It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
mkasih ia kk @abiyasha
ntar lngsung mnuju tkp kk
“Kamu masih mau disini?”
Aku mendengar suara itu dengan begitu jelas bukan hanya karena sosok yang mengucapkannya begitu dekat denganku, namun juga karena aku merasakan kedua lengannya menyusup dari belakangku. Aku hanya tersenyum ketika jemari kami saling bertautan sebelum dia meletakkan dagunya tepat di bahuku. Ribuan kerlip lampu ibukota yang terhampar di bawah kami terlihat seperti kunang-kunang dari balik jendela apartemen Nico. Tempat yang selalu aku tuju sepulang kerja hampir setiap hari tiga bulan terakhir ini. Tempat dimana aku bisa menjadi diriku yang lain, diriku yang sebenarnya.
“Nggak ngusir kan?”
Aku melihat tawanya dari bayangan di hadapanku hingga membuatku kemudian membalikkan tubuhku untuk memandangnya tanpa melepaskan pelukannya di pinggangku. Wajah pria yang tiga bulan lalu hanyalah satu dari sekian banyak wajah pria yang aku temui setiap hari ketika aku berangkat ke kantor, ketika aku makan siang, ketika aku pulang, ketika aku ke gym. Tidak berarti apapun. Namun, 92 hari mengubah wajah pria yang tidak berarti apapun itu menjadi satu-satunya wajah yang tidak sabar aku lihat sebelum hariku berakhir. Wajah Indonesianya yang sangat khas dengan satu lesung pipit yang menghiasi pipi kirinya setiap kali dia tersenyum, hidungnya yang mancung serta kedua alis lebat yang membuat tatapan matanya menjadi semakin tajam. Bagi sebagian besar orang, ketampanan yang dimilikinya mungkin tidak ada bedanya dengan ketampanan pria-pria Indonesia pada umumnya, namun, bagiku, dia berbeda. Ketampanan hatinya yang membuatku rela menjalani hubungan ini selama tiga bulan meskipun kami bermain bukan dengan api, tapi dengan badai.
“Biasanya kamu kan udah pulang kalau jam segini.”
Ekspresi wajah Nico berubah setelah mengucapkan kalimat itu. Ekspresi yang tidak pernah ingin aku lihat dari wajahnya karena membuatku merasa aku ini seorang pecundang. Seorang munafik. Jadi, aku selalu melakukan apa yang akan membuatku tidak perlu menatap ekspresi itu lebih lama lagi. Aku menciumnya.
Setiap ciuman yang kami miliki seperti sebuah kompetisi. Siapa yang bisa bertahan lebih lama untuk tidak menarik bibirnya terlebih dahulu adalah pemenangnya dan aku selalu menjadi nomor dua sekalipun aku yang memulai ciuman kami. Dan kali ini, tidak ada bedanya. Aku yang lebih dulu menarik bibirku dan lesung pipit itupun menyambutku.
“Don’t start something you can’t finish,” ucapnya yang akhirnya membuatku tersenyum juga.
“It’s not something that I can’t finish, it’s just because you’re a good kisser!”
Tawa Nico meledak mendengarku mengucapkan itu dan akupun tertawa bersamanya. Hal-hal kecil seperti inilah yang membuatku tidak ingin pulang, yang selalu membuatku ingin menghabiskan sebanyak mungkin waktuku bersamanya. Namun, sayangnya, waktu yang aku miliki bersama Nico tidak sebanyak itu. Maka dari itu, waktu yang aku miliki bersama Nico tidak pernah aku sia-siakan.
“Mind your words, Mr. Alex!”
Aku hanya tersenyum lalu mendekatkan bibirku untuk mengecup keningnya sebelum kembali memandangnya. Aku paling tidak suka saat-saat seperti ini ketika logikaku mulai memerintahkanku melangkahkan kakiku keluar dari apartemennya karena akan butuh waktu lebih lama bagiku memutuskan untuk tinggal atau pulang daripada berjalan beberapa meter menuju pintu. Ah, mungkin aku akan tinggal lebih lama malam ini. Lagipula, besok Sabtu, aku tidak harus bangun pagi kan?
“Boleh kan aku tinggal di sini lebih lama?”
“Dan boleh aku tanya kenapa kamu musti tanya hal itu?”
“Itu sama sekali nggak jawab pertanyaanku,” ucapku sambil tersenyum.
“Itu juga nggak jawab apa yang aku tanyain.”
“Siapa yang nanya duluan sebenarnya?”
“Siapa juga yang musti nanya pertanyaan nggak penting kayak itu?”
“Oke, I give up!” ucapku sambil mengangkat kedua tanganku yang disambutnya dengan mengecup pipiku singkat sebelum beranjak dari hadapanku dan menuju ke bar yang ada di dapur karena aku mendengar suara denting gelas. Aku segera menyeret kakiku untuk duduk di sofa, meraih remote lalu menyalakan televisi. Aku bukan orang yang kecanduan dengan acara apapun di televisi, kecuali semua saluran yang menyiarkan tentang perekonomian dunia. Itupun hanya sambil lalu. Aku baru saja memilih satu saluran ketika tiba-tiba Nico datang lalu mematikannya sebelum mengulurkan satu cangkir kopi kepadaku. Aroma kopi yang sudah memenuhi hidungku bahkan sebelum Nico mengulurkan cangkir kopinya kepadaku.
“Keberatan aku nonton tv?” Tanyaku sambil meraih cangkirnya sebelum meletakannya di meja. Kopinya masih terlalu panas.
Nico mengangguk. “Tentu keberatan kalau aku disini. Kamu boleh nonton tv kalau sendirian.”
Aku hanya mampu menggelengkan kepalaku mendengar jawabannya namun sebuah senyum terpasang di wajahku ketika dia kemudian meletakkan kepalanya di pangkuanku dan menatapku.
“Ada rencana buat besok?”
Nico mengangkat kedua bahunya. “Mau nyari kemeja lagi, mungkin mampir ke supermarket. Tiba-tiba pengen masak besok.”
“Wah, keren banget kamu masak kalo aku pas lagi nggak kesini,” ucapku sambil melipat kedua lenganku di dada, berpura-pura kesal dengan ucapannya yang dibalas Nico dengan menyentil hidungku.
“Aku cuma nggak ingin kamu ketagihan. Jadi berabe kan ntar kalau kamu makan malam disini tiap hari?”
Aku hanya terdiam mendengar ucapan Nico. Biasanya, aku akan menanggapinya dengan celaan lain, namun kali ini, aku hanya diam hingga Nico kemudian menatapku seperti ingin mengetahui kenapa reaksiku berubah.
“Kamu tahu kan aku cuma becanda?”
