It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
More more......
aaaaa Om Abi,kemabli ngebuat gw menghayal untuk cerita yg ketiga,sama seperti cerita Om yang dulu,Barcelona hohoho..
btw,cerita2 karya Om Abi boleh aku koleksi kan??abisnya dari dulu gak pernah dipublish sih..
*peluk peluk...
*jangan bilang lo gak tau gw >.<
Senyumku mengembang mengetahu bahwa dalam hitungan menit, aku akan bertemu Mora. Setelah dua tahun. Setelah beratus-ratus email, beratus-ratus jam saling bertukar pikiran melalui Skype dan beberapa hadiah kecil yang saling kami kirimkan. Aku menunggu hari ini.
Bandara sungguh tempat yang aneh.
Mataku menyapu sekelilingku, betapa banyak sekali pertemuan yang disambut dengan suka cita, ciuman, pelukan, tawa dan kebahagiaan. Entah karena akhirnya mereka menginjakkan kaki di Pulau Dewata atau karena mereka akhirnya kembali berkumpul dengan orang-orang yang mereka cintai. Terminal Kedatangan merupakan tempat berkumpulnya semua kebahagiaan dan excitement karena bagi sebagian orang, akhirnya mereka berkumpul ataupun bertemu lagi dengan orang-orang yang memiliki arti penting adalm kehidupan mereka entah setelah berapa bulan atau tahun terpisahkan oleh jarak. Bagi beberapa orang, Terminal Kedatangan berarti awal baru dalam kehidupan mereka karena mungkin mereka meninggalkan kepahitan dalam kehidupan mereka untuk mencari kehidupan baru di Bali. Apapun emosi yang mereka rasakan, kebahagiaan pastilah jadi pilihan utama.
Di Terminal Pemberangkatan, banyak air mata karena ada sebagian orang yang merasa sedih meninggalkan Bali setelah menghabiskan berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu dengan berjemur di pantai, melihat pertunjukkan Kecak di Uluwatu atau sekedar berjalan-jalan di Ubud dan mereka harus kembali ke kehidupan mereka yang sesungguhnya. Disana, ada sebagian orang yang seperti tidak ingin melepaskan pelukan orang yang mereka cintai karena harus berpisah dan hanya takdir serta waktu yang memiliki kuasa kapan mereka akan bertemu lagi. Perpisahan, karena tidak ada satupun yang tahu apa yang akan terjadi ketika mereka sudah duduk di dalam pesawat atau ketika mereka sampai di tempat mereka berada sebelum datang ke Bali atau ke tempat dimana mereka akan berada setelah dari Bali.
Dua emosi yang saling berseberangan ada di tempat bernama bandara.
Sekarang, aku mungkin akan merasa bahagia dan tidak sabar karena akan bertemu Mora lagi, namun ketika tiba saatnya aku harus melepas kepergiannya nanti, dua minggu dari hari ini, rasa bahagiaku akan berada di titik yang paling rendah karena ketidak relaan untuk membiarkan Mora pergi dan hanya waktu yang tahu kapan kami akan bisa bertemu lagi. Indonesia – Inggris bukanlah jarak yang bisa dibilang dekat.
Aku menghabiskan botol air mineralku yang sedari tadi menjadi satu-satunya pelampiasanku untuk meredam rasa tidak sabarku menunggu announcement bahwa pesawat Mora sudah mendarat.
“Aku akan ke Bali dua bulan lagi selama dua minggu. It’s just not right for having a 2 years of relationship without even seeing you.”
Tangisku hampir saja pecah ketika dua bulan lalu, ketika kami sedang berbicara melalui Skype, tiba-tiba Mora mengucapkan kalimat itu. Kami tidak terlalu sering membahas tentang kapan kami akan bertemu karena sadar bahwa selain jarak, there were too many things that we had to deal with. It wasn’t as easy as flicking your fingers. Terlebih lagi, apakah kami sudah siap untuk bertemu setelah sekian lama merasa sangat nyaman dengan berhubungan melalui dunia maya?
“Aren’t you glad knowing that?”
Mora terlihat cemas ketika reaksiku hanya diam setelah tahu bahwa dia akan mengunjungiku di Bali selama dua minggu. Aku jadi sangat munafik kalau bilang bahwa aku tidak senang. Aku hanya terkejut. Atau mungkin lebih tepatnya, merasa TERLALU bahagia hingga tidak ada satu katapun yang meluncur dari mulutku.
“I’m…just too happy knowing it, Mora.”
Senyum lega langsung terlihat di layar komputerku begitu aku mengucapkan kalimat itu. Aku kemudian membaca pesan yang diketiknya sesaat setelahnya.
I love you, Arya
Aku tersenyum lalu membalasnya dengan kalimat yang sama, hanya mengganti namaku dengan namanya.
