DAFTAR CERITA YANG ADA DI ANTOLOGI :
Page 1 – YANG TAK TERKATAKAN ; HOHENZOLLERNBRÜCKE ; PELANGI SETELAH BADAI
Page 2 – BANDARA ; PENJAGA HATI
Page 3 – DUA DUNIAKU ; PENANTIAN
Page 4 – LAST MINUTE
Page 5 – DATE ; SEHABIS PROM
Page 6 – UNTUK TOBY
Page 7 – MALAM TERAKHIR
Page 8 – WHEN 3 BECOME 2 ; WHILE WE WERE WALKING
Page 9 – MEI
Page 10 – KETIKA HUJAN
Page 11 – HEART SHOCK
Page 12 – CINTA DI UJUNG WAKTU
Page 13 – BLACK NIGHT ; LOVE FROM THE PAST
Page 14 – POSTCARD
Page 16 – AWAL KEDUA ; LIFE’S GAME
Page 17 – THE LOUNGE
Page 18 – BATTLE OF LOVE
Page 20 – DECISION
Page 21 – THE LETTERS
Page 22 – SURGA PAGI
Page 24 – THE EVENING PROMISE
Page 27 – AT THE HOTEL
Page 33 - A PHOTO
Page 36 - PAVO'S SANCTUARY
Page 38 - NEW BOY
Page 40 - STAY
Page 41 - REUNION
Page 43 - DECEMBER
Page 47 - LOVE SURPRISE
Page 49 - GIARDINO IBLEO
Page 51 - DEAR LOVE & NOTE TO DARKNESS
Page 52 - HIM
Page 53 - THIS MOMENT
SSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSSS
YANG TAK TERKATAKAN
Suara dentuman musik yang sedang dimainkan oleh DJ masih memenuhi indera pendengaranku lima belas menit sejak aku memasuki La Barca. Aku tidak terbiasa ke tempat seperti ini dan rekor clubbingku bisa dibilang memalukan untuk ukuran orang yang sudah berdiam di Bali selama hampir dua tahun. Jika bukan karena Tristan, aku lebih memilih untuk menghabiskan malamku ini dengan memandangi langit yang cerah malam ini sambil menikmati rokokku di hammock yang tergantung di luar rumah kontrakanku ditemani lagu-lagi favoritku. Tapi, Tristan tiba-tiba ingin bertemu denganku karena besok dia harus terbang ke Perth. Profesinya sebagai pilot memang membuat kami jarang bertemu.
Aku memandang layar ponselku, menunggu pesan dari Tristan karena sudah lebih dari lima menit dia belum juga muncul. Tristan adalah salah satu dari sedikit teman –meski aku lebih suka menyebutnya pacar yang belum bisa kumiliki- yang jarang telat, mengingat juga profesinya yang selalu menghargai waktu, aku selalu khawatir jika Tristan telat.
Ponselku bergetar dan aku melihat satu pesan dari Tristan
Km dimana?
Jariku sudah menekan virtual keypad untuk membalas pesannya ketika sebuah tepukan di bahuku membuatku membatalkan niatku.
“Apa kabar Vian?”
“Heh! Tumben telat?”
Yang ditanya hanya menunjukkan seringaiannya sebelum kami berpelukan. Ini adalah salah satu saat dimana aku bisa merasakan tubuh Tristan bersentuhan dengan tubuhku, meskipun pelukan ini hanyalah sebuah pelukan pertemanan.
“Sopir taksinya sempet kesasar dikit tadi. You look great!”
Aku hanya tersenyum mendengar pujian dari Tristan meskipun sebenarnya, akulah yang harus mengucapkan kalimat itu untuknya. Meskipun hanya mengenakan polo shirt berwarna kuning gading dan celana jins hitam, sosok Tristan tetap membuatku kesulitan untuk mengatur nafasku. Lima tahun tidak membuatku imun terhadap pesonanya. Semakin bertambah usianya, Tristan terlihat semakin dewasa, matang dan juga semakin menarik.
“Nggak usah nyindir deh, bilang aja elo pengen gue bilang kayak gitu buat tampilan elo malam ini.”
Tristan tertawa, memamerkan deretan gigi putihnya yang sangat rapi dan terawat. “Bingo!” ucapnya kemudian mengedarkan pandangannya ke pantai. “Mau ngobrol di pantai?”
“Mending di rumah kontrakan gue aja kalo mau ngobrol.”
“Tapi sayangnya, rumah kontrakan kamu nggak ada pantainya.”
“Sialan! Ya udah, cari spot sana. Gue beli bir dulu,” ucapku sambil melangkahkan kakiku menuju ke bar namun pandangan Tristan menghentikan langkahku. Meskipun cahaya disini tidak terlalu terang, namun masih cukup buatku untuk melihat ekspresi wajah Tristan saat aku melangkahkan kakiku ke bar.
“Sejak kapan kamu minum bir, Vian?”
“Emang penting nanya kayak gitu?”
“Hehehe. Aku satu ya?”
Sekarang, ganti aku yang memandang Tristan dengan tatapan tidak percaya. “Elo? Minum bir? Sejak kapan?”
“Penting ya nanya kayak gitu?”
Belum sempat aku membalas pertanyaanku yang diulanginya, Tristan sudah lebih dulu kabur. Aku hanya mampu menggelengkan kepalaku heran lalu melanjutkan langkahku menuju ke bar. Aku hanya minum bir jika ingin dan keinginan itu bisa dibilang jarang muncul, Tristan, juga tidak bisa dibilang penikmat bir. Jadi, kami berdua sebenarnya sama-sama terkejut bahwa malam ini, bir menjadi pilihan teman nongkrong kami di pantai.
Begitu aku berhasil memgang dua bir di kedua tanganku, aku segera mencari sosok Tristan yang tidak sulit untuk ditemukan karena selain hubungan pertemanan kami –betapa aku sangat membenci istilah itu- perasaanku terhadap Tristan juga membuatku ingat setiap hal yang berhubungan dengannya, bahkan jika Tristan sendiri tidak ingat pernah memberitahuku. Aku menghampiri Tristan yang entah sedang memikirkan apa hingga tidak menyadari kehadiranku di sisinya.
“Ngelamunin apaan sih?” tanyaku sambil mengulurkan tangan kananku untuk menyodorkan birnya. Tristan hanya tersenyum lalu meraihnya, seolah senyumannnya itu menjawab pertanyaanku.
“It’s always hard to leave Bali,” ucapnya setelah mengosongkan seperempat botol birnya. Pandangannya seperti terkunci ke arah gulungan ombak di hadapan kami sementara aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memandangi wajahnya meskipun hanya cahaya remang-remang yang ada di sekitar kami.
Entah sudah berapa kali kami duduk seperti ini, bersisian dan sudah tidak terhitung berapa kali aku harus menahan lenganku agar tidak terulur untuk menyentuh pipinya atau meraih kepalanya untuk bersandar di bahuku. Seharusnya, aku mengubah perasaanku ke Tristan menjadi perasaan yang harusnya dimiliki oleh dua orang teman karena tahu dan sadar bahwa kalaupun Tristan tahu, dia tidak akan pernah membalas perasaanku kepadanya. Namun, aku tidak mampu melakukan itu. Perasaanku terhadap Tristan justru semakin kuat dan sekuat apapun aku berusaha untuk mengalihkannya –seperti mencoba untuk mencintai pria lain- perasaanku ke Tristan tidak bisa aku alihkan.
“Elo bakal kesini lagi bulan depan, Tristan. Udah deh, nggak penting jadi sok melodramatis gitu,” gurauku karena setiap kali dia akan meninggalkan Bali, Tristan selalu bilang seperti itu padahal dia pasti juga akan kembali kesini.
“Well, kamu nggak pernah tahu kan apa yang bisa terjadi di udara? Bisa aja besok pesawatku jatuh dan nggak ada lagi yang bakal nemuin kamu disini,” ucapnya sambil menatapku dengan tatapan yang dibuat sedramatis mungkin. Ciri khas Tristan. Banget!
Aku cuma mencibir kalimat yang baru diucapkannya sebelum membasahi lagi tenggorokanku dengan bir di tanganku. “Heh, temenku bukan cuma elo ya? Udah deh, ngomongin yang lain. Bosen gue denger elo ngomong gitu terus tiap kali mau ninggalin Bali.”
Kali ini, tawa Tristan menyelinap diantara suara gemuruh ombak dan dentuman musik yang masih terdengar begitu jelas di sekeliling kami. Bukan suara tawa itu yang membuat aku tertegun, namun ekspresi tawanya yang selalu membuatku seperti tertarik magnet seorang Tristan Suryapradja.
“Ke Eropa yuk!”
Aku menaikkan kedua alisku sambil memandang Tristan setelah dia menyelesaikan kalimatnya. Ke Eropa? Tumben-tumbenan nih ngajak ke Eropa, batinku.
“Naik sepeda ya? Elo pikir gue punya tabungan satu miliar sampe elo ngajak ke Eropa segala? Kalo gratis gue mau.”