Aku mengangguk. “Aku cuma nggak tahu sampai kapan kita musti kayak ghini, Nico.”
Nico menghela nafasnya sambil menunjukkan ekspresi yang selalu aku lihat ketika dia merasa tidak yakin akan sesuatu dan tidak ingin mendengar orang bertanya kenapa. Dalam kurun waktu tiga bulan, aku sudah mengenal Nico seperti dia sudah hadir dalam kehidupanku bertahun-tahun lamanya. Setiap ekspresi wajahnya, aku bisa membacanya begitu aku melihatnya hingga tidak sulit bagiku untuk membaca pikirannya. Meski terkadang, ada saat-saat dimana Nico begitu hebat menyembunyikan perasaannya hingga aku harus bertanya untuk mengetahuinya. Namun, saat ini, aku tidak perlu bertanya.
“Aku rasa, kita udah terlalu sering ngebahas masalah ini, Alex dan aku rasa, jawaban yang akan kita dapat juga masih akan sama. Can we talk about something else?”
“Aku hanya ngerasa situasi ini nggak adil buat kamu, Nico dan itu bikin aku nggak bisa berhenti untuk ngebahas ini. Paling nggak, ingetin aku bahwa keputusanku nggak salah. Bahwa apa yang kita jalani ini bukan hanya sekedar sebuah hubungan kilat yang nggak berarti apapun.”
“Alex, aku setuju untuk ngejalanin hubungan ini, dengan semua konsekuensi yang akan aku dapat. Semua rasa sakit yang akan aku rasakan jika hubungan ini nggak berhasil, kehilangan kamu, aku siap dengan semua itu. Kita nggak akan pernah tahu kan apa yang akan terjadi dengan masa depan? Daripada mikirin semua rasa kecewa dan sedih yang akan kita alami, kenapa kita nggak nikmatin aja apa yang kita miliki saat ini? Being with you makes me happy. We have a good time. So, please, don’t burden yourself with that guilty feeling, especially for me. I’m fine.”
Aku menatap Nico, berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri tentang apa yang diucapkannya. Aku bukannya tidak mencoba untuk mengabaikan semua rasa kecewa dan sedih yang mungkin akan aku alami jika hubungan kami tidak berjalan lancar, namun, sulit bagiku untuk mengabaikan bahwa Nico-lah pihak yang dirugikan disini meski berulang kali dia bilang bahwa dia sudah tahu resiko menjalani hubungan denganku.
“Kamu nggak tahu ghimana perasaanku tiap kali mikirin itu, Nico. Aku ngerasa jadi pecundang sejati.”
Nico menggelengkan kepalanya di pangkuanku lalumeraih tanganku dan menggenggamnya. “Kamu bukan pecundang, Alex. Hubungan kita ini memang berisiko tapi bukan aku yang harus kamu pikirkan. Paling nggak, aku hanya harus mikirin perasaanku sendiri, tapi kamu?”
Aku menelan ludahku, seperti ingin menelan semua kalimat yang baru diucapkan Nico, tanpa harus merasakannya dulu. Jika Nico tidak suka mendengarku membahas tentang hubungan kami, maka, aku juga tidak suka mendengarnya membahas tentang hal ini. Bagaimana aku bisa lupa?
“Kamu nggak perlu ngingetin aku tentang hal itu, Nico. Aku nggak akan lupa.”
Nico menyentuh pipiku dan memberikan senyumnya, tahu bahwa dia hampir saja membuatku menceramahinya tentang apa yang dikatakannya barusan. Namun, Nico tahu bahwa yang perlu dilakukannya hanyalah tersenyum dan semua kemarahan yang mungkin akan meluap dari diriku, akan padam. Sesuatu yang belum pernah aku alami dengan siapapun, bahkan dengan keluargaku sendiri.
“Aku akan masak hari Senin, kamu pengen makan apa?”
Alisku terangkat mendengar Nico menanyakan hal itu, sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang belum selesai kami bahas. Namun, aku berhasil menjawab pertanyaannya dengan menundukkan wajahku untuk mengecup keningnya.
“Apa aja, aku juga udah lupa kapan terakhir kali kamu masak. It’s you that make the dinner special, not what you will cook.”
“Mulai lagi deh gombalannya.”
Aku tertawa. “Well, it’s part of my charm, my dear.”
Nico kemudian bangkit dari pangkuanku lalu meraih cangkir kopi yang aku letakkan tadi lalu menyodorkannya kepadaku. Aku hanya tersenyum sebelum meraihnya lalu menyesapnya. Aku tidak terlalu suka kopi namun setiap aku bersama Nico, entah kenapa ketidaksukaan itu hilang. Aku hanya minum kopi ketika bersama Nico.
“Lain kali, aku beli teh ya? Biar tiap aku kesini, kamu bisa bikini aku selain kopi.”
“Kamu musti nyetir, Alex dan jam kamu pulang dari sini selalu larut, kamu capek, bukan hanya karena seharian kerja tapi juga karena…urusan kita,” Nico selalu tersipu tiap kali menyebut tentang permainan cinta kami, bahkan dia tidak pernah secara terang-terangan menggunakan kata making love atau bercinta. “jadi, alasan aku bikinin kamu kopi biar kamu nggak ngantuk pas nyetir.”
“Thank you, Nico,” ucapku sambil mengecup pipinya sebelum kembali menyesap kopiku. “Mungkin aku bisa nemenin kamu nyari kemeja besok.”
Nico menatapku seperti aku baru saja memberitahunya bahwa aku akan pindah ke apartemennya besok. Aku tahu, bahwa setiap akhir pecan, aku tidak pernah bersamanya meskipun kami masih saling menunjukkan perhatian melalui BBM ataupun email jika memang ada hal yang ingin kami ceritakan tapi terlalu panjang untuk diceritakan via BBM atau sms. Telpon, tidak pernah menjadi sarana kami berkomunikasi di akhir pekan karena memang kami –utamanya aku- tidak ingin menimbulkan kecurigaan siapapun. Termasuk Nina.
“Kamu nggak perlu ngorbanin weekend kamu sama Nina dan anak-anak buat aku, Alex. Rasti dan Dion pasti ingin pergi sama Papa mereka. Please stay with them, Alex. I have you tonight. That should be enough until Monday.”
Itulah salah satu ketampanan hati yang dimiliki Nico. Dia selalu mengingatkanku bahwa aku memiliki keluarga, bahwa aku memiliki Nina dan dua buah hati yang tidak boleh aku lupakan meskipun itu berarti bahwa dia harus merelakan aku untuk tidak bersamanya. Nico tahu bahwa aku memiliki istri serta dua buah hati yang lebih membutuhkanku daripada dirinya. Bahwa Nina serta Rasti dan Dion adalah tanggung jawab utamaku, dia tidak pernah ingin aku mengabaikan mereka hanya demi dirinya.