I love you too, Mora
Setelah pemberitahuan itu, aku dan Mora jadi seperti dua orang yang baru saja keluar dari Rumah Sakit Jiwa karena yang kami bahas tidak pernah lepas dari apa saja yang akan kami lakukan ketika dia sampai di Bali. Hampir tidak ada perdebatan atau pertengkaran selama dua bulan. Kami hanya tertawa, bercanda, saling menggoda dan merasa bahwa masing-masing dari kami berusaha untuk tidak terlalu mengkhawatirkan apapun. It was just about us being together.
“Kamu ingin aku bawa apa dari London?”
Pertanyaan Mora itu bukannya tidak pernah melintas di pikiranku, namun, ketika mendengarnya langsung yang berarti bahwa aku tidak hanya membayangkannya saja, membuat mulutku kembali kelu. Apa yang aku inginkan hanyalah Mora, apapun yang menyertainya, sama sekali tidak penting buatku.
“Kamu sampai di Bali dengan selamat.”
Mora memutar kedua bola matanya, seperti sudah menduga bahwa jawaban seperti itu yang akan aku berikan.
“Ayolah, Arya. Kamu tahu apa yang aku maksud.”
“Mora, kita udah beberapa kali tuker-tukeran gift, apa lagi yang aku pengen? Apa aja deh. Nggak bakal komplain.” Aku kemudian membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan tengahku di hadapannya. “Janji!”
“Jadi, terserah aku?”
“Yap!”
Bagaimana mungkin aku meminta sesuatu dari Mora ketika dia bahkan sudah memberiku terlalu banyak hal yang bahkan tidak pernah aku minta darinya? Atau terlebih lagi, dari yang bisa aku bayangkan? Memiliki hubungan dengan seorang pria yang tinggal beribu-ribu mil jauhnya membuatku menginginkan kehadirannya lebih dari apapun.
Mataku menangkap sosok seorang pria dan wanita berpelukan sebelum akhirnya berciuman, di depan begitu banyak orang, di riuhnya suasana bandara siang ini dan tidak bisa dipungkiri bahwa kebahagiaan jelas terpancar dari mereka berdua. Aku tersenyum, berharap bahwa aku bisa melakukan itu dengan Mora. Namun, tentu saja, itu harapan yang konyol, apalagi disini. Di Inggris mungkin kami bisa melakukannya.
Pikiranku kembali membawaku ke satu waktu ketika Mora menanyakan satu lagi pertanyaan yang membutuhkan waktu cukup lama untuk aku jawab. Bukan karena aku tidak tahu jawabannya, namun karena aku bingung harus menjawabnya dengan cara seperti apa.
“Kalau, kita ketemu, apa hal pertama yang ingin kamu lakukan?”
“Maksud kamu?”
Mora menghela nafasnya sembari membetulkan letak kacamatanya. “Kalau kita ketemu, what will be the first thing you do? Hug me? Or….kiss me maybe?”
“Hmmmm.”
Hanya itu yang mampu terlintas di pikiranku sambil tanpa henti menatap wajah Mora di layar komputerku. Apa yang ingin aku lakukan pertama kali? Ada banyak hal yang ingin aku lakukan namun sepertinya, semua hal itu tidak akan pernah bisa aku lakukan selama aku masih tinggal di Indonesia.
“Kenapa lama sekali jawabnya?”
Aku mengangkat kedua bahuku. “Karena ada banyak hal yang pengen aku lakuin, Mora. Aku perlu memilih satu dari sekian banyak itu.”
Mora tertawa. “It’s just me Dear.”
“Well, mungkin aku akan mandang kamu dari ujung kepala sampai ujung kaki, memastikan bahwa kaki kamu nginjek tanah dan menyadarkanku bahwa kamu bener-bener ada di hadapanku sebelum peluk kamu. Erat dan lama.”
“Apakah aku masih bisa bernafas?”
Aku mengerutkan keningku. “Maksud kamu?”
“Kan kamu tadi bilang mau peluk aku erat dan lama.”
Jika Mora ada di dekatku saat itu, aku pasti sudah meninju lengannya karena menggodaku seperti itu. Namun karena kami hanya saling bertatap muka lewat dunia maya, aku hanya mampu menuliskannya.
I’ll punch your arm
Mora lagi-lagi tertawa ketika membacaya dan dia langsung menunjukkan wajah kesakitan di hadapanku yang membuatku tidak mampu menahan tawaku.
Senyumku pun mengembang saat ini, ketika aku sedang terduduk diantara puluhan orang yang sedang menunggu di Terminal Kedatangan Internasional Bandara Ngurah Rai, Bali. Tidak ada satupun hari yang melintas di benakku ketika Mora sudah disini yang tidak akan kami isi dengan tawa. Bahkan mungkin, aku harus menggunakan kunci ganda untuk mengunci semua egoku yang selama dua tahun ini menjadi hal yang biasanya membuat kami berargumen tentang sesuatu. Hanya kebahagiaan. Itulah yang ingin aku lewati bersama Mora selama lima belas hari keberadaannya disini.
