan pintu masuk ruang strategi, sementara Viktor tampaknya sibuk mengorganisir pasukan untuk memperkuat Valerie dan Almekia Walls, Dinding perbatasan kedua distrik dengan Central Distric.
    "Saat ini kita membagi pasukan kita jadi terlalu tipis karena harus mempertahankan empat gerbang perbatasan. Perbatasan Almekia - Central, Almekia - Armenia, Valerie - Palatian, dan Valerie Central. Saat ini Viktor, Leknaat, Zepon, dan Ridley sedang dalam komando untuk masing masing benteng, setiap benteng sekarang dijaga oleh sekitar 50ribu pasukan dan jalur komunikasi kita sudah terjalin mulus. Clive dan Rover sekarang menduduki Istana Almekia sebagai penghubung komunikasi dengan Valerie, karena Pixel sekarang berada disini untuk organisir pasukan."
    Keith yang duduk dengan resah menyampaikan laporannya sebagai representatif dari Cardinal Yue yang langsung Log Out setelah perang selesai karena memiliki keperluan.
    Aku mengangguk paham.
    "Kita persiapkan semuanya, esok siang, kita akan menyerang Harmonia, dan bila kita menang ini adalah perang terakhir kita untuk menghabisi Harmonia...."
    Semua orang bernafas dengan lega mendengar keputusanku, keputusan yang aku yakini adalah keputusan final untuk kemenangan kami.
    "Lady Windy, Mistress Sierra, dan Lady Kanna, tolong persiapkan untuk supplai kita, karena Axel sebagai koordinator perbekalan sekarang sedang bertolak ke Almekia sebagai Jendral disana..."
    Ketiga wanita yang aku tatap mengangguk paham.
    Aku segera mengalihkan perhatianku.
    "Lazlo, Viktor, Sergeant Joe, tolong periksa persiapan senjata dan pakaian untuk para pasukan, gunakan dana rampasan perang kita, dan pastikan mereka semua mendapat armor terbaik dan terlengkap yang bisa kalian dapatkan!"
    "Lady Anabelle, pergilah berkeliling, coba rekrut siapapun yang ingin bergabung, dan sisir kalau kalau ada kantung kantung pertahanan Harmonia di sekitar sini, karena nantinya mereka bisa menghambat pergerakan kita, bawa serta beberapa pasukan untuk membantumu..."
    Satu persatu semua orang mendapatkan bagiannya masing masing, sampai akhirnya aku menatap pada kelima Bishop.
    "Kalian belima akan aku bagi menjadi empat team bersama aku dan Cardinal, kita akan membagi pasukan menjadi Empat bagian."
    Semua orang berpandangan, tampak tak mengerti.
    "Tunggu, Alvin, maksudku, Rex, Kamu mau apa? Bukankah sekarang kita tinggal menyerang Central yang berada tepat di depan kita...?"
    Aku menggeleng mendengar pertanyaan Arsais, dan menatap sekeliling.
    "Jangan berpikir yang termudah, karena itu jugalah yang dipikirkan musuh. Justru kita akan membagi pasukan kita, dan menggempur keempat distrik mereka bersamaan esok. Aku akan membagi pasukan menjadi divisi yang sama kuat kemampuan bertarungnya, dan kita akan berpencar, masing masing menyerang satu distrik, sehingga mereka mau tidak mau akan membagi kekuatan mereka. Mereka tidak akan mempertimbangkan ini, karena semua orang pasti akan berpikir kita memfokuskan serangan ke Central. Kalau kita bisa memanfaatkan momentum ini, kita akan membuat mereka kelabakan, dan membagi pasukannya dengan tergesa gesa, sehingga mereka lebih mudah dihancurkan."
    Semua orang mengangguk angguk dengan paham, setelah mereka semua mengerti, akhirnya aku memulai pembagian divisi dari setiap pasukan.
    =======================================
    Valerie Main Hall, Valerie, 21.20