“Itu gampang lah. Urusan tiket serahin aja ke aku, kayaknya bulan depan aku mau ngajuin cuti. Udah lama juga nggak ke Eropa, kangen banget jalan-jalan diantara bangunan-bangunan tua disana,” ucapnya dengan nada antusias. “Mau kan?”
“Ini serius elo mau ngajakin gue?” tanyaku tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
“Kalau nggak serius, ngapain juga aku bilang ke kamu. Ini lebih dari sepuluh rius, Vian. Mau ya?”
Aku mengurangi lagi isi botol birku mendengar permintaan Tristan. Ini diluar kebiasaan Tristan, biasanya, setelah cutinya habis dan dia sudah melaksanakan niatnya untuk jalan-jalan kemanapun yang dia mau, baru dia memberitahuku. Hanya untuk membuatku iri karena tempat-tempat yang dikunjunginya biasanya adalah tempat-tempat yang akupun rela menjual jiwaku ke iblis untuk sampai kesana. Maka, aku hanya mengabaikan ucapannya sambil memenuhi indera penglihatanku dengan kepekatan serta gulungan ombak dihadapanku.
“Emang elo mau kemana sih? Perasaan Eropa udah elo jelajahin semua deh.”
“Aku pengen ke Budapest trus ke Burgundy, liat vineyard disana, kali ini lebih pengen ke daerah-daerah pinggiran. Udah bosan liat kota terus.”
“Lah, Budapest itu kan kota?”
“Ya, kecuali itu lah. Semut juga tahu kalau Budapest itu kota,” ucapnya sambil menjulurkan lidahnya untuk mengejekku.
“Emang mau cuti berapa lama sih?”
“Yah, tiga minggu cukup lah. Sekalian mau introspeksi diri.”
Kali ini aku tidak menanggapi kalimat Tristan karena dari nada suaranya, dia tidak sedang ingin bercanda. Jadi, aku meminum birku lagi sementara pikiranku membawaku ke pertemuan kami sebulan lalu ketika Tristan bercerita bahwa dia mulai lelah jadi pilot. Bukan fisik yang dikeluhkannya namun mentalnya yang terus-terusan diuji hingga dia sampai pada satu titik dimana untuk pertama kalinya sejak dia menjadi pilot, dia ingin berhenti. Mungkin, Tristan memang butuh cuti, tapi kalau dia ingin introspeksi, kenapa aku diajak?
“Eh, kalo elo mau introspeksi, ngapain ngajakin gue? Yang ada malah elo bukannya introspeksi.”
Tristan kemudian menghabiskan birnya lalu menatapku. Aku menelengkan kepalaku menunggu jawabannya namun yang aku dapatkan adalah sebuah senyuman. Aku benar-benar tidak mengenal sisi Tristan yang malam ini sedang duduk di sebelahku ini.
“Because I you’re a part of my introspection also.”
Kali ini, kerutan di dahiku seperti berlipat mendengar kalimat yang baru diucapkan Tristan. “Maksud elo apaan sih Tan? Yang jelas deh ngomongnya, nggak usah pake muter-muter kayak ghini,” ucapku menggunakan nama panggilan itu untuknya, yang khusus aku gunakan kalau aku sedang bingung atas sikap Tristan. Malam ini adalah saat bingung itu. Tristan tidak pernah suka dipanggil hanya dengan Tris atau Tan, harus Tristan, makanya biasanya dia langsung menjelaskan padaku kalau aku sudah memanggilnya dengan sebutan itu.
“Aku udah nyangka kalau kamu pasti nggak sadar. Vian….”
Sekarang, Tristan mengulurkan tangannya kepadaku dan otakku sepertinya masih berusaha untuk mencerna setiap kalimat yang meluncur dari mulutnya yang sama sekali tidak aku mengerti itu. Biasanya, aku langsung menggodanya atau menganggap setiap sikapnya ini sebagai lelucon, namun entah kenapa, malam ini, semuanya terasa seperti sebuah adegan dalam film yang telah di-skenario-kan hingga aku pun tidak mampu melontarkan lelucon ataupun bersikap seperti normalnya seorang Vian.
Aku hanya diam sebelum akhirnya meraih tangannya namun bukan dalam posisi menggenggam, tapi seperti seorang peramal yang mengambil tangan orang yang ingin diramalnya. Aku meletakkan telapak tanganku di bawah telapak tangannya.
“Baiklah nak, mari saya lihat garis tanganmu,” ucapku kemudian yang disambut Tristan dengan tawa lalu menarik tangannya kembali begitu aku menyentuhnya.
“Serius lah Vian, ini nih susahnya ngomong sama orang yang suka nganggep remeh omongan-omonganku,” ucapnya sebelum bangkit lalu kembali mengulurkan tangannya kepadaku. “Kita jalan aja yuk?”
“Tadi ngajakin duduk, sekarang ngajakin jalan, ntar awas ya kalo elo ngajakin lari?” sungutku sambil meraih tangannya untuk membantuku berdiri. Ketika aku sudah berada sejajar dengannya, bahkan berdiri tepat di hadapannya, aku melihat sesuatu yang berbeda dalam tatapan Tristan.
“Boleh kan malam ini aku nginep di tempat kamu?”
Untuk kesekian kalinya, Tristan kembali mengejutkanku dengan ucapannya. Selama llima tahun, belum pernah sekalipun Tristan menginap di tempatku, baik saat aku masih tinggal di kos maupun saat aku sudah punya rumah kontrakan meskipun aku akan sangat tidak keberatan jika dia mau menginap. Jadi, aku hanya menatap Tristan dengan pandanngan menelisik, seolah menganggap ucapannya itu sebuah candaan.
“Eh, Tristan, elo kesambet apaan sih? Malam ini elo aneh banget deh. Gue berasa kayak ngobrol ama orang asing. Tristan yang gue kenal jarang bahkan bisa dibilang nggak pernah ngomong hal-hal kayak gitu. Elo nggak ngelakuin yang aneh-aneh kan sebelum dateng kesini?”
Lagi-lagi, ucapanku itu disambut tawa olehnya. “Udah ah, jalan yuk!”
Tanpa menunggu persetujuanku, Tristan sudah melangkahkan kakinya untuk meninggalkanku hingga aku tidak punya pilihan lain selain mengikutinya meskipun dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk di benakku mengenai ucapan-ucapan Tristan malam ini. Kami berjalan bersisian dalam diam selama beberapa menit dan aku tidak mampu menahan diriku untuk tidak memperhatikan Tristan. Semuanya masih sama seperti saat terakhir kali aku bertemu dengannya, hanya sikapnya agak sedikit aneh menurutku malam ini. Semoga Tristan tidak sedang mempersiapkan sesuatu yang buruk untuk aku dengar.
“Kira-kira, kalau aku berhenti jadi pilot, kerjaan apa yang cocok buatku ya?”
“Elo serius mau berhenti jadi pilot?”
Tristan mengangkat kedua bahunya. “Masih belum yakin, tapi nggak ada salahnya kan nyiapin diri sendiri? Jadi aku punya gambaran kira-kira apa yang bisa aku lakuin kalo akau udah nggak jadi pilot lagi.”
Aku membiarkan pecahan ombak terakhir membasahi sandalku karena membawa bir di tangan kanan sementara tangan kiri membawa sandal terdengar tidak praktis dan merepotkan untukku jadi, aku membiarkan sandalku basah.
“Mungkin nggak elo kerja di office nya? Jadi masih nggak jauh-jauh dari dunia elo sekarang. Tapi, kalo elo mau jadi model, masih ada kesempatan kok,” ucapku yang kemudian disambutnya dengan sebuah senyuman. Dari dulu, aku selalu menggodanya bahwa kalau dia mau, dia bisa jaid model terkenal karena posturnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang model. Aku juga beberapa kali ingin mengambil fotonya secara profesional namun dia selalu menolak. Jadi, aku tidak pernah berhenti menggodanya tentang hal itu.
“Hmmm, nggak tahu juga sih. I’ll find out later. Tentang model, kayaknya aku mulai berubah pikiran nih. Boleh deh, kapan-kapan kamu ambil fotoku secara profesional. Itung-itung buat pajangan di apartemenku ntar.”
“Nude?”
“Eh, jangan mentang-mentang aku udah bersedia trus kamu mau bikin foto dengan pose yang macem-macem yah?”
Kami berdua pun tertawa. Aku juga tidak akan keberatan untuk memotretnya tanpa busana karena selama ini, aku hanya mampu melihat Tristan dalam balutan celana renang. Tristan punya tubuh yang proporsional dan wajah Indonesia-Thailand nya itu sudah cukup menjual. Aku tersenyum membayangkan melihat Tristan berdiri kikuk tanpa busana sementara aku fokus di balik lensa kameraku untuk mendapatkan gambar yang sempurna.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?”
“Suka-suka gue lah, elo kan nggak perlu tahu apa yang sedang gue pikirin,” ucapku seelum menjuluurkan lidahku. Biasanya, Tristan akan menanggapinya dengan balik menjulurkan lidahnya, namun kali ini, dia menghentikan langkahnya dan menatapku.