“Kenapa kamu seperti itu, Nico?”
“Seperti apa?”
“Aku semakin ngerasa bahwa kamu berhak dapetin seseorang yang lebih baik dari aku. It’s just unfair for you.”
“Alex, nggak ada yang namanya nggak adil dalam sebuah hubungan, sekalipun hubungan itu seperti yang kita miliki sekarang. Aku seperti itu karena memang aku harus seperti itu. Sampai kapanpun, aku nggak akan bisa gantiin tempat mereka. They will always be your top priority.”
“Ghimana dengan kamu? Apakah kamu pikir nggak pantes buat jadi prioritas buatku?”
Aku melihat Nico menyandarkan tubuhnya ke sofa dan membiarkan pandangannya menerawang ke langit-langit apartemennya seolah jawaban yang ingin aku dengar tertulis disana.
“Akan seperti apa sih hubungan kita ke depan, Alex? Apakah ada masa depan buat kita? Tiga bulan bukan waktu yang lama untuk bilang apakah aku pantas atau nggak buat jadi prioritas kamu,” Nico menatapku. “Aku nggak main-main dengan hubungan kita, tapi, aku juga tahu dan sadar diri bahwa terlalu banyak yang bakal jadi batu sandungan buat kita. Suatu hari, kamu akan ngerasa capek dengan hubungan kayak ghini dan saat itu tiba, kamu mungkin akan bilang bahwa kamu nggak mau ketemu aku lagi. Kamu akan kembali ke keluargamu dan aku hanya akan jadi bagian kecil dalam hidup kamu. Sebesar apapun aku ingin jadi prioritas buat kamu, aku nggak akan pernah bisa dan mampu karena memang aku nggak berhak untuk itu.”
Nico mengulurkan lengannya untuk menyentuh pipiku dan aku menahannya disana sambil menatapnya tajam.
“Apakah kamu sadar bahwa kamu udah bikin aku sadar tentang banyak hal yang selama ini hampir nggak pernah terlintas dalam pikiranku? You changed some parts of me, Nico.”
“Statusku akan tetap sebagai selingkuhanmu, Alex. It’s tattooed on my forehead.”
Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan membenci kata itu sekarang ketika dulu aku hampir tidak mengerti kenapa orang harus berselingkuh. Menyebut Nico sebagai selingkuhanku tidak pernah terlintas dalam pikiranku meskipun buat sebagian besar orang, istilah itu memang tidak salah. Namun, aku lebih suka menyebut Nico sebagai someone special, seseorang yang spesial untukku. Selingkuhan bukan hanya terdengar begitu murahan dan merendahkan bagi Nico, namun, istilah itu tidak sama sekali tidak cocok untuknya.
“Jangan sebut kata itu, Nico. Kamu tahu aku nggak pernah nyebut kamu dengan kata itu.”
“Lalu apa, Alex? Dilihat dari segi manapun, aku memang hanya selingkuhanmu. Kamu nggak bisa ngerubah fakta itu.”
Aku kemudian menghela nafasku setelah selama beberapa detik kami hanya saling bertatapan. Jika aku meneruskan ini, perdebatanku dengan Nico tidak akan pernah mendapatkan titik temu. Jadi, aku hanya diam lalu kembali menyadarkan tubuhku. Bukan baru kali ini kami beradu pendapat, tentang hal yang sama dan dengan akhir yang sama juga. Kami hanya akan mengulangi percakapan yang sama. Tidak ada gunanya membicarakan masalah ini lebih lama lagi karena kami akan kembali mengangkat hal ini di kesempatan lain. Masalah ini bukan hanya terlalu rumit namun juga menyakitkan untuk bisa diselesaikan.
“Kita nggak harus bahas masalah ini setiap kali kita ketemu kan, Alex?”
“Sayangnya, masalah ini akan selalu muncul, Nico. Kita nggak bisa selamanya ngehindar dari hal ini. Suatu hari nanti, akan tiba saatnya untuk kita ngebahas masalah ini sampai habis. Tapi, aku harap suatu hari nanti itu masih jauh dari malam ini.”
“Kamu kapan ke Singapura?”
“Mungkin awal bulan depan. Kenapa? Kamu mau ikut?”
Aku melihat Nico tersenyum. “Bukan mau ikut, tapi kayaknya aku juga ada assignment kesana bulan depan, cuma belum tahu kapan.”
Mengetahui fakta ini, meskipun belum pasti membuatku berpikir bahwa mungkin hubunganku dengan Nico bisa berlangsung lebih lama dari yang kami kira. Selama tiga bulan hubungan kami, belum pernah sekalipun kami merencanakan sesuatu untuk kami berdua karena Nico akan selalu mengingatkanku tentang Nina dan anak-anak hingga keinginan itupun selalu terbantahkan olehnya. Singapura, jika memang nanti kami bisa ada disana di tanggal yang bersamaan, aku ingin memastikan bahwa kami benar-benar menggunakan waktu itu untuk kami berdua.
“Aku akan lumayan lama disana, mungkin sekitar satu minggu, jadi kamu bisa datang di akhir pekan jika memang jadwal kamu nanti beda.”
“Apa Nina sama sekali nggak pernah curiga kamu selalu pulang larut? Mungkin, kita nggak harus ketemu tiap hari, Alex. Dua atau tiga kali seminggu mungkin cukup…”
“Aku nggak bisa kalau cuma dua atau tiga kali, Nico,” potongku. “Nina biar jadi urusanku, oke? Kamu nggak perlu mikirin hal itu. Jika ada pihak yang harus berbohong, itu aku, bukan kamu. So, please, don’t worry about that. I’ll take care of it.”
Aku melihat Nico berniat untuk membalas kalimatku namun diurungkannya karena detik berikutnya, dia meraih cangkir kopi dihadapanku lalu menyesapnya meskipun aku yakin, kopi itu sudah dingin.
“Lebih baik, aku pulang sekarang,” ucapku sambil bangkit dari sofa dan meraih jasku yang tadi aku letakkan di atas rak tempat Nico menyimpan majalah-majalah gaya hidup miliknya.
Ketika aku memakai jasku, Nico menghampiriku lalu merapikan dasiku, mengikatnya kembali seperti sebelum aku datang kesini tadi. Inilah momen dimana aku selalu merasa berat untuk meninggalkan Nico. Momen yang menyita waktu lebih banyak untukku berpamitan daripada melangkahkan kakiku untuk menuju pintu apartemennya.
