BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Antara Aku, Dirimu, dan Dirinya : Cinta Di Sastra Jepang [Update Hari ini Bagian 21 (END) + OS]

2456729

Comments

  • @kiki_h_n dimana aja juga boleh...^^
    saya membebaskan imajinasi pembaca saja...^^v

    @gr3yboy
    haha iya... gitu... dan pengennya sih kayak si tokohnya yg bener2 laporan dan critain apa yg terjadi pada dirinya..
  • Oh aku paham maksud kamu bro ^^
  • lanjut....
  • BAGIAN 4

    Masih dengan Dira, sekarang aku sedang berkeliling area fakultas sastra di kampusku. Kantin, kelas, lab bahasa, ruang dosen. Aku mencari Regi tapi tidak ketemu. Aku tanya sana sini tapi tidak banyak mahasiswa yang tahu dimana Regi. Masih mencari, aku berbelok ke perpustakaan. Kutaruh tas di penitipan barang dan tak lupa mengisi daftar hadir yang teronggok di pintu masuk. Lantai satu tidak ada. Kucoba lantai dua.

    Di lantai dua kuperhatikan lorong rak demi rak. Kulihat beberapa bilik baca yang berisi mahasiswa yang sedang membaca di sana. Aku menghampiri bilik baca yang paling pojok. Punggung itu. Aku mengenal punggung itu. Kupeluk orang ini dari belakang.

    “Aishiteru…” Kataku berbisik pada orang ini.

    “Hahaha.. kangen ya, Dir” Kata Dimas sambil menoleh. Dimas adalah salah satu teman dekatku. Dia memang paling senang membaca, tak heran aku bertemu dengannya di sini. Ya, aku, bukan, bukan aku saja, tapi yang lainnya juga kangen sama temen yang satu ini. Kabar kepulangan dia dari Jepang kemarin sore ternyata benar. Saking sudah lama tidak bertemu dengannya, Aku jadi lupa tujuanku ke perputakaan dan keasyikan mengobrol tentang pengalamannya ke Jepang kali ini.

    “Mas, kamu kok gak bilang kalau sudah pulang?” Tanyaku padanya.

    “Maaf. Handphoneku mati dan aku lupa kalau belum memberitahumu” Katanya.

    “Gimana, gimana? Seneng-seneng di sana?” Tanyaku penasaran.

    “Haha… ya gitu deh. Masih sama kayak dulu. Kunjungan-kunjungan ke kampus di sana dan ke beberapa tempat cagar budaya gitu” Ceritanya.

    “Wah, seru ya. Aku pengen banget ke sana, Mas. Pertukaran pelajar pun, yang kemarin gagal seleksinya… Sayang banget. Kalau ikut kan, aku bisa pergi bareng kamu, Mas” Kataku.

    “Hahaha… Iya. Aku juga pengen banget pergi ke sana bareng kamu, Dir. Suatu hari, pasti kita ke sana bareng ya” Katanya sambil menjabat tanganku. Aku mengangguk tanda menyetujui.

    “Oh iya, Mas, kamu kenal Regi gak?” Tanyaku pada Dimas ketika teringat kembali apa tujuanku ke perpustakaan.

    “Regi… yang suka menyendiri bukan?” Aku mengagguk atas pertanyaan Dimas.

    “Iya. Kok tau?” Tanyaku. Aku tidak menyangka kalau Dimas yang sering pergi-pergian ini tahu tentang Regi, padahal banyak teman sejurusan di sini yang tidak kenal Regi.

    “Enggak. Tau aja. Ada apa emang nyari dia?” Dimas balik bertanya.

    “Ada urusan. Kamu tahu dimana dia?” Aku bertanya lagi.

    “Tuh, tadi aku lihat dia di ruang skripsi” Katanya sambil menunjuk ruangan yang dimaksud.

    “Ya udah, aku ketemu Regi dulu ya” aku bangkit dari kursi. Tapi tanganku ditarik Dimas, aku berbalik dan kami saling berhadapan sangat dekat. Aku terdiam dan menahan rasa malu.