    Aku melangkahkan kakiku dengan mantap ke seluruh bagian Istana, disana sini semua orang tampak bersibuk ria dengan berbagai kegiatan. Tungku tungku milik para pandai besi menyala, memenuhi kegelapan malam dengan percikan bunga api dan suara dentingan yang memecah keheningan, sementara di halaman depan, ratusan kereta kuda berisi senjata dan perlengkapan berperang tampak sudah berbaris rapi, beberapa Duck Clan tampak lalu lalang mengangkut berbagai macam amunisi ke kereta kereta itu, dikomando oleh Kanna.
    "Ah, Lord Rex, anda masih disini...?"
    Aku menoleh ke belakangku, Anabelle turun dari kudanya, di belakangnya ratusan prajurit dengan wajah lelah ikut mendaki turun dari punggung kuda mereka.
    "Lady Anabelle? Selarut ini?"
    Wanita itu tersenyum lebar.
    "Yah, ternyata banyak sekali barrak barak liar di sekeliling dinding perbatasan, dan aku menghabiskan banyak waktu untuk menghancurkannya, aku juga melakukan scouting di sepanjang dinding untuk mengecek kalau kalau ada penghalang pergerakan kita esok. Anda sendiri, kenapa masih disini hingga semalam ini?"
    "Aku harus memperhatikan persiapan ini, aku Komandan perang ini, dan aku bertanggung jawab pada Cardinal untuk kemenangan kita, jadi aku harus berada disini..."
    Anabelle tertawa mendengar perkataanku.
    "Kamu sudah seperti orang tua saja! Bagaimana kalau kita minum?"
    "Tidak, aku masih harus berkeliling..."
    Wanita itu hanya mengangguk paham, kemudian bersama dengan beberapa pasukannya memasuki salah satu bar yang ada di pojok Valerie.
    "Sir Cyrdan...?"
    Sosok yang aku tegur menoleh, keluar dari bawah bayangan pohon tempatnya berdiri, membuatnya nyaris tak terlihat.
    "Lord Rex..... Ya..."
    Cyrdan berbicara dengan suara pelan dan tertahan yang jelas bukan suara manusia. Ia menatapku dari balik tudung kepalanya.
    "Dia, dia menghilang.., Yuber, dia menghilang...."
    Cyrdan berbicara dengan terbata bata.
    Yuber?
    Jadi dia benar benar pergi dari perang ini?
    Kupikir dia hanya melarikan diri, ternyata dia memang benar benar menghilang dari peperangan ini?
    "Jadi, apa kalian akan pergi mencarinya...?"
    Aku bertanya dengan bodoh ke arah sosok tinggi di depanku, samar aku melihat tudung kepalanya bergerak, menggeleng.
    "Tidak, Perang ini akan kuselesaikan, setelah itu kami akan pergi untuk mengejarnya..."
    "Begitukah..."
    Aku bernafas lega dalam hati. Nyaris saja, pikirku.
    Aku kehilangan ribuan tentara.
    Ya, mereka adalah individu yang dikendalikan komputer, dan jelas saja kalau aku beranggapan mereka akan tunduk pada program yang sudah diberikan, tapi tampaknya Cyrdan lebih pintar dari dugaanku, dan dia bisa berpikir layaknya manusia.
    Cyrdan kemudian kembali mundur, dan menghilang di batang pohon tempatnya tadi bersandar.
    Aku menghela nafasku, dan berjalan menjauh dari tempat kami tadi berbicara.
    "Lord Rex..."
    Lagi lagi namaku dipanggil dari belakang.
    Aku terpaksa kembali berhenti, dan menoleh ke belakang.
    "Keith? Clive? Rover? Kalian ada disini?"
    Mereka mengangguk, dan beringsut maju mendekatiku.
    "Waktu kami, sudah habis..."
    Aku mengerutkan keningku, mencoba memahami perkataan mereka.
    "Waktu apa?"
    "Waktu yang diberikan untuk menemanimu, sudah habis..."
    "Maksudmu?"
    Keith tersenyum, dia bergerak maju.
    "Lord Rex, kau pikir bagaimana caranya kami bisa mendapat level yang sama tingginya dengan karakter lama kami dalam waktu begitu cepat?"
