BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Antara Aku, Dirimu, dan Dirinya : Cinta Di Sastra Jepang [Update Hari ini Bagian 21 (END) + OS]

edited June 2012 in BoyzStories
Iseng-iseng tengah malem ngetik. Komen ya... Hehe...
Dan iseng juga, ini pengenalan tokohnya yang terlibat di cerita ini... (Gambar bukan sebenarnya. Hanya imajinasi penulis)

picture611.png

BAGIAN 1

Namaku Dira. Cukup panggil Dira, karena dari semenjak SD, tidak ada yang pernah memanggil lengkap namaku. Jadi, aku pikir percuma saja jika aku perkenalkan. Toh semuanya akan memanggil nama terpendekku : Dir, seperti kalau orang lain memanggil memanggilku “Eh, Dir!”, “Mau kemana, Dir?” dan sebagainya.

Siang hari naik bus kota bukanlah hal yang menyenangkan. Panas, berdesakan, dan bau keringat. Itulah yang mungkin akan aku rasakan ketika nanti menaiki bus kota yang melewati kampusku. Aku bilang mungkin karena jika aku mendapat bus kota ber-AC, aku tidak akan merasakan penderitaan ‘dipanggang’ selama perjalanan di dalam kotak angkutan itu. Waktu menunjukkan pukul dua belas siang, karena aku tidak suka dengan kondisi yang tadi kusebutkan, aku berlari secepat mungkin menuju halte dimana bus yang melewati kampusku biasa berhenti untuk mencari penumpang.

“Huft..” Aku menarik nafas dalam-dalam ketika sampai di halte. Tampak banyak calon penumpang yang ikut menunggu.

“Bang, bus kota yang AC udah lewat?” tanyaku kepada penjual teh botol yang berjualan tak jauh dari bangku tunggu halte.

“Udah tadi. Lima menitan lah lewat…” kata penjual teh botol tersebut sambil memasukkan teh botol ke dalam kotak yang berisi es batu. Sungguh menggoda. Aku pun mengambil teh botol dan menenggaknya. Setelah berlari dan kepanasan, inilah hal ternikmat yang bisa dilakukan. Kusodorkan uang tiga ribu kepada abang penjual teh botol tersebut setelah seluruh isi botol telah membasahi tenggorokanku.

“Sial! Kalau tadi gak ketiduran di kostan, mungkin masih bisa ngejar bus kota yang ada AC nya” Fikirku. Kalau orang lain mendengar apa yang aku pikirkan, mungkin semua bilang aku manja. Tapi, kalau liat suasana halte bus kota, semua pasti maklum kalau aku berfikiran seperti itu. Tampak hampir semua calon penumpang berkipas-kipas ria ada yang menggunakan kipas, Koran, ataupun hanya dengan kibasan tangan. Ada juga yang tidak henti-hentinya mengelap keringat pakai tissue ataupun meminum habis air mineral sambil menunggu bus kota lewat.

Lima menit telah berlalu dari penantianku. Beberapa kali aku melihat jam untuk menghiung kalau aku tidak akan terlambat bertemu dengan dosen pembimbingku. Tidak berapa lama, tampak dari kejauhan bus kota perlahan mendekati halte.

“good! dateng!” Mukaku cepat berubah dari senang karena bus telah datang, tetapi seketika itu juga menjadi kecewa karena bus kota yang ditunggu adalah bus kota biasa yang tidak ber-AC yang artinya bakal jadi pindang ikan tongkol yang ditumpuk-tumpuk kemudian dioven dengan panas terik matahari sepanjang jalan. Tidak sedikit calon penumpang yang menghela nafas ketika melihat kedatangan bus tersebut.

Terima nasib, aku dengan sedikit kecewa tetap berebut masuk dengan penumpang lain, setidaknya bisa tidur dengan tenang di kursi selama perjalanan walaupun panas-panasan. Kiri, kanan, kiri, kanan.. aku mengecek satu-satu kursi penumpang. Aku paling senang duduk dempet dengan dinding dekat jendela, alasannya simpel : kalau ngantuk tinggal bersandar ke kaca tanpa harus mengganggu penumpang yang di sebelah.

Dapat! Kursi pas ditengah-tengah bus di bagian sebelah kanan. Posisi yang enak untukku. Akhirnya aku duduk di sana, ambil headset dari dalam tas, pasang ke handphone, dan menyalakan musik sambil memejamkan mata bersiap-siap untuk tidur. Kebiasaanku. Selama perjalanan tidak mau diganggu orang lain dengan obrolan ataupun dengkuran penumpang sebelah.

Lagu Adelle – someone like you mengalun terdengar di kupingku. Tanpa kusadari, akupun ikut bersenandung pelan. Tidak berapa lama, bahuku ditepuk, dengan refleks aku membuka mata dan melepas sebelah headset. Seorang laki-laki, mungkin seumuran denganku, 24 tahunan.