    “Nanti malem ke tempatku ya. Ajak yang lain. Ada oleh-oleh buat kalian” kata Dimas sambil berbisik. Tangannya masuk ke dalam saku celanaku.

    “Jiss!! Kirain apaan. Kaget nih! Biasa aja juga ngomongnya!” Semburku sambil menarik mukaku dari hadapannya. Mukaku memerah.

    “Haha.. sori. Tapi serius nih nanti malem dateng ya!” Kata Dimas.

    “Iya.. iya.. “ Jawabku sambil berlalu menuju ruang skripsi.

    “Aku bawa ini ya” Kata Dimas. Sebungkus rokok yang ada di sakuku ternyata diambil oleh Dimas. Dimas memang paling kesal kalau ada di antara kami yang merokok. Dia paling tidak tahan dengan asap rokok, sehingga peraturan pertama kalau bergaul dengannya adalah no smoking. Tapi anehnya, Dimas masih lunak-lunak saja kepada aku dan Tommy yang kadang suka mencuri-curi kesempatan untuk merokok.

    Kutengokkan kepala ke dalam ruang skripsi. Ruang ini terbagi dua : yang luas adalah ruang rak-rak skripsi dan yang lebih kecil adalah ruang baca. Aku masuk ke dalam ruang baca dan kulihat Regi sedang membolak-balik skripsi di salah satu bilik baca.

    “kamu di sini rupanya” kataku pada Regi sambil duduk di bilik baca sebelahnya.

    “Oh Dir, ada apa?” Tanya Regi sambil menutup skripsi yang dia baca. Perhatiannya teralihkan padaku.

    “Enggak. Tadi gua lupa mau ngasih kaos sama kupluk yang basah kemarin. Itu, gua bawa. Ada di tas di penitipan barang” Jawabku.
    “Oh nyantai aja” Jawabnya singkat.

    Sebenarnya aku masih malu bertemu dengan Regi gara-gara insiden di bus tadi. Cuma apa mau dikata, aku berusaha tidak memikirkan apa yang telah terjadi. Toh, Regi pun tidak mengungkit-ungkitnya.

    Kamipun mengobrol cukup lama di sana sampai kami diusir karena tertawa terlalu keras dan memutuskan untuk keluar perpustakaan. Tidak lupa kuambil tas dari penitipan barang. Regi pun mengambil tas dan jaket yang dia titipkan sebelumnya.

    “Dir, makasih ya udah mau ngajak gua ngobrol beberapa waktu terakhir sampe sekarang” Kata Regi ketika kami berada di gasibu di halaman depan fakultas.

    “Ah, nyantai aja kali, Gi. Gua juga makasih karena gua sekarang punya temen ngobrol baru lagi setelah sekian lama gua seringnya maen berlima sama anak-anak yang lo bilang Dimas cs. Hahaha” Kataku dengan santai samba menyerahkan kaos dan kupluknya.

    “Lo mending Dir, punya temen deket kayak mereka. Gua, selama gua kuliah di sini sampai semester delapan gini, gua belum punya temen deket. Kelompok pas ngerjain tugas sih ada, tapi hanya sebatas ngerjain tugas dan praktikum. Tapi kalau buat main, mereka lebih memilih menyisihkan gua” Ceritanya dengan nada rendah seperti mengeluh.

    “Jangan gitu lah.. Mungkin mereka belum tahu aja cara menyiasati bagaimana berteman dengan lo yang pendiem dan tertutup. Buktinya, gua biasa aja tuh ngobrol sama lo” Selorohku membuat Regi sedikit tersenyum.

    “Iya kali ya. Gua juga kadang males sih buat ngobrol sana sini. Gua lebih seneng sendirian dibandingkan harus ribut-ribut” Kata Regi.
    “Oh, sori. Gua ganggu kalau gitu” kataku sambil bangkit dari duduk.
    Eh, bukan. Bukan maksud gua gak mau ngobrol sama lo..” Kata Regi menahan tanganku.

    “Ahaha.. gua becanda kali” kata ku sambil duduk lagi “Nah, kamu aja yang terlalu serius menanggapi pembicaraan orang. Mungkin saja orang lain ingin bercanda dengan lo, tapi lo nya nunjukkin kalo gak suka atau gak tertarik dengan usaha mereka ngobrol sama lo” Jelasku sok tahu.