“Vian, bisa nggak sih kita ngomong serius?”
Aku sudah hampir kembali menggodanya namun mendengar nada suaranya, aku mengurungkan senyum yang sudah siap terpasang di wajahku. Susah untuk bersikap serius jika menghabiskan waktu bersama Tristan, kalaupun bisa, hanya berlangsung beberapa menit saja. Namun sepertinya, kali ini permintaan Tristan untuk berbicara serius denganku akan berlangsung lebih dari beebrapa menit.
“Mau ngomong apa?”
“Udah berapa lama kita temenan?”
“Lima tahun?”
Trsitan mengangguk. “I’m gay.”
Hanya dua kata memang, namun aku seperti merasa mendapatkan bogem mentah tepat di wajahku. Ini…pasti salah satu gurauan Tristan. Did he just say that he’s gay? Aku menggelengkan kepalaku tanda tidak percaya.
“No, you’re not Tristan.”
“I am, Vian. I’m gay.”
Sebuah tawa meluncur dari mulutku, bukan untuk menertawakan fakta –yang masih belum aku percayai sebagai fakta- yang diberitahukan Tristan kepadaku, namun lebih untuk menertawakan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari bahwa Tristan gay? Aku tidak pernah gagal menilai seseorang jika mereka gay atau bukan dan meskipun pernah terlintas di pikiranku, berharap bahwa Tristan adalah seorang gay dan kami kemudian saling menjalani hubungan, seperti pasangan gay pada umumnya, namun pikiran itu segera tergantikan oleh hal lain. Tristan tidak mungkin gay.
“Apa ada yang lucu, Vian?”
Menyadari bahwa mungkin Tristan akan berpikiran aku tertawa karena mengetahui dia gay, aku menghentikan tawaku lalu menatapnya. Aku menangkap raut muka sebal di wajahnya namun ekspresi itu berubah ketika kami saling bertatapan dan aku memberinya tatapan minta maaf meskipun jika dia tahu, dia pasti akan menertawakanku juga.
“It’s just me, Tristan. It has nothing to do with you. I’m sorry.”
“Will you still be my friends?”
Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Apakah dia berpikir bahwa hanya karena aku mengetahui bahwa dia gay, aku akan berhenti jadi temannya? Apakah dia berpikir pikiranku sesempit itu?
Aku tersenyum lalu mengangguk. “I’m not a homophobic, Tristan.Kita udah temenan lima tahun, trus cuma karena gue tahu elo gay, gue bakal ninggalin elo, gitu?” aku menggelengkana kepalaku. “Gue bakal tetep jadi temen elo.” Karena gue juga gay dan gue suka ama elo sejak lima tahun lalu.
Aku berharap mampu mengatakan lanjutan kalimat itu di hadapan Tristan namun, aku tidak ingin dia berpikiran bahwa aku mengambil keuntungan darinya. Sekarang, aku akan lebih punya banyak kesempatan untuk mengubah status Tristan dari hanya sekedar teman menjadi seorang kekasih? Mungkin yang aku butuhkan saat ini hanyalah kesabaran. Aku tidak mungkin secara terang-terangan menunjukkan perhatianku kepadanya namun Tristan bukan pria bodoh. Suatu hari nanti, dia akan mengetahui bahwa aku ingin menjadi lebih dari seorang teman untuknya.
“Thank you, Vian,” ucapnya sambil kemudian merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Kali ini, aku berharap Tristan akan memeluk tubuhku lebih lama dari biasanya. Aku memejamkan mataku, seperti ingin menikmati momen ini selama mungkin. Parfum beraroma Woody yang selalu dipakainya memenuhi indera penciumanku hingga aku kemudian tersenyum.
“Elo pake parfum apaan sih? Gue suka prfum elo yang ini.”
“Ntar kalau aku ke Bali lagi, aku bawain."
*****
Tristan tidak pernah kembali lagi ke Bali.
Aku sedang berdiri di depan nisan bertuliskan Tristan Suryapradja, hanya 31 tahun umur yang diberikan Tuhan untuk pria yang selama lima tahun begitu menguasai hatiku. Cuaca panas kota Surabaya seperti tidak membuatku bergeming untuk beranjak dari pusara tempat Tristan beristirahat untuk yang terakhir kalinya. Entah sudah berapa lama aku berdiri disini karena sesungguhnya aku tidak peduli. Tanganku masih memegang secarik kertas yang tertempel di asramanya di Perth dan aku tidak mampu menahan air mataku ketika membacanya, di ruangan tempat Tristan menghabiskan waktunya setiap kali berada di Perth.
THINGS TO DO : VIAN
- Aku suka dia
- Aku pengen jadi lebih dari sekedar temen buat dia
- Ngajak dia ke Eropa, terutama ke vineyard paling bagus se-Prancis
- Semoga Vian tetep mau jadi temenku kalao dia nggak mau jadi lebih dari temen
Itulah tulisan yang setiap hari dibaca Tristan setiap kali dia bangun dari tidurnya. Namaku. Aku tidak henti-hentinya menyesali setiap kesempatan yang aku miliki bersamanya, kesempatan untuk mengatakan bahwa aku juga menyimpan perasaan yang sama untuknya. Kesempatan untuk menjalani sebuah hubungan dengannya. Hanya itu yang aku sesalkan. Kenapa semua harus terungkap lewat cara seperti ini?
Masih lekat dalam ingatanku ketika keesokan harinya, setelah aku menghabiskan malamku bersama Tristan, aku mendapat kabar dari keluarga Tristan bahwa mobil yang dikendarai Tristan menjadi salah satu korban tabrakan beruntun dan Tristan menjadi salah satu dari sepuluh korban yang meninggal di tempat. Aku ingat bahwa tubuhku lemas seketika, bahkan, Didi, teman sekantorku, sampai perlu mengambil alih ponsel dari genggamanku. Beberapa hari kemudian, aku sudah berada di asrama Tristan untuk mengemasi barang-barangnya untuk dikirim kembali ke Surabaya karena kedua orang tua Tristan terlalu terpukul untuk melakukannya.
Mike, teman semaskapai Tristan, kemudian memberiku sebuah notes, yang selalu dibawanya kemanapun dia terbang, dan hanya dua foto yangtersimpan disana. Fotonya bersama Papa dan Mamanya, serta foto kami berdua ketika kami menghabiskan dua minggu di New Zealand. Mike bilang bahwa sudah sejak lama dia ingin bilang kepadaku tentang orientasi seksualnya namun dia terlalu takut aku akan berhenti jadi temannya jika aku tahu. Setiap detik yang aku lewati bersama Tristan malam itu kembali muncul seperti slide show yang diputar di hadapanku. Setiap kalimat yang meluncur dari mulutnya malam itu ternyata sebuah pertanda, bahwa dia tidak akan mampu lagi menghabiskan waktunya denganku. Aku benar-benar seperti berada di dua dunia, dunia ketika Tristan masih hidup dan kematiannya hanyalah seperti mimpi dan dunia yang mengingatkanku bahwa Tristan memang sudah berada di dunia lain.
Dua bulan sudah berlalu sejak kematian Tristan namun, aku masih belum merasakan kebosanan untuk mengunjunginya setiap sebulan sekali. Di pemakaman inilah, aku selalu bertemu dengannya, berbicara dengannya, menggodanya bahkan menangis di hadapannya. Aku tahu Tristan bisa melihatku hingga aku tidak memiliki keraguan sedikitpun bahwa dia mengabaikanku. Aku hanya tidak mampu mendegar suaranya, melihat senyumnya ataupun ekspresi yang selalu ditunjukkannya padaku setiap kali aku menggodanya. Semua itu hanya tersimpan di memoriku. Disanalah aku menyimpan semua tentang Tristan.
“Gue bakal tetep dateng kesini meskipun gue tahu, elo bakal nggak suka. Kali ini, elo nggak bisa larang gue, Tristan. Kalaupun sampe ada yang liat dan pikir gue pantes dimasukin RSJ, gue tahu elo bakal bantuin gue. Elo lebih suka liat gue disini daripada di RSJ kan?” Aku tersenyum tipis sebelum membungkukkan badanku agar mampu menyentuh batu nisannya. “Elo nggak bosen kan liat gue? Lima tahun aja elo nggak pernah protes kan? Gue yakin elo pasti seneng gue temenin.”
Aku kemudian mencium batu nisan Tristan, satu-satunya hal yang bisa membuatku merasa begitu dekat dengannya dan berusaha untuk menahan air mataku agar tidak menetes diatas pusaranya. Namun, air mataku terlalu cepat untuk aku tahan hingga kemudian aku menegakkan tubuhku kembali dan menyeka air mataku.
