It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Dia kehilangan penglihatannya.”
Kalimat itu tidak mungkin terhapus dari pikiranku karena selama lebih dari seminggu, hanya itulah satu-satunya kalimat yang menghampiriku hampir di setiap helaan nafasku, dimanapun, kapanpun dan apapun yang aku lakukan. Tanpa henti, aku berharap bahwa kalimat itu hanya muncul dalam tidurku, hanya menggema di alam bawah sadarku yang akan terlupakan ketika aku bangun keesokan harinya. Namun, semakin aku berharap seperti itu, semakin nyata kalimat itu untukku.
Entah sudah berapa lama aku duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit, menyaksikan berbagai macam orang lalu lalang di hadapanku. Lagi, aku berharap bahwa menyaksikan lalu lalang orang-orang yang tidak aku kenal akan mampu membuatku lupa sejenak tentang kecelakaan yang dialami Toby hampir dua minggu lalu. Aku lelah untuk mencoba menyalahkan orang lain atas kecelakaan itu karena akulah yang membuat Toby keluar dari apartemennya untuk menjemputku malam itu. Sekarang, aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri. Yang sekarang sedang duduk disini bukanlah sosok Ravi yang dulu.
“Mr. Toby wants to see you now, Mr. Ravi.”
Aku mengangkat wajahku dan melihat wajah suster yang tadi sedang mengecek kondisi Toby, tersenyum kepadaku dan bersiap untuk meninggalkan kamar Toby. Aku membalas senyuman suster itu lalu bangkit dari kursiku.
“Bagaimana kondisinya?” Pertanyaan yang tidak pernah bosan keluar dari mulutku.
“Semakin membaik dan semangatnya untuk segera keluar dari sini benar-benar membuat saya kagum. Dia akan keluar lebih cepat dari dugaan Dokter.” Suster Kylie tersenyum. “Baiklah, saya tinggal dulu, kalau ada apa-apa, panggil saya ya?”
Aku mengangguk. “Terima kasih Sus.”
Aku terdiam sesaat setelah suster itu pergi dan melihat pintu dihadapanku, aku berharap bahwa aku sedang berada di tempat lain saat ini. Bukan karena aku tidak ingin berada disini namun melihat penderitaan Toby karena diriku, membuat hatiku begitu perih. Terlebih lagi melihat bahwa selama ini, aku sama sekali tidak pernah terlalu peduli dengan perasaannya. Hanya ada beberapa teman dekat yang setiap hari mengunjungi Toby karena kedua orang tuanya sudah meninggal ketika dia masih remaja. Teman-temannya lah yang menjadi keluarganya karena hubungan Toby dengan kedua kakaknya juga tidak bisa dibilang harmonis. Aku, yang seharusnya menjadi orang terdekat untuknya, namun, kedekatan itu hanya bersifat fisik, bukan kedekatan emosi seperti yang seharusnya.
Aku mengisi paru-paruku dengan oksigen, berharap aku merasa lebih baik ketika mulai melangkahkan kakiku. Usaha yang bukan hanya sia-sia namun juga tidak mungkin. Perasaan itu selalu hadir setiap kali aku berdiri disini, setiap kali aku akan bertemu dengan Toby. Namun, aku akhirnya membuka pintu kamar Toby dirawat dan memejamkan mataku selama beebrapa detik untuk menguatkan mentalku dan begitu mataku menangkap Toby sedang minum air putih, aku benar-benar harus berjuang dengan perasaanku untuk sampai di tempat tidurnya. Toby menatapku ketika aku semakin dekat dengannya dan membiarkan air putih di gelasnya tersisa hanya seperempat.
“Ravi?”
Bahkan, tidak ada kebencian dalam nada suaranya untuk orang yang lebih dari pantas untuk mendapatkan itu darinya, untuk orang yang telah menyebabkan dirinya kehilangan penglihatannya. Aku kemudian duduk di kursi plastik yang ada sebelah tempat tidurnya lalu meraih tangannya dan mengecupnya.
“Ghimana kabar kamu hari ini?”
“Feel better from day to day,” ucapnya dengan senyum lebar terpasang di wajahnya seolah tidak terjadi apapun dengannya. “Kamu harusnya bilang sesuatu biar aku tahu itu kamu yanag datang.”
Aku tersenyum. “Maaf, lain kali aku akan nyanyi biar kamu tahu itu aku.”
Toby tertawa dan aku hanya mampu tersenyum melihat tawa itu.
“Suster Kylie bilang dia kagum dengan semangat kamu buat sembuh dan bilang kalau kamu mungkin akan pulang lebih cepat dari perkiraan mereka.”
“There’s no place like home, Ravi.”