    “Hm.. mungkin..” Regi mengangguk-angguk

    “Gi, lo ngerasa gak sih hari ini gerah banget?” Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan mulai mengipasi badan yang kepanasan “Lo pake jaket lagi. Gak kepanasan?” Tanyaku pada Regi yang memakai jaket hitam yang cukup tebal.

    “Um.. iya sih.. tapi kayaknya sebentar lagi bakal hujan” Kata Regi santai. Dia hanya menurunkan resleting jaketnya.

    “Becanda lo.. mana ada hujan. Panas-panas gini!” Selorohku sambil memukulkan buku yang kupegang padanya.

    “Lo cenayang ya, Gi!!” Kataku sambil berlari mencari tempat berteduh. Benar apa yang dikatakan Regi, setelah mengobrol sekitar dua jam di gashibu tadi dan berniat untuk pulang, hujan turun di perjalan menuju halte bus.

    “Hahaha.. bisa aja lo” kata Regi yang menaikkan ponco jaketnya agar tidak kehujanan.

    Sialnya, tidak ada tempat teduh sampai kami tiba di halte bus. Walaupun berlari sepanjang selasar menuju gerbang kampus, bajuku basah semuanya. Melihat aku basah kuyup, Regi mengeluarkan selembar handuk kecil berwarna biru dan disampirkannya ke kepalaku.
    “Pakai ini. Masuk angin nanti” kata Regi sambil mengulurkan kayu putih. Lama-lama aku yakin kalau dia adalah seorang cenayang. Dari mulai aku bohong soal fakultas ketika pertama bertemu, hujan hari ini dan handuk serta kayu putih ini. Dia seperti sudah tahu semuanya akan terjadi dan dibutuhkan.

    “…Walaupun gua ngerasa aneh. Tapi, makasih bro!” Kuambil kayu putih dari tangannya dan kubalur ke bagian dada dan leherku setelah sebelumnya rambut kukeringkan dengan handuk yang diberikan Regi.

    “Punggungnya juga” kata Regi menyarankan.

    “Mana nyampe gua” Aku berusaha menyentuh bagian punggungku.

    “Sini..” Regi mengambil kayu putih dari tanganku dan menuangkannya ke tangannya. Kemudian tangannya masuk ke dalam kaosku yang basah dan mengusap-usap punggungku sampai kayu putih terbalur rata di punggungku.

    “Udah, Gi. Malu gua” Kataku ketika beberapa pasang mata melihat ke arah kami berdua.

    “Nyantai aja kali. Daripada lo masuk angin” Katanya Regi cuek.

    Bus yang kami tunggu akhirnya tiba di halte. Bus AC di cuaca seperti ini dengan baju yang kuyup… salah besar! Selama di bus, aku menggigil kedinginan. Regi memberikan jaketnya padaku dan dia menyenderkan kepalaku ke bahunya. Selama diperjalanan, kami tidak mengobrol dan aku hanya berusaha untuk beristirahat. Kuhirup hawa hangat dan segar dari hidungku. Regi telah mengoles hidungku dengan minyak kayu putih.

    turut mengundang:
    @AkselEE @LockerA @gr3yboy @bibay007 @AwanSiwon @dimasera @Touch @CoffeeBean @kiki_h_n
  • ah, aku termasuk tamu undangan... Hehehe,
    si dira sama dimas ya, yaa, yaaa...
  • edited June 2012
    -deleted-
  • Daripada gak da kerjaan, mending lanjutin ah... ^^v
    BAGIAN 5

    Orang yang berada di sebelahku adalah Regi, teman baruku. Maaf, aku baru saja terbangun dari tidurku, jadi kalau melantur harap dimaklum. Aroma dan hangatnya kayu putih yang Regi balurkan pada punggung dan hidungku tadi membuatku tertidur sepanjang perjalanan. Kulihat Regi masih terjaga disebelahku. Karena masih lelah, aku hanya terdiam dan menyandar ke jendela bus, tapi sudah tidak bisa tidur lagi.

