It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Walah...
Kayakny emg bkal bnyk 'segi' dcrita ini, LOL
Updateny dikit2 ih, bnyk karakter jg, knflikny blm Klhatan, knflik karakter mn dl neh yg bkal difokus'in?
O.o
Semangat y, Author-san ^^
Karena update-nya dikit dikit makanya gw hari ini ekstra buat ngetik dan updatenya. nanti sore kayaknya bakal kelar dua bagian lagi
Sebenernya jalan ceritanya udah ada yang utamanya sampe selesai. cuma gw nambahin filler-fillernya biar gak kayak diburu-buru...hehe
@CoffeeBean
maaf membuat anda kecewa lagi... *membungkuk* OTL
BAGIAN 11
Aku Dira. Selama tiga hari aku hanya diam di kamarku memulihkan kondisi badanku yang sakit. Setiap hari anak-anak bergiliran menengokku dan menanyakan kesehatanku, namun kebanyakan dari mereka hanya membuat kamarku ini gaduh dan membuatku sulit beristirahat. Hari ini, aku merasa sangat sehat sekali. Aku mulai mandi dengan air dingin setelah sebelumnya hanya mandi dengan air hangat saja. Kuambil kaos polo merah dan celana jeans untuk dipakai hari ini.
Kuketuk kamar Ferdi untuk mengajaknya pergi bersama ke kampus, namun tidak ada jawaban. Sepertinya Ferdi sudah berangkat. Akupun memutuskan untuk pergi sendirian. Sepanjang perjalanan kusapa beberapa tetangga yang sudah beraktivitas: Pak Kadir yang sedang memandikan burung parkitnya yang tiap hari selalu terdengar di luar jendela kamarku, Bu Inah yang sedang menyuapi anak ketiganya yang masih bayi (ïtu Oom..Oom.. selamat pagi, Oom…” kata bu Inah), juga Yoyok dan adiknya yang bolos sekolah. Pemandangan ini sudah tiga hari tidak kulihat. Aku melangkah ringan menuju Halte bus.
Suasana halte hari ini lebih sepi dari terakhir aku ke sini. Hanya beberapa orang saja yang menunggu datangnya bus. Kuambil sebuah buku berbahasa Jepang dari dalam tas untuk sekadar mengingat-ingat apa yang pernah aku pelajari. Sambil membaca, otakku berputar mencari arti dari kata-kata tersebut di dalam kepala.
“Rajin ya” Kata suara yang sudah tidak asing lagi di telingaku “Tumben gak dengerin musik?”
“Oh, enggak. Iseng aja kok, Gi” Kataku pada Regi yang duduk di sebelahku. Aku tidak menyadari kedatangannya sebelumnya.
Kumasukkan kembali buku kedalam tas. “Lo ngampus, gi?” Tanyaku.
“Iya. Bimbingan sih.. abis itu gak ada kegiatan lagi. Lo sendiri?” Regi balik bertanya.
“Sama. Bimbingan juga. Abis itu gak ada kegiatan lagi. Paling balik” Jawabku.
Bus sudah tiba. Kami pun naik. Penumpang kali ini lebih sedikit dari biasanya. Tapi kami memilih kursi di deret belakang menghindari bisingnya pengamen yang bernyanyi di tenah badan bus. Tidak berapa lama, bus pun mulai jalan perlahan (pengamen itu masih bernyanyi). Saking tidak betang dengan suara pengamen itu, akupun mengambil headset dan memakainya. Lebih baik mendengarkan lagu biasa aku dengar dan hafal dari handphone daripada mendengarkan lagu yang kurang aku mengerti. Aku mengangguk-anggukkan kepalaku mengikuti irama musik dari telingaku. Tabuhan jimbe pengamen yang sayup-sayup terdengar tetapi tidak mengurangi kenikmatanku mendengar musik.
Aku menoleh ke kiri. Kukira ada yang menepuk pundakku, tapi ternyata kepala Regi yang menyandar padaku. Kulepas headset sebelah kiri.
“Gi, ngapain sih? Gak enak diliat orang” Kataku agak risih kalau nantinya menjadi pusat perhatian karena tingkahnya ini.
“Abisnya kamu cuma dengerin musik sendiri aja. Trus, gua dikacangin” Katanya.