“Gue sayang elo Tristan, gue cuma pengen elo tahu itu. Mustinya gue bilang malam itu juga kalau gue sayang ama elo biar elo tahu. Gue emang goblok ya? Gue pulang dulu, bulan depan gue balik lagi kesini. Doain gue supaya bisa dipindah ke Surabaya ya? Biar gue bisa lebih sering nengokin elo. Tristan, elo baik-baik ya disana? Jangan sok gaya atau narsis disana, elo nggak ada apa-apanya dibanding James Dean. Gue pasti bakalpengen balik lagi kesini begitu gue nyampe Bali.”
Aku terdiam beberapa saat sambil membiarkan mataku menatap tempat peristirahatan Tristan tanpa henti sebelum akhirnya aku membalikkan tubuhku untuk meninggalkan area pemakaman. Sekuntum bunga kamboja tiba-tiba jatuh tepat di saku kemeja yang aku kenakan hingga terlihat seperti seseorang sengaja menaruhnya disana. Aku menghentikan langkahku lalu meraih bunga kamboja itu dan menciumnya.
“Nggak usah khawatir gitu, Tristan. Gue bakal kesini lagi kok.”
Aku tahu, Tristan bersamaku saat ini maka aku pun memandang sekelilingku lalu tersenyum sebelum kembali melanjutkan langkahku yang sempat terhenti tadi.
Comments
Pindahan nih ceritanya.
@ pokemon : if that's what you want
“Udah siap?”
Aku memalingkan wajahku dan melihat Fabian sudah mengganti t-shirtnya dengan kemeja merah marun yang membuatnya terlihat lebih dewasa. Bayangan akan Fabian tiga tahun lalu masih sering terlintas di pikiranku ketika yang dikenakannya hanyalah celana pendek, kaos tanpa lengan, paling rapi, aku melihatnya mengenakan polo t-shirt. Tiga tahun telah berlalu sejak terakhir kali kami bertemu, sosok Fabian yang sekarang masih baru untukku. Bukan hanya dari cara dia berpakaian, namun juga cara dia berbicara semakin menunjukkan kematangan usianya. Mungkin karena kami baru menghabiskan dua malam dari dua puluh empat hari yang akan aku habiskan bersamanya.
“Memang kita mau kemana?” tanyaku yang masih berdiri di dekat jendela apartemennya, memandang langit sore kota Köln yang membiusku sejak beberapa menit yang lalu.
Fabian menjawab pertanyaanku dengan menghampiriku lalu menyusupkan kedua lengannya untuk memelukku. Aku masih merasa ini seperti mimpi, merasakan tubuh Fabian begitu dekat denganku setelah selama tiga tahun aku hanya mampu membayangkan bagaimana rasanya merasakan lengannya memelukku.
“Ada satu tempat yang pengen aku tunjukkin sama kamu,” ucapnya lirih sambil mendekatkan wajahnya hingga hidung kami bersentuhan. Punya tinggi lebih dari 190 cm membuat aku seperti kurcaci baginya hingga dia yang harus menundukkan wajahnya setiap kali kami berciuman. Satu hal yang dikeluhkannya semalam –tentu saja dia cuma bercanda- namun tidak pernah bosan dilakukannya.
“Okay, shall we go now?”
“One kiss?”
Aku hanya tersenyum sebelum Fabian menempelkan bibirnya ke bibirku dan entah sudah berapa kali kami melakukannya, aku selalu merasa seperti kami baru pertama kali berciuman. Fabian menatapku dan aku masih saja merasa gugup mengetahui bahwa tatapan itu hanya ditujukan untukku.
“Is there something wrong?” tanyaku ketika dia tidak beranjak dari pandanganku.
“I still feel like I’m dreaming, Dewa.”
Aku menganggukkan kepalaku pelan. “I feel the same way, Fabian. But, we both know it’s not a dream.”
Fabian tersenyum. “Let’s go now before it’s getting dark,” ucap Fabian sambil melepaskan tubuhku dari pelukannya dan berjalan melintasi ruangan untuk mengambil kunci mobilnya.
“Sebenernya kita mau kemana sih?”
“You’ll see.”
Akupun mengikuti langkah Fabian dan pasrah saja kemana dia akan membawaku.
+++
“Kamu suka Köln?”
“From what I’ve seen so far, I like this city.” jawabku sambil mengamati lalu lalang orang-orang yang melintasi aku dan Fabian yang sedang duduk di tangga di depan Cologne Cathedral. “Kenapa?”
Fabian hanya tersenyum, tangannya sejak tadi tidak lepas dari tanganku. Berpegangan tangan di tempat seramai ini awalnya membuatku tidak nyaman namun begitu aku melihat ada beberapa pasangan seperti kami melakukan hal yang sama, aku malah merasa bangga karena aku bersama dengan Fabian dan perasaan tidak nyaman itu perlahan hilang.
“In case you wanna live here,” jawabnya tanpa mengalihkan wajahnya untuk memandangku.
“Aku kira kamu suka Bali.”
“Tentu saja aku suka Bali! Hanya saja…” Fabian tidak meneruskan kalimatnya, dia malah mengedarkan pandangannya seolah ingin aku melanjutkan sendiri kalimat yang sengaja tidak dilanjutkannya.
Aku memandang Fabian, menunggunya melanjutkan kalimatnya namun sepertinya dia tidak berniat melakukannya.
“Hanya saja apa, Fabian?”
“Berapa lama kita akan bertahan, Dewa?”
Aku mengerutkan keningku. “Bertahan apa, Fabian? Ngomong itu yang jelas, jangan dipotong-potong seperti itu. Aku kan nggak bisa baca pikiranmu jadi kamu musti ngasih tahu aku.”
Fabian memandangku. “Hubungan kita, Dewa. Aku tahu, mungkin terlalu cepat, tapi aku ingin sekali kita hidup bersama. As a couple.”
Munafik rasanya jika aku tidak pernah membayangkan hidup bersama Fabian karena sejak aku mengenalnya, hanya bayangan itu yang melintas di pikiranku. Saat itu, aku berpikir bahwa apa yang aku inginkan bukan hanya terdengar terlalu berlebihan namun juga mustahil untuk jadi kenyataan. Namun, ketika semuanya menjadi semakin jelas dan sekarang aku kembali bersama Fabian, tanpa ada kepura-puraan lagi, aku semakin merasa yakin bahwa apa yang aku bayangkan saat itu mungkin saja akan menjadi kenyataan. Namun, aku tidak menyangka akan mendengar Fabian mengucapkan itu sekarang.
“Ada terlalu banyak hal yang harus kita bahas jika menyangkut hal itu Fabian.”
Fabian mengangguk. “Aku tahu. Tapi, apakah kamu mau? Mungkin bukan sekarang tapi nanti, kapanpun nanti itu datang.”
“Kita sudah saling mengenal selama tiga tahun tapi hanya sebagai teman. Apa yang kita jalani setelah kematian Nara sama sekali berbeda.” Aku menelan ludahku sebelum meremas tangan Fabian. “But, yes, I want it.”
Tidak ada keraguan sedikitpun saat aku mengatakan itu karena aku memang ingin bersama Fabian. Dimanapun dan kapanpun saat itu datang. Aku tidak pernah bisa melupakan perasaanku terhadap Fabian sejak kami berpisah dan menjalani tiga tahun kehidupan kami dalam asumsi dan ketidakpastian. Rasanya tidak terlalu berlebihan jika aku hanya ingin bersamanya setelah melalui semua itu.
“Berarti kita sama-sama punya tujuan setelah….tiga minggu.”
Ada ketidak relaan dalam nada suaranya, seperti dia tidak ingin menyebutkan berapa banyka waktu yang aku miliki bersamanya, namun terpaksa diucapkannya. Akan sangat terasa aneh bagi kami berdua jika waktu itu datang karena kebersamaan serta keintiman yang akan kami miliki selama tiga minggu akan digantikan dengan ketidakhadiranku ataupun Fabian ketika aku kembali ke Indonesia. Aku hanya berharap kami mampu bertahan dengan semua itu sebelum kami memutuskan waktu yang tepat untuk kembali bersama.
“Ya,” jawabku singkat.
“I’m happy, Dewa.”
“Karena?”
“Because you’re here now, with me and we have something to look forward to. It means that my life is heading to a new direction,” ucapnya sambil kembali tersenyum.
“Kita pulang kan abis ini?”
“Pulang?” Fabian seperti kaget ketika mendengar kalimat yang aku ucapkan. “Masih ada satu tempat lagi yang mau aku tunjukkin sama kamu.”
“Jauh?”
“No, we can walk. Kamu mau pergi sekarang?”
Aku megangkat kedua bahuku. “Asal kita makan malam tepat waktu aku sih nggak masalah, masalah perut ini memang susah diajak kompromi.”
Fabian tertawa hingga beberapa orang menoleh ke arah kami hingga kemudian Fabian merasa malu yang membuatku menahan tawa melihat ekspresi malunya. Fabian lalu bangkit dari tangga dan mengulurkan tangannya kepadaku.
“Kamu sering kesini?”
“Nggak juga. Hanya kalau aku ngerasa suntuk dan terlalu banyak hal yang harus aku kerjakan. Mengamati orang-orang serta jalan ke tempat yang akan kita tuju jadi satu-satunya yang bisa buat aku semangat lagi.”