    “Lo mampir ke kostan gua aja. Kostan gua lebih deket dari sini daripada kostan lo” Kata Regi padaku ketika kami sampai di halte bus tempat biasa bertemu kalau mau berangkat ke kampus.

    “Emang lo tau kostan gua?” Tanyaku heran.

    “Udah. Jangan banyak tanya. Ayo. Baju kamu basah. Harus diganti!” Katanya sambil menarik tanganku.

    Benar. Lagi-lagi benar. Kostannya memang lebih dekat dari kostanku. Aku hanya menganggapnya salah satu dari beberapa kebetulan saja. Kostannya tidak jauh dari halte bus itu. Masuk ke jalan di dekat halte, kemudian lurus terus. Kostannya adalah yang berwarna putih berlantai dua. Cukup banyak kamar di lantai satu, namun hanya ada tiga kamar saja di lantai dua.

    “Ayo masuk” Regi membukakan pintu kamarnya. Kamarnya cukup tertata dengan rapi. Aku melepas sepatu dan menaruhnya di rak sepatu di dekat pintu. Aku duduk di tepi kasurnya dan melepaskan tas dan jaket Regi. Kulihat ke sekeliling, banyak barang-barang yang unik yang tampaknya dibeli dari Jepang: kipas kertas, lukisan kain, action figure gundam, beberapa poster yang masih digulung, dan masih banyak lagi. Uniknya, beberapa barang di ruangan ini aku juga mepunyainya. Aneh.

    “pakai ini” Regi melemparkan kaos tangan panjang berwarna biru padaku ”Ganti baju basahmu dengan kaosku. Nanti kamu masuk angin” katanya. Sekarang dia sedang menyeduh coklat panas.

    “Sori, Gi. Gua jadi ngerepotin”

    “Santai aja lagi” Regi membuat coklat panas satu gelas lagi.

    Aku membuka kaos basah dan memakai kaos yang tadi diberikan Regi.
    “Ngomong-ngomong, lo masih fitnes?” Tanya Regi

    Cukup! Lagi-lagi benar. Dia membicarakan sesuatu yang benar lagi tanpa aku mengatakan apa-apa kepadanya

    “Lo tau kalo gua fitnes?? Ya ampun. Gi, dari awal gua bingung lo kok kayak tahu apapun deh. Bapak lo dukun ya?” Aku seakan tidak percaya kalau dia tahu berbagai hal yang belum aku tanyakan atau katakan. Masalah hujan, aku juga tidak tahu. Tapi pas sekali dengan keadaan yang selalu kebetulan ketika bersama Regi.

    “Hahaha… Gua nebak aja Dir. Badan lo gak kurus tapi berisi, tadi gua liat perut lo juga bagus. Kalo gak fitnes, dari mana coba?” Regi menyodorkan segelas coklat panas kepadaku.

    “Ya… karena banyak banget yang sama dari kita, udah gitu soal gua bohong soal fakultas, gua maen sama siapa aja, dan soal kostan lo yang lo bilang lebih deket dari kostan gua. Buat gua terlalu aneh kalo dibilang lo tau secara kebetulan” Kataku dengan heran.

    “Nyantai aja. Gua bukan stalker kok. Kalopun iya, gua stalker baik-baik” Kata Regi sambil tersenyum.

    Sejam kemudian, hujan reda. Akupun pamitan kepada Regi untuk pulang, karena aku ingat kalau malam ini ada acara dengan Dimas dan yang lainnya.

    “Gua balik dulu ya. Gua pinjem kaos lo dulu, nanti gua balikin. Ada kantong keresek?” Kataku sambil menunjukkan baju basah di tanganku.

    “Yo’i. nyantai aja lagi..” Regi mencari-cari kantong keresek dari laci. Setelah menemukannya, diapun memberikannya padaku.

    Aku tiba di kostan sepuluh menit kemudian. Aku beristirahat sebentar sebelum bersiap-siap untuk pergi ke rumah Dimas. Karena merasa sedikit pusing, kurebahkan badanku di kasur. Kuputar memori hari ini. Lagi-lagi pikiranku mentok ketika aku bersandar di selangkangan Regi. Kutepis pikiran yang membuat mukaku merah itu dan kualihkan dengan mengingat-ingat apa saja yang harus diperbaiki dalam skripsiku.