Jantungku berdebar lebih cepat ketika telingaku menangkap announcement bahwa pesawat yang ditumpangi Mora sudah mendarat. Aku memejamkan mataku, berusaha untuk bersikap biasa namun orang paling bodoh pun tahu bahwa aku tidak mungkin bersikap biasa. This is the moment that I’ve been waiting for, kataku dalam hati. Pertemuan dengan Mora selanjutnya, kapanpun itu akan terjadi, tidak akan punya efek yang sama dengan pertemuan kami siang ini. Pertemuan pertama selalu meninggalkan jejak yang lebih dalam dari pertemua selanjutnya. Apalagi mengingat bahwa aku menjalani hubungan ini selama dua tahun, lewat dunia maya dimana kebohongan bukanlah hal yang patut dipertanyakan, pertemuan ini jadi punya arti lebih penting dari apapun. Semua keraguan, semua kecemasaan, semua keinginan untuk melihatnya, menyentuhnya, merasakan kulit kami bersentuhan akan terbayar dalam hitungan menit.
Aku kembali membuka mataku lalu beranjak dari lantai tempat aku duduk selama kurang lebih dua puluh menit yang lalu. Dengan satu tarikan nafas, aku memantapkan kakiku untuk melangkah lebih dekat dengan pagar pembatas. Berdesakan diantara puluhan orang dengan papan bertuliskan nama-nama orang yang harus mereka jemput. Sebagian besar memang mereka dari hotel-hotel yang tersebar di Bali namun tidak sedikit juga orang-orang sepertiku yang menunggu orang yang telah kami kenal, bukan sekedar orang asing.
Tanpa sadar, aku mengetukkan kakiku dan mulai menggigiti kuku jari-jariku karena kau tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan untuk mengatasi debaran jantungku yang semakin tidak teratur ini. Ketakutan bahwa dia akan menemui masalah di Imigrasi membuatku khawatir meskipun aku tahu bahwa pesawat yang ditumpangi Mora telah dengan selamat mendarat di Bali. Namun, fakta bahwa aku belum melihatnya membuat kekhawatiran serta ketakutanku sama sekali tidak hilang.
I will be in Bali just in a couple of hours, Arya. Just can’t wait to see you
Itu adalah email terakhir yang dikirimkan Mora ketika dia sedang transit di Changi Airport, Singapore. Balasan yang aku kirimkan hanya singkat :
See you in Bali!
Sejak saat itu, aku hanya bisa menunggu. Apa lagi yang bisa aku lakukan? Dan berdoa semoga Mora sampai di Bali dengan selamat. Dalam perjalanan dari kosanku di daerah Legian hingga ke bandara, aku tidak henti-hentinya membayangakn momen yang beberapa menit lagi akan terjadi dalam hidupku. Semua email dan obrolan yang kami lakukan selama dua tahun melintas dengan begitu cepatnya di ingatanku. Semua lelucon yang kami bagi hinga membuat perut kami kesakitan karena tidak bisa berhenti tertawa ataupun semua argumen yang membuat kami sama sekali tidak saling berkirim email selama tiga hari, seperti puluhan kendaraan yang lewat di hadapanku.
Semuanya akan terbayar sebentar lagi.
Duniaku seperti berhenti ketika sesosok pria terlihat dari balik pintu kaca sedang berjalan menyeret sebuah koper berwarna biru. Aku tidak membayangkan bahwa Mora akan setinggi itu, paling tidak untuk ukuran pria yang memiliki darah Indonesia. Ketika akhirnya dia keluar dari pintu kaca, aku spontan lansung melambaikan tanganku dan ketika kami bertukar pandang, Mora hanya terdiam dan berhenti di tempatnya. Aku sama sekali tidak tahu kenapa dia melakukannya, namun sedetik kemudian, aku keluar dari kerumunan orang-orang dan menyambut Mora.
Aku sama sekali tidak mampu menggambarkan bagaimana perasaanku ketika melihat sosok pria yang selama dua tahun menghiasi hidupku dengan penuh warna. Melihat sepasang mata coklat dibalik kaca matanya dan merasakan aroma parfumnya di hidungku, membuatku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Dengan senyum haru dan air mata yang berusaha aku tahan agar tidak mengalir, aku menyambut Mora dengan senyumanku.
“Welcome to Bali.”
Mora mengabaikan kalimat yang aku ucapkan dan langsung meraih tubuhku dalam pelukannya. Aku memejamkan mataku. Berusaha untuk mengingat dan membekukan momen ini dalam ingatanku hingga kapanpun aku ingin, aku bisa memutar kembali saat ini. Aku merasakan lengan Mora memelukku erat, bukan aku yang memeluknya erat seperti yang aku bilang dulu dan aku tidak ingin membuka mataku. Ini terlalu nyata namun terlalu mustahil terjadi. Aku masih tidak percaya dengan semua ini.
“Finally, Arya.”
Kata itu tertangkap oleh telingaku. Lirih namun cukup jelas. Pelan namun membuatnya terdengar begitu berarti untukku.
“You’re here, Mora.”
Mora melepaskan pelukannya dan kami hanya saling berpandangan, tanpa mengucapkan apapun. Ingin rasanya aku melingkarkan lenganku di pinggangnya atau mendaratkan ciuman singkat di bibirnya karena luapan emosi yang aku rasakan sungguh luar biasa. Tidak akan pernah aku menemukan kata yang tepat untuk menggambarkannya.