“Manja lu, Gi. Udah ah sana kepala lo” Aku berusaha mendorong kepalanya. Namun dia meraih tanganku dan memegangnya.
“Udah sih. Kamu pura-pura tidur juga. Gua dah pewe nih posisinya” Katanya sambil memejamkan mata. Dengan terpaksa akupun menurutinya. Kupasangkan sebelah headset pada kupingnya.
“biar sama-sama denger!” kataku. Regi masih memegang sebelah tanganku.
Meskipun penumpang saat ini tidak terlalu padat, tapi jalanan sangat macet sehingga bus baru sampai di depan kampus satu setengah jam kemudian. Seperti biasa selasar kampus sudah mejadi rute utama menuju gedung jurusan kami. Sepanjang jalan bersenda gurau dan mengomentari siapapun yang kami lewati. Dari depan, Tommy mengangkat sebelah tangannya tanda menyapa kami dan kamipun membalas dengan mengangkat tangan juga.
“Dir! Sehat lo?” Teriak Tommy dari jauh.
“Yo’i! Thanks yak”
“Ngerumpi sini!” Ajaknya.
“Makasih, Tom! Kayaknya enggak. Harus bimbingan dulu. Dah telat nih!” Aku menolak ajakannya.
Bersama Regi, aku melanjutkan berjalan menuju gedung jurusan dan berpisah di lobi gedung untuk bertemu dengan dosen kami masing-masing. Aku berbelok ke kiri gedung dan Regi naik tangga menuju lantai tiga. Kami telah berjanji akan bertemu di lobi gedung setelah urusan masing-masing selesai.
Sekitar satu jam aku berdiskusi dengan dosen pembimbingku mengenai isi skripsiku. Cukup banyak yang harus kuperbaiki, khususnya dari segi penulisan. Waktu tiga hari kemarin aku sama sekali tidak menyentuh skripsiku karena sakit. Jadi, aku terima apa yang dikatakan dosen pembimbingku.
Kutunggu Regi di lobi jurusan. Sepertinya Regi belum turun dari lantai tiga tempat dia bimbingan dengan dosen pembimbingnya. Aku melihat-lihat madding dan papan pengumuman yang ada di situ untuk menghilangkan rasa jenuh karena menunggu lama.
“Kamu udah ngampus lagi, Dir?” Dimas berjalan menghampiriku dari arah ruang tata usaha.
“Ah, iya, Mas. Baru bimbingan lagi” Kataku singkat. Aku berusaha bersikap biasa seolah tidak ada sesuatu yang terjadi diantara kami “Kamu sendiri?” Aku bertanya balik.
“Aku baru memberikan laporan selama tiga bulan di Jepang kemarin” Jawabnya sambil menunjukkan sisa berkas makalah dari map biru yang dibawanya.
“Sekarang mau kemana?” Dimas bertanya lagi.
“Em.. Gak kemana-mana, Mas. Cuma baca-baca mading aja” Kataku sambil menunjuk artikel tentang beasiswa.
“Oh… Ikut aku yuk. Kita makan siang bareng di kantin” Ajaknya.
“Tapi….” Aku bingung. Jika aku menolaknya, aku takut dianggap menghindari untuk kontak lama-lama dengannya. Kalau aku menerima ajakannya, aku sudah berjanji dengan Regi untuk bertemu di sini. Akupun tidak enak jika harus bilang aku ada janji dengan Regi pada kondisi aku dan Dimas seperti ini.
“Ayo. Kita ke kantin bersama” Kata Regi yang baru turun dari tangga. Dia langsung menghampiri kami berdua. “Hai, mas” Regi menyapa Dimas dengan senyuman dan lambaian tangan.
Raut wajah tidak suka sedikit terlihat dari wajah Dimas yang akhirnya menyetujui kalau kami bertiga akan makan di kantin.
Suasana di kantin sangat ramai. Memang sekarang adalah waktunya istirahat, untungnya kami kebagian meja kosong di pojokan kantin. Aku duduk di kepala meja sedangkan Dimas dan Regi duduk saling berhadapan. Aku sangat cangguh sekali dalam kondisi seperti ini, tepatnya kondisiku dengan Dimas yang melibatkan Regi yang tidak tahu apa-apa. Dari posisiku sekarang, aku bisa melihat kekesalan Dimas yang dipaksakan untuk tetap tersenyum ramah seperti biasanya.