“kosong mas?” tanya laki-laki itu. Aku refleks melihat orang tersebut seperti ada sensor kelayakan apakah orang itu boleh duduk di sebelahku atau tidak: Apakah orang ini aku kenal? Pencopet kah dia? Apakah dia bau badan? Setiap hal yang ada pada dirinya kusensor dengan cepat untuk memberikan jawaban.

“Ng.” Aku jawab seadanya sambil mengangguk tanda mengiyakan dan mempersilahkan dia duduk disebelah aku. Aku menggeser sedikit pantatku merepet ke dinding bus untuk memberinya ruang. Setelah itu, kembali ke posisi semula dengan headset terpasang dan siap-siap tidur.

Hawa bus kota semakin lama semakin sesak menandakan penumpang sudah penuh. Tidak berapa lama, bus kota pun jalan perlahan sebelum akhirnya berjalan cukup cepat untuk ukuran jalan raya yang agak padat di siang hari ini. Inilah keuntungan duduk menyender dekat kaca. Jendela bisa dibuka dan setidaknya hawa panas berkurang dari angin yang bertiup masuk. Sekitar 5 lagu sudah berputar di handphoneku, bahuku kembali ditepuk. akupun melakukan hal yang sama dengan yang tadi : membuka sebelah headset dan menegakkan badan.

“ya?” tanyaku ke orang yang di sebelah.

Sambil kebingungan, orang yang di sebelahku tadi menunjuk orang yang sedang berdiri di sebelahnya, mengarahkanku kepada siapa aku harus berbicara. Kondektur. Dia sudah menjulurkan tangan menagih ongkos yang masih tersimpan di dalam sakuku. “Ah, tunggu bang” Aku merogoh saku dan mengulurkan selembar uang lima ribu. Tak berapa lama, kembalianpun sudah ada di tanganku.

“makasih, mas. Udah bangunin” Kataku kepada cowok disebelah.

“Oh iya..” katanya pendek sambil mengangguk.

“…..” Asli. Kalau sudah terganggu seperti ini, Aku sudah tidak bisa langsung tiduran seperti tadi. kutatap bagian belakang kursi di depanku sambil mencari bahan apa yang bisa mengalihkan perhatianku dari susah tidur lagi ini, sesekali kutengok layar handophone walaupun tahu tidak ada pesan ataupun panggilan yang masuk saat itu atau membaca iklan yang berlalu di uar jendela.

“Ke kampus XX, mas?” tiba-tiba cowok di sebelahku membuka pembicaraan.

“Em.. iya. Mas sendiri?” aku berbalik bertanya. Kumasukkan handpone dalam saku celana sebagai tanda menghargai dan mendapatkan pengalih perhatian dari rasa suntuk.

“Ng. sama..” katanya sambil sedikit tersenyum. Senyumnya manis. Namun karena aku tidak mengenalnya, aku cuek saja.

“Oh iya? Wah… Fakultas apa?” Tanyaku pura-pura tertarik dengan obrolan yang lebih jauh lagi.
“Sastra” Jawabnya pendek “Sastra Jepang. Semester delapan. Mas sendiri?” tambahnya agak telat ketika suasana dirasa terlalu canggung.

“Oh… Fikom. Gua di Ilkomnya. Sama semester delapan juga” Aku berbohong. Ya, kalau ngobrol dengan orang lain biasanya aku sedikit berbohong dan menjawab sekenanya.

Sebenarnya, aku sama dengannya. Sastra Jepang semester delapan. Dunia terlalu luas atau aku yang kurang mengenal dunia? Jujur, aku baru melihat orang ini selama kuliah di Sastra Jepang hampir empat tahun. Aku membuka-buka lagi ingatan masa lalu ketika mulai ospek sampai dengan saat ini apakah aku pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya. Maklum, karena peminatnya banyak jumlah kelaspun sangat banyak, aku yang tidak terlalu suka dengan ribut-ribut di kampus tidak pernah memperhatikan dan mencari tahu mahasiswa yang mana dan bagaimana.

“Wah, semester delapan juga? Kalau gitu… gak usah panggil mas-masan dong yah. Gua Regi” Katanya. Lagi-lagi dengan senyuman khasnya.

“Gua Dira” Jawabku. Pembicaraan di antara kami terus mengalir dari mulai masalah kampus (untung banyak temanku yang kuliah di fikom. Jadi kebohonganku setidaknya belum terungkap saat ini), suasana bus, sampai kegiatan sehari-hari. Dari pembicaraan kami, ternyata dia orangnya asik untuk diajak ngobrol, dan terungkap sudah kenapa aku tidak pernah melihat dia selama ini padahal satu atap yang sama di kampus. Dia memang bukan tipe orang yang suka mejeng-mejeng di kampus seperti kebanyakan mahasiswa. Setelah selesai kuliah, dia langsung pulang. Alasannya sih simpel : males. Aku cuma tersenyum saja mendengarnya. Ternyata masih ada tipe mahasiswa yang tidak tertarik dengan suasana kampus yang ramai.

Tidak terasa setengah jam perjalanan di bus yang panas seperti oven ini berakhir ketika tiba di halte tak jauh dari kampus. Aku, Regi, dan beberapa penumpang lainnya turun di halte ini.