    “Oi! Udah siap belum?” Ternyata Ferdi sudah ada di kostan lebih dulu. Dandanan yang biasa saja dengan kaos berwarna hitam polos. Oke, memang kuakui Ferdi itu ganteng, tapi entah kenapa membuat dia terlihat lebih ganteng dari biasanya “Buru lah..” Ferdi masuk ke kamarku dan mulai mengganggu aku yang sedang berbaring. Aku mengisyaratkan kepadanya supaya menunggu lima menit lagi karena aku masih ingin istirahat.

    “Ah..! maneh!! nantilah tunggu sebentar lagi.. Capek nih!” Kataku berusaha untuk menghindari kelitikan Ferdi. Kalau sudah begini, jahilnya Ferdi sudah tidak bisa dihentikan lagi. Aku berusaha membalikkan badanku. Ferdi masih saja berusaha terus menggelitikku. Aku balas menyerang, kutindih badannya. Tanganku menyilang di lehernya, nafas Ferdi tersengal karena tercekik oleh tanganku.

    “Diem! Berhenti gak?! Aing masih capek, Fer..!” Mukaku dekat sekali dengan mukanya, nada suaraku naik karena kesal. Namun Ferdi masih saja bercanda. Tangannya masih berusaha menggelitik pinggangku. Saking kesalnya, aku tidak tahu apa yang berikutnya terjadi, yang jelas, aku mencium bibirnya.

    Satu detik, dua detik.. aku tersadar.

    “Awas iseng lagi!” kataku sambil mengelap bibirku. Ferdi hanya bengong atas apa yang terjadi.

    “Sori, Fer. Gua gak ada maksud. Saking keselnya gua sama maneh. Teu kahaja da (gak sengaja kok)…” Kataku pada Ferdi. Ada rasa bersalah pada diriku melakukan hal itu pada Ferdi.

    “Ah.. hahaha.. Gak apa-apa… Gua yang salah kali” kata Ferdi sambil masih bengong.

    Aku mandi, berganti baju, dan merapikan rambut. Akupun sudah siap untuk pergi ke rumah Dimas. Ferdi menungguku sambil main game di laptopku.

    “Fer, yok. Berangkat. Matiin laptopnya” Kataku pada Ferdi. Karena kejadian tadi, Ferdi jadi agak menurut apa yang aku katakan. Dia pun mematikan laptopku.

    “Maneh gak apa-apa pan?” Tanyaku

    “Enteu.. Teu nanaon… (Enggak.. gak apa-apa) Ayo ah jalan. Tapi jangan bilang-bilang ke yang lain kalo kita….” Kata Ferdi terhenti. Mukanya memerah karena malu.

    “Nyantai aja sih… lagian gua gak ada maksud apa-apa kok” Aku melingkarkan tanganku melewati bahunya dan menariknya ke luar kost-an.

    Dua puluh menit kemudian, aku dan Ferdi berada di depan rumah Dimas. Rumahnya cukup besar. Dia hanya tinggal dengan Bi Asih, pembantunya. Ayah dan ibunya bekerja dan tinggal di Surabaya dan hanya sekali-kali datang kerumah ini.

    Bi Asih membukakan pintu gerbang dan mempersilakan kami masuk. Di dalam, kami berdua disambut oleh Dimas.

    “yokoso~!!” Dimas berseru dengan gaya pemandu wisata. Dituntunnya kami menuju ruang tengah tempat Ray sudah menunggu.

    “Haduh.. kita kan udah sering maen ke sini. Ngapain dipandu-pandu segala” kata Ferdi

    “Tommy mana?” Tanyaku pada yang lainnya.

    “Dia gak bisa datang. Ada manggung katanya di mall mana.. gitu” Jawab Kata Ray. Tommy memang yang paling jarang kumpul. Kesibukkannya di band sama halnya dengan kesibukan organisasinya Ray: sama-sama dalam kondisi mengganggu skripsi mereka.