“Have a nice weekend, Alex,” ucapnya sambil merapikan kemejaku yang jelas-jelas sudah kusut karena seharian menempel di tubuhku.
Aku tersenyum getir mendengar ucapan Nico, tahu bahwa dia juga berjuang untuk mengucapkannya. Aku pernah memintanya untuk berhenti mengucapkan itu dan seperti setiap ciuman yang kami miliki, aku selalu kalah. Nico selalu bilang bahwa dia mengucapkan itu karena “have a nice weekend” punya arti bahwa agar aku selalu memikirkannya. Alasan yang sangat dibuat-buat namun aku tersenyum ketika mendengarnya. Aku hanya bisa mengecup keningnya lalu menatap wajahnya dan membiarkan kedua tanganku mengunci wajahnya.
“Kamu juga have a nice weekend ya?”
“Aku antar kamu ke parkiran.”
Aku menggelengkan kepalaku, berusaha untuk membuat perpisahan akhir pekan kami lebih mudah tanpa harus melihatnya mengantarku sampai ke tempat parkir. Akan lebih sulit buatku untuk meninggalkannya jika Nico melakukannya.
“Kalau ada apa-apa, kasih tahu aku ya?”
Nico hanya mengangguk meskipun aku yakin, kalaupun dia membutuhkanku, dia akan menunggu sampai hari Senin sore sebelum aku pulang kerja untuk memberitahuku. Seperti dua minggu lalu ketika dia kena diare hingga tidak masuk kantor hari Senin, aku memarahinya habis-habisan karena tidak memberitahuku namun, Nico tetap bersikeras bahwa dia baik-baik saja hingga tidak perlu baginya untuk memberitahuku. Makanya, aku selalu mengingatkannya setiap saat meskipun aku ada di rumah untuk makan teratur dan tidur cukup meskipun akhir pekan.
“Janji?”
“Udah, nggak usah minta aku buat janji. Aku pasti ngasih tahu kamu kalau ada apa-apa.”
“Senin pagi aku bakal ngasih tahu kamu aku pengen makan apa biar masakan kamu nggak mubazir,” ucapku ketika kami berjalan menuju ke pintu apartemennya. Nico hanya mengangguk.
“Jangan terlalu siang ngasih tahunya ya? Aku mungkin masih bisa belanja pas makan siang lalu naruh bahan-bahannya di pantry kantor biar pulang aku bisa langsung masak.”
“Siap!”
Nico membukakan pintu untukku dan melangkahkan kakiku keluar dari apartemen ini selalu jadi hal yang ingin aku lalui dengan cepat namun selalu ada beberapa menit yang aku habiskan hanya untuk berdiri di ambang pintu sebelum Nico benar-bemar mengusirku dengan tatapannya. Aku tersenyum ketika akhirnya aku berada diluar pintu dengan Nico menyandarkan dirinya di daun pintu.
“Nyetirnya pelan-pelan aja ya?”
Aku menjawab permintaan Nico dengan mendekatkan diriku kepadanya untuk menciumnya. Singkat, namun dalam hingga Nico yang biasanya tidak mau mengalah, selalu menarik ciumannya terlebih dahulu agar aku tidak tergoda untuk kembali melangkahkan kakiku masuk.
“Mimpi indah ya?”
Nico hanya menggelengkan kepalanya setiap kali aku mengucapkan kalimat-kalimat gombal seperti itu karena dia tahu bahwa aku bukan pria romantis. Keromantisanku muncul hanya ketika aku bersamanya, sesuatu yang baru aku sadari ketika kami memulai hubungan terlarang ini. Aku kembali mendaratkan kecupan di keningnya sebelum akhirnya Nico mendorongku keluar sebelum menutup pintunya.
“Jangan jadi tukang gombal malam-malam Alex. Udah pulang sana!” ucapnya diantara celah pintu yang masih terbuka dengan senyuman lebar hingga aku tidak kuasa menahan senyumku.
Aku mengangguk lalu melambaikan tanganku sebelum mengayunkan langkahku menjauhi pintu apartemen Nico. Menyusuri koridor apartemen ini selalu membuatku merasa kembali ke dunia dimana aku seharusnya berada. Dunia dimana kepura-puraanku menjadi diriku yang sebenarnya dan membiarkan dunia melihatku seperti itu.
Ponselku berdering ketika aku hampir sampai di lift dan ketika melihat nama yang tertera di ponselku, aku tersenyum sebelum menempelkan ponselku ke telingaku.
“Iya Nina aku udah on the way pulang…See you at home soon…Love you.”
@Arieat : Makasih ya? jadi semangat nulis nih kalo baca komen2 kayak gitu, hehehehe
@Dharma66 : Maturnuwun
@4r14 : Thank you udah disempetin mampir Tetep mampir ya?
@keichi_koji : Sip!
2 duniaku ini sperti nyata!
hhaha
cmn mau ngasih tau barangkali belom baca
@fahmy37 @_tampan_ @FendyAdjie_
@yunjaedaughter @armand @CoffeeBean
@hikaru @Rez1 @aDvanTage @be_biant
@adacerita @nukakarakter @amy73 @kutu22
@suck1d @05nov1991 @arcclay @rysan_80 @4ndh0
@rey_drew9090 @ron02 @assassin @luketan
@zalanonymouz @idans_true @Rempong69
@DItyadrew2 @arieat @armand @ZioDyn
@Egar_cute @kurokuro @aldo_graci0 @derik
@Adam08 @petertomasoa
@rivengold
@sikasepmauth @nukakarakter @idans_true
@iamyogi96 @iamalone89 @halaah
@jjk_mod_on @dirpra @gdragonpalm @firdausi
@Chocolate010185 @rajatega @05nov1991
@Just_PJ @andychrist @nur_hadinata
@The_jack19 @alabatan @Dharma66
@touch @AL's
@jakaputraperdana @rully123 @bobo
@pocari_sweat
gw sdh baca 2 bh cerita lu, sepertina ini cerpen y????
Semngat truzz nulizna,,,
^_^
lanjut mas...
Tubuhku masih setia membeku sejak lima menit lalu di depan pintu kamar yang sepertinya akan mati bosan jika aku memandanginya lebih lama lagi. Aku hanya berharap pintu di depanku ini akan terbuka dengan sendirinya tanpa aku harus mengetuknya terlebih dahulu.
Ya. Tidak. Ya. Tidak. Ya. Tidak. Ya. Tidak. Ya. Tidak.