Aku hanya mengangguk meski Toby tidak bisa melihatnya. Kecelakaan itu memang merenggut penglihatannya namun daya tarik yang dimiliki Toby sama sekali tidak berkurang. Rambut cokelatnya yang sudah mulai panjang, wajahnya yang mulai ditumbuhi rambut-rambut halus serta perban yang menutupi sebagian kecil keningnya tidak mampu mengurangi pesona itu darinya. Dia terlihat berantakan namun tetap menarik. Dan sepasang mata itu….meskipun telah kehilangan fungsinya, sama sekali tidak menurunkan pesonanya. Aku rasa, Toby adalah sosok yang paling mendekati arti kesempurnaan yang selama ini dicari oleh setiap orang, bukan karena fisiknya namun apa yang tersimpan di hatinya. Hanya orang seperti Toby yang masih mau bersamaku meskipun tak terhitung berapa kali aku membuatnya kecewa serta menyakiti perasaannya. Sekarang, yang tersisa untukku hanyalah rasa sesal yang begitu dalam karena tidak mampu memberikan apa yang sepantasntya Toby dapatkan. Cinta dariku.
Aku menelan ludahku tanpa sekalipun mengalihkan pandanganku dari Toby. Dengan sekali teguk, dia menghabiskan air putih dari gelas yang masih dipegangnya tadi ketika aku masuk sebelum dengan hati-hati meletakannya di atas meja disampingnya. Aku bukan tidak ingin meraih gelas itu dari tangannya namun Toby memintaku untuk tidak membantunya setelah dia mengetahui fakta bahwa penglihatannya menjadi tumbal akibat kecelakaan itu. Aku sempat marah ketika Toby memintanya namun akhirnya aku menerima permintaannya itu dengan rasa enggan yang luar biasa besar. Aku seperti ditolak untuk sedikit menebus rasa bersalahku padanya. Namun, aku menghargai permintaan Toby.
“Bagaimana cuaca di luar, Ravi?”
“Lumayan cerah hari ini, agak sedikit berangin. Aku sampai harus pakai sweater karena udah mulai bersin-bersin. Tetap saja seperti itu setiap ali musim gugur datang,” ucapku sambil mengarahkan pandanganku ke langit biru yang ditutupi sedikit awan dari balik jendela kamar Toby.
“Do you go out a lot at night?”
“Just for dinner karena kamu nggak ada di rumah buat masakin aku makan malam. Aku nggak punya pilihan kan?” Aku melihat senyuman lain di wajah Toby ketika aku meremas tangannya. Aku hanya berharap mampu lebih sering melihat senyuman itu.
Tidak ada pilihan lain untukku selain berbohong mengenai malam-malamku karena jika Toby tahu bahwa setiap malam aku tidak pernah meninggalkannya di rumah sakit -meskipun aku harus tidur di ruang tunggu yang membuat seluruh badanku pegal-pegal keesokan harinya-dia akan bersikeras untuk pulang meskipun kondisinya belum pulih hanya agar aku bisa tidur di tempat tidur. Itulah Toby. Selalu memikirkanku lebih dari dirinya sendiri.
“Aku musti minta maaf dari sekarang karena nggak bisa masakin kamu makan malam lagi.”
“Don’t say that, Toby if you don’t want me to apologize,” balasku cepat.
Toby terdiam seketika mendengarku mengucapkan itu. Dia tidak mau mendengar permintaan maafku karena memintanya datang untuk menjemputku malam itu, malam dimana seorang wanita yang entah pikirannya sedang ada dimana menabrak mobilnya hingga semua ini harus dialami Toby. Tidak akan ada yang mampu membuatku menghapus rasa sesal dalam diriku. Maka, setiap Toby meminta maaf untuk hal yang bahkan tidak perlu seperti yang baru dikatakannya, aku selalu membalasnya dengan kalimat seperti itu. Hanya satu hal yang selalu diabaikan Toby dariku sejak dulu, permintaan maafku.
“Aku jamin nggak ada apple pie seenak buatanku.”
Selama beberapa saat, kami hanya terdiam. Sebuah dorongan membuatku menatap Toby, benar-benar menatapnya sebelum aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh wajahnya dan tiba-tiba dadaku berdegup lebih kencang melakukannya. Ini pertama kalinya aku menyentuh wajah Toby, menggunakan perasaanku daripada logikaku juga bukan dengan perasaan yang sengaja aku ciptakan hanya agar Toby percaya bahwa aku mencintainya. Tanganku bergetar ketika merasakan kulit wajah Toby di telapak tanganku.
Ada sesuatu yang kuat mendesak untuk keluar dari tenggorokanku, namun, aku menahannya berusaha untuk menahannya agar tetap disana karena jika aku membiarkan air mataku mengalir, Toby akan kembali merasa bersalah untuk sesuatu yang bukan kesalahannya. Jadi, aku menahan tangisku.
“Thank you, Toby. For everything.”
Aku melihat wajah Toby menegang, bukan karena marah, namun mungkin karena dia menyadari perubahan dalam suaraku atau mata hatinya bisa melihat bahwa aku sedang menahan tangis karena detik berikutnya, Toby menahan tanganku untuk tetap berada di wajahnya. Dia menggenggamnya erat seolah takut bahwa aku akan pergi.
“Don’t tell me you’re crying, Ravi.”
“I’m not.”