“Memang kita mau kemana sih?”
“Kamu ini nggak sabaran ya?” balas Fabian sambil menyentil hidungku.
“Kamu bakal ngajak aku ketemu keluargamu?”
Fabian mengangguk. “Aku bahkan udah bilang ke mereka jauh sebelum kamu sampai disini dan mereka sangat nggak sabar buat ketemu kamu terutama setelah mereka tahu bahwa kamu yang bikin Origami Angsa itu.”
“Pasti mereka pikir aku kurang kerjaan bikin kayak gituan.”
“Justru mereka malah pengen belajar, hahahahaha. I can’t wait to take you there this weekend, Dewa. I know they will like you.”
Ini seperti ketemu calon mertua judulnya. Yah, aku memang tidak tahu akan seperti hubunganku dengan Fabian di masa depan karena saat ini, kami hanya bisa berusaha untuk menjalani hubungan ini sebaik mungkin. Jika memang nantinya kami hidup bersama sebagai seorang pasangan, keluarga Fabian akan jadi keluargaku juga meskipun hal itu tidak berlaku untuk keluargaku. Bahkan, mereka tidak tahu kalau kepergianku ke Jerman untuk bertemu dengan Fabian, bukan tugas dari kantor seperti yang aku bilang sebelum aku meninggalkan Indonesia.
“Kamu pasti bangga dengan keluarga yang nerima kamu apa adanya.”
Langkah kami terhenti dan Fabian menatapku, tahu bahwa masalah ini adalah salah satu topik sensitif untukku. Sampai kapanpun, keluargaku tidak akan pernah bisa mengerti bahwa aku sama sekali tidak akan pernah bisa membuat diriku tertarik dengan perempuan. Dengan lembut, Fabian menyentuh pipiku lalu membelainya lembut.
“Kamu tahu kan kalau aku bakal tetep disamping kamu apapun yang terjadi? Kita ngejalanin hubungan ini berdua dan tahu konsekuensi apa saja yang akan kita hadapi. You won’t face it alone, Dewa. You will face it with me so pelase don’t be afraid of anything, okay?”
Aku mengangguk. “I won’t.”
“That’s my Dewa.”
“Kita bukan mau ke stasiun kan?” Aku mengajukan pertanyaan itu karena aku melihat rel kereta api yang melintas tidak jauh dari tempat kami berjalan sedangkan sungai Rhein tampak jelas di hadapan kami.
“Well, bisa dbilang kita akan berada di sisi lain dari rel kereta api.”
Aku mengerutkan keningku, berusaha untuk mencerna ucapan Fabian namun aku sama sekali tidak bisa mencernanya. Baru dua hari aku di Köln dan itupun belum banyak tempat yang aku kunjungi karena Fabian masih harus ke kantor. Dia sengaja mengambil cutunya tiga hari sebelum kepulanganku ke Indonesia agar dia bisa menghabiskan lebih banyak waktunya denganku.
Sejak kami meninggalkan katedral, aku tidak pernah berhenti mengamati orang-orang yang melewati kami. Tinggal di negara yang memandang homoseksualitas masih merupakan hal yang tabu, membuatku kaget sekaligus lega bahwa disini, apa yang aku lakukan dengan Fabian, meskipun hanya sekedar bergandengan tangan, bukan merupakan pemandangan yang aneh. Tidak ada seorangpun yang memberikan pandangan menghina ataupun bertanya-tanya ketika melihat kami dan aku tidak bisa menahan senyumku menyadari hal itu.
“Ada apa? Kok senyum-senyum sendiri?”
“It’s still surprises me how people react to homosexuality here. Sangat bertolak belakang dengan Indonesia.”
“Well, I like it in Indonesia.”
Aku memandang Fabian yang tersenyum melihat reaksiku yang kaget dengan apa yang diucapkannya.
“Maksud kamu apa?”
“Kalo di Indonesia, paling nggak kita harus sampai rumah dulu sebelum aku bisa nyium kamu.”
Fabian jelas tahu bagaimana membuat wajahku memerah karena apa yang baru diucapkannya jelas-jelas membuatku tersipu. Apa yang aku lakukan? Meninju lengannya hingga dia reflek melepaskan genggaman tangannya.
“That’s not funny, Fabian.”
Fabian tertawa melihat reaksiku namun kemudian, dia kembali meraih tanganku untuk kembali digenggamnya.
“Welcome to Hohenzollernbrücke!” kata Fabian ketika kami sampai di depan sebuah patung seorang pria yang sedang mengendarai kuda.
“Hohen…apa?”
Fabian tertawa. “Aku suka ekspresi kamu kalau lagi bingung gitu. Hohenzollernbrücke kalau orang Jerman bilang tapi nama Inggrisnya adalah Hohenzollern Bridge. One of the most -if not- the most famous bridge in Köln. Yuk!”
Dengan semangat, Fabian melangkahkan kakinya lebih cepat seolah dia tidak peduli bahwa aku tidak mungkin bisa menyamai langkahnya. Namun, ketika kami sampai di awal jembatan, aku membelalakkan mataku. Terpana. Bukan karena kereta api yang melintas di sebelah kiriku, bukan juga karena pemandangan sungai Rhein di sebelah kananku namun karena aku melihat begitu banyak gembok yang tergantung di sepanjang sisi kiri jembatan, yang membatasi jalur pejalan kaki dan kereta api.
“Fabian, kenapa banyak sekali gembok disini?”
Fabian berdiri disampingku dan mengamati satu demi satu gembok yang terdiri dari berbagai macam warna dan bentuk dengan nama-nama yang terukir disana. Aku menyentuh satu persatu namun tetap tidak mengerti kenapa gembok-gembok itu ada disini.
“Bagus kan?”
“Unik,” jawabku singkat.
“Aku selalu kesini setelah tahu bahwa Nara menyembunyikan fakta tentang kamu. Berharap suatu hari, aku akan bisa kesini sama kamu. I guess, my wish has been granted.”
Perlahan, kami berjalan menyusuri sepanjang Hohenzollernbrücke tanpa sekalipun mengalihkan pandangan kami dari ribuan bahkan mungkin puluhan ribu gembok yang terpasang disana, membaca berbagai nama yang terukir di gembok-gembok itu, yang warnanya bahkan mungkin lebih banyak daripada koleksi bajuku. Aku masih berusaha untuk mencerna apa maksud gembok-gembok ini ada disini ketika Fabian mengulurkan sebuah gembok kearahku. Pasti aku terlalu sibuk dengan pikiranku hingga tidak mneyadari bahwa Fabian mengeluarkan gembok itu dari sakunya.
“Kamu mau naruh gembok juga disini?”
Fabian hanya tersenyum, seolah itu menjawab pertanyaanku. “Lihat lebih detail, Dewa.”
Aku menuruti kata-kata Fabian dan jantungku rasanya berhenti ketika mengetahui bahwa bukan hanya nama Fabian yang terukir disana, namun juga namaku. Apa maksudnya ini? Aku memandang Fabian, kembali menuntut jawaban atas pertanyaanku.
“Kenapa ada namaku disitu?”
“Orang menyebut ini Padlocks Of Love. Jika seseorang mengukir namanya dan pasangannya di sebuah gembok lalu meletakan gemboknya disini, mereka percaya bahwa cinta mereka akan abadi karena kunci dari gembok ini mereka lemparkan ke sungai Rhein. Baru sekitar tiga tahun gembok-gembok ini ada disini namun jumlahnya sudah mencapai sekitar 40.000.”
Mulutku mendadak jadi bisu mendengar penjelasan Fabian. Aku sama sekali tidak menduga bahwa gembok-gembok ini dipasang disini untuk sebuah tujuan. Mungkin memang terdengar tidak masuk akal bahwa orang yang meletakkan gembok disini cintanya akan abadi, tapi, adakah mitos yang masuk akal? Siapa yang menyangka bahwa di dekat rel kereta api ada hal semacam ini?
“Kamu…?”
“It maybe just a myth, Dewa. Tapi, aku ingin sekali meletakkan satu gembok disini, dengan nama kamu dan namaku, berharap bahwa cinta kita akan abadi, berapa tahunpun keabadian itu akan jadi milik kita.”
Susah rasanya untuk tidak merasa terharu mendengar seseorang mengatakan hal seperti itu. Aku tahu Fabian bukan orang yang romantis namun sosok yang aku temui dua hari lalu ini sepertinya telah berubah. Bagi sebagian besar orang, mungkin apa yang dikatakannya terdengar terlalu picisan namun bagiku, terdengar begitu tulus dan sungguh-sungguh datang dari hatinya karena aku tahu Fabian bukan tipe pria yang suka mengumbar rayuan.
“Apa yang harus kita lakukan?”
Hanya itu yang mampu aku tanyakan kepada Fabian karena aku kehilangan semua kosakata yang tersimpan di memoriku untuk mengatakan apapun selain pertanyaan itu.