Hanya dua kata itu yang mengisi pikiranku karena keyakinanku tiba-tiba menciut dan keberanianku entah bersembunyi dimana saat aku sangat membutuhkannya. Aku mengetukkan loaferku ke lantai marmer di bawahku, berharap bahwa siapapun yang berada di dalam sana akan mendengarku lalu membuka pintu. Namun, yang aku dengar hanyalah suara ombak yang berdebur tidak jauh dari tempatku berdiri dan sayup-sayup, aku mendengar suara musik yang entah darimana sumbernya karena bukan hanya satu jenis yang terdengar oleh telingaku.
Aku menelan ludahku sebelum akhirnya membunyikan bel satu kali dan berharap, suara yang aku dengar sekarang bukanlah langkah kaki melainkan ilusi yang bermain di otakku. Namun, sedetik kemudian, pintu di hadapanku terbuka dan aku hanya mampu tersenyum mengetahui bahwa pria yang berdiri di hadapanku sekarang adalah pria muda yang aku taksir berusia di awal tiga puluhan dengan kemeja light purple yang membuat siapapun pasti berpikiran warna itu diciptakan dengan sengaja untuknya. Namun, bukan itu yang membuatku masih terpaku berdiri seperti manekin di depan pintu seperti sekarang. Tapi, sebuah senyuman yang aku dapatkan sebagai balasan dan juga tatapan ramah yang jarang, bahkan hampir tidak pernah aku dapatkan hingga aku berpikir bahwa aku salah kamar.
“Eric?”
Aku mengangguk ketika mendengar pria itu menyebut namaku dan kemudian mempersilakan aku masuk. Harusnya, aku bisa mengungkapkan semua kekaguman yang terlintas di pikiranku melihat kamar tempat aku berada sekarang : Penthouse salah satu hotel di daerah Seminyak dengan pemandangan Samudera Hindia di depan meskipun aku hanya mampu mendengar suara deburan ombak tanpa mampu melihatnya. Tiga anak tangga dari kayu untuk menuju ke day bed dengan sheet berwarna putih di hadapanku serta Private pool di belakangnya ditambah dengan udara malam yang berhembus masuk membuatku menahan nafas selama beberapa detik. Aku tidak bisa membayangkan seindah apa pemandangan matahari terbenam dari kamar ini. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan mampu menginjakkan kakiku di tempat seperti ini.
“Kok diem disitu?”
Aku masih terdiam ketika suara itu kembali memenuhi gendang telingaku, berusaha untuk mencerna semua yang sedang aku alami sekarang. Namun, akhirnya aku mengayunkan kakiku menuju ke arah suara itu dan aku lagi-lagi tak mampu berkata apapun ketika sebuah gelas wine terulur ke arahku dan senyum itu kembali memenuhi penglihatanku.
“Aku lebih suka Chardonnay daripada Pinot Noir, aku harap kamu nggak keberatan,” ucapnya sambil menyesap Chardonnay-nya sementara lengannya yang satu masih terulur kepadaku. Aku meraihnya kemudian menyesapnya tanpa menggunakan indera penciumanku untuk membaui white wine di tanganku, seperti seharusnya wine diperlakukan.
“Thanks,” ucapku akhirnya yang lagi-lagi dibalasnya dengan senyuman. Sepertinya, manusia di depanku ini memang tidak akan pernah kehabisan stok senyum. Perasaan suka langsung menyusupiku mengetahui fakta kecil bahwa aku diperlakukan sebagai manusia, sebagai seorang pria, bukan sebagai seorang pemuas nafsu yang datang hanya untuk membiarkan tubuhnya diperlakukan seenaknya demi beberapa lembar uang. Aku berusaha untuk tidak menggunakan emosi ataupun perasaan setiap kali melayani klien-klienku, karena aku memang tidak boleh melakukannya. Namun, perasaan aneh itu menyusupiku sekarang, bukan hanya karena dia menawariku wine, tapi senyuman-senyuman yang diberikannya padaku. Aku belum pernah diperlakukan seperti ini.
“Kamu suka?”
Tanyanya kemudian berjalan menyusuri sisi kiri kamar Penthouse ini menuju ke balkon melewati Ruang Makan yang sepertinya belum lama didudukinya, melihat dari beberapa piring kotor yang ada di atasnya. Aku hanya mengikutinya hingga kemudian kami sampai di balkon dan aku melihatnya menghempaskan tubuhnya ke sofa yang ada disana. Aku hanya menghampirinya namun tetap berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk, tepat seperti Butler atau pelayan yang siap menunggu perintah.
“Would you mind sitting here beside me?” tanyanya sambil menepuk ruang kosong yang ada di sebelahnya hingga membuatku menatapnya dengan tanda tanya besar di kepalaku. Jawaban yang aku dapatkan adalah sebuah anggukan. Dan senyuman. Aku semakin merasa yakin bahwa orang yang sedang duduk di sebelahku sekarang bukanlah orang yang memintaku datang untuk memenuhi hasrat seksualnya karena biasanya, aku langsung menanggalkan seluruh pakaianku begitu aku dan laki-laki yang membayarku terkunci dibalik pintu.
“Anda baik-baik saja?”
Pertanyaan bodoh! Ucapku dalam hati. Setiap menit yang aku lewati sejak menginjakkan kakiku masuk di Penthouse ini bukanlah sebuah kelaziman yang biasa terjadi padaku hingga aku tidak yakin apakah pria di sebelahku ini masih waras atau tidak. Bulu kudukku tiba-tiba meremang ketika sebuah bayangan tentang psikopat melintas di pikiranku.
Pria itu kemudian mengulurkan tangannya sambil memberiku sebuah tawa, suara yang anehnya semakin meyakinkanku bahwa dia seorang psikopat atau memang bersikap ramah terhadapku.
“Kita belum kenalan meski aku sudah tahu namamu. Leo.”
Aku menerima uluran tangannya dan menyebut namaku meskipun dia sudah menyebutnya waktu membuka pintu tadi. “Eric.”
“Mungkin belum ada seorangpun yang berbuat seperti ini sama kamu, Eric? Aku hanya nggak bisa bersikap to the point untuk hal-hal seperti ini. It’s not the way my parents raised me. Mungkin terdengar aneh namun aku nggak ingin kamu takut. I’m not a psychopat.”
Kata-kata itu meluncur dengan begitu lancarnya seolah bukan baru pertama kali ini dia mengucapkannya. Ada perasaan lega menyelimutiku ketika dia mengatakan kalimat terakhirnya, meskipun aku baru bisa memastikan bahwa dia seorang psikopat atau bukan ketika aku keluar dari kamar ini. Apakah aku akan keluar dalam keadaan utuh atau tidak.
“Saya memang nggak pernah diperlakukan seperti ini. I come, undressed, suck their cocks, get fucked and get paid. Maafkan bahasa yang saya pakai tapi memang itu yang selalu terjadi. No bullshits,” ucapku datar.