Aku menarik nafasku dalam dan panjang, berharap aku bisa mengirim kembali luapan emosi yang tertahan di tenggorokanku namun usahaku sia-sia hingga akhirnya tangisku pecah. Toby, mengulurkan tangannya untuk meraihku dalam pelukannya dan di dadanya lah aku membiarkan semua tangis yang aku tahan tumpah. Aku tidak mendengar satu kata pun terucap dari mulut Toby namun tangannya tanpa henti membelai rambutku dan aku melihat itu sebagai caranya untuk menenangkanku. Selama beberapa menit, aku hanya membiarkan semua emosi yang aku tahan selama ini mengalir sebelum akhirnya aku menarik tubuhku dari Toby untuk menyeka air mataku lalu menatap Toby yang terlihat begitu hebat menahan emosinya.
“Kenapa kamu nangis, Ravi? I’ll be fine. Don’t you ever worry about me. I just lost my sight, not myself. I’ve seen enough in my life. Promise me you’ll never cry again in front of me, okay? Or I will ignore you for a long long time.”
Toby tidak melepaskan genggaman tanganya dariku, bahkan, dia membiarkan jemarinya menyusuri kedua pipiku untuk menyeka air mataku yang masih mengalir.
“I’ll try,” ucapku singkat.
“Ravi, aku mungkin nggak akan bisa ngelukis lagi, it’s no big deal for me since I have made a lot of paintings. Aku mungkin nggak akan bisa masak lagi, it’s okay for me since I have made so many delicious dishes,” ucapnya sambil tersenyum. “Ada banyak hal yang mungkin nggak akan aku bisa liat, sebagian aku nggak peduli dan sebagian lagi mungkin akan aku sesali. But, the hardest part is….you, Ravi. I know it sounds so cheesy, but not seeing your face again is something that I’m still trying to deal with. Aku punya begitu banyak memori tentang kamu di pikiranku dan nggak akan hilang hanya karena aku buta, tapi…nggak bisa ngelihat kamu bikin aku bingung, sedih dan marah. I don’t care about anything else but you.”
Jika aku bisa menemukan iblis manapun untuk mengembalikan penglihatan Toby dengan menjual jiwaku, aku dengan senang hati akan melakukannya. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan menjadi salah satu tokoh utama seperti film-film roman picisan yang selalu membuatku geli daripada terharu. Tidak pernah terpikir olehku untuk mengabdikan serta mengorbankan diriku atas nama cinta karena buatku, cinta itu sama sekali tidak butuh pengorbanan. Namun, detik ini, aku ingin menarik semua rasa sinis yang pernah begitu menguasaiku tentang cinta dan membiarkan diriku larut serta merasakan cinta Toby untukku.
“Why don’t you hate me, Toby?”
Aku berulang kali menanyakan pertanyaan ini untuk diriku sendiri namun jawaban yang aku peroleh hanyalah karena Toby pria yang sangat baik. Namun, pria manapun akan membenciku dengan semua rasa benci yang mereka punya seumur hidup mereka.
“Because I can’t, because I don’t want to and because I chose not to.” Toby menghela nafasnya lalu kembali menggenggam tanganku erat. “Aku nggak menutup mata atas semua sikapmu kepadaku, Ravi. I know you don’t love me as much as I love you, aku juga tahu bahwa kamu hanya bersamaku karena rasa aman yang aku berikan ke kamu. Bukan cuma satu orang yang bilang bahwa aku harus ninggalin kamu karena aku berhak mendapatkan pria yang lebih baik daripada kamu. Aku dengar semua kata orang tentang kamu, Ravi. I believe them because they’re my friends and I believe you because I love you. Pada akhirnya, semua itu nggak penting lagi karena cinta yang aku rasakan buat kamu lebih besar dari sekedar kata-kata.”
Kami tidak pernah benar-benar membicarakan tentang perasaan kami masing-masing lewat kata-kata karena aku akan lebih dulu menghindarinya. Aku bukan orang seperti itu dan Toby lebih suka menunjukkannya lewat tindakan-tindakannya. Aku semakin merasa bahwa inilah hukuman yang Tuhan berikan untukku karena mengabaikan pria sebaik Toby. Karma paling cepat yang bisa aku dapatkan karena mengabaikan pria sebaik Toby.
Lama aku menatap wajah Toby, hanya untuk lebih meyakinkanku bahwa aku memang seorang pecundang. A total jerk. Aku harus pergi dari sini, semakin lama aku ada disini, perasaanku semakin membuatku jadi tidak karuan. Aku bangkit dari kursiku sebelum mengecup kening Toby lalu kedua pipinya.
“Aku pergi bentar ya Toby? Tiba-tiba ada yang harus aku beli,” Aku menarik tanganku namun Toby menahannya disana.
“Stay here, Ravi.”
Aku tersenyum. “I won’t be long. I will be back.”
