BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ANTOLOGI - THIS MOMENT

1235756

Comments

  • DATE

    “Good luck!”

    Masih terngiang di telingaku kalimat yang diucapkan William, rekan satu kerjaku sekaligus sahabat terbaik yang aku miliki sejak aku menginjakkan kaki di Vancouver dua tahun lalu.

    Dua tahun.

    Kemana perginya waktu dua puluh empat bulan itu? Sepertinya baru kemarin aku merasakan tubuhku gemetar ketika keluar dari Vancouver International Airport dan pertama kalinya aku berhadapan dengan penghujung musim gugur. Aku memang tahu kalau Vancouver memang dingin, tapi aku sama sekali tidak mengira bahwa akan sedingin itu di akhir bulan November hingga mantel yang aku kenakan pun sepertinya tidak mampu melindungi tubuhku dari dinginnya udara di luar bandara.

    Tidak terasa bahwa sudah lebih dari setahun ketika aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menjalani kehidupan yang sama sekali tidak aku inginkan namun terlihat lebih baik daripada tetap tinggal di Vancouver setelah hubungan yang aku jalin selama setahun dengan Pierre, berakhir hingga membuatku seperti kehilangan arah dan tujuan hidup. William, adalah satu-satunya manusia yang tanpa lelah berusaha untuk menarikku dari keterpurukan dan berusaha semampu yang dia bisa agar aku tetap bertahan di Vancouver. Sekarang, aku bukan hanya merasa jauh lebih baik, namun bersyukur karena masih berada di sini, menjalani kehidupanku seperti yang selalu aku inginkan tanpa harus berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diriku.

    Aku menatap bayanganku di cermin. Kemeja Ermenegildo Zegna warna biru muda serta celana hitam Ralph Lauren yang aku beli khusus untuk acara malam ini bukan hanya terlihat begitu pas di tubuhku namun sangat sesuai dengan kulit sawo matangku. Sesuatu yang selalu membuat beberapa wanita mencoba untuk menarik perhatianku namun tidak pernah berhasil karena pada akhirnya, mereka tahu kalau aku lebih tertarik kepada kaumku sendiri. Sebagai sedikit dari warga Indonesia yang tinggal disini, aku jelas terlihat begitu mencolok diantara banyaknya pria-pria berkulit pucat yang ada di Vancouver selain wajahku yang sangat Indonesia.

    Cukup tentang kulit sawo matangku.

    Jantungku rasanya berdegup lebih kencang sejak aku pulang kerja tadi
    dan berbagai macam bujukan saling berlomba menguasai isi kepalaku dan menggodaku untuk membatalkan saja acara malam ini dan meringkuk di sofa apartemen sambil menyaksikan Two And A Half Men dengan sekantong besar potato chips. Namun, bayangan akan William yang pasti akan menggedor pintu apartemenku kalau aku sampai mangkir dari acara malam ini, membuatku tersenyum sekaligus membulatkan tekadku untuk tetap datang. Aku harus berani. Sudah lebih dari satu tahun hubunganku dengan Pierre berakhir dan aku sama sekali belum bertemu satu pria pun yang mampu membuat hari-hariku jadi kacau sejak itu. This is your chance, Meru.

    Sekali lagi, aku memandang tampilanku di cermin, memastikan bahwa aku siap untuk melangkahkan kakiku keluar dari apartemen ini dan menuju ke Cloud 9, tempat yang akan menjadi saksi keberhasilan ataupun kegagalanku malam ini.

    “I’m ready!”

    Dengan kalimat itu, aku melangkah keluar dari kamar apartemenku dan langsung menuju ke pintu tanpa menoleh ke sofa di ruang tengahku yang merupakan godaan paling kuat bagiku saat ini untuk tidak melangkah keluar dari apartemenku.

    Aku menarik nafas lega ketika akhirnya berhasil menjejakkan kakiku di Denman Street, jalan di depan apartemenku untuk menuju ke Cloud 9 yang terletak di Robson Street. Udara musim semi malam ini begitu menyejukkan, tidak terlalu dingin hingga aku tidak perlu mengenakan jasku untuk membuat tubuhku terasa kebih hangat.

    Aku sengaja melangkahkan kakiku dengan cepat untuk menghindarkan pikiranku dari semua kemungkinan yang akan terjadi nanti. Satu-satunya cara adalah secepatnya sampai disana, duduk serta menyibukkan mataku dengan pemandangan malam Vancouver dari lantai 42 Empire Landmark Hotel, tempat Cloud 9 berada. Aku berharap akulah yang menunggu, bukan ditunggu karena keterlambatan akan sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan diriku.

    “What???”

    Aku menatap William dengan tidak percaya ketika pertama kali dia memintaku untuk datang ke sebuah Gay Matchmaking Agent. Ide gila apalagi yang sekarang ada di kepala William hingga dia memintaku untuk datang ke tempat seperti itu? Aku mengacuhkan keberadaannya lalu melanjutkan pekerjaanku yang tertunda beberapa menit hanya untuk mendengar ide super gilanya itu.

    “Ayolah, Meru. Kamu udah terlalu lama sendirian. It’s time for you to move on and start a new relationship. Aku tahu kamu nggak suka pergi ke gay bar atau ngabisin waktu kamu dengan browsing di internet, lalu, cara apalagi yang bisa kamu tempuh untuk dapet pengganti Pierre? Ini jauh lebih baik daripada aku matchmaking-in sendiri kan?”

    Aku memberikan tatapan “Damn you for mentioning Pierre’s name!” karena dari sekian banyak teman yang tahu hubunganku dengan Pierre, William satu-satunya orang yang berani menyebut nama Pierre di hadapanku seolah nama itu tidak punya arti apapun untukku. Dia seperti jadi pembunuh berdarah dingin jika menyangkut Pierre, tidak peduli bagaimana perasaanku setiap kali mendengar nama itu disebut. Kadang, aku memang butuh sikap William yang tanpa tedeng aling-aling itu.