“Ugh..” Badanku refleks mengulet ketika udara segar terasa. Tidak terlalu segar, tapi setidaknya lebih segar daripada panas dan pengap di bus tadi.

Sambil tetap mengobrol kamipun berjalan melewati gerbang utama kampus dan menyusuri selasar jalan utama. Sampai..

“Gua arah sini ya” Dia berbelok menuju fakultas sastra dimana seharusnya aku pergi ke arah situ juga.
“Ah, ok” Jawabku sambil melambaikan tangan ringan mempersilahkan dia pergi duluan. Sempat aku berfikir, kenapa aku harus berbohong pada Regi di awal perkenalan ya? Jadinya kan menyusahkan diri sendiri dengan menunggu dia sampai tidak terlihat lagi dan menghilang di kerumunan anak-anak sastra yang selalu ribut. Ya, aku menunggu di sini, di kantin yang tidak jauh dari tempat dimana aku dan Regi berpisah.

Satu batang rokok cukup untuk mengulur waktu yang sebenarnya tidak penting ini. Akupun berjalan menuju gedung Fakultas Sastra berharap tidak bertemu dengan dia lagi di sana.

-oOo-
«13456729

Comments

  • BAGIAN 2

    Aku Dira. Dira yang masih sama dengan tiga hari yang lalu dan udara di daerah tempatku tinggal pun masih sama panasnya dengan hari-hari kemarin. Awan seakan takut menutupi ganasnya panas matahari siang ini. Aku tiba lebih awal dari hari-hari sebelumnya. Walaupun begitu, sudah menjadi kebiasaan langkahku selalu lebih cepat kalau pergi ke halte. Bukan masalah panasnya, tapi malas kalau setiap waktu harus berebutan dengan penumpang lain untuk mendapat kursi.

    “Santai mas. bus AC nya belum lewat” Kata penjual teh botol yang berada di halte bus ketika melihat aku tiba di halte dengan tergesa-gesa. Saking seringnya aku bertanya tentang keberadaan bus AC kepada mas-mas tukang teh botol-lah kenapa dia berkata seperti itu.

    “oh gitu? Untunglah…” jawabku sambil menarik nafas dalam-dalam dan mencari tempat duduk di bangku halte. Kupindahkan tas yang kugendong ke pangkuanku. Kukeluarkan headset dari kantong paling kecil di tasku. Ketika hendak memasangkan headset, seseorang berbicara padaku.

    “Bimbingan lagi, bro?” tanya orang di sebelahku.

    Refleks, akupun menoleh “em.. siapa ya……? Ah! Yang waktu itu ketemu dan duduk sebelahan di bus kan? Anak sastra jepang juga” kataku sambil mengingat-ingat. Walaupun penampilannya berbeda, kali ini dia mengenakan topi kupluk abu-abu, rambut bagian depannya terlihat dari balik topi kupluknya dengan kaos biru lengan pendek dan celana jeans hitam. Tampak lebih segar dan santai daripada sebelumnya ketika pertama bertemu (kemeja, jaket, dan topi hitam di dalam damri…. Ugh!).

    “Haha.. iya. Gimana skripsinya?” Dia bertanya. Nama orang ini aku ingat-ingat lupa. Ingatan jangka pendekku sangatlah parah kalau urusan seperti ini apalagi hanya selewat-selewat. Ah, lupakan. Akupun berusaha untuk tidak terlihat lupa siapa dia.

    “Yah… lumayanlah bimbingan kemarin cukup memuaskan. Walaupun ada yang harus diperbaiki soal beberapa budaya Jepang yang sudah masuk dan sering digunakan oleh anak-anak muda Indonesia yang keranjingan Jepang-Jepangan” Jawabku penuh semangat.

    “oh gitu…” dia tersenyum. Kali ini senyumannya paling lebar dari apa yang aku ingat.

    “…. Anak-anak Fikom sekarang lagi sibuk-sibuknya bikin persiapan acara fakultas….” Terdengar obrolan beberapa calon penumpang yang tidak jauh dari bangku tempat aku dan orang ini duduk.

    “A, a… haha…” Fikom! Kata itu bagaikan sambaran petir untukku setelah berbicara panjang lebar tentang skripsi. Aku hanya bisa membalas senyumannya dengan canggung. Sial! Ternyata hari ini adalah hari kebohongan yang gak pentingku ini terbongkar di waktu yang tidak tepat.

    “Nyantai aja Dir. Dari awal Gua udah tahu kok kamu anak Sastra Jepang juga” DUERR! Dia mengetahui kalau aku berbohong dan memakluminya! Kata-kata barusan membuatku ingin menggali lubang sedalam-dalamnya untuk menutupi rasa malu ini.

    “Gua sering lihat kamu kok. Suka bareng-bareng sama gengnya Dimas cs kan?” Alamak. Aku tersudutkan. Dia tahu soal aku. Malu sekali rasanya ketika kita berbohong padahal orang lain tahu kebohongan kita.