“Aku nggak tahu kamu setinggi ini,” ucapku sambil memandangnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Dan kaki kamu nginjek tanah kok.”
Mora tertawa sambil membetulkan letak kacamatanya. “Shall we go now?”
“Let’s not waste any more minutes.”
Kami berdua pun akhirnya berjalan menjauh dari keramaian orang-orang yang masih akan terus berada disana sampai orang yang mereka tunggu muncul. Bandara Ngurah Rai memang tidak akan pernah sepi hingga kami sama sekali belum mengucapkan satu patah kata pun sejak meninggalkan Terminal Kedatangan karena arus manusia yang membuat kami bahkan tidak bisa berjalan bersisian.
“Aku masih nggak percaya kita akhirnya ketemu, Arya. It’s still like a dream to me.”
“Apakah kamu pikir aku nggak berpikir tentang hal yang sama?”
Obrolan pertama kami akhirnya terjadi ketika kami berjalan di sepanjang koridor dari tempat aku dan Mora memiliki momen yang telah dua tahun kami tunggu menuju ke tempat aku memarkir sepeda motorku. Mora memang tidak ingin membawa terlalu banyak barang karena dia ingin aku menjemputnya naik sepeda motor meskipun kami sempat agak berdebat karena aku tidak ingin Mora kaget mengetahui bagaimana orang-orang mengendarai motor di Bali.
“Arya…”
Aku menghentikan langkahku ketika akan menuju ke tempat parkir motor setelah meminta Mora menunggu di tempat teduh karena siang ini matahari bersinar begitu terik. Pandangan kami kembali bertemu namun dengan isyarat, Mora memintaku untuk mendekat. Maka, akupun kembali mendekatkan diriku kepadanya.
“I love you,” bisiknya di telingaku.
Aku tidak mampu membalas pernyataan Mora karena wajahku seketika merona karena tidak menyangka Mora akan mengucapkannya di tempat dimana banyak sekali orang lalu lalang. Namun, ketika aku menatapnya, Mora hanya mampu tersenyum.
“Jangan bilang itu ketika kita naik motor atau kita berdua akan berakhir di rumah sakit, oke?” pintaku sambil tersenyum.
Mora hanya mengacungkan jempolnya namun tatapan nakal yang diberikannya padaku membuatku tidak yakin bahwa dia tidak akan melakukannya lagi.
Aku kemudian melanjutkan langkahku menuju ke tempat aku memarkir motorku dan sepanjang kurang dari 100 meter, aku tidak henti-hentinya tersenyum karena sekarang, aku bisa mengatakan kepada dunia, meskipun tidak akan ada yang medengarku bahwa Mora ada disini bersamaku, bahwa tidak semua hubungan yang dimulai di internet akan berakhir dengan kebohongan yang menyakitkan.
Apa yang aku alami dengan Mora selama dua tahun adalah bukti bahwa dua pria dengan jarak yang begitu jauh mampu memiliki ikatan yang kuat. Pertemuanku dengan Mora membuat bukti itu semakin kuat bahwa masih ada pria baik di luar sana. Aku tidak ingin meminta yang berlebihan mengenai hubunganku dengan Mora karena aku takut jika aku meminta lebih, Tuhan akan mengambil apa yang aku miliki sekarang.
Mora disini, di Bali, hanya berdiri beberapa meter jauhnya dariku, menungguku, itu yang terpenting.
@kiki_h_n : oh gitu ya? hehehehe. Silakan kalau mau meninggalkan jejak sekaligus baca
@keichi_koji : Udah just trying to grab new audience aja. Bisa dibilang proyek coba2 sih, hehehehe
@idans_true : BEST MAN biar tetep di tempatnya lah. That's a special story
@arie_at : udah ditambah kan? thanks for reading
@virginboy89 : Aduh, siapa ya? *pura2 amnesia* Thanks for your comments. maksudnya berkhayal ttg cerita ketiga maksudnya apa ya? gak ngerti. kalo bakat buat bikin galau, itu mah kalian aja yang terlalu terbawa emosi pas bacanya Boleh aja sih, asal gak dipublish kmana2 aja, hehehehe
⌣Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡⌣
kasih tau donkk
plissss
Ini siapa sih author nya .? ªϑª post cerita di tmpat laen ? Boleh minta link nya ?
Pas cerita nya sedih . Nusuk sampe ulu hati .! (╥_╥)
Pas ceritanya happy jd ngerasa kaya orang gila senyam senyum sendiri . Passs bgt isi ceritanya . (˘̩̩̩.˘̩ƪ)
Tq udah mau share karya2 hebatnya . ƪ(ˇ▼ˇ)¬
maksud gw cerita yang ketiga itu tentang newyork,bikin gw kepengen kesana. Sama kayak cerita Om di warung sebelah yang di Barcelona
silahkan ditanya siapa yang gak galau abis baca cerita lo Om?? it's gift om *pukpuk ahahah
*peluuuukkkk....
tulisan kamu bagus banget @abiyasha... cant wait for others story as well. summon @4r14 dan @djiniel ahh...