    “I’m not into relationship now, Will.”

    “Oh, ayolah Meru. Sampai kapan kamu mau sendirian terus? Pasti nyenengin kan kalau kamu bangun tidur terus ada pria baik dan tampan disisimu? Just give it a try. If it doesn’t work, then I won’t bitching anymore about it. Paling nggak, jangan biarin aku bayar itu agen sia-sia. Kamu tahu kan aku nggak pernah mau rugi tiap kali aku ngeluarin uang?”

    Perdebatan kami atau lebih tepatnya semua argumen yang William punya untuk memaksaku datang ke Matchmaking Agent itu, berakhir ketika aku menyetujuinya. Just to shut his mouth up! Awalnya, aku sama sekali bersikap skeptis meskipun dari testimoni-testimoni yang aku baca, banyak yang berhasil menemukan jodoh mereka. Tapi, sebagai pria yang sama sekali tidak pernah menggunakan agen untuk mencari jodoh, bahkan terlintas dalam pikirankupun tidak, susah bagiku untuk mengubah ke-skeptisan-ku menjadi rasa optimis yang besar. Bukankah mencari jodoh itu sama halnya dengan gambling?

    Perlu sekitar tiga minggu sebelum akhirnya aku mendapatkan telpon dari agen itu bahwa mereka “MUNGKIN” menemukan pria yang cocok dengan kriteriaku. Setelah memberiku gambaran pria seperti apa yang mereka temukan untukku, mereka pun akhirnya memberikan nomor telpon pria bernama Zane itu meskipun serelah mendapatkannya, bisa dibilang aku butuh paksaan dari William untuk menghubunginya. The rest is history.

    Malam ini adalah malam pertama kami membuat janji untuk saling bertemu setelah sekitar seminggu kami saling berhubungan lewat telpon dan email meksipun kami sama-sama setuju untuk tidak saling mengirim foto untuk menghargai istilah yang aku sebut “Half Blind Date” itu. Dari suara serta bahasa yang digunakan Zane setiap kali kami berbicara ataupun mengirim email, aku bisa bilang bahwa dia orang yang sangat matang. Usianya yang menginjak 36 tahun membuat penasaranku semkain tinggi untuk bertemu dengannya karena aku memang selalu tertarik dengan pria yang usianya beberapa tahun lebih tua dariku. Kami tidak membahas terlalu banyak hal agar kami masih memiliki topik untuk dibicarakan ketika kami bertemu. Pria yang menyenangkan untuk diajak mengobrol karena sense of humornya juga cukup tinggi, hingga membuatku yang cenderung pemalu ini jadi sedikit demi sedikit membuka diri.

    Jantungku berdetak semakin kencang ketika kakiku memasuki The Empire Landmark Hotel, apalagi ketika melangkah ke lift yang akan membawaku ke lantai 42. Godaan untuk kembali ke apartemenku jadi semakin menjadi-jadi.

    Selama beberapa detik, aku memejamkan mataku, berusaha untuk menarik nafas serta menghembuskannya pelan, mengatur rasa penasaran sekaligus kegugupanku agar tidak berlebihan menguasai diriku. Aku membuka mataku tepat saat angka di dalam lift
    menunjukkan angka 42.

    Begitu pintu lift terbuka, aku melangkahkan kakiku keluar dan langsung menuju meja resepsionis untuk menanyakan apakah ada pesanan atas nama Zane Gregoris dan begitu resepsionis itu memberitahuku bahwa Zane sudah menunggu, debaran jantungku seperti bertambah cepat sekian kali lipat. Langkah kakiku terasa begitu berat ketika mengikuti resepsionis yang mengantarku ke meja Zane. Aku berharap tiba-tiba saja ada keajaiban yang akan menghentikan langkahku untuk tidak sampai di meja Zane.

    Namun, keajaiban itu tidak muncul.

    “Hai, Meru, apa kabar?”

    Itulah kalimat pertama yang aku dengar ketika hanya tinggal kami berdua di meja yang dipesan Zane tepat di dekat jendela kaca setinggi sekitar enam meter yang memberikan pemandangan malam Vancouver yang luar biasa. Aku membalas uluran tangan Zane sambil tersenyum.

    “Kabar baik, kamu sendiri?”

    “I’m great!”

    Bayangan yang terbentuk di pikiranku dari suara, bahasa serta penggambaran yang diberikan Zane sama sekali berbeda dengan apa yang aku lihat saat ini. Zane bukan hanya jauh lebih tampan dari sosok Zane dalam bayanganku. Zane terlihat sangat tenang, santai namun tetap menjaga kesantaian itu sesuai dengan porsinya. Dengan perpaduan darah Yunani yang diwarisi dari ayahnya serta darah Canada dari Ibunya, Zane memiliki wajah yang sangat unik. Kulitnya tidak terlalu pucat namun juga tidak terlalu gelap dan kulit wajahnya yang habis dicukur itu membuat tampilannya menjadi semakin dewasa. Pakaian yang dikenakannya malam ini, kemeja lengan panjang berwana krem yang digulungnya hingga ke siku serta membiarkan dua kancing teratasnya terbuka, membuat aku sempat kehilangan beberapa detik asupan oksigen di paru-paruku. Untuk pertama kalinya, aku merasa sangat berterima kasih kepada William karena memaksaku untuk melakukan ini.

    “Akhirnya kita ketemu juga,” ucapku untuk memecah kebekuan yang ditimbulkan oleh kekagumanku atas tampilan fisik Zane. Dia lulus dengan sempurna untuk kategori fisik, tapi apakah kepribadiannya juga akan mampu memesonaku seperti fisiknya? Itu yang harus aku cari tahu.