“Mas, cerita dong soal kemarin ke Jepang. Lo kan belum cerita-cerita ke kita ngapain aja di sana” Pinta Regi pada Dimas.
Awalnya, Dimas enggan bercerita dengan alasan lapar dan lemas. Namun, dengan bujukan Regi, akhirnya Dimas bercerita banyak hal, dari mulai tinggal di rumah tradisional Jepang, mencicipi kuliner, jalan-jalan ke Gunung Fuji, dan sebagainya.
“Walaupun sudah berkali-kali ke sento (sento = tempat pemandian umum di Jepang), kadang aku masih merasa malu untuk datang ke sana. Semua yang masuk ke sento tidak mengenakan pakaian sedikitpun. Kalau malu, paling kita menutupinya dengan handuk” Kata Dimas saat bercerita tentang pengalamannya.
“Wah, pasti malu yah. Semua orang bisa melihat badan kita tanpa sehelai benang pun. Apa mereka tidak malu ya?” Tanya Regi.
“Ya... Mau gimana lagi, pemandian umum di sana seperti itu kenyataannya. Mereka pastinya sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu” Kata Dimas.
“Wah, ternyata bener ya apa yang pernah orang-orang ceritakan padaku tentang sento. Kalau yang suka cowok, susah ya buat masuk sana. Bawaannya pasti tegang mulu...” Kataku sambil tertawa. Regi dan Dimas, keduanya langsung menatapku tajam. Fikiranku berputar setelah berkata seperti itu: Pertama, Dimas mungkin berfikir kalau aku menghina dia; Kedua, aku yang teringat kalau mungkin akan terjadi hal yang sama jika aku datang ke sana; dan ketiga, mungkin aku menggali lubang sendiri di hadapan Regi yang tidak tahu apa-apa soal diriku.
“Hahahaha… maaf. Kalau aku salah bicara” Kataku sambil tertawa. Dimas dan Regi saling bertatapan dan kemudian ikut tertawa bersamaku.
Entah bagaimana, akhirnya pembicaraan kami mulai melantur dan ngasal.
“Eh, Dir. Misalnya nih ya lo harus milih antara gua sama Dimas, lo milih mana?” Kata Regi sambil tersenyum dan menunjukku dengan sumpit yang ada di meja.
Pertanyaan melantur yang tidak tepat! Pikirku. Ini akan membuat suasana hubunganku dengan Dimas menjadi tidak baik. Walaupun bercanda, jika aku memilih Regi, jelas aku tidak enak dengan Dimas, dan jika aku memilih Dimas yang beberapa waktu kemarin nembak aku, memang aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku khawatir dia terlalu berharap lebih. Aku bingung harus memilih siapa.
Selamat siang... jangan lupa untuk makan siang...
@AkselEE @LockerA @gr3yboy @bibay007 @AwanSiwon @dimasera @Touch @CoffeeBean @kiki_h_n @AoiSora @Aji_dharma @mybiside @Adam08 @johnacme @masAngga @adinu @rulli arto @lembuswana
@Just_PJ
Pagiku hilang, sudah melayang
Sekarang petang sudah membayang, o dimas., o dira~
#gajelas~
ayo dilanjut...
haha... jangan stress gitu ah..
nanti. makan dolo. baru mau lanjut ngetik lagi... ngerapel yang emarin gak posting kan
Ayo" di update pnasaran sama penyelesaianya
klo skdar pmandian umum, org jpn biasa nyebut sento, biasanya airnya skdar aer yg d panaskan.
sdangkan onsen itu sento yg airnya natural hot spring d sumber mata aer panas umumnya dr gunung berapi (so onsen itu seringnya brupa resort).
sori bawel y boz.
Ah ya, yang dimaksud Dimas itu sento karena di disana bepergian di daerah perkotaan, sehingga kemungkinan untuk ke onsen lebih sedikit.
terima kasih sudah dikoreksi. akan gw perbaiki. (gw masih mikir onsen sama sento sama aja selain dari airnya....XD)
Kami sedang makan siang bersama: Aku –Dira–, Regi dan Dimas. Kantin fakultas yang sangat ramai di siang hari ini tiba-tiba senyap. Bunyi piring pecah dari dapur kantin nyaris tidak terdengar di telingaku. ‘Eh, Dir. Misalnya nih ya lo harus milih antara gua sama Dimas, lo milih mana?’ adalah pertanyaan melantur yang dilontarkan Regi yang membuatku bingung harus berkata apa.
