It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@kiki_h_n : Hahahaha, nggak kekenyangan kan? Bener tuh ttg komen kamu yang terakhir. Biar kalian yang ngelanjutin sndri sesuai versi masing2
@AwanSiwon : Hahaahha, justru aku sengaja bikin kayak gitu. Kalo diperhatiin, semua cerpen2ku itu punya tingkat gantung yang tinggi lho, hehehehe. Aku memang lebih suka pembaca ku yang meneruskan lanjutannya sesuai dengan imajinasi mereka.
@arieat : Hehehehe, betul!!!
@freakymosnter58 : Makanya, silakan dilanjutkan sendiri sesuai dengan versi masing2
@rarasipau : maaf.....hehehehe, kemarin2 ini memang lagi kehilangan minat buat nulis. Semoga yang ini berasa gregetnya
@DeliRnzyr : hahahaha, kalo nggak dicolek ntar protes, hayo?
galau lagi.. lintar yang sbar bro..
Hahahaah . Gmn nih bisar si @Abiyasha semangat nulis *mikir*
Kemaren... Ku nanti kehadiran dirimu, kedatangan cintaku! Mengapa taak kunjung tiba....
Dan kidengar cerita kau berdua dengannya..
Sosok hijau besar Polyphemus menjadi satu-satunya hal yang menyita perhatianku. Posisinya yang sedang mengintip Acis dan Galatea membuat mataku tidak mampu beranjak dari karya seni Auguste Ottin yang menghiasi La Fontaine Médicis, salah satu bagian dari Jardin Du Luxembourg. Taman favoritku sejak aku pindah ke Paris bersama Chris. Tempat aku selalu menghabiskan waktu jika suasana hatiku sedang tidak bagus. Dan aku selalu duduk disini, tepat di tepi tiga makhluk mitologi Yunani itu.
Sudah hampir dua puluh menit aku disini, berusaha untuk tetap duduk di samping air mancur (meskipun istilah ini sebenarnya tidak cocok digunakan karena sama sekali tidak ada pancuran air dari La Fontaine Médicis) sambil merapatkan mantelku beberapa kali untuk menahan hembusan angin musim gugur yang lumayan membuatku pilek selama lima hari dua minggu yang lalu. Sinar matahari cukup untuk memberikan terang pagi ini meskipun sepertinya tidak akan lama karena beberapa awan mendung mulai berarak untuk segera mengambil alih sinar yang membuat Paris agak sedikit lebih hangat. Guguran daun-daun berwarna oranye pohon Sycamore yang menaungi air mancur, jatuh perlahan ke kolam dengan begitu anggunnya sebelum mendarat di permukaan air kolam di hadapanku. Namun, suasana musim gugur pagi ini yang mendung memang menggambarkan dengan tepat suasana hatiku setelah aku kembali dari London tiga hari lalu. Untuk melihat Adam.
Tubuhku serasa dibawa jauh dari bumi setiap kali aku melihat betapa cepatnya pertumbuhan Adam sejak kami bertemu terakhir kalinya. Apalagi, pertemuanku yang terakhir sudah lebih dari enam bulan yang lalu. Namun, panggilan Papa yang aku rindukan itu, meskipun aku mendengarnya hampir setiap hari melalui Skype, terdengar begitu menyejukkan hingga ketika aku berhasil memeluk tubuh kecilnya, aku selalu tidak mampu menahan air mataku. Aku begitu merindukan Adam dan merasakan kembali tubuhnya dalam pelukanku adalah satu-satunya hal yang aku pikirkan setiap hari. Bahkan setiap kali aku meninggalkan Adam di rumah Kara dan kembali ke Paris. Aku selalu merindukannya.
Duduk sendirian di taman sebesar ini bukanlah sebuah pilihan yang bijak, terlebih lagi di pagi musim gugur seperti sekarang ketika berlindung di balik selimut menjadi satu-satunya hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Namun, aku lebih memilih untuk berada disini karena aku memang membutuhkan waktu untuk sendirian, apalagi setelah aku dan Chris melalui malam yang sangat tidak baik hingga membuat Chris tidak pulang ke rumah. Aku tahu dimana dia berada, aku hanya tidak ingin menghubunginya. Mungkin, kami memang sama-sama perlu waktu untuk menyendiri.
“Pindah ke London?” Bukan hanya nada tidak percaya yang dilontarkan Chris namun tatapannya seperti berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang didengarnya hanyalah sebuah candaan. “Adam?”
“Aku hanya nggak bisa jauh dari Adam, Chris.”
Hanya itu jawaban yang aku miliki karena memang alasan itulah satu-satunya yang membuatku ingin pindah ke London. Agar bisa lebih dekat dan sering bertemu dengan Adam.