    “lagi-lagi? Ya ampun…” Aku hanya menggeleng dan duduk di sebelah Dimas.

    Bi Asih membawakan dua gelas air putih untukku dan Ferdi. Seorang lainnya membawakan sepiring buah-buahan yang telah di kupas.

    ‘Sori lama” kata orang itu.

    “Regi??” Kataku tidak percaya kalau dia datang ke rumahnya Dimas.

    “Aku yang mengajak dia ke sini” Kata Dimas.

    “Oh, kalian udah kenal?” Tanya Ray padaku dari seberang meja.

    “Udah. Beberapa hari terakhir kita baru kenal” Kata Regi “kalau sama Dimas, gua sering ketemu kalau pas di perpustakaan” tambahnya.

    “Oh…” Aku baru paham sekarang kenapa Regi ada di sini.

    Kamipun menghabiskan waktu bersama : mengobrol, main playstation, maen kartu, menghabiskan cemilan dan sebagainya. Namun, rasanya aku tidak bersemangat dengan semua yang ada di sini. Saat ini yang aku rasakan adalah mual, kutolak beberapa cemilan yang Ferdi tawarkan padaku. Akupun menolak untuk bermain poker dengan Ray, Dimas, dan Regi.

    “Mas, aku ikut ke toilet ya” Aku meminta izin Dimas untuk menggunakan toilet.

    Setelah Dimas mempersilahkan, aku pun berjalan menuju toilet kudekap mulut menahan mual. Sedikit pusing pun terasa ketika bangkit dari duduk tadi. Aku berdiri di depan wastafel Kubiarkan rasa mual ini keluar, kunyalakan keran air. Lemas rasanya. Aku diam sebentar agar pusingku hilang. AKhirnya aku terduduk lemas di depan wastafel.

  • Woahahaha
    First Kissu ny kok mlh ma Ferdi?
  • @coffeebean
    Kenapa Dira sama Dimas? ^^a

    @AoiSora
    Haha... Silahkan ditunggu kelanjutannya...^^
  • hamilllllllllllllll
  • ada fak sastra, ada fak kdokteran, dilewatin jalur bis, di bdg ada ga ya.. msh pnasaran di bdg bkn sih? hehe..
    nuhun tos di mensen
  • edited June 2012
    @aji_dharma
    wkwkwk...

    @kiki_h_n
    haha...mirip ya? boleh kan? kan inspirasi bisa dari mana aja.. tapi ceritanya gak dibikin terpatok di satu tempat kok. jadi, kalo ada yang bilang kayak di sini mangga.. disitu silahkan... disana juga gpp... hehehe...

    Awalnya emang mw dibikin kalo setting utamanya di bus kota aja, tp gk mungkin disitu aja kan... hehe
  • I smell something good in this story :3 hahahha,
    Eh boleh loh saya di-mention kalo udah update,i like your story bro....gaya ceritanya bagus,semacam jurnal dr tokoh utama gitu,hehhe *sok tau*
    keep it up ;-)
  • edited June 2012
    BAGIAN 6

    Aku terduduk lemas di depan wastafel. Sayup-sayup terdengah langkah kaki mendekat. Langkah tersebut berhenti di depan toilet tempatku berada. Ketukan terdengar dari balik pintu, namun aku tak sanggup untuk bangkit dan berbicara. Terlalu lemas untuk merespon. Rasanya akan muntah kalau aku berbicara.

    “Dir! Kamu gak apa-apa?” Dimas menerobos masuk ke toilet ketika menyadari aku terlalu lama di toilet, bunyi keran wastafel yang tidak berhenti dimatikan, dan tidak ada respon dariku. Disentuhnya badanku “Ya ampun! Badan kamu panas, Dir!” Dimas membantuku berjalan ke luar toilet.

    “Kenapa? Kenapa?” Regi menyusul ke toilet.

    “Dira demam, Gi!” Kata Dimas sambil memberi isyarat pada Regi untuk membantunya menuntunku. Dimar mengarahkan Regi untuk membawaku ke kamarnya.

    Mereka membaringkan badanku di kasur Dimas. Regi memijati kakiku.
    “Fen! Tolong bilangin ke Bi Asih ambil air dingin atau es batu di baskom sama handuk kecil yang bersih ke sini” Kata Dimas dari samping badanku.