    Aku terdiam, menunggunya meneruskan kata katanya.
    "Dan menurutmu bagaimana bisa Sword dan Shield Rune ini masih menempel padaku padahal kami adalah karakter baru?"
    Keith menunjukkan kedua punggung tangannya, lambang perisai dan pedang tercetak di kedua tangannya.
    "Maksud kalian, kalian adalah...?"
    "Kami bukan karakter baru..."
    "Kami?"
    "kami?"
    "Well, maksudku, aku, Rover dan Clive adalah karakter baru..."
    Keith meralat kembali kata katanya, sambil menggaruk rambutnya.
    "Bagaimana mungkin?"
    Keith tersenyum.
    "Gate Rune bisa membuat itu terjadi..."
    Aku mengernyit mendengar penjelasannya.
    "Aku memaksa Windy dan Leknaat untuk membawaku kembali, agar aku bisa kembali bertempur disini, dan menyamarkanku sebagai karakter baru, tapi tampaknya gagal, walau menggunakan Gate Rune pun, game ini tetap memiliki peraturan dunia, dimana yang mati tidak bisa bersisian dengan yang masih hidup."
    "Jadi?"
    "Ya, aku ketahuan, dan game itu mulai mendeteksiku sebagai virus, dan saat ini, aku sudah dideteksi oleh mereka, Leknaat dan Windy pun tidak bisa melakukan apapun, karena peraturan itu sudah dibuat semenjak game ini ada..."
    "Dan sekarang kau akan menghilang? kau tinggal membuat karakter baru, beres kan?"
    Keith menggeleng.
    "Tidak, mereka juga mendeteksi IP adressku sebagai pelaku pelanggaran di game, dan akan menyegelnya segera setelah karakter ini menghilang, yang artinya, aku tidak akan bisa bermain lagi disini..."
    Aku mengernyitkan keningku.
    "Kenapa kau mau melakukan itu hanya untuk membantu peperangan ini? Padahal bantuanmu tidak sebanding dengan akibatnya."
    Keith menggeleng.
    "Tidak, bukan karena itu..."
    Keith mendekatiku.
    "Aku kembali, untuk menemani Cardinal..."
    Aku mulai melihat tubuhnya menjadi sosok samar.
    Keith memandangi tangannya yang tampak transparan.
    "Ah, rupanya sudah ketahuan..."
    Dia tersenyum, dan menepuk bahuku.
    "Kumohon, Cardinal memang tampak kuat dan berwibawa di luar, tapi di dalamnya, dia adalah anak yang rapuh..."
    Keith terbatuk pelan.
    "Tubuh ini tidak akan bertahan lama, aku hanya memohon padamu, memohon hal yang belum sempat aku minta padamu, memintamu untuk kembali ke sisinya, kembali menemaninya, karena baginya hanya kau yang dianggapnya sebagai pasangannya. Dahulu dia selalu memasrahkan semuanya padaku, tapi sekarang, kupikir kau bisa lebih baik dariku, karena dia yang memilihmu, dia memilihmu sebagai tempat hatinya, kumohon, hilangkan keraguanmu, dan kembalilah ke sisinya..."
    Tangannya yang menyentuh bahuku mulai terlihat transparan, begitu pula dengan senyuman tipis di wajahnya.
    "Kedua Rune ini adalah penyeimbang Rune milik Cardinal, Beginning Rune akan sangat berbahaya bila tidak disegel oleh dua rune ini. Bisakah, kau ambil Rune ini dariku?"
    "Tunggu dulu! Aku belum bilang aku akan menemani Cardinal! Kenapa kau bisa langsung menyuruhku seperti itu?"
    Keith tersenyum tipis, setipis sosoknya yang nyaris menghilang.
    "Jangan membohongi hatimu, benteng yang kau bangun bukan hanya melindungi hatimu, tapi juga memenjarakannya, jangan kau bangun tembok palsu yang hanya membuatmu semakin merasa terkurung, aku bisa melihat, saat setiap kali kau menatap Cardinal, aku tahu bahwa kau hanya menutupi perasaanmu..."
    Keith membuat lidahku membeku, aku hanya berdiri mematung.
    "Kau bisa melihat kesungguhannya benar? Bisa melihat betapa dia benar benar mencintaimu? Buang keraguanmu..."