“Em… Diantara kalian berdua? Gak ada yang lain?” Tanyaku dengan nada merendahkan.
“Gak. Gak ada. Ayo pilih” Paksa Regi. Ada raut penasaran terpancar di muka Dimas saat itu juga.
“Eu…” Sulit. Aku sulit untuk memilih. Sebenarnya, pertanyaan ini pertanyaan yang sangat simpel, kalau tidak ada sesuatu hal yang mempengaruhinya dalam hal ini masalah perasaanku dan Dimas.
“Mas, ini pesanannya.. maaf lama ya…” kata mbak-mbak pelayan kantin sambil membawa nampan berisi pesanan kami. Semangkuk bakso, sepiring nasi goreng spesial, sepiring gado-gado dan nasi putih, dan tiga gelas besar teh manis.
Mbak tersebut senang menjahili para mahasiswa yang makan di kantin seperti yang dilakukannya saat ini : Menyenggol-nyenggol Dimas yang kemudian Dimas menggeser kursinya menghindari senggolan pinggul si mbak (“Dir, geser dong dikit”).
Saat itu juga, kami sudah fokus pada makanan masing-masing. Syukurlah, pertanyaan tadi tidak menjadi dibesar-besarkan, sehingga aku tidak terlalu memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan.
“hua.. kenyang. Tumben gua langsung kenyang. Biasanya gua nambah pake es campur. Tapi kali ini enggak deh” Kata Regi sambil mengelus-elus perutnya.
“Awas buncit. Sayang kan perjuangan fitnes selama ini” Kata Dimas.
“Haha iya” Regi menanggapi Dimas. Mereka terlihat sangat akrab sekali setelah makan tadi. Tampak sekali kalau mereka memang dulu pernah akrab satu sama lain. Ada sedikit rasa cemburu melihat mereka akrab seperti itu. Namun, aku bingung. Rasa cemburu itu terhadap siapa? Apakah terhadap Regi? Ataukah Dimas? Aku masih belum memutuskan.
Aku sudah tahu perasaan Dimas padaku bagaimana, namun akhir-akhir ini aku merasa nyaman jika bersama Regi. Hanya saja aku tidak mengetahui apakah Regi akan mengerti kalau perasaanku padanya mulai tumbuh. Ya, perasaan dari seorang laki-laki. Baik soal Dimas maupun Regi, keduanya masih menggantung di pikiranku.
“Gi, Mas, Gua duluan ya. Gua lupa bawa obat buat siang ini” Kataku pada mereka yang sedang asik mengobrol membicarakan masa mereka di Surabaya dulu. Keduanya langsung terdiam dan fokusnya teralihkan padaku.
“Kalo gitu gua anter lo” Kata Regi buru-buru “Berangkat tadi bareng kan? Masa balik sendiri-sendiri” Tambah Regi berusaha meyakinkan aku agar mempersilahkan dirinya menemani pulang.
“Ya udah. Ayo” Kataku tanpa basa-basi “Mas, kita balik dulu ya” Kataku tanpa memberi kesempatan kepada Dimas untuk berkomentar apa-apa. Aku langsung membayar makananku di kasir dan pergi ke luar kantin diikuti oleh Regi.
Sebenarnya, aku kasihan dengan Dimas. Aku tidak membencinya, tapi yang kulakukan seakan mencampakkan persahabatan yang sudah lama terjalin ini. Semua terasa berbeda karena sikapku yang plin-plan dan membiarkan Dimas menunggu dan menunggu jawaban dari pertanyaannya yang tidak mau aku jawab. Setidaknya saat ini, saat dimana aku mempertanyakan kesiapanku menjalin hubungan baru yang sebenarnya membuka ingatan masa laluku dengan mantanku.
Tidak ada yang mengetahui cerita tentangku dengan mantanku ini. Sekarang dia di Jepang. Kuliah di sana. Kami memang sepakat untuk berpisah dan memutuskan hubungan ini. Bukan karena ada masalah diantara kami, tetapi keadaanlah yang memaksa kami untuk berpisah. Sejak saat itu, aku tidak pernah mencari pengganti mantanku sampai akhirnya aku bisa bersikap biasa dengan kesendirian dan perasaanku.