“Kamu nggak akan ingkar janji kan Langit?”
Ingin rasanya aku berteriak dengan keras saat ini di hadapan Peter karena kembali menanyakan pertanyaan yang entah sudah berapa ratus kali aku dengar darinya. Tidak pernah terlintas di pikiranku bahwa aku akan berada di posisi ini. Posisi yang membuatku bahagia karena aku akan bisa memiliki Vino seutuhnya namun juga membuat hatiku begitu sakit karena untuk memilikinya, aku harus melihat orang yang begitu Vino cintai pergi dari dunia ini dan permintaan Peter, untuk menjaga Vino dan mencintainya, terlalu berat untuk aku tanggung sendirian. Namun, aku sudah terlanjur basah. Tidak ada lagi jalan untuk kembali ataupun keluar dari apa yang sedang aku alami sekarang. Aku terjebak dengan cinta yang aku miliki untuk Vino dan janji yang aku berikan kepada Peter untuk menjaga Vino setelah dia pergi.
“Yang harus kamu pikirkan adalah kapan kamu akan keluar dari sini, Peter. Hanya itu yang bisa bikin Vino seneng.”
Dengan lembut, aku meremas tangan Peter yang tidak terhubung dengan selang infus. Peter membalasnya pelan, lemah lebih tepatnya. Kondisinya yang semakin lemah dari hari ke hari hingga Dokter pun tidak berani memberikan harapan apapun kepadaku ataupun Vino tentang kesembuhan Peter. Sel kanker yang menyerang paru-parunya sudah terlanjur menyebar dan bisa dibilang, hanya menunggu waktu hingga Peter bisa lepas dari semua rasa sakit yang selama ini ditanggungnya.
“Kita sama-sama tahu kalau aku tidak akan pernah keluar dari rumah sakit ini, Langit,” ucap Peter sambil mengembangkan senyum tipisnya.
Aku membuang mukaku untuk menatap sisi lain dari kamar tempat Peter dirawat dua minggu terakhir hanya untuk menahan air mataku agar tidak jatuh saat ini. Peter tidak boleh melihat air mataku karena itu akan membuatnya khawatir dan ragu bahwa aku tidak akan mampu menjaga Vino. Kenapa Vino lama sekali sih? Rutukku dalam hati. Aku paling tidak suka sendirian bersama Peter karena semua emosiku terkuras setiap kali aku bersamanya. Ketidakmampuan untuk melepaskan emosi itu membuatku semakin lelah untuk berada disampingnya. Tidak ada kebencian dalam diriku, bagaimana mungkin aku membenci orang yang terbaring lemah diatas tempat tidur menunggu waktunya habis di dunia ini? Aku hanya lelah secara mental.
“Kamu nggak perlu sepesimis itu, Peter.”
“Dan kamu tidak perlu berbohong bahwa aku akan keluar dari sini, Langit.”
Keheningan mengisi detik demi detik yang berlalu setelah Peter mengucapkan kalimat itu. Melihat sosoknya yang terbaring begitu lemahnya, membuatku kagum karena di usianya yang hampir mencapai 60 tahun, dia masih bisa bertahan selama ini untuk tetap bersama Vino. Kerutan di wajahnya serta helai-helai rambutnya yang telah berubah warna menjadi abu-abu sama sekali tidak membuat wajah Peter berkurang ketampanannya. Aku tidak bisa membayangkan berapa banyak pria yang berusaha untuk mendapatkannya ketika dia masih muda. Darah Indonesia serta Belanda yang mengalir di dalam tubuhnya bertanggung jawab atas betapa tampannya Peter. Usia matangnya hanya membuatnya terlihat semakin menarik. Demi Vino, Peter menyembunyikan rasa sakitnya dan tetap menjadi pria yang selalu ingin menjaga Vino. Namun pada akhirnya, rasa sakit itu mengalahkannya ketika mereka sedang makan malam. Lima bulan sejak Peter memberitahuku bahwa dia ingin aku menjaga Vino setelah dia pergi. Menjaga Vino dengan cinta yang aku miliki untuk Vino.
Awalnya, aku memang tertarik dengan Vino begitu aku bertemu dengannya di sebuah Wine Tasting Club. Di usianya yang baru 26 tahun, agak tidak biasa bergabung dengan sebuah Wine Tasting Club dan begitu mengetahui bahwa dia gay, karena dia mengatakannya langsung kepadaku, ketertarikanku kepadanya semakin dalam. Anehnya, ketika aku mengetahui bahwa dia sudah memiliki kekasih, aku bukannya menjauh namun bahkan memintanya untuk mengenalkan kekasihnya kepadaku, hanya untuk berkenalan dengan pria beruntung yang mendapatkan Vino. Saat aku mengetahui bahwa kekasih Vino adalah Peter, pria yang notabene lebih pantas menjadi ayahnya karena perbedaan usia yang begitu jauh, 33 tahun, sama sekali tidak terlintas dalam pikiranku tentang hal yang biasanya terlintas di pikiran orang ketika melihat dua orang yang memiliki perbedaan usia begitu jauh menjalin hubungan. Cinta jelas terlihat diantara mereka hingga semua opini yang harusnya terbentuk di pikiranku musnah begitu saja. Peter begitu mencintai Vino, begitu juga sebaliknya hingga aku kemudian menyesal mengenal Peter karena merasa iri melihat betapa kuatnya cinta mereka berdua. Sesuatu yang tidak pernah aku miliki.