Meski terlihat enggan untuk melepaskan genggaman tangannya, akhirnya Toby melakukannya. Sebuah kebohongan lain yang aku berikan kepada Toby. Aku memusatkan perhatianku untuk menelusuri setiap lekukan wajah Toby, kedua mata birunya yang selalu penuh cinta setiap kali dia menatapku, bibirnya yang telah menciumku namun yang aku berikan hanyalah ciuman palsu, rambut coklatnya yang berantakan hingga aku ingin sekali menyusupkan jari-jariku disana. Aku mencondongkan tubuhku untuk mencapai bibir Toby...
Aku bisa merasakan keterkejutan dalam diri Toby mendapatkan ciuman dariku namun kemudian, aku merasakan ciumanku berbalas. Aku berusaha untuk tidak memikirkan apapun selain ciuman kami. Ciuman pertamaku dengan Toby karena semua ciuman yang aku berikan kepadanya sebelum ini hanyalah kepura-puraan semata. Aku membiarkan hatiku menuntunku kali ini dan berharap, Toby bisa merasakan betapa aku berterima kasih untuk semua cinta yang diberikannya padaku, semua cinta yang aku sia-siakan.
Ketika aku menarik bibirku, aku bisa melihat dengan jelas bahwa Toby tidak menyangka akan mendapatkan ciuman seperti itu dariku hingga aku kemudian membelai pipinya dan Toby meraihnya sebelum mengecupnya.
“I love you Toby.”
Aku kemudian mengeluarkan iPod dari sakuku dan meletakannya di atas meja disamping tempat tidurnya karena Toby memintaku untuk membawakan iPodnya. Aku sudah menambah beberapa playlist baru dan sesuatu yang mungkin akan membuat Toby tersenyum ketika mendengarnya. Atau melihatnya nanti. Aku hanya berharap dia akan menyukainya.
“Be back soon, Ravi.”
Aku terdiam sebelum menganggukkan kepalaku pelan. “I will.”
Perlahan, aku menjauhkan diriku dari Toby tanpa sekalipun mengalihkan pandanganku darinya. Aku bisa melihat dengan jelas bahwa Toby ingin mengatakan sesuatu namun ditahannya, yang membuatku senyum terima kasihku mengembang sebelum akhirnya melangkahkan kakiku keluar dari ruangan Toby. Aku mendudukkan diriku kembali di kursi ruang tunggu untuk menopang tubuhku yang sepertinya akan limbung jika aku meneruskan langkahku karena beban emosi yang aku rasakan.
Aku menarik nafasku dalam-dalam sebelum memandang nanar dinding di hadapanku, mengingat semua yang telah aku lalui bersama Toby. Betapa aku menerima dirinya menjadi kekasihku karena dia seorang pelukis yang menghasilkan ribuan dolar untuk satu lukisan yang dibuatnya, betapa aku hanya memikirkan bagaimana agar aku bisa hidup berkecukupan tanpa harus membanting tulangku untuk tiga jenis pekerjaan berbeda, betapa Toby, rela menerima itu semua meskipun aku lebih sering menghabiskan uangnya untuk kesenanganku sendiri dan betapa aku telah membiarkan diriku menjadi begitu serakah dengan menerima itu semua tanpa pernah benar-benar berpikir untuk memberikan apa yang seharusnya Toby dapatkan dariku.
“Thank you, Toby, for everything,” bisikku pada diriku sendiri.
Aku kemudian bangkit dari kursiku lalu melangkahkan kakiku menyusuri lorong rumah sakit dengan senyum yang berusaha aku pasang di wajahku. Senyum yang aku tujukan bukan untuk suster-suster yang aku temui di sepanjang koridor namun untuk Toby. Untuk sesuatu yang akan dia dapatkan hingga kebahagiaanku sudah lengkap meski semuanya belum terjadi.
Ketika aku melangkahkan kakiku keluar dari rumah sakit, angin yang berhembus membuatku sedikit menggigil. Sweater yang aku kenakan jelas tidak mampu menahan hembusan angin untuk menusuk tulangku. Daun-daun dari pohon yang berderet sebagai pembatas halaman parkir mulai luruh ke bumi hingga membuatku, yang selalu membenci musim gugur dan musim dingin, kali ini mampu memberikan senyumku untuk sesuatu yang selalu aku benci.
Aku merasakan kehangatan begitu tubuhku masuk ke mobil dan tanganku sedikit bergetar ketika menghidupkan mesin mobil hingga perlu lebih banyak waktu untukku sebelum akhirnya aku berhasil membuat mesin mobil ini menyala. Aku menelan ludahku lalu mulai mengarahkan mobilku keluar dari area parkir rumah sakit setelah memandang halaman rumah sakit yang selama dua minggu ini telah mengubah sosokku menjadi Ravi yang melihat cinta serta Toby dengan cara yang berbeda.
Mobil yang aku kendarai meluncur membelah jalanan lurus dihadapanku, hanya butuh waktu lima belas menit untuk mencapai apartemenku, namun aku tidak akan mengaraahkan mobilku kesana. Ada satu tempat yang ingin aku tuju karena disanalah aku akan menemukan kebahagiaan yang membuat senyumku terkembang sejak keluar dari kamar Toby tadi. Sejak aku memikirkannya, tidak ada keraguan sedikitpun bagiku untuk melakukannya. Hari-hari yang berlalu hanya membuatku semakin yakin.