    “So, sori… bukannya mau bohong… tapi asli, waktu itu saking malesnya panas-panasan di dalam bus, jadi gua gak terlalu menghiraukan sekeliling” Jawabku sedikit salah tingkah.

    “Gak apa-apa kok. Gua maklumin. Gua Regi. Pasti lo lupa kan”
    “eu.. enggak kok. Masih inget” Sial! Kok dia seperti bisa membaca pikiranku kalau aku lupa namanya. Secara spontan, aku mengernyitkan dahi.

    “wah, bagus kalau begitu. Jadi gak perlu ngobrol dari awal lagi seperti baru pertama kenal kan?” katanya mengacuhkan perubahan ekspresi wajahku.

    Diliat dari tampangnya sih… Regi tampak pintar dan menyenangkan. Lebih menyenangkan daripada pas pertama kami bertemu.
    “Ngomong-ngomong, kok lo tau gua suka ngumpul bareng Dimas dan yang lainnya?” tanyaku penasaran.

    “Ya… gimana gak kenal kalian, kemana-mana pasti aja jadi pusat perhatian karena banyak hal… Si Dimas pinter Bahasa Jepangnya, gak ada yang gak tahu kalau dia suka langganan dikirim ke Jepang buat pertukaran pelajar. Si Ray, siapa sih yang gak kenal dia? Ketua Himpunan Mahasiswa Sastra Jepang, kemana-mana pasti dicariin dosen. Si Ferdi… jangan tanya. Rebutan di kalangan cewek-cewek kan? Belum lagi Tommy, vokalis band kampus yang alirannya musik Jepang..” Regi menjelaskan satu persatu orang-orang yang sering berkumpul bersamaku.

    “Wah.. Ternyata lo tahu banyak soal anak-anak ya…” Aku sedikit kagum mendengar penjelasannya “Tapi.. kalau dibanding yang lain… Gua anak bawang kayaknya. Paling gak bisa apa-apa dan gak menonjol. Hahaha…” Tawaku. Memang begitulah adanya. Aku hanyalah mahasiswa biasa. Beruntung sekali aku bisa bersama-sama dengan mereka dan ikut terkenal karena keberadaan mereka..

    “Enggak juga. Lo bukan anak bawang kok. Mungkin menurutmu kamu tidak memiliki sesuatu hal yang menonjol yang bisa lo banggakan dibandingkan teman-teman lo. Buktinya, mereka nyaman kan bergaul dengan lo? Teman-teman lain pun melihatnya biasa saja ketika lo berkumpul dengan mereka. Tidak ada anak bawang dalam pertemanan” Jelasnya.

    “Hahaha… makasih bro. Gua jadi sedikit tersanjung” Tawa pecah diantara kami.

    Bus pun datang. Dan benar, bus AC-lah yang datang. Kami mengambil posisi di baris sebelah kanan seperti sebelumnya. Selama perjalanan, kami berdua mengobrol banyak hal. Lebih banyak dari sebelumnya: tentang mata kuliah, mahasiswa lain, dosen, dan sebagainya, yang jelas lebih santai dan terbuka karena tidak ada pura-pura diantara kami lagi. Ups, tepatnya kepura-puraan pada diriku lagi. Selain itu, kamipun memiliki banyak kesamaan: Sama-sama suka makan nasi goreng di kantin kampus, sama-sama suka lari, Sama-sama suka nonton ke bioskop sendiri, dan sama-sama suka barang-barang cinderamata dari Jepang.

    Udara dingin dari AC di atas kami membuat pembicaraan kami harus dihentikan karena mata sudah terasa berat. Maka, tanpa ada kesepakatan, kami berdua mengambil posisi untuk tidur sejenak.

    Perjalanan hari ini terasa sangat lama. Macet dimana-mana, lebih macet dari biasanya. Kurasakan haus melanda tenggorokan. Aku terbangun untuk mengambil botol minum di dalam tas. Namun, aku bingung bagaimana harus menggerakkan kepalaku. Ternyata, selama tertidur tadi, kepala kami saling menempel. Jika aku menggerakkan kepala, Regi pasti bangun dan aku tidak enak kalau harus mengganggunya. Akupun pelan-pelan mengambil botol minum sebisanya dengan sebelah tangan, karena tangan kiriku tertahan oleh bahu Regi.

    Setelah mengeluarkan botol minum dari dalam tas, kuputar tutupnya dengan sebelah tangan dan kusodorkan ke arah bibirku untuk meneguk isinya. Namun, bus tiba-tiba mengerem mendadak.

    SPLASH..!! air membasahi kami berdua. Regi terbangun dan kaget meihat tubuh bagian depannya basah tersiram air.

    “So..sori, Gi. Gak sengaja” kataku sambil mengambil tissue dari tas.

    “Tidak apa-apa…” Kata Regi masih sedikit kaget. Tidak ada lap, Regi pun mengambil tissue dari tanganku dan mengelapnya. Namun, tissue tidak efektif buat menyerap bahasa yang cukup kuyup seperti ini. Lalu diapun melepas kupluknya dan menggunakannya sebagai lap.