    “Apakah aku nggak sesuai dengan bayangan kamu? You look so surprised for a moment.”

    Aku menarik nafasku pelan, tidak menyangka kalau Zane memperhatikan keterdiamanku tadi meksipun hanya beberapa detik.

    “Well, ya, kamu memang nggak sesuai dengan bayanganku karena imajinasiku tentang seorang Zane tidak setampan yang sedang duduk di hadapanku saat ini.”

    Zane tertawa mendengar jawabanku yang sama sekali bukan jenis jawaban yang akan aku berikan jika aku dalam keadaan seratus persen sadar. Aku rasa, aku terbawa oleh suasana romantis dan pembawaan Zane yang santai hingga aku menjadi Mahameru yang tidak biasanya. Tawa itu begitu profesional, namun disaat yang bersamaan begitu ramah dan membuatku ikut tertawa bersamanya.

    “Kamu juga nggak seperti bayanganku. Sebagai pria Indonesia, kamu cukup menarik.”

    “Hanya cukup ya?” tanyaku sambil tersenyum.

    “Hahahahaha, baiklah, aku ralat ucapanku. Kamu SANGAT menarik, Meru.”

    “Maaf, hanya kalimat pertama yang dihitung sebagai sebuah pujian.”

    “I give up!” ucap Zane sambil mengangkat kedua tangannya yang membuat senyumku lagi-lagi mengembang. “Shall we order now?”

    “Anytime.”

    “Kamu udah pernah kesini?”

    Aku mengangguk. “Atas ajakan teman. It’s just not cool sitting here by yourself, isn’t it?”

    “Yap!”

    Setelah menemukan apa yang kami suka -karena sejujurnya, aku lebih sering memesan menu yang sama setiap kali datang kesini, Charred Marinated Sablefish karena hanya menu itu yang mampu menarikku kesini- dan waitress mencatat pesanan kami, untuk beberapa saat, kami hanya saling berpandangan sebelum akhirnya Zane memecah kebisuan yang tercipta diantara kami.

    “Do you know that this restaurant revolves at a speed of .04 km/hour? And it takes an hour and 20 minutes to complete one revolution?”

    Sama sekali bukan topik yang aku duga akan dilontarkan oleh Zane namun aku bener-benar terkesan dia mengetahui fakta kecil tentang restoran berputar ini. Good way to impress me, Mr. Zane.

    “Ya, I knew it just a couple seconds ago,” jawabku yang disambut Zane lagi-lagi dengan tawanya.

    “Udah berapa lama kamu jadi member di matchmaking agent itu?”

    “Tiga minggu? A friend of mine registered me there without me knowing it. I’m not into a matchmaking thing so I was a bit skeptical about it. But, I guess I owe him now.”

    “Why?”

    “Well, because of him, now I’m seeing the most gorgeous man I’ve ever met.”

    “Keliatannya aku yang harus hati-hati nih. You’re such a good seducer.”

    Zane mungkin bisa melihat betapa merahnya wajahku karena ucapannya tadi. Aku sendiri tidak tahu darimana datangnya semua kalimat-kalimat itu. Aku jelas bukan tipe perayu ulung yang lihai dalam memainkan kata-kata untuk menarik perhatian. Namun sepertinya, aku menjadi sosok orang lain malam ini, bukan sosok Mahameru yang selama 29 tahun ini aku kenal dengan baik. Tapi, ucapanku tidak sepenuhnya bisa dikatakan gombalan belaka, Zane memang tampan. Pierre mungkin hanya sepersepuluhnya dari Zane. But, I didn’t want to be in a rush judging about Zane’s personality just because he has this amazing appearance.

    “I think it’s because of you.”

    “Wow!”

    “Ok, enough. I’m really embarrassed now,” ucapku sambil tersenyum sebelum mengangkat wajahku untuk menikmati fiber optic lighting diatasku yang memang hanya dinyalakan saat malam hingga menyerupai seperti bintang-bintang dan lukisan mural yang menyerupai rasi bintang di dinding bagian atas. Suasana malam di restoran ini memang romantis dan intim. Sejujurnya, aku memang merasa malu karena menjadi seseorang yang bukan diriku untuk alasan yang sama sekali aku tidak mengerti.

    “So, how’s your day?”

    Aku kembali memandang Zane yang sepertinya tidak terganggu dengan sikapku yang diluar kebiasaan ini. Aku hanya berharap itu tidak akan memberiku nilai minus di hadapannya.

    “My day was good, exciting for tonight actually.”

    “Well, I feel the same way too,” jawabnya sambil kembali tersenyum.

    “Meru, you’ve never told me the meaning of your name.”

    “Oh, Meru itu kependekan dari Mahameru. Gunung tertinggi di pulau Jawa.” Aku menatap Zane. “Nggak keberatan denger sedikit cerita tentang namaku?”

    Zane menggeleng. “Absolutely not! Go on.”

    Aku mencari posisi duduk yang enak sebelum melanjutkan cerita tentang namaku. “Menurut legenda, pulau Jawa dulu terapung di lautan hingga kemudian para Dewa memutuskan untuk mengambil sebagian gunung Meru yang ada di India, yang menurut mitos adalah pusat dari alam semesta untuk ditancapkan di pulau Jawa agar tidak terapung lagi di lautan. The result was the highest mountain in Java, Mahameru or Semeru, as people usually call it.”

    Zane menatapku lama setelah aku menceritakan tentang sejarah namaku. Aku tidak bisa mengartikan tatapannya itu namun aku harap dia tidak menganggapku makhluk dari planet lain karena namaku mengandung begitu banyak mitos.

    “That’s a very beautiful name, Meru. I never heard such things about a name.”

    Aku tersenyum. “Thank you. My name full of myth.”