Tubuhku semakin bergetar ketika mobil yang aku kendarai mulai memasuki road tunnel. Jantungku seperti berpacu lebih cepat ketika aku menginjak pedal lebih dalam dan kegelapan menyelimuti sekelilingku. Seluruh adrenalin di tubuhku seperti terpacu ketika perlahan aku melepaskan tanganku dari kemudi untuk menutupi wajahku karena apa yang akan aku berikan kepada Toby ada disana.
Mataku.
Semua kehidupan yang aku alami melintas begitu cepat di pikiranku ketika pandanganku mulai menggelap namun Toby bertahan disana. Toby. Toby. Toby. Hanya nama itu yang aku ucapkan berkali-kali dalam hati, berharap bahwa kesedihan yang akan dialami Toby karena kehilanganku hanya akan berlangsung singkat karena aku tetap bersamanya. Aku akan tetap hidup, bahkan menjadi satu dengan dirinya. Aku akan tetap menemaninya melukis. Dan aku akan menyaksikannya ketika ada pria lain yang lebih baik dariku mencintainya dengan tulus. Tidak ada hal lain yang lebih aku inginkan saat ini selain memberikan apa yang Toby pantas dapatkan dariku, mendapatkan kembali kehidupannya.
“Selamat tinggal, Toby.”
Aku tidak bisa menghapus senyum dari wajahku ketika aku merasakan mobil yang aku kendarai menabrak dinding beton dengan suara yang memekakan telinga dan dalam hitungan detik, tubuhku mendapatkan hantaman keras hingga membuatku tidak mampu merasakan apapun setelahnya.
@rarasipau : Udah dilanjut, silakan dinikmati
@kiki_h_n : Hehehe, aneh rasanya dipanggil Iyas, just call me Abi. Kalo kamu komen pasti aku mention, soalnya kadang cuma mention yang komen aja, hehehehe.
@Hent4 : thank you!!!!!!!!
@arieat : Waduh, melayang???? Hehehehe.
@yuzz : Hahahaha, ntar bingung yang lainnya. Langsung menuju aja hal terakhir, bisa kan? aku emang nggak pengen stick ama satu situasi aja sih. jadi, lebih beragam Thanks ya?
@tonymonster : Thank you!!!!! Keep reading and comment ya?
@4ri4 : hahahaha, yang penting komennya, lol
@gr3yboy : Iya, usul dari @adinu tuh supaya coba post cerita disini and so far, responnya lebih bagus, hehehehe. Keep proofing my writing ya?
@freakymonster58 : Makanya, kalo baca itu di tempat yg sepi jadi kalo terharu dan nangis, gak ada yg liat *loh?*
@keichi_koji : ah, dirimu bisa aja, kan jadi malu :P
Thanks all for reading my stories, kalo bisa, tolong di recommend ke yang lain yg belum baca ya? hehehehe. Merci!
mk.a kawin yuk wkwkwkkk
sbuk nungguin postingan sampeyan dsini n forum ttngga
siap, tiap da crita baru pasti komen biar di mention. oke deh sy panggil abi. padahal lebih suka manggil mas iyas, hehe.
Aaaaaaaahhhhhhhhhhhh................................ U make me crying @abiyasha :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º
º°˚˚°:'(°˚˚°º
/\ нüu нuü:'(
^ ^
Aaaaaaaahhhhhhhhhhhh................................ U make me crying @abiyasha :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º
º°˚˚°:'(°˚˚°º
/\ нüu нuü:'(
^ ^
“So, this is it?”
Setegar apapun Ray mencoba untuk membalas ucapanku, aku masih mampu menangkap getaran dalam suaranya. Ada kekuatan yang dipaksakan disana, sesuatu yang bahkan tidak aku miliki jika aku berada di posisinya. Mataku tidak beranjak dari wajah Indonesianya yang begitu khas. Bagi orang yang tidak mengenalnya, mungkin bisa mengambil kesimpulan bahwa Ray baik-baik saja dari ketenangan yang ditunjukkannya. Namun bagiku, yang mengenal Ray selama empat tahun, ketenangan itu hanyalah topeng yang dipakainya untuk menutupi apa yang sebenarnya dirasakannya. Jika aku biasa menghiburnya setiap kali dia seperti itu, sekarang justru aku tidak bisa melakukan apapun.
“Ya.”
Seperti pengecut sejati, hanya satu kata singkat itu yang keluar dari mulutku. Tidak pernah henti-hentinya aku berharap bahwa hidupku tidak seperti sekarang. Jika bisa, aku ingin sekali menukar semua yang aku miliki dengan satu hal. Ray. Hidup bersamanya, memiliki pekerjaan biasa seperti kebanyakan orang, bisa meringkuk dengan nyaman di sofa dengan lengan Ray melingkar di pundakku sementara aku menyandarkan kepalaku di dadanya sambil menonton Modern Family atau bisa bersantai di pantai di Bali tanpa harus tergesa-gesa kembali ke Jakarta.