    Beruntung tidak berapa lama kami sampai tujuan. Kami berjalan buru-buru menuju jurusan kami. Kusuruh Regi menunggu di depan sekretariat himpunan.

    “Ray, kamu ada kaos gak di sini? Pinjem. Nanti dibalikin” kataku pada Ray yang waktu itu sepertinya baru selesai rapat himpunan.

    “Oh ada. Ambil di laci yang itu” Kata Ray menunjuk laci lemari di pojok ruangan.

    “makasih ya..” Kuambil kaos di dalam laci itu dan kuberikan kepada Regi di luar ruangan.

    “Pakai ini dulu. Biar kaos yang basah dijemur di sini” kataku pada Regi.
    Tanpa aba-aba, Regi pun melepas kaosnya. Perutnya yang kotak-kotak terlihat saat itu juga. Dipakainya kaos yang kuberikan. Tulisan “Panitia Japan Festival Tahun 2011” berwarna merah terpampang jelas di bagian dada kaos hitam itu. Aku mengambil kaos basah dari tangannya dan menjemurnya di semak-semak di depan sekretariat

    “Ray! Aku nitip jemur kaos di sini ya” kataku dengan disambut acungan jempol tangan Ray dari dalam ruangan.

    “Makasih ya kaosnya” Kata Regi

    “Ah, gak usah bilang makasih Gi, justru gua yang harus bilang maaf karena udah bikin kaos lo basah” Kataku dengan nada yang masih merasa bersalah.

    “Gak apa-apa. Gua titip kaos aja ya. Nanti diambil. Gua pergi dulu. Mau ketemu dosen” Katanya sambil lalu menuju ruang dosen.

    “Ah, tunggu. Kupluk!” Kataku sedikit mengejarnya kemudian menjulurkan tangannya meminta kupluknya “Kupluk lo basah juga. Sini gua jemur juga” Kataku.

    “Ah, oke” Dia menyerahkan kupluk basahnya yang tadi dia simpan di dalam sakunya dan berlalu.

    Aku baru memperhatikan Regi lebih seksama. Ternyata, dengan rambut yang tidak ditutup kupluk, dia tampak lebih segar dan enak untuk dilihat. Ah, hanya perasaanku saja. Tidak ada maksud apa-apa.

    Setelah menjemur kupluk Regi, akupun pergi menuju ruang dosen untuk bimbingan. “Ray, aku titip jemur kupluk juga ya..!!” Teriakku

    “Iya bawel~!” Sayup-sayup terdengar suara Ray yang merasa terganggu.

    Puku tiga sore, bimbinganku yang lama dengan dosenku akhirnya selesai. Sebenarnya, bimbinganku ini bisa selesai dalam waktu satu jam, namun molor jadi tiga jam karena komposisi yang diterapkan setiap kali bimbingan adalah tiga puluh persen revisi dan tujuh puluh persen adalah mengobrol. Ujung-ujungnya seperti biasa, aku yang sedikit memaksa untuk pulang dengan alasan ada acara lagi, padahal sudah pusing mendengarkan dosenku bercerita.

    Jalanku santai menuju ruang himpunan untuk mengambil kaos dan kupluk Regi yang dijemur tadi siang. Kupegang kaos dan kupluk yang teronggok di semak-semak di depan ruang himpunan. Masih basah. Akupun membalikkan kaos dan kupluk agar terkena panas merata.
    “Ray, masih sibuk?” Kulihat Ray yang sedang menulis di balik meja yang dua tahun terakhir menjadi mejanya.

    “Oh, iya. Ini. Rapat buat festival tahun ini” Katanya tanpa melihat padaku.

    “Istirahatlah…” Kataku pada Ray sambil memijit-mijit pundaknya “Enak?” kataku sambil tersenyum.

    “Haha… iya enak. Lamaan ya, sayang…” Katanya bercanda sambil meregangkan tangannya.

    “Sial, kamu!” kataku Sambil menepuk pundaknya.

    “Lho? Salah ya?” Tanya Ray sambil tertawa.

    “Terserah!” Kataku sambil menekan kepalanya. Raffi dan Junior, anak tingkat bawah yang ada di ruang himpunan tertawa melihat tingkah kita. Memang, aku dan Ray sudah sangat dekat dan seperti saudara, begitu juga dengan Ferdi dan Dimas dan Tommy.

    “Eh, kaos sama kupluknya masih basah. Nanti kalau mau balik nitip bawain ya” Kataku dari balik punggungnya.

    “Lho? Mau kemana emang? Gak mau ditunggu?” Tanya Ray

    “Kan ada kamu, Oom Ray. Jadi besok pagi tolong bawa ke kost-an ya. Aku mau pulang dulu” kataku sambil menyalakan sebatang rokok.

    “Sial, udah nyuruh dipanggil Oom pula” Protes Ray “Ya udah. Besok pagi aku ke tempatmu” katanya.