“Kamu nggak perlu bersikap seformal itu, Eric. Aku bukan atasan kamu, kita sedang nggak di kantor, kamu juga bukan partner bisnis, anggaplah kita teman, OK?”
Teman? Peraturan yang dibuat sejak dunia mengizinkan prostitusi entah berapa abad atau milenium yang lalu tidak pernah menyebutkan kata “teman” untuk menyebut pelanggan dan gigolo sepertiku. Well, the story of Cinderella only happened in Pretty Woman, and yes, that’s a movie, not even close to the real world. Jadi, aku hanya mampu memandang pria bernama Leo ini dengan tatapan bingung.
“Di mata kamu, selamanya aku akan jadi gigolo dan di mataku, selamanya kamu akan jadi pelanggan. Nggak ada peraturan yang bisa mengubah itu.”
“Kamu nggak akan selamanya jadi gigolo, Eric dan jujur, aku nggak suka menyebut kata itu. Aku harap kamu nggak akan terkejut kalau aku bilang bahwa ini pertama kalinya aku melakukan ini.”
“That’s how I live my life. Being a gigolo.”
Aku melihatnya menghabiskan Chardonnay nya lalu meletakkan gelasnya di meja di hadapan kami sementara aku sudah meletakannya dari tadi. I’m not a wine lover, white or red or rose. It’d never been my cup of tea. I’m a gigolo, not a socialite.
“Everything happens for a reason, Eric. Aku yakin, kamu nggak pernah bermimpi untuk jadi seperti ini. May I know why?” tanyanya sambil menatapku.
Aku harap dia tidak sedang berusaha menggali kepribadianku dengan mengajukan pertanyaan itu. Aku tidak butuh psikolog atau psikiater. Yang aku butuhkan hanyalah uang untuk bertahan hidup di Bali. Cinta dan segala macam bentuk lain dari itu tidak pernah mengisi pikiranku karena aku sadar diri bahwa aku tidak akan pernah mendapatkannya. Untuk apa mengharapkan sesuatu yang aku tahu tidak pernah akan aku miliki? Uang, itulah yang aku butuhkan dan selalu aku cari dan untuk mendapatkannya, aku menjual tubuhku.
“Kenapa?”
Aku melihat kedua alis Leo terangkat mendengar pertanyaanku. Ada kebingungan terpancar di wajahnya namun kemudian dia tersenyum, seperti menyadari maksud pertanyaanku.
“Karena aku ingin tahu, Eric. You’re such a nice guy. You could live like normal people. Work in the right place. You don’t have to be….like this.”
Perasaan suka yang aku rasakan tadi perlahan berubah menjadi perasaan muak karena pertanyaan-pertanyaan ingin tahunya itu dan aku masih berusaha untuk merantai perasaanku agar tidak lepas kendali mendengar –betapapun aku mengingkarinya- perhatian kecil yang diberikannya padaku. Aku masih seorang manusia, aku masih seorang pria yang meskipun sangat tahu diri tentang ketidakmungkinan menjalani hidupku seperti versi pria Julia Roberts di Pretty Woman, sebagian kecil dariku masih mengharapkannya. Hanya sebagian kecil.
“Aku kesini karena kamu memintaku datang. I’m here. Use me! That’s what I get paid for.”
Mungkin, kalimatku terdengar sangat putus asa namun sejujurnya, aku hanya tidak tahu harus bersikap seperti apa dalam situasi yang seperti ini karena ini pertama kalinya, sejak aku menjadi gigolo, seorang pria mengajakku bicara. Aku hanya bingung….
Leo menatapku dan kemudian, lengannya terulur kearahku hingga menyentuh pipiku. Jantungku kembali berdetak diluar normal ketika merasakan jari-jari halusnya membelai pipiku lembut.
“I asked you to come for a reason, Eric. I heard so much about you, how good you are in bed, how nice you are as a person but I’m different. I’m not all those men you’ve ever met.”
Apa sih ini? Rutukku dalam hati. Apa maksud pria ini berkata seperti itu? Semua pria yang memanggilku hanya butuh dipuaskan. Hanya itu! Kenapa dia bilang bahwa dia berbeda? Apa yang sedang dilakukannya sekarang terhadapku?
Selama beberapa detik, kami hanya diam saling berpandangan namun kemudian, akal sehatku kembali menyadarkanku bahwa aku disini karena dia menginginkanku. Jadi, aku harus melakukan apa yang harus aku lakukan. Aku kemudian meletakkan tanganku di ujung lehernya, membiarkan jemariku menelusuri kerah kemejanya sebelum akhirnya berhenti di kancing teratas kemejanya.
Perlahan, aku mulai membuka kancing kemejanya namun, ketika aku akan membuka kancing ketiga, tangannya menahanku. Akan lebih mudah bagiku jika aku melakukannya tanpa melibatkan perasaanku namun pria ini sudah mengaduk-aduk emosiku sejak awal. Aku hanya tidak mengerti kenapa.
“I’m not in a rush, Eric.”
Ucapan itu pelan, bahkan terdengar terlalu lembut untuk kedua telingaku. Aku memandangnya dan perasaan aneh lain menyusupiku. Aku tidak menangkap nafsu dalam tatapannya, seperti yang selalu aku lihat dari tatapan pria-pria yang menginginkanku karena seks. Aku tidak berani memastikan tatapan apa yang sedang diberikannya padaku karena aku bahkan tidak berani membiarkan pikiranku untuk berlari kesana. Aku hanya diam saat wajahnya mendekat dan seperti kehilangan kesadaranku, aku membiarkan pria ini mencium bibirku. Satu hal yang tidak pernah aku lakukan karena ciuman, bagiku adalah sesuatu yang intim, lebih intim daripada sekedar seks. Ada perasaan disana, bukan sekedar nafsu. Jadi, aku hanya bersikap pasif ketika ciuman Leo semakin dalam hingga aku bahkan tidak mampu bernafas.
Ada sensasi aneh saat Leo menciumku, seperti dia sudah menunggu sekian lama untuk melakukan ini yang membuatku semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria ini. Ketika ciuman kami berakhir, tubuhku terasa seperti baru saja dibekukan. Kami hanya saling bertatapan dan semua kosakata yang tersimpan di memoriku seperti hilang begitu saja.
“Thank you, Eric. For making one of my dreams come true.”
Aku mengernyitkan dahiku mendengar ucapannya yang semakin tidak masuk akal buatku itu. Dia berterima kasih padaku karena mewujudkan impiannya? Impian apa? Apakah memanggil seorang gigolo adalah impiannya? Silly! Ini benar-benar konyol! Bukan hanya ciumannya namun juga semua kalimat yang meluncur dari mulutnya sejak aku datang tadi. Semuanya tidak ada yang masuk akal buatku.