“Lo gak apa-apa, Dir?” tanya Regi ketika kami berada di selasar menuju gerbang utama kamus “Lo keliahatan bingung dan banyak fikiran” Tambahnya sambil menarik bahuku.
“Gua gak ngerti apa yang terjadi. Tapi lebih baik lo cerita apa yang mengganjal dipikiran lo. Gua siap menjadi pendengar dan pemberi saran buat lo” Katanya. Aku terdiam mendengarkan perkataannya.
“Kenapa gua harus cerita ke lo soal masalah gua?” Tanyaku
“Karena gua temen lo. Seperti yang tadi gua bilang. Gua siap menjadi pendengar dan memberikan saran atau bantuan yang lo butuhkan” Jawabnya “Gua tidak mau sesuatu yang buruk terjadi sama lo” Tambahnya.
“Kenapa kalau lo teman gua? Kenapa lo mau ngasih saran dan bantuan ke gua? Kenapa lo gak mau sesuatu yang buruk terjadi sama gua? Kenapa lo sangat baik sama gua?” Aku memberondong banyak pertanyaan padanya dalam sekali tarikan nafas.
“Jangan salah paham, Dir. Gua melakukannya karena lo teman pertama dan satu-satunya yang gua punya. Gua gak mau kehilangan teman gua ini” Kata Regi.
“Makanya lo jangan gini. Lo bikin gua stress juga tau gak?” Kataku agak sedikit nyolot.
“Lo kenapa sih? Gua salah nanya baik-baik sama lo begini?” Regi pun sedikit terpancing emosinya.
“Lo gak bakal ngerti kalo gua jelasin juga!” Kataku masih dengan nada yang naik.
“Lo yang gak bakal ngerti!” Nada bicara Regi sudah sama emosinya denganku “Lo yang punya temen deket, mana ngerti soal gua!” Katanya. Aku pun terdiam.
“… Salah gua nanya gitu sama lo?! Sama temen deket gua?! Sama orang yang gua gak mau jauh dengannya?!” Bentaknya. “Oke! Gua gak bakal temenan sama lo lagi!” Tambahnya.
“Maksud lo apa…” aku masih tidak mengerti. Siapa yang seharusnya marah dalam kondisiku ini? Aku bingung dalam fikiranku yang berputar-putar mencerna masalah yang jadi rumit ini. Saat tersadar dari kebingunganku, aku merasakan hangat telapak tangan Regi menyentuh kedua pipiku dan bibirnya menempel lembut di bibirku. Alih—alih tidak percaya dengan apa yang terjadi, aku memejamkan mataku untuk mengerti maksud Regi ini.
Aku melepaskan ciumannya “Gi…”
“Gua gak mau jadi temen lo! Gua mau jadi pacar lo!” Nada tegas keluar dari bibirnya yang tadi menempel lembut di bibirku.
“Gua suka lo, Dir. Sudah lama gua nyari tahu tentang lo. Sudah lama gua memperhatikan lo. Sejak semester tiga saat lo mulai dekat dengan Dimas dan yang lainnya. Tapi, gua baru berani kenalan sama lo ketika pertama kali kita mengobrol di dalam bus dua setengah tahun kemudian! Selama itu, gua gak mau temenan sama yang lainnya selain dengan lo, karena gua khawatir perasaan suka gua ke lo teralihkan… Gua berusaha menjaganya” Katanya menjelaskan tentang perasaannya padaku yang membuat aku menjadi bingung. Lebih bingung dari sebelum dia mengatakannya.
Kejadian ini benar-benar di luar perkiraanku. Disaat aku kebingungan harus merespon seperti apa terhadap pernyataan Dimas, tiba-tiba seakan ditambah batu besar di tas punggungku aku kembali dibingungkan atas pernyataan Regi. Mengapa keduanya berkata hal yang sama pada waktu yang berdekatan seperti ini?
Sekarang, aku terduduk di tepi kasur di kamarku. Setelah kejadian tadi, aku pamitan dengan Regi dan memintanya untuk tidak menemaniku pulang. Segelas air putih yang kupegang tidak dengan mudahnya menyadarkanku dari lamunan, sampai bapak penjaga kost-an mengetuk kamar dan menyuruhku untuk mengangkat jemuran anak-anak yang masih tergantung di lantai atas. Cuaca sore ini mendung. Pas sekali dengan hatiku yang sedang bingung.