Namun, itu semua hanyalah sebuah harapan tanpa kesempatan untuk bisa menjadi nyata.
Ray menghela nafasnya panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke sofa namun matanya tidak pernah lepas untuk memandangku. Kemeja soft blue-nya sudah mulai terlihat kusut. Aku ingat bahwa aku membelikan kemeja itu lima bulan lalu karena Ray belum memiliki kemeja dengan warna seperti itu dan masih lekat dalam ingatanku reaksi pertama Ray saat mengetahuinya. “Kamu pikir aku masih bayi?” yang aku sambut dengan tawa. Setelah malam ini, apakah aku akan mampu tertawa seperti itu? Aku meragukannya.
“Kita masih bisa…”
Tangan Ray terangkat untuk memotong kalimatku. Kami lebih banyak diam dalam kurun waktu satu jam ini. Bagi kami, itu rekor yang pantas masuk Guiness Book Of World Record karena selama kebersamaan kami, jarang ada satu menit yang terlewat tanpa kami saling menimpali kalimat masing-masing. Betapa inginnya aku untuk menghampiri Ray dan mengatakan kepadanya bahwa aku hanya bercanda sambil membaringkan kepalaku di pangkuannya seperti yang biasa aku lakukan, namun, aku menahan diriku.
“Jangan bilang kalau kita masih bisa ketemu, Ben karena aku akan pergi dari Jakarta secepat mungkin.”
Sekarang, aku yang menatap Ray dengan tatapan tidak percaya karena selama ini, Ray tidak pernah sedikitpun menyinggung tentang pergi dari Jakarta. Hubungan kami memang akan berakhir ketika aku menginjakkan kakiku keluar dari apartemen Ray, namun aku masih berharap mampu untuk menemuinya, secara diam-diam hanya untuk melepaskan kerinduanku melihat wajahnya. Jika dia pindah dari Jakarta, aku tidak yakin masih sanggup menjalani apa yang akan aku jalani.
“Kamu mau kemana?”
Alih-alih merasa marah karena Ray tidak memberitahuku sebelumnya, aku malah merasa malu jika memang amarahku terpancing karena pernyataaan Ray. Apa hakku sekarang hingga harus merasa marah kepadanya?
Ray mengangkat kedua bahunya. “Antara Bali dan Singapore. Mungkin juga aku akan ke Sydney. Ada beberapa tawaran yang datang kepadaku Ben. Aku hanya belum memutuskan.”
Aku mengangguk pelan, berusaha untuk bersikap setenang mungkin. Bali dan Singapore mungkin bisa aku kunjungi ketika akhir pekan tiba, hanya untuk melihat bagaimana kehidupan Ray sekarang, bukan hal yang sulit untuk menemukan dimana dia tinggal. Tapi Australia? Bukannya aku akan menemui kesulitan untuk menemukan Ray tapi akan semakin jarang bagiku untuk bisa melihat wajahnya. Kalaupun orang menyebutku memata-matai Ray, aku tidak peduli.
“Aku….mungkin harus lebih sering ada di Jakarta.”
Senyum tipis terpasang di wajah Ray yang kemudian menganggukkan wajahnya seolah tahu bahwa aku akan mengatakan kalimat itu.
“Seorang Direktur memang harus sering di kantor Pusat kan?”
Jabatan yang mungkin diinginkan setiap orang namun jabatan yang akan membuatku kehilangan Ray hingga membuatku bukan hanya membencinya, namun juga mengutuknya. Andai saja aku tidak terlahir sebagai seorang Benjamin Tirtapradja, jabatan itu tidak akan menjadi milikku dan aku tidak perlu berada disini bersama Ray membahas sesuatu yang tidak aku sukai. Menjadi seorang Tirtapradja berarti menjadi budak atas nama besar Banyu Pradja Ltd. sebagai produsen sparkling water pertama di Indonesia yang membuatku menjadi satuu-satunya pihak yang berhak menggantikan Papa karena hanya aku anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga.
Usia Papa yang sudah menginjak 65 tahun membuat beliau harus lebih sering memikirkan kesehatannya daripada urusan kantor dan orientasiku yang lebih tertarik kepada pria daripada wanita, membuat posisiku jadi semakin sulit. “Kamu harus putus dengan pria itu!” “Apa jadinya kalau pers tahu kamu lebih tertarik pada pria daripada wanita?” “Kamu pilih dia atau keluarga ini?” adalah beberapa kalimat yang lebih sering aku dengar setiap kali aku berada di rumah untuk makan malam daripada bagaimana perasaanku yang sesungguhnya. Pada akhirnya, aku memang harus memilih. Aku memilih keluargaku daripada Ray dengan sakit di dadaku yang entah kapan akan hilang.
Perlahan, aku beranjak dari sofa tempatku duduk untuk menghampiri Ray. Namun Ray langsung beranjak dari tempatnya begitu tahu aku akan menghampirinya menuju ke sisi kiri ruang tamu yang menampilkan pemandangan malam kota Jakarta yang dihiasi ribuan kerlip lampu dari berbagai sudut.
Dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celananya, Ray terlihat seperti pria yang mencoba untuk tetap bersikap tenang meskipun ada gejolak hebat di hatinya. Aku melangkahkan kakiku perlahan menuju ke arahnya dan menyusupkan lenganku untuk memeluknya dari belakang dan menyandarkan kepalaku di punggungnya.
Tidak ada satupun kalimat yang terucap dari mulut kami dan aku memang tidak ingin mendengar apapun. Aku hanya ingin merasakan tubuh Ray dalam pelukanku selama mungkin, berusaha untuk mengingat bagaimana rasanya menyentuh tiap inci tubuh Ray karena aku tahu bahwa kata “berakhir” bagi Ray adalah akhir dari segalanya. Ray tipe pria yang tidak mau melihat kembali ke masa lalu, seindah apapun itu. Bukan karena dia tidak ingin mengingatnya namun karena dia tidak ingin terhanyut dalam jeratan masa lalu yang akan membuatnya takut untuk menghadapi masa depan.
Sebelum bertemu denganku, hubungannya dengan pria Italia harus berakhir karena Allesandro mengalami kecelakaan ketika sedang bermain ski di Alpen yang merenggut nyawanya. Butuh satu tahun bagiku untuk mendengar cerita tentang Allesandro dari mulut Ray meskipun aku sudah mengetahui kisahnya tiga bulan setelah kami resmi berhubungan dari sumber-sumber yang bisa aku percaya. Aku tidak akan terkejut jika setelah hubungan kami berakhir, Ray akan menemukan kembali pria lain sebagai penggantiku.
Tapi, bagaimana dengan aku?
“Kamu lebih baik pulang Ben. Aku yakin keluarga besarmu nggak ingin nunggu terlalu lama untuk dengar keputusan kamu.”
Ray mengucapkan kalimat itu dengan nada datar, seperti tidak ada emosi dalam nada suaranya. Perlahan, Ray melepaskan lenganku yang memeluk tubuhnya untuk menghadapku. Aku menelan ludahku ketika mata kami saling bertatapan begitu dalam, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Setegar apapun Ray mencoba untuk terlihat saat ini, ketika aku menatap sepasang matanya, aku mampu menangkap kepedihan yang berusaha disembunyikannya. Mungkin Ray bisa menipu orang lain dengan sikapnya sekarang, namun aku jelas tidak mungkin mengabaikan kesedihan yang terpancar dari matanya.
“Kenapa kamu harus bersikap sok tegar seperti ini, Ray?”
Tidak ada nada tinggi dalam suaraku, namun lebih seperti bertanya dengan halus. Aku ingin melihat Ray menunjukkan sedikit saja kesedihan yang dirasakannya kepadaku hingga aku tidak perlu merasa begitu bersalah menjadi pihak yang mengakhiri hubungan kami. Kami menjalani hubungan ini berdua dan sama-sama mengambil risiko untuk terluka karena dari awal, kami berdua tahu bahwa saat ini akan tiba. Namun, setelah empat tahun, risiko itu terlihat jauh lebih sulit untuk kami atasi, terutama untukku. Aku hanya ingin Ray membagi kesedihannya denganku. Aku tidak ingin Ray menyimpannya sendiri.
“Kamu tahu jawabannya, Ben. Aku nggak perlu jelasin ke kamu kan?”
Kembali, hanya keheningan yang ada diantara kami ketika kalimat itu meluncur dari mulut Ray dan membiarkan mata kami saling membaca emosi masing-masing. Bahkan ketika wajah kami saling mendekat dan pada akhirnya aku merasakan bibir kami bersentuhan. Ciuman kami terasa begitu getir karena ciuman Ray tidak seperti biasanya. Ada yang berusaha untuk dilepaskannya namun di saat yang bersamaan, sesuatu yang lebih besar menahannya. Ciuman itu berlangsung hanya beberapa detik dan ketika berakhir, Ray menatapku.
“Itu akan jadi ciuman terakhir kita, Ben. Jika aku bilang terima kasih untuk apa yang sudah kita alami selama empat tahun ini, itu akan sangat merendahkan arti seorang Ben dalam hidupku. Aku tahu kita akan sama-sama terluka, tapi berjanjilah kepadaku kalau kamu akan melanjutkan hidupmu. No need to look for me. What we had will always be ours. No one will be able to take those 4 years away from us. Promise me, Ben.”
Kalimat panjang pertama yang diucapkan Ray, yang bukan hanya membuatku menggeleng pelan namun juga merasakan tenggorokanku mulai tercekat karena menahan sesuatu yang pasti tidak ingin dilihat oleh Ray.
“Will you be happy?”
Ray mengangguk. “We will, Ben. We will find our happiness.”