“Adrian, kita ini sudah hampir satu tahun tinggal bersama dan selama ini kamu sama sekali tidak pernah menyinggung masalah London. Kenapa tiba-tiba kamu mengangkat masalah ini?”
Tatapanku terkunci pada sosok yang telah membuatku pergi meninggalkan negeri kelahiranku untuk tinggal bersamanya di Paris, sesuatu yang kami impikan sebelum pernikahanku dengan Kara. Namun, berada hanya beberapa jam dari London membuatku tidak bisa mengingkari fakta bahwa aku ingin lebih dekat dengan putraku. Tiga bulan yang aku miliki dalam setahun tidak cukup. Aku menginginkan lebih banyak waktu untuk bersama Adam, melihatnya tumbuh menjadi sosok pria yang bisa aku banggakan. Chris tidak pernah merasa keberatan untuk menemaniku setiap kali aku ingin pergi ke London namun sejak beberapa bulan terakhir, dia lebih sering tinggal di Paris ketika aku mengunjungi Adam.
“Masalah? Adam bukan masalah, Chris.”
“Aku tidak menyebut Adam sebagai masalah Adrian. Tapi pindah ke London? Aku punya tanggung jawab disini, aku tidak bisa begitu saja pindah ke London.”
“Kamu memang nggak bisa, Chris, tapi aku bisa.”
Chris terpaku setelah aku melontarkan kalimat itu. “Maksud kamu?”
Aku memang berpikir untuk bisa kembali bersama Adam, sedekat dan sesering mungkin dan satu-satunya pilihan yang aku miliki adalah pindah ke London. Aku bisa mendapatkan pekerjaan disana karena aku memiliki beberapa teman dan aku bisa ke Paris setiap akhir pekan untuk bersama Chris. Sepertinya, itu bukan skenario yang buruk kan? Aku bisa bersama dua pria yang paling aku cintai tanpa harus mengorbankan salah satunya. Memberitahu Chris adalah hal yang tidak mudah, makanya, aku menunggu saat ini untuk memberitahunya karena aku tahu dia sedang berada dalam suasana hati yang baik. Namun, sepertinya aku keliru.
“I can find a job in London.”
“And leave me here?”
Chris bangkit dari sofanya. Aku tahu, bahwa dia sama sekali tidak suka dengan apa yang baru aku sampaikan.
“Chris, you have….”
“Adrian, aku meminta kamu untuk tinggal disini, bersamaku. Di Paris. Bukan untuk tinggal terpisah di London. Aku tahu kamu sangat mencintai Adam, tapi bukankah kita sudah pernah dan bahkan sering membahas tentang ini? Apakah yang kita jalani selama ini tidak cukup buatmu?”
Aku terdiam. Berusaha untuk menemukan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan Chris. Beruntung rasanya terlalu meremehkan untuk menggambarkan apa yang aku jalani bersama Chris setahun belakangan ini, bahkan aku masih sering tidak percaya bahwa pada akhirnya, kami menjalani impian kami dulu. Tinggal bersama di Paris. Namun, setelah menjalani satu tahun kehidupanku disini, terasa ada yang kurang. Dan aku tahu itu adalah ketiadaan Adam.
“Aku hanya ingin sedekat mungkin sama Adam, Chris.”
“Kamu bisa ke London kapanpun kamu mau, Adrian, aku tidak akan pernah melarangmu. Tapi untuk pindah ke London?” Ada sorot kepedihan yang aku tangkap dari tatapan Chris dan aku yang bertanggung jawab untuk itu. Aku hanya berharap ada cara lain aku bisa sedekat mungkin dengan Adam tanpa harus pindah ke London. Namun, sejauh ini aku tidak punya pilihan selain apa yang sudah aku sampaikan ke Chris.
“Aku bisa ke Paris setiap akhir minggu, Chris. Kita masih bisa tetap hidup bersama seperti yang kita jalani selama ini.”
“Tiga malam dalam seminggu bukanlah sebuah kebersamaan, Adrian. I want to live with you, everyday. Not only in the weekend.”
Kami terdiam. Tidak ada sepatah katapun yang mengisi ruangan tempat kami berada saat ini. Mataku kemudian menatap sosok Chris beranjak dari hadapanku dan menuju ke kamar kami hanya untuk mengambil mantel dan tas kerjanya. Seharusnya aku bangkit dari sofaku dan menghampiri Chris, karena tahu bahwa dia mungkin tidak akan pulang malam ini. Namun, aku hanya duduk termenung seperti patung yang tidak punhya daya untuk menggerakkan tubuhku. Seluruh saraf di tubuhku seperti lumpuh.
“Mungkin sebaiknya aku tidak tidur di rumah malam ini. Don’t look for me, Adrian. Aku pasti akan pulang.”
Hanya itu. Dalam hitungan detik, aku bisa mendengar suara pintu ditutup sebelum akhirnya aku menyadari bahwa aku sendirian disini.