    “Makasih, Ray” Aku mencium ubun-ubunnya dan bergegas ke luar ruangan “Fi, Jun, hati-hati ya. Oom Ray suka mangsa bocah yang lebih muda” Kataku pada Raffi dan junior yang tebahak-bahak mendengarnya. Aku beringsut menghidari lemparan buku dari arah Ray.

    “Dira brengsek..!!” Teriaknya.

    -oOo-
  • nicely written.
    Ditunggu lanjutannya.
  • enak untuk dibaca.
  • edited June 2012
    ワクワクして、待ってます。
  • おはようございますドリッザルくん。^^
  • @dimasera + @touch
    makasih.. ^^

    @gr3yboy
    ohayou gozaimasu, gr3yboy-san..^_^
    (gk bisa ketik katakana/hiragana/kanji di hp)

    ditunggu lanjutannya ya..^^
  • BAGIAN 3

    Aku Dira dan aku baru saja terbangun di kamar kostku saat seberkas sinar matahari masuk ke dalam sela-sela ventilasi kamar dan dipantulkan oleh cermin ke arahku yang sedang tertidur pulas. Kicauan burung parkit milik tetangga telah terdengar seperti biasanya. Aku mengulet malas dari balik selimut tanpa membuka mataku. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dan sejurus kemudian Ray menerobos masuk ke kamarku. Aku mempunyai kebiasaan tidak mengunci kamarku dan langsung tertidur jika aku terlalu capek.

    “Oi! Nih kaos sama kupluknya!” Kata Ray yang datang pagi-pagi ke kostanku hanya untuk memberikan jemuran. Dilemparkannya kaos dan kumpluk itu padaku yang masih meringkuk di kasur.

    “Ah!! Iya!! Thanks bro!” Aku mengulet malas dari balik selimut. Ray langsung mencari minum dan cemilan yang biasa aku sediakan di meja di kamarku.

    “udah aku setrika noh kaos sama kupluknya” kata Ray sebelum memasukkan biskuit ke dalam mulutnya.

    “Wah si Ray dateng. Maneh (sunda: kamu) kapan dateng bro?!” Tiba-tiba Ferdi muncul dari luar kamar. Aku dan Ferdi sekost-an. Bahasa dia tergolong kacau. Campur-campur Bahasa Indonesia-Sunda. Tapi, entah kenapa, cewek-cewek yang selalu mendekatinya jarang sekali tersinggung dan bahkan mereka suka gaya bicaranya (kesampingkan soal gantengnya) ‘lebih santai dan gak terkesan manja’ katanya. Tapi, kalo mereka datang ke kost-an, mungkin ilfeel dengan tingkahnya, seperti… sekarang ini: Ferdi merangkul si Ray dari belakang.

    “Udah makan? Urang (sunda: saya) mau beli nasi uduk nih.. Maneh mau?” Katanya sambil berbisik di telinga Ray.

    “Ah. Jiss! Geli Fer! Bahasa kamu tuh benerin!” Kata Ray sambil berusaha melepaskan rangkulan Ferdi, namun gagal.

    “Tong (sunda: jangan) protes! mau beli apa enggak nih?” Kata Ferdi bertanya lagi sambil mempererat rangkulannya.

    “Iya.. iya! Tapi jangan pake lama. Aku ada rapat nih” kata Ray dengan nada kesal. Ferdi pun melepaskan rangkulannya dan pergi beli nasi uduk.

    Aku berusaha menahan ketawa dari balik selimut. Kelakuan Ferdi sudah biasa aku lihat. Begitu juga dengan respon Ray kalau diperlakukan seperti itu oleh Ferdi. Tapi, melihatnya di pagi hari sungguh paling lucu. Ferdi paling senang menjahili Ray karena responnya yang selalu keras membuat orang lain bisa tertawa terbahak-bahak.

    “masih rapat terus bro?” Aku bertanya pada Ray yang kini melihat sampul-sampul DVD.

    “Iya. Lagi sibuk-sibuknya mau bikin festival lagi” katanya sambil memperhatikan sampul DVD yang berjudul ‘My Boss my Hero’ lama-lama.

    “Ah kamu. Sibuk mulu. Udah semester delapan juga. Kasih kek jabatan kamu ke anak tingkat bawah. Skripsimu jadi terbengkalai kan?” Aku memperingatkannya. “Perhatiin deh. Semua ketua himpunan jurusan lain anak tingkat bawah. Cuma jurusan kita nih yang paling tua dan muka lama. Nanti kamu disangka maruk lagi” Tambahku. Ya, entah bagaimana, setelah sebelumnya menyelesaikan masa jabatan ketua himpunan pada tingkat dua dan digantikan oleh Andri, permintaan untuk Ray mencalonkan diri menjadi ketua himpunan sangat tinggi, sehingga Ray yang sangat suka berorganisasi ini mau ikut di pemilihan ketua himpunan yang lalu dan terpilih untuk yang kedua kalinya.

    Lima menit kemudian. Ferdi datang membawa kantong keresek hitam yang berisi tiga bungkus nasi uduk. Lumayan, ternyata Ferdi dengan baik hati membelikanku nasi uduk juga.