“Apa maksud kamu, Leo?”
Leo kembali menyunggingkan senyumnya mendengar pertanyaanku yang sepertinya sudah diduganya akan keluar dari mulutku. Dengann lembut, Leo meraih tanganku lalu menempelkannya ke wajahnya sebelum mengecupnya lembut.
“Butuh sebelas tahun bagiku untuk menemukanmu, Eric dan selama kurun waktu itu, aku hanya bisa berharap masih memiliki kesempatan untuk kembali bertemu denganmu. I did everything I could to find you. This is the moment that I’ve been dreaming of for 11 years though things didn’t go like I used to dream. But, I’m with you, that’s the most important thing.”
Aku menarik tanganku dan langsung bangkit dari tempatku duduk dan memandang Leo yang sepertinya tidak menduga aku akan melakukan hal itu dengan begitu cepatnya. Aku sudah tidak mampu lagi menyembunyikan perasaan bingungku dan dengan kalimat yang baru saja diucapkannya, aku semakin merasa bahwa ada hal lain dibalik semua yang dilakukan pria bernama Leo ini.
“What the hell are you talking about?!!”
Jika aku menuruti emosiku, mungkin aku sudah meraih kerah baju Leo dan menyudutkannya ke dinding serta memaksanya untuk memberitahuku apa maksud kalimatnya. Namun, aku sadar bahwa aku akan jadi pihak yang salah dan juga kalah di tempat ini. Lebih baik menghindari masalah sekecil mungkin.
“Sebelas tahun lalu, Eric aku jatuh cinta pada seorang cowok yang bahkan nggak tahu aku ada, cowok yang nggak pernah tahu namaku tapi aku selalu tahu apa yang dia lakukan. Cowok yang suka pakai kemeja warna krem ke kampus, yang selalu bolos tiap mata kuliah Statistik tapi selalu lulus ujian. Cowok, yang selama sebelas tahun nggak pernah absen dari hidupku meski banyak pria lain hadir.
Ketika aku pindah ke Toronto, aku masih nggak bisa lupa cowok itu, namanya, sosoknya. Orang boleh menganggapku gila karena selama sebelas tahun, aku terobsesi dengan cowok itu hingga setahun lalu, ketika aku ngerasa bahwa hidupku sudah cukup mapan, aku mulai ngelacak keberadaannya. I left my job in Canada and moved back to Indonesia. It took months before I finally found him. Aku hanya bisa tertegun ketika tahu bahwa cowok itu, sekarang menjalani hidup yang sama sekali nggak pernah aku bayangkan akan dijalaninya. Aku kemudian bertekad untuk memilikinya, dengan cara paling benar yang aku bisa tanpa melukai egonya.
I wanted that moment when I met him after 11 years to be memorable, to be special. So, I booked this Penthouse for him. And I tried my best not to kiss him the moment he walked in to my room. But, I guess, I couldn’t resist that when he sat beside me. I’d been waiting 11 years to kiss his lips. Eric Adhi Pramana. That’s his name. Jika memang aku harus membayar untuk memilikimu, aku akan melakukannya.”
Aku berharap tsunami akan datang saat ini juga, menyapuku jauh ke laut agar aku tidak perlu lagi mengingat setiap kata yang terucap dari mulut Leo. Aku menelan ludahku namun pandanganku tidak lepas dari sosok di hadapanku. Sosok penuh senyum yang memperlakukaku sebagai seorang manusia, bukan sebagai pemuas nafsu. Pria pertama yang aku izinkan untuk mencium bibirku karena aku tidak punya kekuatan untuk menolaknya. Jika tsunami tidak datang, aku beharap ingatanku akan mampu membawa kembali memori dari masa sebelas tahun lalu. Masa lalu yang samar-samar mulai hilang dari ingatanku karena aku memilih untuk menjalani hidupku hanya dengan masa sekarang, bukan dengan masa lalu ataupun mimpi masa depan.
Aku terduduk di sofa namun pandanganku tidak lepas dari Leo, aku tidak mampu menopang tubuhku lagi setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Leo. Ini…tidak mungkin.
Sebelas tahun lalu aku adalah pria penuh dengan mimpi yang tidak pernah aku ragukan akan menjadi kenyataan. Sebelas tahun lalu, aku adalah Eric yang bersih, yang bahkan tidak pernah berpikir tentang menjual tubuhnya untuk uang. Sebelas tahun lalu, aku masih memiliki semuanya sebelum musibah satu persatu mulai mendatangiku. Ayah yang meninggal karena serangan jantung, Ibu yang menyusul tiga tahun kemudian karena gagal ginjal. Hidupku mulai berantakan. Kuliahku tidak tamat, teman-temanku mulai menjauhiku dan puncaknya adalah ketika aku terbangun dengan luka memar hampir di sekujur tubuhku, tidak bisa mengingat dengan jelas berapa pria yang melampiaskan nafsu mereka kepadaku dan meninggalkanku di ruangan berdebu keesokan harinya dengan rasa sakit yang luar biasa menjalari tubuhku.
Hidupku yang putih berubah menjadi hitam ketika aku mulai bisa mendapatkan uang, dengan menjual tubuhku yang sudah terlanjur kotor ini. Tidak ada lagi impianku untuk menjadi seorang akuntan, yang ada hanyalah bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk bertahan hidup hingga kemudian aku memilih untuk pergi ke Bali. Uang yang aku dapatkan lebih dari cukup karena bule-bule itu begitu royal terhadap uang dan dengan berjalannya waktu, aku semakin selektif memilih dengan siapa aku ingin menjual tubuhku. Ya, aku memang seorang gigolo, namun, aku bukan gigolo murahan.
“Kenapa?”
Hanya pertanyaan itu yang muncul dari mulutku karena aku butuh lebih banyak penjelasan dari Leo. Kenapa dia menginginkanku? Kenapa dia ingin menemukanku? Kenapa sekarang setelah aku susah payah mengubur masa laluku?
Aku menepis lengan Leo yang terulur kepadaku karena aku butuh waktu untuk mencerna semuanya. Hidupku berlangsung baik-baik saja selama ini dengan berusaha untuk mematikan perasaanku agar segala sesuatu yang berhhubungan dengan hati tidak akan mampu melukaiku lagi. Aku kebal terhadap cinta atau rasa sayang karena aku tidak pernah mendapatkannya sejak kematian Ibu. Mengetahui bahwa ada seorang pria yang menginginkanku selama sebelas tahun menimbulkan guncangan hebat di hatiku hingga aku tidak punya persiapan untuk mengatasinya.