Namun, cinta memang punya jalan yang tidak bisa diduga oleh siapapun.
Tanpa aku duga, Peter mencariku. Dengan tenang, dia menceritakan semuanya, penyakitnya dan bagaimana dia berusaha menyembunyikannya dari Vino selama mungkin dan yang membuatku begitu marah saat itu adalah permintaannya. Peter memintaku untuk menjaga Vino jika tiba waktunya bagi dia untuk pergi karena dia tidak ingin Vino jatuh cinta dengan pria yang salah. Menurutnya, aku akan mampu memberikan cinta seperti yang selama ini diberikannya kepada Vino. Bullshit! Itu umpatan yang keluar dari mulutku pertama kali. Aku memang tertarik kepada Vino namun aku tidak akan pernah mau memaksakan perasaanku kepada Vino karena sadar bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan, apalagi aku menyaksikan sendiri betapa kuatnya cinta yang dimiliki oleh Peter dan Vino. Maka, alasan itulah yang aku berikan kepada Peter namun jawabannya sungguh membuatku terkejut.
“Vino is special, Langit. Not only for me, but he’s special, in every possible way. He deserves to be with a special man when I’m gone. You will love him the way I love him, even more and better. Aku telah belajar seumur hidupku bagaimana menilai seseorang, Langit dan aku yakin bahwa penilaianku tentang kamu tidak akan salah. Bahwa kamu akan mampu menjaga Vino dan yang terpenting, mencintainya dengan sepenuh hati setelah aku pergi. Jika memang kamu memintaku menyerahkan semua yang aku miliki agar kamu bisa menjaga Vino, aku akan dengan senang hati memberikannya. Tapi, aku tahu kamu bukan tipe pria seperti itu. Kamu pria baik, Langit. Kamu sempurna untuk Vino.”
Setelah itu, selama beberapa minggu, aku menghindari Vino dengan tidak hadir di acara mingguan Wine Club-ku, berusaha untuk menyingkirkan semua kalimat yang aku dengar dari Peter dengan menjadi budak untuk pekerjaanku dan membuat diriku lelah secara fisik hingga aku tidak punya sedikitpun ruang di kepalaku untuk memikirkan apa yang diminta Peter dariku. Namun, semua itu sama sekali tidak membuatku lupa akan Vino ataupun Peter. Bahkan, aku merasa begitu tersiksa karena tidak mampu melihat Vino selama beberapa minggu. Akhirnya, aku menyerah.
Untuk pertama kalinya dalam fase kehidupan dewasaku, aku mengambil keputusan yang bukan hanya terdengar begitu bodoh namun juga membuat siapapun yang mendengarnya mengangkat alis mereka karena heran atau lebih tepatnya bingung. Aku mulai memberikan perhatian lebih kepada Vino dan Peter, membantuku dengan segala cara yang dia bisa agar Vino mau membuka hatinya untukku. Vino sempat marah ketika aku seperti tidak tahu diri mengejarnya yang jelas-jelas sudah memiliki kekasih namun aku tidak menyerah hingga perlahan, sikap Vino mulai melunak.
Pernah satu kali sehabis aku mengajaknya makan malam, Vino berkata kepadaku tentang sesuatu yang membuat mulutku kelu begitu mendengarnya.
“Aku tahu kalau Peter sakit, Langit. Dia hanya nggak mau aku tahu. Iya kan? Dan kamu bagian dari rencananya ketika dia pergi nanti,” Vino tertawa. Namun terdengar lebih sebagai rasa sinis, kecewa dan sakit yang tidak bisa ditunjukkannya dengan ekspresi yang sesungguhnya. “Dia pikir dia Tuhan yang tahu kapan dia akan pergi? Dia pikir aku akan diam begitu aja?” Vino menggelengkan kepalanya. “Aku akan tunggu sampai Peter cerita semuanya ke aku karena dengan itu, aku akan punya alasan untuk marah sama dia. Dia pikir aku barang yang bisa dialihkan ke orang lain ketika dia pergi?”
Ingin rasanya aku menjelaskan kepadanya saat itu bahwa maksud Peter sama sekali bukan seperti yang dipikirkannya. Dia melakukannya karena begitu mencintaimu, batinku saat itu. Namun, dalam kondisi yang diliputi emosi, tidak mungkin aku mengubah atau membuat Vino mengerti mengenai keputusan Peter. Jadi, aku hanya diam meskipun Vino berusaha untuk mengonfrontasiku agar menceritakan semuanya.