    Pesanan kami datang sebelum Zane sempat membalas ucapanku dan selama setengah jam, kami tidak terlalu banyak bicara selain beberapa obrolan, candaan dan pujian-pujian kecil yang spontan terlontar dari mulut kami. Namun, dari obrolan kecil itu, aku tahu kalau orang tua Zane sudah meninggal dan dia sama sekali tidak punya saudara kandung di Vancouver karena kakak perempuannya tinggal di Yunani. Oleh karena itu, dia lumayan sering pergi ke Yunani satu tahun sekali saat musim panas karena Kakaknya melanjutkan usaha penginapan di Yunani.

    “At my age, I’m not looking for a man to go to bed with, but a man to live with.”

    Aku menatap Zane sesaat sebelum tersenyum. “Me too. Aku juga bukan tipe pria yang suka main-main dengan sebuah hubungan. I want to settle with one man and live with him, for the rest of my life if possible.”

    “What happened with your previous relationship? If you don’t mind telling me.”

    Biasanya, aku tidak ingin menceritakan kisahku dengan Pierre kepada siapapun, bahkan teman-temanku, apalagi dengan seseorang yang baru aku temui. Namun ada sesuatu dalam diri Zane yang membuatku ingin melanggar semua itu. Jadi, aku meraih napkin di pangkuanku dan menyeka mulutku sebelum menatap Zane yang sepertinya akan mengerti jika aku memutuskan untuk tidak menceritakan kepadanya.

    “He left me after cheating on me,” jawabku pelan, berusaha untuk menahan perasaan yang aku rasakan ketika Pierre meninggalkanku tidak menguasaiku saat ini. “I was really devastated and I had a thought of going back to Indonesia since there was no use for me staying here. But, Will, who also set up for this matchmaking thing, did everything he could to keep me here. I’m okay now though,” kataku sambil tersenyum. “I’m glad I’m still here.”

    Kami saling bertatapan selama beberapa detik sebelum aku merasakan sentuhan lembut di tanganku.

    “I’m sorry for asking about your past.”

    “Nggak papa.”

    Ada kelembutan yang aku rasakan dari sentuhan Zane dan ucapan maaf itu bukan sekedar keluar dari mulutnya, namun aku melihat kesungguhan dalam tatapannya. Tatapan yang diberikan Zane bukanlah tatapan kasihan karena Pierre meninggalkanku, namun jenis tatapan yang kembali membuatku tidak mampu bernafas untuk beberapa detik.

    “Ada acara akhir pekan ini?”

    Aku menggelengkan kepalaku. “Biasanya acaraku di akhir pekan adalah mencuci pakaian, membersihkan apartemen dan tidur sepanjang hari.”
    Zane tersenyum mendengar jawabanku. “Kalau kamu mau, kita bisa pergi ke konsernya Chris Botti di Orpheum Sabtu ini. Aku udah pesan dua tiket.”

    “Tawaran yang sangat susah buat ditolak.” Aku berusaha untuk tidak terlihat terkejut dengan tawaran Zane. Konser Chris Botti? Siapa yang bisa menolak tawaran semacam itu?

    “So, is it a yes?”

    “Without a doubt.”

    “Shall I pick you up?”

    Senyumku terkembang mendengar tawaran dari Zane. Sepertinya, William akan menjadi begitu ribut kalau aku menceritakan kepadanya tentang tawaran yang diajukan Zane. Tapi, tidak bisa aku pungkiri bahwa aku merasa senang mendengar tawaran dari Zane. Bukan konser Chris Botti-nya, tapi tawaran Zane untuk menjemputku. May I say that it would be our second date?
  • Hellow,

    @kiki_h_n : hehehehe, se;amat kecanduan kalo gitu ya? :)

    @AwanSiwon : Mellow? hehehe
  • Kiraain kmn ? Ko tenggelem gitu kmren -,-"
    Di mention donk tiap update cerita . Suka ketinggalAn (˘̩̩̩.˘̩ƪ) .
    Keren. Di tunggu cerita selanjutnya . ƪ(ˇ▼ˇ)¬
  • Zane, aaaaahhh, melted, wkwkwk
  • keren banget ni

    ditunggu next storynya
  • Up up up up.......
    ⌣Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡⌣
  • SEHABIS PROM


    “Perlu nggak aku minta maaf buat itu?”

    ###

    Orang-orang masih sibuk bersihin panggung tempat kami ngelaksanain Prom beberapa jam lalu dan aku kabur sebentar buat berdiri di depan ruang kelasku di lantai dua karena sebenernya tugasku udah kelar, tapi kalau Biyan tahu, dia pasti bakal nyuruh aku ngelakuin apapun biar nggak kabur. Well, aku kan capek ngurusin ini-itu jadi nggak ada salahnya kan kabur benatr buat ngumpulin nafas lagi? Udah kayak kerja rodi aja nih sebulan terakhir ini, kerja rodi pikiran maksudku. Kerja rodi yang sebenernya sih baru dua minggu terakhir. Sumpah! Prom ternyata nggak se-fun yang aku bayangin. Paling nggak buat aku. Lebih banyak capeknya daripada seneng-senengnya, tapi, ini kan The Biggest Night In Our High School Time, jadi nggak nyesel juga sih jadi panitia.

    Rasanya cepet banget tiga tahun sekolah disini. Sepertinya baru kemarin aku daftar dan ngalamin orientasi, eh, tahu-tahu udah mau lulus aja. Sedih sih pasti ninggalin temen-temen SMA tapi nggak sabar juga buat cepet-cepet kuliah karena selama ini cuma denger cerita aja kalo kuliah itu asik dan seru. Well, aku rasa sih nggak bakal seseru itu karena jurusanku nanti bakal berkutat dengan angka-angka. Jadi, ke-seru-annya dipending dulu aja daripada ujung-ujungnya ntar kecewa karena dunia kuliah nggak seperti bayanganku.