Setelah mengangkat jemuran dan menyimpannya di tempat menyetrika, aku kembali ke kamar. Aku terkaget ketika membuka pintu kamar yang tidak aku kunci barusan.
“Gi, ngapain lo di sini?” Tanyaku pada Regi yang sudah duduk-duduk di tepi kasurku.
“Gua lagi pengen berdua sama lo” Nada suaranya tenang seperti memang tidak ada sesuatu hal yang telah terjadi.
“Gua lagi pengen sendiri, Gi” Kataku sambil membuka pintu sedikit lebar.
Regi bangkit dan menghampiriku menuju pintu kamar. Alih-alih keluar kamar dia menutup pintu dan menarikku ke tengah kamar.
“Dir, sori. Sori kalau lo jadi gak karuan kayak gini” Katanya “Tapi, tolong perhatiin gua. Dengerin gua. Apa yang gua omongin ke lo itu apa adanya. Gua suka sama lo. Ya, gua tau lo cowok dan gua yakin lo tau apa maksudnya ini. Lo gak suka, ok. Gua terima. Wajar kalau lo gak suka. Tapi, please! Please… Jangan kayak gini. Jangan jauhin gua! Gua Cuma punya lo sekarang. Lo temen gua satu-satunya. Gua gak mau lagi sendiri kayak dulu…” Regi memohon padaku. Tangannya menggenggam erat kedua tanganku.
Tiba-tiba aku teringat masa-masa pertamaku mengenal mantan pacarku. Kejadian seperti ini sempat terjadi dulu. Saat aku pertama kali mengenal mantanku dan awal yang sulit bagiku untuk mengetahui bagaimana diriku menyukai laki-laki untuk yang pertama kali dalam hidupku. Tanpa kuperintahkan, air mata menetes dari mataku.
“Gi, maafin gua. Bukan maksud gua jauhin lo kayak yang lo pikirin. Tapi gua butuh waktu buat mikir, Gi. Gua lagi nyoba mencerna apa yang telah terjadi sama sekeliling gua akhir-akhir ini. Gua gak masalah lo suka sama gua yang cowok ini. Toh gua juga sama kayak lo. Gua juga suka sama lo, tapi gak ngedadak kayak gini juga…” Kataku sambil melepas pegangan tangannya.
“Lo juga… sama kayak gua?” Tanya Regi ingin memperjelas apa yang didengarnya dan apa yang telah aku katakan.
Aku mengangguk. Senyum merekah dari bibirnya. Air mukanya tampak berubah menjadi lebih riang “Jadi, lo… Gak masalah kalau gua… Jadi pacar lo?” Tanyanya penuh harap.
“… Em…” Aku tersenyum sambil masih berpikir.
“Tunggu! Gua tau jawabannya!” Katanya penuh semangat.
“Sotoy lo! Dasar cenayang!” Aku mencium dia. Yah, walaupun bukan ciuman pertama kami, tapi inilah ciuman pertama dariku untuknya. Kamipun berpelukan. Di pikiranku, lagu-lagu klasik mengalun mengiringi kami yang berpelukan di tengah ruang kamarku ini. Bayangan Dimas muncul di pikiranku, namun aku berpikir ini keputusan yang tepat untuk menjaga persahabatanku dengan Dimas tanpa harus terbatasi oleh hubungan yang seperti ini.
Dari pagi hari perasaanku diliputi dengan kalut dan galau. Namun, ending hari ini, bisa semua tebak. Hari-hariku ke depan akan sangat berbeda dengan pagiku tadi. Apalagi ditemani dengan si cenayang yang satu ini.
Selamat sore~ ditunggu yang ketiga belasnya... dikit lagi kelar.
*lempar bagian 12 ngebut*
@AkselEE @LockerA @gr3yboy @bibay007 @AwanSiwon @dimasera @Touch @CoffeeBean @kiki_h_n @AoiSora @Aji_dharma @mybiside @Adam08 @johnacme @masAngga @adinu @rulli arto @lembuswana
@Just_PJ
[Jangan salah paham, Dir. Gua melakukannya karena lo teman pertama dan satu-satunya yang gua punya. Gua gak mau kehilangan teman gua ini” Kata Dimas.]