Malam itu, ketika akhirnya Peter jatuh pingsan dan harus menginap di Rumah Sakit selama lima hari, Peter menceritakan semuanya ke Vino yang membuat Vino gusar karena tidak mampu meluapkan rasa marahnya kepada Peter. Kebencian tidak cukup tumbuh subur dalam diri Vino untuk pria yang paling dicintainya meskipun keputusannya terdengar sangat absurd untuknya. Itulah titik balik bagiku. Saat itulah, ketika melihat bagaimana tersiksa dan sedihnya Vino mengetahui tentang penyakit Peter dan betapa takutnya dia kehilangan Peter, perasaanku menjadi semakin kuat terhadap Vino. Keinginan untuk menjaganya, membuatnya bahagia menjadi berlipat ganda saat itu juga. Peter hanya meremas tanganku erat dan mengucapkan terima kasih meskipun aku tidak mengatakan satu patah kata pun. Aku rasa, Peter bisa merasakaannya.
“Apa yang kamu pikirkan, Langit?”
Pertanyaan Peter membuyarkan semua pikiranku tentang kehidupan yang aku jalani selama hampir setahun ini. Kehidupan yang penuh dengan pergulatan emosi dan segalanya tidak akan pernah sama lagi dalam hidupku. Aku tersenyum tipis sambil membelai lengan Peter. Penyakit ini membuat Peter terlihat lebih tua dari usianya namun kekuatannya untuk bertahan selama mungkin demi Vino benar-benar membuatku salut. Dan terharu. Siapa sangka bahwa ada cinta begitu besar dalam dunia kecil seperti yang kami jalani? Ketika sebagian besar masyarakat memiliki stigma bahwa dunia kami hanya dipenuhi nafsu belaka?
“Kamu harus istirahat, Peter supaya kalau Vino datang kamu bisa ngobrol sama dia,” ucapku sambil beranjak dari kursi yang menjadi tempatku duduk selama lebih dari satu jam sejak Vino pergi.
Namun, jemari Peter mencegahku pergi.
“Thank you, Langit. For everything you’ve done. For me and Vino. I owe all my life to you. Jaga Vino ya?”
Sekuat apapun aku mencoba, selalu sulit bagiku untuk menahan tangis setiap kali Peter mengucapkan kalimat seperti itu. Terdengar seperti kalimat terakhir yang akan aku dengar dari Peter. Ingin rasanya aku berkata pada Peter bahwa aku bahkan tidak berhak untuk mendengar kata terakhirnya. Vino-lah yang harus menjadi orang terakhir yang mendengar suaranya dan dilihat Peter jika dia pergi, bukan aku.
Maka, akupun hanya mampu tersenyum tipis dan membelai rambut Peter lembut.
“Nanti aku kembali sama Vino. Kamu istirahat ya?”
Peter mengangguk lemah dan akupun akhirnya mampu melangkahkan kakiku untuk menjauh dari tempat Peter terbaring. Aku mempercepat langkahku dan membuka pintu dengan begitu tergesa-gesa hingga ketika aku sudah berada di luar, aku langsung terduduk di kursi ruang tunggu dan mengeluarkan semua emosi yang aku tahan sejak tadi. Tubuhku berguncang ketika tangisku pecah begitu kerasnya. Kenapa semua harus terjadi seperti ini?
***
Sekuat apapun Vino mencoba untuk menghentikan tangisnya, dia tidak berhasil. Kami masih berada di dekat pusara tempat Peter beristirahat untuk yang terakhir kalinya meskpiun para pelayat sudah meninggalkan kami sejak setengah jam yang lalu. Aku sendiri sempat membiarkan diriku menangis namun begitu melihat betapa Vino lah yang paling terpukul dengan kepergian Peter, aku menghentikan tangisku, menahannya sebisa mungkin agar Peter tahu bahwa aku mampu menjaga Vino, dalam kondisi serapuh apapun. Demi Peter, demi Vino, aku harus jadi pria tempat Vino bisa menyandarkan semua rasa sedih dan sakitnya meskipun untuk itu aku harus berjuang dengan rasa sedihku sendiri.
“Lebih baik kita pulang, Vino.”
“Kamu nggak perlu nunggu aku, Langit. Aku masih mau disini.”
Entah sudah berapa kali aku membujuk Vino untuk pulang namun jawaban yang aku perolah juga tetap sama. Aku akan menjadi orang munafik jika bilang bahwa aku tahu betapa sedihnya Vino karena aku sama sekali tidak tahu seberapa dalam kesedihan yang dirasakan Vino selain dari apa yang diperlihatkannya padaku. Aku lebih banyak diam dan membiarkan dadaku sesak melhat setiap tetes air mata yang mengalir di kedua pipi Vino tanpa memiliki kekuatan untuk menghapusnya. Aku juga terpukul atas kepergian Peter, sangat terpukul namun melihat kesedihan Vino, rasa terpukul itu bercampur dengan rasa benci dan marah pada diriku sendiri karena tidak mampu melakukan apapun untuk mengurangi sedikit saja kesedihan Vino.