    Malam ini cerah banget dan aku bisa liat langit dan bintang lebih jelas dari sini meski agak sedikit takut sebenernya di lantai dua sendirian tapi nggak papa lah, namanya juga pengen kabur. Tempat apapun nggak jadi masalah.

    “Eh, kamu disini?”

    Jantungku hampir aja copot denger suara itu dan aku bener-bener nggak nyangka kalo bakal ada orang lain disini. Kirain sebagian besar siswa udah pada pulang tapi rupanya masih ada yang nyelip juga di atas sini.

    “Bobby? Ngapain kamu disini?”

    Iya, itu Bobby. Nggak tahu juga kenapa dia masih disini padahal dia bisa dibilang paling capek malam ini. Ghimana nggak coba? Dia jadi Prom King yang berarti banyak cewek-cewek yang pengen foto sama dia dan dia juga didaulat buat nyanyi karena dia ikut teater dan suaranya emang bagus. Jadilah cewek-cewek yang belum jadi groupiesnya kontan langsung tergila-gila ama Bobby. Aku rasa, dia cowok paling populer yang bukan kapten tim basket atau ketua OSIS. Yah, sebenernya nggak salah sih dia jadi Prom King. Bukan cuma keren, ghimana nggak keren coba? Wajahnya itu lho, nggak nguatin! Bisa bayangin wajah cowok paling cakep se Cina digabung ama cowok paling keren se Vietnam plus cowok paling cute se Indo? Nah, jadilah si Bobby ini. Dia juga terkenal supel dan nggak pilih-pilih temen, makin nambah lah nilai dia mata cewek-cewek. Atau cowok. Yah, aku kan nggak tahu apa ada cowok lain di sekolah ini yang naksir ama Bobby selain aku.

    “Kamu ngapain juga disini? Bukannya kamu musti di bawah?”

    Nah…nah, ngapain juga sekarang dia jalan ke arahku? Badanku jadi gemeteran nih liat Bobby ngampirin aku. Senyumnya itu, kenapa juga sih dia musti senyum kayak gitu ke aku? Akhirnya aku cuma bisa senyam-senyum nggak jelas ghini ketika Bobby akhirnya sampai di depanku. Alamak, ini beneran Bobby nggak sih?

    Aku ngelihat ke bawah, buat mastiin kalau kakinya nginjek lantai karena kalau nggak, aku nggak perlu pingsan disini. Aku masih punya tenaga buat lari ke tangga. Tapi, kakinya nempel kok jadi ini memang beneran Bobby.

    “Aku bukan hantu, Kris. Butuh bukti?”

    Tanpa aku duga, Bobby ngulurin tangannya ke arahku lalu nyubit pipiku. Aw! Sakit ternyata! Jadi, ini officially bukan mimpi atau bayanganku aja ya? Ini nyata! Bobby is standing in front of me with that drop-dead-gorgeous smile of his! Eh, tapi ngapain coba dia pake cubit-cubit segala? Kan nggak perlu cubit pipiku segala. Aku pasti nggak bakalan bisa tidur ntar karena ngebayangin cubitan Bobby. Ah! Stop it! Kris, bangun euy!

    “Sakit.”

    Eh, kok malah dia ketawa sih? Kan aku bilang sakit bukan minta dia buat nyubit aku lagi? Ni anak emang aneh deh. Apa jangan-jangan kesambet ya? Tapi kalo kesambetnya jadi kayak ghini juga nggak papa sih. Aku musti bilang terima kasih ama setannya daripada marah-marah. Hihihihi.

    “Berarti udah tahu kan kalau aku bukan hantu?”

    Aku cuma ngangguk aja deh. Daripada dia terus-terusan ngeyakinin aku kalo dia bukan hantu dengan nyubit-nyubit lagi ntar.

    “Ngapain disini? Kirain udah pulang.”

    Bobby ngangkat kedua bahunya lalu nyandarin tubuhnya ke tembok di sebelahnya sambil mandangin aku. Aduh! Kenapa sih musti Bobby? Aku kan jadi salting ghini. Mana dia pake senyum-senyum lagi, makin salting-lah aku. Eh Bob, aku tahu kamu punya senyum yang bisa bikin mampus seisi sekolahan ini tapi bukan berarti kamu bisa senyam-senyum seenakmu sendiri kan? Coba aku nggak pegangan ama pembatas ini pasti udah terjun bebas dan game over hidupku. Terus arwahku pasti gentayangan ntar nyamperin kamu. Aduh! Kok jadi malah makin nggak jelas ghini sih pikiranku? Stop it, Krisna!

    “Aku emang sengaja nyari kamu, buat minta maaf.”

    Nah lho? Bobby minta maaf? Ke aku? Ini keliatannya memang ada yang salah ama Bobby. Kenapa juga dia minta maaf? Buat apa? Perasaan, aku dan dia juga jarang ngobrol, nggak akrab-akrab banget, ngobrol seperlunya aja, terlepas kami satu kelas, tapi emang faktanya aku dan Bobby bukan BFF. Ghimana mungkin dia bikin salah coba? Jadi, aku ngangkat kedua alisku ke Bobby. Heran kenapa dia musti minta maaf.

    “Minta maaf buat apaan? Kayaknya kamu nggak punya salah sama aku.”

    “Mungkin emang kamu yang nggak sadar atau selama setahun kita satu kelas, kamu nggak merhatiin kalo kita jarang banget ngobrol dibanding temen-temen yang lain?”

    Nyadarnya sih aku sadar sesadar-sadarnya, Bob, tapi kan masak cuma karena itu terus aku nuntut kamu minta maaf? Yah, aku tahu kamu punya terlalu banyak fans yang butuh perhatian jadi sebenernya nggak perlu minta maaf juga sih. Not a big deal for me kok.

    “Oh, aku nggak nganggep itu sesuatu yang perlu dimaafkan. Kamu nggak perlu minta maaf buat itu, Bobby. Emang kenapa sih kamu musti minta maaf?”