    Sosoknya terlihat memudar, dan sesekali bayangannya tampak bagaikan tertiup angin.
    "Tidak ada waktu, aku yakin kau bisa mengerti yang aku pikirkan. Aku akan menggunakan nyawaku yang tersisa untuk memindahkan Soul eatermu ke dahimu, jadi, terimalah, kumohon, gantikan aku, dan jadilah orang yang selalu menemaninya disisinya."
    Keith tersenyum kemudian ia memegang tangan kananku, tempat Soul Eater Rune bersemayam.
    "O Almighty Life and Death Rune, I Sacrifice my only soul to your feast, grant me my wish, may you move your sanctuary to the forehead of your master..."
    Aku merasakan teriakan Rune itu di dalam kepalaku.
    =Hei! Siapa dia! Bisa bisanya memerintahku hanya dengan membayar satu nyawa? Dia pikir siapa dia?=
    +Kau Pikir siapa dirimu? Berpindah!+
    =Ha? Rex? Kau memerintahku? Bukannya tadi kau tidak setuju?=
    +Kubilang berpindah!+
    =Dasar anak labil! Makanya kalau cinta bilang aja cinta! Ahahaha=
    +CEREWET!+
    Lambang di tanganku menyala dan memudar, berubah menjadi sebuah bulatan kehitaman yang melayang dan masuk ke dalam dahiku, memberikan rasa sakit luarbiasa padaku.
    "Uhh...."
    Keith tertunduk lemas, nafasnya tampak memburu.
    "Kau tidak apa apa?"
    "Jangan bergerak! Waktunya singkat! O Sword Rune, O Shield Rune, I order you as your Vessel, may you depart from my body, and lay your self to this new Vessel!"
    Dua buah tiang cahaya muncul di atas kami masing masing, dan melewati tiang itu, perlahan kedua Rune di tangan Keith berpindah dan melekat di tanganku.
    "Selesai sudah..."
    Keith segera ambruk setelah kedua tiang cahaya itu terangkat kembali ke langit, aku menyangga tubuhnya di pangkuanku, Rover dan Clive tampak menatap kami dengan iba.
    "Lord Rex...."
    Aku menoleh, menatap Keith yang tampak sudah seperti hologram transparan.
    "Aku percaya kau bisa menjaga Cardinal lebih baik daripada diriku, Kutitipkan dia padamu...."
    Sosoknya menghilang, menjadi butiran butiran cahaya, yang melayang bebas dari kedua tanganku, terbang bersama angin.
    "Terimakasih...."
    Sayup aku seakan mendengar angin berbicara padaku, bersamaan dengan terpaan angin yang lembut membelai wajahku.
    Aku menutup mataku, menikmati terpaannya di wajahku, menikmati hancurnya benteng yang sudah mengurung hatiku.
    =======================================
  • waww panjang..
    baca ntar siang aja deh... ;))
  • Gg ganggu lah :)
  • @yuzz kebiasaan deh,,

    baru baca,, smalem libur sih, jadinya ga aktif malem2 ;)

    akankah ini jadi kesempatan buat Jyo/Rio/Yue untuk memenangkan hati Alvin??
    semoga :)
  • Oooohhh keiith . Keknya dia sekong juga ya :)) .so sweet bgt .

    Memangnya bisa ya 1 orang punya lebih Dr 1 rune ? Itu soul eater berantem mulu dah ªϑª temennya skrg --"
  • bingung mau komen apa..

    ahh iya,,, kenny kemana????... kangen nihhh
  • ahuhuhu....
    keith metong.. trus clive sm rover ga jd metong jg tuh..? belum ya?

    wah kennyku jadi jenderal.. jenderal superr cutee.... :-*
  • Aduhhh jatuh hati pada Christ /:)
  • karena ga nongol2 ditarik aja deh...
    @idhe_sama knapa..? aku udah bikin km badmood ya..?
    #mata berkaca2 :(
  • #peluk @yuzz erat

    never mind... im ok. just have any bad day
  • ohh... smoga segera kelar masalahnya n have a nice day tomorrow.. :)
    #hugg back
    puk puk @idhe_sama
  • @idhe_sama idem @yuzz
    get better soon
    :D
Sign In or Register to comment.