Fabian tersenyum lalu mendekatkan tubuhnya ke arahku. “We have to put the padlocks while we’re exchanged a kiss then we have to throw the key into the river. Are you ready?”
Jantungku rasanya berdegup lebih kencang hanya mendengar Fabian mengatakan hal itu. Bukan cara Fabian mengucapkannya namun bagian kami harus berciuman disini yang membuatku gugup. Ini akan jadi pengalaman pertamaku berciuman di depan umum. Aku yakin Fabian tahu ketakutanku karena setelahnya, aku melihatnya mengerutkan keningnya.
“Ada apa, Dewa?”
“You know that this will be my first time…” Aku menelan ludahku. “…berciuman di depan umum.”
“Hanya ciuman singkat, Dewa.”
Aku memandang Fabian, berusaha untuk menyerap keyakinannya bahwa apa yang akan kami lakukan bukan sesuatu yang memiliki konsekuensi besar. Genggaman tangan Fabian semakin erat dan akhirnya, aku mengangguk karena tahu bahwa Fabian ada disini.
Kami segera merendahkan tubuh kami untuk mencari celah yang kosong dan begitu kami menemukannya, tanganku dan Fabian sama-sama memegang gembok, aku dengan tangan kiriku dan Fabian dengan tangan kanannya sementara tangan kami yang lain saling berpegangan. Ketika akhirnya kami mendengar suara “klik” yang berarti bahwa gembok itu sudah terkunci disana, Fabian mendekatkan wajahnya kepadaku dan kami berciuman. Bukan satu namun tiga ciuman singkat.
“It’s time to throw the key.”
Fabian mengulurkan tangannya untuk membantuku bangkit dan dia pun langsung menggandeng tanganku untuk menuju ke pagar pembatas yang ada di sisi lain jembatan dengan kunci di tangan kanannya.
“Kita harus melemparnya bersama-sama.”
Fabian mengangkat lengan kanannya melewati kepalanya dan akupun melakukan hal yang sama dengan lengan kiriku hingga kedua lengan kami bertemu di tengah. Kami saling berpandangan dengan senyum lebar terpasang di wajah kami sebelum Fabian menghitung mundur.
“Tiga…Dua…Satu…”
Kami melemparkan kunci dari gembok kami ke sungai Rhein dan aku melihat riak kecil ketika akhirnya kunci kami perlahan menuju ke dasar sungai yang membelah Jerman itu. Ada perasaan lega sekaligus bahagia menyelimutiku setelah melakukannya dan kami kemudian saling berpandangan sebelum Fabian meletakkan lengannya di pundakku untuk merengkuhku dalam pelukannya dan mengecum keningku.
“I hope our love will last forever, Dewa.”
“I hope so, Fabian.”
“Have I said I love you?”
“You said it 3 hours ago.”
“Can I say it again now?”
“With my pleasure.”
“I love you, Dewa.”
“I love you too, Fabian.”
Senyum lebar terpasang di wajahku mengetahui bahwa aku bukan hanya bersama Fabian saat ini namun juga karena aku tahu bahwa apapun yang akan terjadi nanti, aku dan Fabian akan memiliki perasaan yang telah dipisahkan selama tiga tahun oleh seseorang yang sekarang sudah tenang di alam sana. Aku tidak akan pernah bisa membenci Nara karena jika bukan karena dia, aku dan Fabian tidak akan berdiri disini saat ini dengan sebuah harapan bahwa kami akan bersama selamanya. Berapa tahun pun selamanya itu artinya bagi aku dan Fabian.
keren2.., trus bkarya ya
rikues boleh? 'a tale message', please.
15 tahun sudah berlalu sejak aku menyadari bahwa kaum pria lebih menarik perhatianku daripada wanita, meskipun begitu, aku belum pernah merasakan dicintai begitu luar biasa oleh seorang pria. Cinta terbesar yang pernah aku terima selain dari keluargaku. Tidak pernah aku membayangkan akan mendapatkan apa yang aku miliki saat ini sepuluh tahun lalu ketika pencarian jati diriku hanya terbatas pada pria-pria yang hanya menginginkan seks. Aku berhasil menjaga diriku agar tidak terlalu jatuh dalam lingkaran seperti itu hingga membuatku bermimpi untuk memiliki sebuah kehidupan yang bahagia bersama seorang pria yang akan menerimaku apa adanya di sebuah tempat dimana kami bisa menunjukkan rasa sayang kami tanpa takut. Memimpikan menemukan cinta sejati bagiku dulu adalah sebuah kemustahilan namun sekarang, kemustahilan itu telah menjelma menjadi sebuah kenyataan.
Mataku sejak tadi menatap ribuan cahaya yang menghiasi langit malam Manhattan dari bangunan-bangunan tinggi yang menjadi satu-satunya pemandangan dari apartemen ini hingga untuk sesaat, aku merindukan malam-malam yang aku lewatkan ketika aku masih berada di Bali. Berbaring di pantai dan melihat bintang-bintang yang sesungguhnya sembari mendengarkan deburan ombak atau bahkan membiarkan pecahan ombak terakhir menyentuh kakiku.
Namun, inilah kehidupan yang aku pilih. Berada ribuan kilometer jauhnya dari negeri kelahiranku untuk menjalani kehidupan yang aku impikan. Berada di antara jutaan manusia dari berbagai negara, dengan berbagai macam aksen dan dikungkung oleh bangunan-bangunan tinggi kemanapun kakiku melangkah. Sebuah pilihan yang bagi sebagian besar orang mungkin terlihat menyenangkan, namun bagiku, lebih terasa melegakan. Bukan karena berada diantara gedung-gedung itu atau gegap gempita New York, namun karea aku bersama pria yang aku cintai dan mencintaiku dengan penuh.
Aku menghela nafasku ketika aku melihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul delapan. Sudah beberapa minggu belakangan ini, Andrei pulang lebih lambat dari biasanya, kalau tidak bisa dibilang sangat terlambat. Kadang, aku tertidur hanya karena menunggunya. Aku tahu dan sangat sadar bahwa pekerjaannya sebagai salah satu tim kreatif di salah satu biro iklan terbesar di New York membuat kesibukannya jadi tidak menentu. Namun, meskipun sudah mengetahui alasan keterlambatannya pulang, aku tetap saja merasa khawatir.
Bunyi klik dari pintu membuatku membalikkan badanku dan dalam sedetik, aku melihat Andrei melangkah masuk dengan jas yang disampirkannya di lengannya sementara dasinya sudah dilonggarkan hingga membuat sosoknya terlihat lebih santai daripada ketika meninggalkan apartemen pagi ini meskipun aku tahu bahwa sesungguhnya, dia mengalami hari yang panjang.
Aku berjalan menuju ke arah Andrei dengan senyum terpasang di wajahku dan langsung membiarkan lengannya memeluk tubuhku tanpa melupakan satu hal yang selalu dilakukannya, mengecup bibirku.
“Kamu mau mandi sekarang?” tanyaku karena itu yang selalu dilakukanny setiap kali pulang kerja.
Andrei tersenyum lalu menggelengkan kepalaku. “Nanti saja, let’s sit and have a talk.”
Aku mengerutkan keningku karena Andrei biasanya tidak pernah bicara seperti itu sepulang kerja hingga membuatku berpikir apakah ada hal serius yang ingin disampaikannya. Namun, aku mengikutinya ke ruang tengah apartemen dan memosisikan diriku disampingnya yang sudah duduk disana. Aku sampai lupa menawarinya minum.
Ada sesuatu dalam ekspresi Andrei yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Jantungku mulai berdegup lebih kencang dari sebelumnya karena kalimat “let’s have a talk” selalu bersinonim dengan sesuatu yang lebih baik tidak terucapkan ataupun didengar. Andrei juga terlihat seperti sedang berpikir begitu keras tentang sesuatu hingga membuatku benar-benar heran apa yang ingin dibahasnya denganku. Sampai saat ini, aku masih belum ingin memikirkan sesuatu yang buruk.
“Ada apa, Andrei?”
Aku menatap Andrei yang sepertinya terlihat begitu ragu memalingkan wajahnya untuk menatapku dan butuh beberapa menit sebelum akhirnya, sepasang mata itu menatapku. Aku menunggunya mengatakan sesuatu namun yang aku dapatkan kemudian adalah sebuah belaian lembut di kedua pipiku dan sebuah senyuman dari Andrei. Ini terasa semakin aneh buatku. Why can’t he just say something?
“Kamu selalu bilang bahwa kamu beruntung mendapatkanku, Bintang. Do you know that I'm the luckiest one for having you?”
Biasanya, setiap kali aku bilang ke Andrei bahwa aku pria yang sangat beruntung mendapatkannya, dia hanya akan tersenyum lalu menciumku. Tidak pernah membalas kalimatku dengan apapun. Kali ini, aku bahkan tidak bilang apapun hingga membuatku semakin merasa ada hal serius yang ingin dikatakannya.
“Ada apa Andrei? Bilang saja.”