    Terdengar bunyi ribut dari luar. Ferdi memanggil-manggil Bi Asih untuk mengambil apa yang disuruh, Ray memberondong masuk ke dalam kamar.

    “Napa cuy?” Tanya Ray masih kebingungan. Tidak berapa lama, Ferdi masuk membawa baskom kecil berisi es batu dan handuk kecil ke dalam kamar. Disodorkannya baskom tersebut ke Dimas. Dan Dimas mulai mengkompres keningku dengan es yang dibungkus dengan handuk kecil.

    “Aku gak apa-apa, mas” kataku berusaha bangkit dari tidur.

    “Apanya yang gak apa-apa?! Badan kamu panas begini!” Tampak kekhawatiran dari Dimas. Begitupun dengan yang lainnya.

    “Sori ya. Aku merusak suasana malam ini” Aku merasa menyesal karena membuat semua kegembiraan berubah menjadi kekhawatiran di acara menyambut kedatangan Dimas ini.

    “Nyantai, bro. yang penting lo dulu sekarang” kata Ferdi.

    “Lo nginep di sini aja malem ini ya Dir” Kata Dimas menyarankan. Aku hanya mengangguk, karena aku tahu kalau badanku sedang tidak kuat, jangankan pergi ke kostan, bangun saja susah.

    Sekarang pukul sembilan malam. Ray, dan Ferdi berpamitan pulang duluan. Mereka memberikan kesempatan padaku untuk beristirahat tenang malam ini. Dimas mengantarkan mereka ke depan rumah, dan Regi masih menemaniku. Regi berpindah duduk ke dekat kepalaku. Diangkatnya lap basah di keningku dia kemudian mengelus keningku yang basah.

    “Sori ya, Dir. Kayaknya lo sakit gara-gara hujan-hujanan sama gua tadi pas balik dari kampus” kata Regi dengan nada bersalah.

    “Gak apa-apa kok, Gi. Justru gua makasih banget sama lo udah minjemin baju dan handuk. Udah gitu segelas coklat panas kan…” Kataku “Lo gak usah khawatir ya. Gua gak bakal kenapa-napa kok. Balik gih. Udah malem” Aku menyuruhnya pulang karena khawatir kalau Regi pulang terlalu malam di cuaca yang tidak menentu seperti ini.

    “Kalau gitu gua balik ya” kata Regi dengan nada enggan. Dia mengompresku untuk terkahir kalinya dan mengusap pipiku “tidur yang enakan” katanya sambil lalu.

    “Siip!”

    Aku mendengar Regi dan Dimas mengobrol sebentar di depan kamar dan tidak berapa lama bunyi gerbang depan ditutup.

    “Regi baru aja pulang” Kata Dimas ketika masuk kamar. Dia berganti baju dengan kaos dan celana pendek. “Kamu juga ganti baju ya” Dimas mengeluarkan kaos dan celana training panjang dari dalam lemari.

    “Sini aku bantu” Diturunkannya selimut yang membungkusku, kemudian pelan-pelan badanku didudukkan. Dia membantuku membuka kaosku dan menggantinya dengan kaosnya sebelum kemudian dia membantuku melepaskan celana jeansku.

    “Biar aku saja, Mas” Kataku merasa tidak enak pada Dimas. Tapi, Dimas menepis tanganku dan melepaskan celana jeansku “Kamu lagi sakit. Gak apa-apa kok. Santai aja” Kata Dimas sambil memakaikanku celana training.

    Kemudian aku berbaring kembali ke posisi semula. Dimas kembali mengopres keningku “Aku akan tidur di sini juga. Aku khawatir kamu kenapa-napa” Katanya setelah memastikan jendela tertutup rapat dan menyalakan obat nyamuk elektrik.

    “Tidak apa-apa, mas. Nanti kamu malah tertular sakit” Kataku.

    “Sudah jangan ribut. Orang sakit tidak boleh protes!” katanya sambil berbaring di sebelahku “Nah kan? Cukup luas untuk berdua” tambahnya. Aku tidak berkata apa-apa lagi, membiarkannya bersandar di sebelahku.