    “Aku makan duluan ya” kata Ray sambil membuka bungkusan nasi kuningnya.

    “Enya sok. Lalaunan weh… (sunda : iya silahkan. Pelan-pelan saja…)” kata Ferdi mencari posisi nyaman tiduran di kasur dan tidur di paha kananku yang tertutup selimut sehingga aku tidak bisa memutar badanku. Kami berdua malah memperhatikan sang ketua himpunan makan dengan buru-buru.

    “Aku pergi dulu ya” Kata Ray setelah menghabiskan nasi uduk dan minum segelas air.

    “yoi. hati-hati bro!” kataku sambil mengulet “Ambil bungkusnya buang di depan ya” tambahku.

    “Heh maneh! (sunda : hei kamu!) burung aing (sunda: saya) ditindihin!” Kataku pada Ferdi yang sekarang kepalanya tepat di selangkanganku. Aku angkat kaki kiriku dan kujepit kepalanya di antara pahaku.

    “A!! Ampun.. ampun..” Ferdi meringis kesakitan.

    Setelah mandi selesai, nasi uduk habis dimakan dan berdandan rapi, aku dan Ferdi pun pergi ke halte bus untuk naik bus ke arah kampus. Tidak ada kegiatan sih di kampus, hanya saja kami ingin bersantai-santai sekalian aku menemani Ferdi bertemu dengan ‘fans’nya.

    Kedatangan Ferdi di kampus sedikit meriah, banyak cewek yang ingin menyapanya dan mengobrol dengannya. Sifat Ferdi yang ramah dan tidak pernah menolak kalau ada yang mengajaknya mengobrol di kampus, terkadang membuat dia kesulitan untuk berkumpul denganku dan yang lainnya.

    Tidak berapa lama, bus datang. Dilihat dari luar sudah jelas kalau bus ini adalah bus pindang ikan alias bus non-AC yang selalu menumpuk penumpang sampai penuh. Ferdi langsung melepas jaket yang ia kenakan. Keputusan yang tepat untuk naik bus seperti ini. Perlahan, bus merapat ke trotoar. Ketika pintu membuka, langsung terjadi rebutan antara penumpang yang akan turun dan penumpang yang akan naik.

    “Ayo buru! (sunda : ayo cepet!)” Ferdi menarik tanganku. Memang, untuk mendapat kursi penumpang harus buru-buru, kalau tidak, terima nasib berdiri sepanjang perjalanan.

    Dapat! Namun kali ini di baris sebelah kiri. Ferdi duduk dekat kaca (sial! Posisi kesukaannku diambil!) dan terpaksa aku duduk di sebelah kanan. Penumpang kali ini sangat penuh sesak. Aku masa bodoh yang penting dapat duduk. Ferdi mengajakku mengobrol, dengan candaan yang garing namun dikemas dengan bahasa campuran Indonesia-Sunda membuatku bisa tertawa terpingkal-pingkal. Namun, setelah sepuluh menit dia menyerah dan bilang mau tidur. Hawa panas bus memang menggoda untuk memejamkan mata, dan akupun ikut tertidur.

    Biasanya, aku tidak bisa tidur kalau berada di dekat lorong bus, karena tidak ada tempat untuk menyandarkan kepala dan rawan pencopet. Tapi, yang kurasakan adalah aku bersandar. Sedikit mataku kubuka, kulirik apa atau siapa yang aku sandari. Jeans biru dongker dan kurasakan ada tonjolan di tempat aku bersandar ini. Aku bersandar di selangkangan orang lain! Refleks akupun terbangun dan bilang maaf kepada orang yang berdiri disampingku.

    “Nyantai aja bro..” kata orang tersebut. Suara yang ku kenal belakangan ini! Kutengokkan kepala. Regi! Bisa-bisanya aku tidur di selangkangan dia. Bikin malu..!

    “Sama Ferdi, Dir?” Tanya Regi seperti tidak terjadi apa-apa.

    “Iya, Gi. kebetulan aja dia pengen bareng gua ngampusnya” Dengan tanpa sadar aku menset gaya bicara lo-gua. Hal ini menjadi kebiasaanku, aku menyesuaikan panggilan dengan siapa aku berbicara. Contoh lain seperti aku-kamu dengan Ray dan urang-maneh dengan Ferdi.

    Kami pun kembali mengobrol. Sebelah tangan Regi diturunkan dan ditaruh dipundakku sedang tangan lainnya masih menggantung di palang besi yang melintang. Sebetulnya, posisiku tidak enak, aku harus mendongakkan kepala ketika mengobrol dengannya, kalau tidak, selangkangan dialah yang aku lihat (ya ampun..). Ferdi masih asik tertidur pulas.

    Setengah jam kemudian, bus sampai di halte depan kampus. Aku membangunkan Ferdi yang sepanjang perjalanan tertidur untuk turun.
    “Gua duluan ya” Kata Regi. Aku mengangguk mempersilahkan dia untuk pergi duluan.