    “Aku ngerasa nggak enak aja sama kamu. Kesannya seperti aku pilih-pilih temen dan aku nggak mau kamu berpikiran kayak gitu.”

    Aku mandang Bobby dengan pandangan yang selama ini belum pernah aku kasih buat dia. Kaget juga sih Bobby bisa ngomong kayak gitu ke aku yang notabene bukan siapa-siapa selain teman sekelas. Apa dia juga minta maaf sama temen-temen yang lain atau sama aku aja?

    “Aku nggak berpikiran kayak gitu kok. Santai aja Bob. Kita kan udah mau lulus, jadi hal-hal kayak gitu nggak penting lagi buatku. Toh, kita juga nanti bakal dapet temen-temen baru kan?”

    Bobby cuma nganggukin kepalanya tapi dia keliatan masih nyimpen sesuatu deh, kayak ada yang mau dia bilang tapi masih ragu antara bilang atau nggak. Jadi, aku cuma diem juga mandengin dia, kali aja emang masih ada yang mau dia bilang.

    “Kira-kira kita masih bisa ketemu nggak ya kalau udah kuliah ntar?”

    Tuh kan? Masih ada yang mau dia bilang. Ternyata cuma mau nanya itu doang? Huh, kirain mau bilang apa gitu kek yang kira-kira bikin aku makin nggak bisa tidur malam ini. Hush! Stop it, Kris!

    “Jakarta-Bogor kan nggak jauh, Bob. Kalo emang kamu mau ketemuan ya ayuk aja. Lagian, banyak juga kan yang bakal kuliah di Bogor? Kita bisa ketemuan rame-rame kan?”

    “Maksudku, cuma kita berdua aja. Yah, selama setahun kan kita jarang ngobrol, kali aja pas kuliah kita bisa jadi temen yang lebih deket.”

    Temen yang lebih deket maksudnya apa ya? Rasanya, aku dan Bobby nggak ada kecocokan deh buat jadi temen secara dia orangnya lebih ngartis daripada aku. Maksudnya ngartsi disini itu dia punya sense of art yang gede banget sementara aku lebih suka hal-hal yang umum. Liat aja dari cara dia ngomong, beda banget ama cowok-cowok seusianya. Keliatan lebih mateng kalo menurutku. Temen lebih deket moga aja maksudnya bukan pacar karena aku bakal bisa guling-guling di tangga kalo emang maksdunya itu. Yah, aku kan nggak tahhu dia demen cowok atau nggak.

    “Oh. Ya udah, kita liat aja ntar ghimana. Kita kan udah punya FB masing-masing, punya twitter juga, jadi kalo emang ada waktu, kenapa nggak?”

    Aku ngerasa suasana tiba-tiba jadi aneh deh. Bukan horror loh ya? Cuma ngerasa jadi makin awkward aja nih aku ama Bobby. Berdua di lantai dua malam-malam pula. Kalo ampe ada yang liat dari bawah, bisa-bisa dikira kami ini hantu kali. Ya iyalah, mana ada dua orang naik ke lantai dua malam-malam? Tapi, swear deh, situasinya jadi makin bikin nggak nyaman.

    “Krisna?”

    “Ya?”

    Aku cepet-cepet nyahut aja karena jujur, aku jadi gugup nih. Bener-bener nggak tahu kenapa tiba-tiba jadi lebih gemeteran ghini. Aku sih belum pernah ketemu vampir ya, tapi kalo misalnya Emmett Cullen (Sori, aku lebih suka Emmett daripada Edward) mau ngisep darah aku, rasanya aku jamin pasti kayak ghini deh. Sayangnya, Bobby ini bukan vampir dan juga bukan Emmett Cullen, jadi kenapa coba aku jadi gemeteran?

    “Mungkin nggak…kamu…suka…?”

    Ini lagi, bilang satu kalimat dalam satu tarikan nafas kenapa? Pake acara terbata-bata segala. Tahu nggak sih jantungku jadi makin nggak karuan ini detakannya. Say it straight and fast! Biar aku nggak makin mikirin yang lebih aneh daripada digigit Emmett. Mungkin nggak aku suka apa sih, Bob? Diterusin aja kali. Nggak bakal aku potong kok.

    “Suka apa?”

    Nah lho, sekarang dia jadi salting gitu pake acara masukkin lengannya ke saku celanannya dan malingin wajahnya dariku. Hey, aku disini Bob, di bawah sana udah nggak ada siapa-siapa selain tukang bersih-bersih, kenapa musti liat kesana? Kamu ini kenapa sih? Harusnya aku yang takut bukan kamu karena aku kan nggak tahu kamu mau ngomong apa.

    “I’m gay and I like you.”

    Bobby ngeliat aku kayak dia baru ngeliat siapa ya? Wajahnya itu serius banget waktu ngomong….Wait, wait, bilang apa dia tadi? Tuh kan, aku jadi nggak denger jelas dia ngomong apa gara-gara aku gugup. Sebenernya sih denger cuma ragu aja apa bener yang aku denger jadi aku mandang Bobby, minta dia ngulangin kalimatnya barusan.

    “I beg your pardon?”

    “Perlu ya nyiksa aku dengan minta aku ngulangin apa yang aku bilang? Aku yakin kamu pasti denger.”

    Aku bener-bener nggak ngerti. Sebenernya Bobby ngomong apa sih? Sumpah deh, aku nggak jelas dengernya.

    “Bob, aku belum tuli ya tapi tadi aku emang bener-bener nggak jelas kamu ngomong apa.”