Ada kesunyian menyusup diantara kami setelah aku mengajukan pertanyaan itu dan wajah Andrei tertunduk sebelum kembali menatapku.
“I cheated on you, Bintang.”
Selama beberapa detik, aku hanya mampu terdiam. Berusaha untuk menganalisa kalimat yang baru diucapkan oleh Andrei dengan baik. Aku menatap wajahnya lekat-lekat seperti ingin menyelami kedalaman tatapan mata hazel itu, berharap akan menemukan sebuah kebohongan besar atas kalimatnya. Yang membuatku akhirnya tersenyum, entah bagaimana Andrei mengartikan senyumanku, adalah karena aku tidak menemukan kebohongan disana. Andrei tidak berbohong. Kalimat yang baru diucapkannya tadi seolah kembali terdengar olehku dan aku baru merasakan dampak darinya.
“Siapa Andrei?”
“Julian.”
Oh. Aku berharap untuk mendnegar nama lain selain J-U-L-I-A-N. Nama itu kembali muncul setelah sekian lamanya aku tidak mendengar nama itu keluar dari mulut Andrei. Nama yang dulu membuatku ragu menerima ajakan Andrei untuk tinggal bersamanya di New York karena Julian juga tinggal di kota ini. Nama yang sejak dulu selalu mampu membuatku bergidik, bukan karena aku merasa terintimidasi tapi karena nama itu membuatku tidak bisa tidur nyenyak dan membuatku mood-ku menjadi tidak karuan. Sekarang, nama itu muncul lagi setelah Andrei mengatakan bahwa dengannya-lah dirinya berselingkuh. Rasanya, aku akan dengan mudah menerima perselingkuhan Andrei jika lelaki itu bukan Julian.
“Berapa lama? Apakah alasan kamu selalu pulang telat juga karena dia?”
Perlahan, aku menyandarkan tubuhku berusaha untuk tidak membiarkan wajah Andrei memenuhi penglihatanku karena aku tidak akan sanggup membencinya meskipun dia sudah melukaiku. Satu-satunya hal yang tidak pernah mampu aku lakukan. Aku bahkan tidak pernah memiliki keberanian untuk menyebut nama Julian karena tubuhku akan bergetar sangat hebat jika nama itu sampai terlontar dari mulutku. Andrei tidak pernah berbohong kepadaku karena aku memang terlalu mengenalnya hingga mampu membaca ekspresinya jika dia tidak mengatakan yang sesungguhnya. Namun, kali ini, hatiku dibohongi. Haruskah aku menyalahkan diriku sendiri karena tidak bisa mendeteksi kebohongan itu? Entahlah.
“Dua bulan,” aku bisa mendengar suara Andrei begitu pasrah ketika mengucapkan itu. Aku kemudian merasakan sebuah tangan meraih milikku lalu meremasnya. “Look at me, Bintang.”
Aku menelan ludahku, berusaha untuk mengabaikan permintaan itu karena memandang Andrei berarti memandang bahwa wajah di hadapanku telah membagi tubuhnya dengan pria lain yang dia tahu memiliki pengaruh yang luar biasa bagiku. Apa yang harus aku lakukan? Memaafkannya? Dia bahkan belum meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya.
Memberikan maaf bukanlah sesuatu yang sulit untuk aku lakukan meskipun kadang maaf itu sama sekali tidak pantas aku berikan karena kesalahan yang diperbuat orang lain dalam hidupku terlalu menyakitkan untuk dimaafkan. Tapi, aku memaafkan mereka. Namun, entah kenapa tiba-tiba, aku sulit untuk membayangkan diriku untuk memberikan maaf itu saat ini kepada pria paling penting dalam kehidupan dewasaku. Apakah itu berarti aku sedang belajar untuk menjadi lebih kuat dengan tidak mudah memaafkan? Atau fakta bahwa Julian-lah yang membuat kata maaf itu sulit terucap dari mulutku? Lagi-lagi, aku tidak tahu.
Aku melepaskan genggaman tangan Andrei lalu beranjak dari sofa dan menuju kamar kami. Sepertinya, aku butuh waktu untuk pergi dari apartemen ini selama beberapa hari. Berada bersama Andrei hanya akan terus mengingatkanku bahwa aku bukan hanya tidak mampu menjaga pria yang paling aku cintai tapi juga mengingatkanku bahwa sampai kapanpun, Julian akan selalu menjadi bayang-bayang dalam kehidupanku, jika bukan kehidupan Andrei. Aku yakin, Patricia masih punya satu kamar untukku selama beberapa hari.
Walk-in cabinet menjadi tempat pertama yang aku tuju karena disanalah kami menyimpan semua pakaian kami dan aku dengan sembarangan meraih beberapa baju yang tidak aku pedulikan apakah pantas atau tidak untuk aku pakai di musim semi seperti ini. Aku hanya ingin segera pergi dari sini dan mulai mencari jalan damai dengan diriku sendiri sebelum aku mengucapkan kata-kata yang mungkin akan aku sesali nanti dan akan membuat hubunganku dengan Andrei bertambah buruk. Aku segera meraih tas ranselku dan memasukan semua pakaianku disana ketika tiba-tiba, lengan Andrei menceghaku melakukannya.
“I’m sorry, Bintang. I know that you’re mad at me but please don’t go.”
“Aku mungkin akan bisa dengan mudah melupakan fakta ini, Andrei jika kamu melakukannya dengan pria lain. Kamu tahu bagaimana pria itu begitu mempengaruhiku.”
Aku kembali berusaha memasukkan pakaianku ke ransel ketika lagi-lagi, Andrei mencegahku. Kali ini, dia meraih tas ranselku dan membuangnya ke atas tempat tidur.
“You’re not going, Bintang coz I will never let you!” Bukan permintaan untuk tetap tinggal yang terdengar dari kalimat Andrei, tapi sebuah perintah. Kami saling berpandangan. Aku tidak ingat kapan terakhir kali kami berada dalam situasi seperti ini.
Ada sesuatu yang mendesak untuk aku lampiaskan saat ini namun aku berusaha untuk menahannya agar apapun itu, tetap berada di tempatnya. Aku tidak pernah marah pada Andrei, dalam arti marah yang sesungguhnya namun kali ini, aku ingin sekali meluapkannya agar Andrei tahu betapa dia telah begitu melukaiku dengan pengakuannya.
“I know I’m sick, Andrei and I know that I can’t give you what other men could. I always feel the luckiest man in the whole world because I know if there wouldn’t be another man in my life but you. Apa yang kamu lakukan, membuatku merasa bahwa jika aku pergi nanti, kamu akan kembali ke kepadanya. He hurt you in the past, Andrei and I tried my best to remove those pain from your life because I believe that’s the only thing I could do to return all the kindness and love you’ve given me. Apakah kamu ingin melalui lagu momen seperti itu lagi sekarang? Atau apakah kamu ingin aku pergi?”
Satu hal yang paling aku tidak suka adalah membawa penyakitku dalam situasi apapun, terlebih dalam situasi seperti ini karena itu membuatku seperti putus asa dan tidak punya argumen lain untuk dikatakan selain fakta bahwa aku memang sakit. Namun, aku memberikan pengecualian kali ini karena aku akan mempertahankan Andrei jika itu menyangkut Julian. Aku akan bahagia jika Andrei menemukan pria selain Julian setelah aku pergi karena itu menjadi keinginanku agar ada pria lain yang menjaganya dan membuatnya bahagia.
“I love you, Bintang. Aku tahu bahwa apa yang aku lakukan bersama Julian sama sekali nggak adil buat kamu. I did a huge mistake by letting him to come back in my life again when I already have you here. Aku menyesal, Bintang. Please…jangan pergi.”
Aku belum pernah mendengar Andrei memohon kepadaku tentang sesuatu sampai seperti ini dan menyakitkan melihatnya melakukannya.
“Apakah kamu memintaku tinggal disini hanya karena kamu merasa bersalah telah melukaiku, Andrei?” Aku menggelengkan kepalaku. “I love you so much, Andrei but I think I have to go for a couple of days just to re-think again about our relationship.”
“I’ll do everything to make you stay, Bintang.”
“I know you will, Andrei and the only thing I ask for now is letting me go.”
Kakiku kembali terayun sembari membawa pakaian yang masih berada di tanganku menuju ke tempat tidur, tempat Andrei membuang tas ranselku tadi. Aku memasukkan pakaian-pakaianku lalu bergegas keluar dari kamar. Aku bisa merasakan bahwa aku tidak memberi Andrei banyak pilihan dan sejujurnya, aku tidak suka melakukan itu kepadanya. Tapi, apakah aku juga punya pilihan? Tinggal disini hanya akan membuatku teringat akan Julian. Teringat bagaimana aku berjuang menarik Andrei keluar dari lembah kesedihan yang membuatnya terpuruk beberapa tahun lalu.