“Biarkan aku membantumu, Eric.”
“Membantuku untuk apa?! Aku manusia kotor, Leo! Apa yang bisa kamu lakukan?”
Aku bangkit dari sofa yang aku duduki dan dengan cepat mengayunkan kakiku untuk menuju pintu keluar namun, dengan sigap, Leo menangkap lenganku dengan kuat hingga aku tidak mampu melepaskan genggamannya dari tanganku.
“Kamu mau kemana?”
“Apa perlu aku jelaskan, hah?!!”
Rasa marah mulai menjalari setiap saraf di tubuhku hingga aku tidak meragukan Leo bisa melihatnya.
“Stay here, Eric. Please…”
“Dan apa? Apakah belum cukup semua yang kamu bilang ke aku?”
“Kita nggak perlu jadi seperti ini kan? Kita bisa bicara…”
“Stop! Bisa tolong hentikan apapun yang ada di pikiranmu sekarang, Leo? Biarkan aku pergi.”
Leo menggelengkan kepalanya. “Aku nggak akan ngebiarin kamu pergi dalam keadaan kayak gini.”
Aku hanya mampu diam namun tidak sedetik pun pandanganku beralih dari wajah Leo. Wajah pria dihadapanku ini begitu tulus –seenggan apapun aku menggunakan kata itu namun memang itu yang aku tangkap- hingga mustahil bagiku untuk mengayunkan kepalan tanganku kepadanya. Genggaman tangannya juga masih mencengkeramku dengan kuat hingga aku yakin akan ada bekas tertinggal di pergelangan tanganku karenanya.
“Look at me, Eric.”
Aku membuang mukaku darinya, membiarkan kegelapan yang berada di sekitarku menguasai pandanganku. Dadaku masih bergemuruh dengan hebatnya menahan amarah yang entah kapan bisa aku lampiaskan. Sentuhan lembut di pipiku akhirnya membuat pandanganku kembali padanya, meskipun jika bisa, aku lebih memilih untuk mengisi pandanganku dengan hal lain. Kekuatan apa yang dimiliki pria ini hingga aku seperti merasa asing dengan diriku sendiri? Aku menelan ludahku saat tatapan kami bertemu. Tatapan apa lagi yang diberikannya padaku?
“Eric, sebelas tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah keinginan memiliki. Orang mungkin akan anggep aku bodoh, tolol, konyol dan sebutan lainnya karena aku masih setia dengan keinginanku sebelas tahun lalu. I only ask to be a part of your life, Eric. Let me…”
“Kamu memang bodoh, Leo. Kamu ngabisin sebelas tahunmu dengan sia-sia menginginkanku. Aku bukan lagi cowok yang suka pake kemeja krem ke kampus karena cowok itu udah lama mati. Yang tersisa darinya cuma tanah, debu, yang bahkan tidak akan pernah bisa kamu pegang. Aku bukan Eric yang dulu. Jadi, biarkan aku pergi dan anggap kita nggak pernah ketemu. Let me live my life the way I want it and you, with all the money you have, live your life the way you have to. Nggak ada satupun bagian dariku yang pantas untuk kamu, Leo. Aku menyesal kamu musti ngabisin sebelas tahun penantianmu dengan sia-sia, tapi hidup nggak selalu berisi kesempurnaan atau mimpi-mimpi indah. Selamat malam, Leo.”
Aku merasakan pegangan di tangannya mengendur dan dengan cepat, aku melepaskan tanganku dari genggamannya lalu mengayunkan langkahku denga cepat menuju ke pintu keluar, melewati kembali ruang makan, day bed dan juga private pool yang sempat membuat nafasku tertahan tadi karena seumur hidup, aku belum pernah memasuki kamar Penthouse. Namun, semuanya terasa begitu menyesakkan bagiku dan aku benar-benar ingin segera keluar dari kamar ini.
“You will always have a second chance with me, Eric. Anytime.”
Ucapan itu mampu membuat langkahku terhenti meskipun aku tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa mengambil kesempatan kedua itu. Bukan karena aku tidak ingin tapi karena aku tidak pantas mendapatkannya. Aku membuang kesempatan atas keinginan kecilku untuk menjadi versi pria dari Julia Roberts di Pretty Woman karena aku terlalu takut untuk membuat diriku rentan terhadap perasaan bernama cinta. Pria kotor sepertiku tidak berhak mendapatkan pria terhormat seperti Leo, atas dasar apapun. Semesta akan menentang kami dengan cara yang tidak akan pernah kami tahu dan aku sedang tidak punya waktu untuk bermain dengan itu.
Aku meraih pegangan pintu, menarik nafasku dalam sebelum membukanya. Begitu satu kakiku sudah melangkah keluar dari kamar itu, keberanian kembali muncul dalam diriku hingga aku kemudian menutup pintu di belakangku lalu dengan terhuyung, aku berusaha untuk menyandarkan tubuhku ke tembok.
Rasa marah yang tertahan di dadaku akhirnya terlampiaskan. Aku menyandarkan tubuhku ke tembok, terduduk lemas sambil membiarkan air mata mengalir dari kedua pipiku. Ini pertama kalinya aku menangis setelah sekian lama.
Semua bayangan tentang malam ini, yang aku sangka akan berakhir seperti biasa, ternyata berakhir dengan emosiku yang terkuras, karena seorang pria yang menungguku selama sebelas tahun. Siapa aku hingga layak mendapatkan sebelas tahun penantian?
Semua emosi yang aku tahan seperti keluar dalam satu waktu hingga aku tidak menyadari ketika sebuah lengan merengkuh tubuhku dan aku hanya diam, membiarkan lengan itu menyandarkan kepalaku di bahunya. Aku tetap menangis.
“I guess you have to stay, right?”
@AwanSiwon : Bukaaaaaaaannnnnn!!!! berharap bisa jadi sih, hehehe. Cuma suka nulis aja
@Kermit : Thank you udah mampir ya? Apsti diupdate terus kok ceritanya, nggak usah khawatir
@kiki_h_n : hahahaha, ketagihan bukan tanggung jawab penulis loh ya?
@Arieat : hehehe, emang berusaha bikin cerita yang related sama kehidupan sehari2 sih meski ntar mungkin juga banyak yang nggak. Namanya juga cerita
@Freakymonster58 : Thank you udah mampir ya? Senang kalo bisa berbagi cerita, hehehehe.
@keichi_koji : hahahaha, salah sndiri jadi galau *loh?*
@adinu : Thanks so much!
@aDvanTage : iya, ini kumpulan cerpen Thanks udah mampir
@05nov1991 : Makasih udah mampir ya? keep reading and commenting