Ada kekikukan selama beberapa detik sebelum akhirnya Ray beranjak dari hadapanku dan meninggalkanku sendirian dengan pemandangan malam yang biasanya menjadi satu-satunya yang aku sukai tentang Jakarta. Setelah malam ini, pemandangan malam Jakarta tidak akan sama lagi buatku karena mustahil aku menikmatinya tanpa teringat Ray dan malam ini.
Perlahan, aku membalikkan tubuhku dan Ray sudah berdiri di dekat pintu yang sudah dibukanya. Jika aku dikuasai oleh emosiku, aku pasti akan sangat marah melihat Ray melakukan itu, namun setelah apa yang kami lalui malam ini, aku lebih dari sekedar mengerti kenapa Ray melakukannya. Dia hanya ingin ini segera berakhir. Ray tidak akan pernah mengusirku, dia hanya tidak sanggup untuk berada begitu dekat denganku namun dengan batasan yang sangat jelas.
Langkahku terasa begitu berat ketika menuju pintu. Langkah terakhirku di apartemen ini dengan membawa semua kenangan yang tercipta di setiap sudut apartemen. Sofa tempat kami menghabiskan jam-jam untuk menyaksikan film-film roman picisan favoritku, tempat kami tertidur jika film yang kami tonton terlalu membosankan, tempat kami bercinta jika ciuman kecil kami berubah menjadi gairah yang tidak mampu membuat kami melangkah ke tempat tidur Ray dan tempat Ray membaca buku ketika aku menyandarkan kepalaku di pangkuannya sementara tanganku sibuk memencet virtual keypad untuk membalas setiap twit ataupun komen di Facebookku.
Mataku menatap meja makan tempat kami berbagi cerita tentang hari kami jika kebetulan kami punya malam-malam kosong. Ray yang selalu memasak karena aku lebih baik diminta lari 10 km daripada harus bersentuhan dengan dapur. Meja makan tempat kami pernah menyerah pada nafsu kami setelah aku menggoda Ray yang sedang mencuci piring tidak jauh dari sana. Malam ini, hanya ada beberapa piring kotor yang tertumpuk di bak cuci, entah sudah berapa malam Ray membiarkannya disana.
Lukisan pemandangan Tegalalang di Bali yang menghiasi koridor pendek yang menghubungkan pintu dengan ruang tamu yang kami beli ketika menghabiskan tiga hari di Bali sebagai hadiahku di hari ulang tahun Ray yang ke-32 dua tahun lalu. Aku ingat sekali kami sempat sedikit berargumen ketika Ray tahu bahwa kami akan ke Bali. Namun akhirnya, Ray me-revisi ucapannya begitu kami sampai di Bali dan menginap di salah satu hotel di Uluwatu yang luar biasa indah.
And there he was.
“Aku pulang dulu, Ray,” ucapku ketika akhirnya aku berada hanya beberapa senti dari Ray dan tatapan kami bertemu.
“Hati-hati, Ben.”
Berat sekali rasanya untuk melangkahkan kakiku keluar dari apartemen ini dengan Ray ada disana. Aku menarik nafasku dalam sebelum akhirnya kakiku menginjak bagian luar apartemen Ray dan pintu di belakangku tertutup.
Aku melangkahkan kakiku sedikit demi sedikit menjauh dari apartemen Ray dan membiarkan kedua pipiku basah oleh air mata yang sedari tadi aku tahan agar Ray tidak melihatnya. Aku tidak berusaha untuk menyekanya.
Setengah dari diriku terasa dibelah dengan paksa menggunakan pedang paling tajam yang bisa dibuat hingga rasa sakit itu terasa ketika bagian lain diriku sudah terpisah dariku. Hubunganku dengan Ray mungkin akan jadi yang pertama dan juga terakhir. Pertama jika bertahun-tahun dari sekarang aku memutuskan untuk mengikuti kata hatiku dengan pengasingan yang aku terima dari keluargaku. Terakhir jika aku memutuskan untuk membohongi diriku sendiri seumur hidupku dan menjalani kehidupan yang diinginkan oleh semua orang, termasuk keluargaku.
“Ben udah on the way, Ma.”
Itulah jawabanku ketika ponselku berdering dan melihat nama Mama tampil di layar. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berharap tidak memiliki rumah karena aku hanya ingin Ray untuk menjadi rumahku.
@gr3yboy : Thank you!!!!!!!!!!!
@DeliRnzyr : Maksudnya apa yah? Nggak ngerti aku, hehehehehe. mk.a itu siapa ya?
@dirpra : Well, kadang rasa bersalah lebih hebat dari sebutan pengecut kan?
@kiki_h_n : Hehehehe. Selama ini nggak pernah dipanggil kayak gitu soalnya, jd kedengeran aneh aja
@arieat : OMG!!!! Emoticonnya banyak bener, double ppost pula. Segitu sedihnya kah dirimu?
@Awansiwon : ^^ juga
@yuzz : hehehe, aku selalu bayangin adegan2 di ceritaku kayak film memang. lebih gampang dapet feelnya
@mllowboy : Thank you udah mampir!!!! Keep commenting and reading ya?
Colek2 @rarasipau, @hent4, @tonymonster, @4r14, @pokemon