    “Mas, sori ya. Aku ngerepotin kamu. Bikin kalian khawatir seperti ini” Aku menerawang ke arah langit-langit kamar.

    “yah, kamu memang merepotkan di waktu yang tidak tepat” Kata Dimas dingin “Kamu juga selalu membuat kami khawatir. Bahkan ketika aku pergi ke Jepang pun… Aku khawatir padamu” Tambahnya. Nada kesal dan khawatir terdengar dari perkataannya.

    “Maaf. Kalau memang selama ini aku membuat kalian khawatir. Maaf, kalau membuatmu marah” Kataku. Aku tidak menyangka kalau Dimas akan marah seperti ini. Memang salahku sakit di saat yang tidak tepat. Saat dimana seharusnya kami semua bersenang-senang menyambut kedatangannya. Akupun memalingkan badanku ke arah lain. Aku malu menghadapkan wajahku padanya saat ini.

    Kurasakan sentuhan di bagian kiri bahuku. Sebuah tangan melingkar di dadaku. Dimas memelukku dari belakang. “Aku gak marah sama kamu, Dir” Suara Dimas tidak sekeras tadi.

    Kemudian dia membalikkan badanku. Aku terlentang. Kepalanya berada di atasku. Cukup dekat untuk merasakan hembusan nafasnya.

    “Aku hanya khawatir padamu.. khawatir kamu kenapa-napa” Dimas terdiam sejenak “Apalagi kamu tiba-tiba sakit seperti ini” katanya lagi. Nafasku tertahan, tanpa alasan tertentu sepertinya aku berusaha agar nafasku sepelan mungkin, namun dadaku berdegup kencang tak bisa kukontrol.

    “Kamu gak perlu khawatir seperti…” Aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.

    Bibir Dimas telah mendarat lembut di bibirku. Pelan, namun pasti. Lembut dan hangat. Kurasakan detak jantung di dada kiriku lebih cepat dari sebelumnya. Lama. Cukup lama kami dalam posisi ini sampai dia menarik wajahnya. Bagaikan sebuah telepati, aku merasakan kekhawatirannya padaku. Kuterima ciumannya dan kubalas dengan lembut. Aku sudah lupa dengan apa yang sedang terjadi, ingin rasanya ini bertahan lama.

    “Sudah. Kamu tidur ya” katanya saat melepas ciumannya. Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Aku biarkan tangannya tetap memelukku. Dia berbaring menyamping menghadapku dengan mata terpejam. Aku hanya telentang. Otakku berputar mencerna apa yang telah terjadi. Kucoba pejamkan mataku, walaupun situasi saat ini aneh, namun yang muncul adalah perasaan senang yang begitu meluap-luap.

    Sudah lama aku tidak merasakan hal seperti ini. Hal yang sudah lama aku pendam dan aku kubur semenjak terakhir kali aku melakukannya dengan mantan kekasihku beberapa tahun lalu, lupakan soal ciumanku dengan Ferdi kemarin sore. Sejak aku berpisah dengan mantan kekasihku dulu, aku memang tidak memaksakan rasaku untuk mencari pengganti dia dan mendapatkan yang sama dengan yang pernah diberikan mantan kekasihku padaku. Malam ini, aku serasa diingatkan kembali kalau aku pernah merasakan dan menjalin hubungan dengan mantan kekasihku yang memutuskan untuk kuliah di luar negeri.

    “Mas, kamu udah tidur?” Tanyaku. Tidak ada jawaban dari Dimas. Entah dia sudah tidur atau berpura-pura tidur. AKhirnya akupun memaksakan untuk tertidur. Aku berharap besok pagi badanku baikan.

    Colek-colek dulu ah...
    @AkselEE @LockerA @gr3yboy @bibay007 @AwanSiwon @dimasera @Touch @CoffeeBean @kiki_h_n @AoiSora @Aji_dharma @mybiside

    Siapa lagi ya? -_-a

    @mybiside
    haha... amin. makasih... jadi malu.. ^^
  • lanjottttttttttt ;)
Sign In or Register to comment.