Aku masih berharap bahwa ini semua adalah drama yang akan tuntas begitu Andrei menghampiri dan meyakinkanku kembali untuk tetap tinggal. Aku masih berharap bahwa aku sedang menonton drama yang aku ciptakan dalam pikiranku yang akan segera hilang begitu Andrei mengecup keningku untuk membangunkanku dan menikmati sarapan. Namun, ini terlalu menyakitkan bahkan untuk dijadikan sebuah drama, terlalu picisan. Aku sadar bahwa inilah kenyataan yang harus aku hadapi.
“Will you marry me, Bintang?”
Langkahku tiba-tiba terhenti sekuat apapaun diriku berjanji untuk tidak melakukannya ketika Andrei mengucapkan kalimat apapun untuk menahanku disini. Namun, apa yang baru diucapkannya sama sekali tidak termasuk dalam daftar kalimat yang harus aku abaikan dari Andrei saat ini. Dan Andrei memanfaatkan momen keterkejutanku untuk menghampiriku lalu perlahan meraih tanganku sambil berdiri dengan begitu gagahnya dihadapanku.
“I love you, Bintang. Aku memintamu untuk menikah denganku bukan karena aku ingin menebus kesalahan terbesar yang aku lakukan dengan Julian. Selamanya, aku nggak akan pernah bisa menghapus luka itu dari kamu. But, please let me to heal that pain, slowly. It will leave a mark but I promise it won’t hurt you anymore.
Aku memintamu menikah denganku juga bukan karena ingin kamu tinggal disini tapi karena aku akan hancur kalau kamu pergi. People make mistake. I already made mine dan itu nggak akan pernah hilang dari hidupku. But, I just realize that I will never be able to live my days without you. Jika kamu mau, kita bisa kembali ke Bali dan aku janji Julian nggak akan pernah bisa nemuin kita. Atau kemanapun kamu mau pergi, just tell me.”
Andrei meremas pergelangan tanganku begitu erat sebelum dia menyusupkan jemarinya untul mengangkatnya lalu mengecupnya lembut. And finally, there it is. Air mata mengalir dari kedua pelupuk matanya ketika mengecup tanganku dan pandangannya sama sekali tidak lepas dariku. Kenapa Andrei meminta hal ini sekarang dariku? Aku akan bilang ya seketika jika situasinya tidak seperti ini.
“Kenapa sekarang, Andrei?”
Andrei berusaha untuk menghapus air matanya tanpa melepaskan tanganku dari genggamannya sebelum tersenyum tipis. Aku rasa, dia merasa bersalah telah menangis di hadapanku, sesuatu yang aku minta tidak dilakukannya lagi setelah aku melihat begitu banyak air mata yang telah dikeluarkannya untuk menyembuhkan luka yang ditimbulkan Julian.
“Karena selama ini aku menjadi pria yang sangat tolol dengan mengabaikan apa yang seharusnya aku sadari sejak kamu jadi bagian spesial dalam kehidupanku. Karena saat ini, aku tahu bahwa jika kamu pergi, aku akan kehilangan pria paling hebat yang pernah hadir dalam hidupku. I know it sounds so cheesy but I have no other words to tell you how much I want you to be completely mine.
You’re the toughest man that I’ve ever known, Bintang. You pulled me from one of the hardest time in my life, you stood there beside me, you loved me unconditionally, and what I gave you was the most hurtful pain that I knew you couldn’t bear. Apakah ada pria seperti kamu di luar sana, Bintang? Aku nggak ingin membuang waktuku dengan mencari lagi karena aku sudah memilikinya.
I’m sorry for hurting you that much, Bintang. The only thing I could give you, from now on is a promise that I will never hurt you again, that I will stay with you, that I will always love you, no matter what will happen to you and that I will be yours. Compeletely. Marry me, Bintang.”
Semua kalimat itu mengalir begitu saja dari mulut Andrei hingga aku hampir tidak mempercayai pendengaranku sendiri karena Andrei yang aku kenal tidak akan mampu mengucapkan kalimat sepanjang itu tanpa berpikir. Jantungku berdetak begitu cepatnya hingga aku tidak tahu dimana semua kata-kata yang tersimpan di otakku berada saat ini. Aku terlalu terkejut. Ini semua lebih terlihat seperti imajinasiku tentang konsep happily ever after yang begitu sulit diwujudkan dalam dunia seperti yang kami jalani daripada sebuah kenyataan.
Aku menatap dalam sepasang mata hazel itu, kembali menelusuri apakah kejujuran yang aku temukan ketika dia mengakui perselingkuhannya ada disana. Aku seharusnya tidak meragukan kejujuran Andrei, namun setelah apa yang dikatakannya tadi, apakah aku tidak pantas memiliki sedikit keraguan?
Namun, keraguan itu sirna ketika aku melihat ke dalam mata itu. Semua detik yang berubah menjadi menit hingga akhirnya menit itu berubah menjadi jam, hari, minggu, bulan dan tahun yang aku lewati bersama Andrei. Semua kesedihan yang pernah begitu hebat menjadi bagian dari kehidupan kami dan betapa Andrei memberiku kekuatan untuk tidak menyerah ketika dokter mendeteksi sel kanker sedang menyerang ginjalku. Akupun tidak mampu menghapus semua tawa yang aku miliki bersamanya, ketika dia menghadapi phobia-nya untuk bernyanyi di karaoke hanya agar aku bisa tersenyum kembali. Ketika akhirnya kami menginjakkan kaki di New York dan bisa bergandengan tangan kemanapun kami pergi tanpa harus merasa takut dan memikirkan orang-orang di sekitar kami. Semua momen yang aku miliki dan tidak ada satupun yang tertinggal.
Semuanya terpampang begitu jelas ketika aku memandang mata indah itu.
“I do, Andrei.”
Kalimat singkat itu akhirnya terucap dari mulutku karena seperti Andrei, aku juga tidak mungkin dapat menjalani hidupku tanpanya. Aku menyadari itu sejak awal hubungan kami. People make mistake, yes, and I almost made a big mistake by letting Julian walked away with a big smile on his face. Aku menyadari bahwa kehilangan Andrei akan jauh lebih berat untuk aku hadapi daripada kehilangan diriku sendiri. Aku hanya ingin bersama Andrei. Sesederhana itu.
Aku tidak bisa menggambarkan apa yang sedang aku hadapai saat ini ketika Andrei mendengar bahwa aku akhirnya setuju untuk menikah dengannya. Dia hanya tersenyum lalu menarik tubuhku dalam pelukannya dan selama beberapa saat, aku hanya merasakan tubuh kami berada begitu dekatnya hingga aku mulai merasa bahwa apapun atau siapapun tidak akan mampu memisahkan pelukan kami.
“I love you, Bintang and I always will.”
Setitik air mata jatuh dari pelupuk mataku namun aku segera membenamkan wajahku di pundak Andrei hingga aku tidak perlu membiarkannya menjadi tangisan yang lebih keras. Aku bersama Andrei sekarang dan apakah ada yang lebih aku inginkan daripada ini?
Setelah aku yakin bahwa isakanku tidak akan berubah menjadi tangisan, aku melepaskan tubuhku dari Andrei dan momen ketika kami berpandangan membuatku tidak menyesali apapun yang sudah lewat dalam kehidupan kami dan tidak takut menghadapi apapun yang akan datang untuk menggoyahkan hubungan kami. Aku dan Andrei. Hanya itu.
“Aku harap Bali masih punya sedikit ruang untuk kita berdua,” ucap Andrei sambil memberiku lagi senyumannya.
“Let’s talk about it later, Andrei. I don’t want you to quit your job because of me….” Ujarku pelan yang disambut Andrei dengan gelengan kepalanya.
“Once we get married, I will ask you not to say those words again. I will put it in our vows.”
Terharu mungkin terlalu kecil artinya untuk menggambarkan apa yang sedang berkecamuk dalam hatiku saat ini namun, aku tidak punya pilihan kata lain untuk menggantikannya. Aku tidak ingin terdengar terlalu klise namun aku bahagia. Sangat bahagia.
“Let’s have ice cream!”
Entah apa yang melintas di pikiranku hingga kalimat itu yang terlontar dari mulutku. Aku yakin, Andrei sama sekali tidak menduganya.
“Do you mind if I take a shower first?”
Andrei mulai melepaskan dasinya dan jemarinya perlahan mulai melepaskan kancing kemejanya namun aku menghentikannya. Andrei menatapku dengan tatapan yang sangat aku hafal hingga aku kemudian membiarkan tubuh kami kembali berdekatan namun kali ini, kami hanya membiarkan bibir kami bertemu.
“I think I should go to the store to buy the ice cream.”
“Would you like to stay for a while with me in the tub? I’m sure we will forget about the ice cream.”
@keichi_koji : Thanks udah mampir yah?
@rulli arto : terima kasih udah mampir
@Adinu : Iya, thanks buat suggestion-nya. A Tale Message? Knapa milih yg itu? hahahahaha. Kt liat dl aja yg ini bakal ghimana responnya
@AwanSiwon : iya, cerpen. Thanks udah mampir yah?
@rarasipau : makasih....tetep mampir ya?
@kiki_h_n : Silakan, tp jgn lupa dibaca ya?