    Kali ini, aku ngeliat Bobby kayaknya terganggu banget aku minta dia buat ngulangin apa yang dia bilang tapi kemudian, aku ngeliat dia narik nafas dalam-dalam dan sekarang…Eh, busyet! Ngapain coba Bobby makin deket-deket. Reflek, aku mundurin badanku dong karena nggak tahu mau ngapain Bobby deket-deket tapi kemudian…

    “I’m gay and I like you, Krisna.”

    Rasanya, aku udah tinggal sejengkal lagi sebelum terjengkang karena denger kalimat Bobby namun anehnya, aku nggak jatuh padahal aku udah yakin 110% bahwa aku bakal jatuh. Eng ing eng! Lengan Bobby terulur buat nahan tubuhku supaya aku nggak jatuh dan sekarang…OMG! Wajah Bobby hanya beberapa senti dariku dan dia senyum lebar banget seolah apa yang terjadi ini lucu. Buatku sih sama sekali nggak ada lucu-lucunya. Yang ada, aku gemeteran!

    “Kamu nggak papa?”

    Dia itu sok blo’on atau emang nggak tahu sih? Aku udah mau jatuh ghini, dia malah senyum belum lagi telingaku jelas-jelas denger kalimatnya tanpa sensor dan gangguan lainnya. Bobby gay dan dia suka sama aku? Nah, itu baru kedengeran lucu. Mana mungkin???? Kalaupun dia gay, yah, syukur deh berarti aku nggak sendirian disini tapi kalau dia suka sama aku? Well, itu bukan cuma aneh, tapi patut dan sangat layak buat dipertanyakan. Hello??? Sampai kiamat pun nggak mungkin Bobby suka ama aku. Ini pasti mimpi deh.

    “Cubit.”

    Eh, busyet, dia ketawa lagi. Tapi, akhirnya memang sih dia nyubit aku dan sakit! Jadi, lagi-lagi ini bukan mimpi. Tapi, masak sih Bobby bilang gitu? Jangan-jangan dia cuma jadiin aku taruhan lagi. Ya, pasti itu! Kan banyak tuh di film-film, anak-anak popular jadiin anak-anak nggak popular bahan taruhan. Sial! Dosa apa yang kubuat sampe di penghujung tahun aku jadi bahan taruhan?

    Sekarang sih kami udah berdiri tegak, tapi lengan Bobby masih ngelingker kayak ular di pinggulku. Pengen minta dia lepasin tapi ada suara aneh di kepalaku yang bilang buat biarin aja. Kapan lagi ada cowok yang cakepnya seantero sekolahan meluk kayak ghini? Jadi akhirnya, aku cuma diem tapi kami saling pandang-pandangan. Yang pasti, aku ngerasa luar biasa aneh (Maaf ya, emang nggak nemu kata lain selain aneh sih jadi cuma kata itu yang kepikiran sekarang) Aku pikir, kejadian kayak ghini cuma ada di film dan novel. Too good to be true. Aku masih percaya kalo ini mimpi.

    Deg-degan tahap yang kesekian ketika lengan Bobby akhirnya pergi juga dari sana tapi….eits! kenapa sekarang malah naik? Tunggu…Tunggu….ini mau ngapain lagi sih dia? Kok malah sekarang berhenti di tengkukku? Jadi geli kan jadinya.

    “Aku tahu kamu pasti kaget dan nggak nyangka tapi aku emang bener-bener suka sama kamu, Kris. Jadi gay itu bukan pilihan tapi karena kita spesial. Aku lebih suka pake kata itu daripada beda. Seluruh keluargaku tahu kalau aku suka ama cowok dan mereka nggak keberatan. Makanya, kalau nanti aku emang nggak betah di Jakarta, aku akan milih buat pergi ke Kanada. Ikut tante disana. Paling nggak, disana, aku nggak perlu sembunyi-sembunyi. Tapi, kalo kamu emang mau nyoba jalan sama aku, nggak ada alasan aku buat pindah.”

    Nah, ini bukan waktunya buat nganggep kata-kata Bobby sebagai lelucon. Dia nggak mungkin bikin joke tentang dirinya sendiri kan? Apalagi buat hal kayak ghini, jadi akhirnya, aku lagi-lagi cuma bisa diem. Mata kami bertemu dan entah kenapa aku tiba-tiba ngerasa bahwa masa SMA kami ada jauh di belakang. Ini bukan sesuatu yang anak SMA lakuin pada umumnya kan? Untuk pertama kalinya, aku deket banget ama Bobby, bahkan bisa dibilang nggak ada jarak yang signifikan diantara kami. Tapi, ada sesuatu yang aku sebut aneh berkali-kali tadi, mulai jelas keliatan bukan hal yang aneh lagi.

    Selama ini, aku bukan suka sama Bobby, tapi jatuh cinta padanya. Perasaan-perasaan aneh itu tadi pastilah cinta, karena kalau suka doang, nggak mungkin sehebat itu. Yes, sekarang, aku tahu kalau aku cinta sama Bobby dan tahu bahwa Bobby suka sama aku, bikin rasa aneh itu makin jelas. Bahasa dewasa dan romantisnya mungkin, hati kami sama-sama tahu bahwa kami punya perasaan khusus satu sama lain hingga nggak bisa dijelasin kenapa aku ngerasa aneh dari tadi.

    “Boleh aku cium kamu?”

    WHAT???? OMFG!!!! Bobby tadi baru bilang apa? Dia minta izin buat nyium aku? Yang bener aja? Dia bilang suka aja itu udah mimpi semimpi-mimpinya, apalagi dia pengen nyium aku? Ini udah nggak bener deh kayaknya. Tapi, lagi-lagi, sebuah suara misterius di kepalaku bilang supaya aku nganggukkin kepala aja, nggak usah bilang apa-apa. Tapi…aku berusaha protes tapi rupanya ada kekuatan yang tak kasat mata yang gerakin kepalaku hingga akhirnya aku ngangguk.