    “Siapa?” Tanya Ferdi yang tidak memperhatikan Regi.

    “Oh, kenalan” Kataku sambil menarik Ferdi menyeberang jalan.

    Aku dan Ferdi menyusuri selasar kampus melewati taman yang rindang dengan pohon mahoni di tepi-tepi lapangnya. Ferdi tak henti-hentinya menyapa dan disapa beberapa cewek yang tampangnya di atas rata-rata. Hm.. aku tak sepopuler Ferdi. Aku mengenal beberapa orang yang merupakan fans tetap Ferdi, sebut saja Kinan dari Fikom, Tia dari jurusan akuntasi, Martha dari HI, bahkan sampai Nita anak kedokteran dan masih banyak lagi. Sebenarnya, kalau Ferdi punya bakat kayak Ray dan mencalonkan diri jadi presiden mahasiswa, bakal menang tuh. Pendukungnya sudah lintas jurusan dan fakultas, apalagi di kalangan cewek-cewek.

    “Tom!” Aku mendekati Tommy yang sedang berkumpul dengan teman-teman band-nya di pinggir lapang basket. “Masih sibuk persiapan manggung nih?” Tanyaku padanya.

    “Haha.. biasalah.. Masih ada yang harus diobrolin sama anak-anak soal jadwal latihan yang udah mepet kayak sekarang” Katanya “Buset dah! Masih aja tuh orang?” kata Tommy ketika melihat Ferdi yang sedang mengobrol dengan beberapa cewek dari jurusan Sastra Jerman.

    “Biasa lah… untung gua ketemu lo, Tom, Kalau enggak, gua jadi kayak ajudan dia sepanjang jalan” Kataku dengan nada lega “Heh! Sini maneh! (Sunda: Heh! Sini kamu!)” Aku memanggil Ferdi dan menunjuk Tommy.

    Ferdi pun dadah-dadahan kepada cewek-cewek itu dan menghampiri kami bedua “haha.. Si bos. Kemana aja nih gak pernah maen ke kostan lagi? Betah banget ngeband. Sampe lupa temen” Kata Ferdi “Ngomong-ngomong, kaos band ente Tom? Bagus eung…” Ferdi melihat-lihat kaos yang dikenakan Tommy.

    Kaos! Aku lupa mengembalikan kaos dan kupluk kepada Regi. “eh bro! gua pergi dulu yak. Ada urusan dulu” kataku sambil pergi meninggalkan mereka berdua.

    “Ah! Gak seru nih! Baru aja ketemu!” Protes Tommy

    “Sabar! Nanti kita ketemu lagi, bro!” Teriak gua dari jauh.

    Dimana aku bisa mencari Regi? Walaupun satu fakultas dan satu jurusan, tapi cukup banyak tempat dan ruangan sehingga tidak mudah mencari orang yang jarang berkerumun dengan mahasiswa lain seperti Regi.

    -oOo-


    Turut mengundang :
    @AkselEE, @LockerA @gre3yboy @touch @dimasera @bibay007

    em... siapa lagi ya?
  • :-bd
    nyimak duluu,...
  • Aku Dira dan aku baru saja terbangun... :-?

    siapa lagi yang bangun selain Dira ya..? :-P
    latar belakang kegiatan campusnya belum terlalu keliatan euy...
  • @AkselEE

    mangga di simak

    @touch

    haha.. lebih ke settingnya aja sih... mudah2an bisa terlihat egiatan kampusnya..

    @lockerA

    siap oom..!
    *jungkir balik ke kasur buat lanjut ngetik*
  • ayo lanjuuut...
  • Mau tanya deh. Kenapa awal paragraf harus mengenalkan diri lagi? "Namaku Dira." menurut aku sih tidak perlu. Cukup sekali di bagian 1 saja :) lagian dia tokoh sentral, so pasti tau dong kita siapa nama tokohnya.

    Kedua, (sunda: bla bla) jangan sering2 bro. Mengganggu pembaca. Tapi kalau dah terlanjur gpp sih. Emang begini susahnya kalau pakai dialek2, jadi penyesuaikan sama pembaca yg dari berbagai banyak suku.

    頑張ってね!
  • @gr3yboy
    iya sih.. makasih sarannya..^^d

    buat yang 'namaku Dira'.. karena ada beberapa bagian yang nantinya kedepannya tidak hanya dari sudut Dira saja, tapi digantikan oleh yang lainnya. bisa saja itu Ferdi, Dimas, atau yang lainnya..
    tadinya buat ngasih tau aja sih.. bagian siapa yang bercerita..^o^

    saya akan pertimbangkan soal ini. mungkin untuk part tokoh lain yang akan saya perkenalkan di awal masing2 part dan part setelah Dira yang bercerita kembali.

    makasih ya bro. ^^
  • seting di bdg? nitip jejak ah biar dimensen klo da apdet..
  • Oh ada multy POV ya nanti? Mungkin sejak awal dikasi aja POV siapa, atau mungkin gamau kayak biasanya ya? Oke nevermind, lanjuuut.
Sign In or Register to comment.