“Sekarang, siapa yang akan mengingatkanku untuk menutup pintu kulkas dengan rapat, Peter?”
Vino membelai batu nisan Peter yang masih begitu baru dan aku membuang mukaku karena tidak mampu lagi untuk melihat dalamnya kerinduan yang dirasakan Vino namun aku tidak ingin meninggalkan Vino sendirian disini. Entah sudah berapa kali Vino menyebutkan kebiasaan-kebiasaan yang sering mereka lakukan sejak para pelayat itu meninggalkan kami berdua disini. Ingin rasanya aku menyumbat kedua telingaku dengan earphone hingga tidak perlu mendengar semua itu.
Untuk kesekian kalinya, aku menyentuh pundak Vino dan meremasnya pelan. Hanya itu yang bisa aku lakukan meskipun aku lebih memilih untuk bisa memeluk Vino dengan erat, berharap dengan melakukannya, aku bisa menyerap semua kesedihannya. Namun, demi rasa hormatku kepada Peter, aku tidak melakukannya.
“Sampai kapan kamu akan disini, Vino? Peter pasti nggak akan suka liat kamu seperti ini.”
“Sampai aku terbangun dari mimpi ini, Langit.”
Kami kembali terdiam hingga akhirnya, aku menghela nafasku pelan sebelum kembali berkata kepada Vino.
“Aku akan nunggu kamu nggak jauh dari sini. Mungkin kamu butuh waktu buat sendiri.”
Vino hanya mengangguk tanpa memalingkan wajahnya untuk menatapku.
Perlahan, aku melangkahkan kakiku meninggalkan Vino sendirian karena mungkin itu yang diperlukannya meskipun aku lebih ingin berada di sana bersamanya. Namun, disisi lain, aku juga merasa harus meluapkan semua emosiku agar yang beban di dadaku berkurang. Terlalu banyak yang aku tahan disana dan rasanya mentalku sudah tidak kuat lagi untuk menampung lebih banyak kesedihan.
Sekitar 200 meter dari tempat aku meninggalkan Vino, aku berhenti di bawah sebuah pohon randu yang cukup lebat sambil mengamati Vino dari kejauhan. Tangisku meluncur dengan begitu lancarnya hingga aku bahkan tidak berusaha untuk mengentikannya. Peter mungkin memang sudah terbebas dari rasa sakit yang selama ini menyiksa tubuhnya namun ada terlalu banyak kesedihan yang ditinggalkannya. Kesedihan yang bahkan mungkin tidak mampu dihapusnya, apalagi olehku. Vino akan jadi pendiam selama beberapa hari ke depan bahkan mungkin minggu dan akan butuh usaha keras untuk mengembalikan kehidupannya seperti dulu.
Kesabaranku akan benar-benar diuji dalam saat-saat seperti ini dan aku tidak bisa berjanji, bahkan kepada diriku sendiri bahwa aku tidak akan kehilangan kontrol. Aku butuh semua rasa sabar dan pengertian yang bisa aku peroleh untuk menarik Vino dari kubangan kesedihan yang teramat dalam mengungkungnya. Mungkin juga aku akan putus asa pada satu titik tertentu. Namun, aku percaya, Peter akan membantuku dengan caranya sendiri.
Perlahan, aku menyandarkan tubuhku ke batang besar pohon di dekatku tanpa sedetikpun melepaskan pandanganku dari Vino yang sepertinya masih berbicara kepada Peter mengenai kenangan-kenangan mereka. Sejak dulu, aku tahu bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hati tidak akan pernah mudah, namun aku juga tidak menyangka bahwa urusan hati bisa menjadi serumit dan sesedih ini. Cinta antara Peter dan Vino adalah jenis cinta yang bahkan tidak akan pernah mampu aku berikan, bahkan kepada Vino sekalipun. Ada terlalu banyak cinta disana, rasa hormat, sayang, persahabatan, rasa peduli dan menjaga yang begitu kuatnya hingga aku tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan cinta mereka.
Hatiku terlalu sakit dan batinku terlalu lelah saat ini hingga mungkin aku akan menghabiskan malamku dengan membiarkan kadar alkohol dalam wine menguasai tubuhku.
“Peter, bagaimana mungkin aku bisa menyembuhkan kesedihan Vino?”
Aku rasa, saat ini pun aku sudah mulai merasa putus asa.
@Arieat : Thank you!!!!!!!!!!
@keichi_koji : Udah tahu kan skrg?
@rarasipau : Loh, kok nangis? kan nggak sedih ceritanya, hehehehehe. Thank you buat komennya, masih jauh dari hebat kok, blm pantes disebut hebat Senang bisa berbagi cerita2ku disini
@virginboy89 : Galau kan kalo ceritanya sedih, kl bahagia jg masak masih galau sih? Ya udah, tinggal beli tiket aja kan? :P
@hent4 : makasih udah baca and rekomen ke member yg lain. Msh agak bingung ni ama layoutnya, hehehehehe.
Btw tks @hent4 yg udah mengundang ke thread ini