    Ya Tuhan! Aku cuma merem dan diem. Yang pasti, jantungku makin nggak karu-karuan ini detaknya, mungkin setelah ini, aku musti dibawa ke Rumah Sakit buat dibenerin letak jantungku. Apalagi ketika akhirnya aku ngerasain bibir Bobby menyentuh bibirku. Aku berharap situasi, kondisi dan suasana di sekelilingku berbeda saat ini. Kalau misalnya aku tenggelam dan Bobby musti nyium aku karena HARUS, paling nggak, aku nggak sadar tapi ini situasi yang aku nggak tahu musti ghimana. Aku kan belum pernah dicium, mencium dan ciuman, kecuali ama Papa dan Mama, dan itupun nggak di bibir. Rasanya aneh ketika akhirnya aku ngerasain bibir Bobby ditarik dan aku masih setengah yakin nggak yakin mau buka mata atau nggak tapai akhirnya, aku buka mata aja deh, nggak ada bedanya buka mata sekarang ama nanti kan?

    Ketika aku buka mata, wajah Bobby masih deket banget sama wajahku tapi kemudian, dia menjauh meski masih tetep senyum sih. Kayaknya, aku beneran butuh nafas buatan habis ini karena aku nggak yakin bakal tetep sadar buat nurunin tangga ke bawah. Kenapa sih dia suka banget senyum? Tahu nggak sih sebenernya dia kalo senyumannya itu punya kekuatan maha dahsyat? Paling nggak, efek senyumnya buatku luar biasa, nggak tahu sih kalo yang lain ghimana, mustinya sih sama aja ya?

    “Perlu nggak aku minta maaf buat itu?”

    Nah, dia minta maaf lagi kan? Ini bener-bener deh, aku antara yakin nggak yakin, antara mimpi atau nggak kalo Bobby kesurupan. Suka sih iya tapi ngeri juga kalo emang beneran dia kesurupan. Anyway, paling nggak sekarang aku tahu ghimana rasanya ciuman meski tepatnya, aku yang dicium.

    “Perlu kalo kamu nggak ngajarin aku ghimana ciuman yang bener.”

    Aduh! Keceplosan kan jadinya? Mampus deh! Kok bisa-bisanya aku ngomong gitu sih? Eh, dia ketawa pula, apanya yang lucu coba? Aku harap mukaku nggak merah kayak kepiting rebus sekarang karena jujur sejujur-jujurnya, aku beneran malu bisa ngomong kayak gitu. Bagi Bobby, mungkin emang aku kedengeran lucu kali ya? Makanya dia ketawa.

    “Okay then, kita masih punya banyak waktu kok. Nggak usah khawatir. You’ll be a good kisser.”

    “Eh, ngapain kalian berdua disitu???? Ini udah malem tahu!”

    Suara cempreng siapa lagi itu kalau bukan orang yang gara-gara dia aku kabur? Huh! Nggak pas banget sih momennya dia dateng. Aku dan Bobby cuma cengegesan aja sih sambil liatin Biyan yang jelas sekali mukanya keliatan bingung. Makan tuh bingung! Makanya, jangan sok usil naik-naik.

    “Kita udah mau pulang kok. Yuk Kris!”

    Aku cuma ngikutin Bobby aja sih jalan ninggalin Biyan yang kayaknya masih berusaha mikir kenapa aku sama Bobby ada di lantai dua malam-malam abis Prom. Ampe ubanan juga nggak bakal ketemu jawabannya, Biy! Udah pulang sana, ntar hantu-hantu takut liat tampang kamu.

    Aku ngerasain tanganku dipegang ama Bobby meski cuma beberapa detik dan I’m officially nggak bakal bisa tidur malam ini. Damn!
  • Hellow,

    @rarasipau : hehehehe, maap suka lupa. kebiasaan mention yg terakhir komen aja :)

    @freakymonster58 : hahahaha, aku kan gak mau dijuluki raja galau :D Nggak kok, William itu pure sohibnya Meru. masak kalo dia naksir ampe maksa si Meru ikut matchmaking agent? :D

    @dirpra : hahahahaha, baru baca gambarannya udah melting, ghmna kalo liat lngsung yak? :)

    @pokemon : thanks udah mampir ya? :)

    @Arieat : up up up, hehehehe

    mention yang lain ah.... @AwanSiwon @kiki_h_n @Rulli arto @yuzz @keichi_koji @habibi @Hent4 @djiniel @4r14 @kermit @aDvanTage @05nov1991

    Cerita ini salah satu cerita paling fun yang pernah aku tulis. Dari bahasanya, setting (aku nggak terlalu pinter ngegambarin anak SMA, hehehehe) sama sekali beda dari tulisanku yang biasanya. Enjoy banget pas nulisnya. Aku bisa bilang cerita paling ringan, hahahahaha.
  • Iye bner . Lebih santai . Lannjuuttt :D
  • waw... pasti klo dah baca cerpennya slalu nagih.. adict tingkat dunia ini mah.
    slalu mention yah klo update.. ma kasih mas iyas.

    ditunggu cerpen lainnya..
  • @abiyasha keren cerita zen sama cerita sma nya. though its quite simplifying several content, in overall all of the story is superb
  • AaaaahhhhhhhhH......................... Melayang karna ringan @abiyasha ЂёђёђёЂёђёђё
  • mantaff.. beneran antara cerita dan suasana bs beragam.. jd gk melulu satu suasana (msl:urban life) aja, tp trnyata bs macem2.. :)
    Oiya, misal dibuat 1 cerita 1 page bs gk si? jd kalo pake hp kan gk perlu ulang lg muat cerita yg sbelumnya jg gt maksudny.. hehe.
  • Omgggggggg!!!!!!!! The stories are all intriguing & fun to read! I love that every problems are all different & even if it's a bit cliché, I love every bit of it!
  • *lanjut baca*
    #komenpalingpenting hahaha
Sign In or Register to comment.