I love Paris, why oh why do I love Paris
Because my love is near.
Suara seoarng pria yang sedang menyanyikan I Love Paris tertangkap oleh telingaku dan tak urung, membawa kembali pikiranku hingga kemudian, aku tidak menyadari bahwa sinar matahari yang tadi mampu membuat pagi di Paris ini agak sedikit lebih hangat, telah sepenuhnya tertutup oleh mendung. Menghembuskan angin yang kembali membuatku merapatkan mantelku. Sementara pria itu masih melanjutkan nyanyiannya sambil menggenggam tangan seorang gadis dan berjalan melintas di belakangku. Sepertinya, pasangan yang sedang dimabuk asmara.
Patung perunggu Polyphemus masih tetap berada disana, mengintip patung Acis dan Galatea yang terbuat dari marmer putih.
Aku menguap. Kantukku terasa semakin menguasaiku karena semalam, aku sama sekali tidak mampu terlelap. Ketidak hadiran Chris di sampingku membuat malam terasa begitu panjang hingga aku tidak memedulikan waktu yang terus berjalan merangkak menuju pagi. Ketika akhirnya mataku terpejam, kekosongan yang mengisi tempat Chris biasa tidur membuatku terbangun begitu cepat hingga akhirnya aku memutuskan untuk bangkit dan menggerakkan tubuhku daripada tinggal diatas tempat tidur tanpa bisa memejamkan mataku.
Menahan dinginnya cuaca pagi, aku berjalan menuju ke Jardin Du Luxembourg dan membiarkan bangku di dekat La Fontaine Médicis menjadi pelarianku. Mungkin aku memang egois, batinku. Chris sudah begitu sempurna. Menerimaku kembali dalam kehidupannya, dengan segala kerapuhan dan kesedihan yang menguasaiku, memintaku untuk tinggal bersamanya di Paris, menjalani kehidupan impian yang selalu kami bayangkan sebelum Kara hadir dalam kehidupan kami dan membelokkan arah takdir kami dan tetap membiarkanku menjalani peran Ayah bagi Adam. Aku tidak akan menyalahan Chris jika dia merasa tersisihkan olehku. Apa yang melintas di pikiranku hingga aku meminta Chris untuk berkorban lebih banyak dari apa yang sudah dikorbankannya selama ini?
“Kamu memang egois, Adrian. Kamu menginginkan semuanya berjalan sesuai dengan keinginanmu.”
Kalimat itu terucap dari mulutku. Seperti sebuah tamparan keras di pipiku yang membuatku akhirnya tersadar tentang apa yang selama ini aku lakukan terhadap Chris. Aku telah bertindak tidak adil terhadapnya. Adam memang akan selamanya menjadi darah dagingku dan cintaku terhadapnya tidak akan berubah, siapapun tidak akan mampu mengambil itu dariku. Namun, Chris adalah kehidupan yang aku jalani saat ini. Dialah pria yang aku inginkan untuk hidup bersama, hingga takdir memisahkan kami, kapanpun saat itu datang. Akulah yang harus dipersalahkan karena memang aku terlalu egois.
Kembali, aku menghela nafasku. Ya, aku harus meminta maaf kepada Chris dan memberitahunya bahwa aku telah bertindak begitu egois selama ini.
“I miss you.”
Ucapan itu terdengar begitu jelas di telingaku tepat ketika mataku merasakan ada dua buah tangan yang menutupinya. Jemari yang begitu aku hafal hingga aku tidak mampu menahan senyumku. Rupanya, matahari musim gugurku telah kembali hadir meskipun kulitku tidak mampu merasakan hangat sinarnya.
“I miss you too, Chris.”
Dengan segera, aku menegadahkan wajahku untuk menatap Chris yang terlihat begitu berantakan pagi ini namun tetap tidak mampu menghilangkan ketampanan yang menghiasi wajahnya. Aku merasakan kecupan lembut di keningku sebelum akhirnya merasakan tubuh Chris berada di sampingku dengan lengannya meraih pundakku dan menarikku untuk berada lebih dekat dengannya.
Yang mampu aku lakukan hanyalah menyandarkan kepalaku di pundaknya.
“I’m sorry, Chris. For being totally selfish all these times.”
“Is there something I could do to stop you saying that sorry word?”
Aku mengangkat wajahku untuk menatap Chris yang hanya tersenyum tipis. Satu hal paling sederhana yang begitu mudah dilakukan oleh Chris namun mampu membuatku merasa jauh lebih baik daripada saat aku sampai disini tadi. Apa yang kami alami semalam hanyalah bentuk dari sebuah ketidak dewasaan yang aku sebabkan hingga membuatku kehilangan Chris untuk satu malam. Namun, apa yang kami miliki saat ini adalah apa yang selalu aku inginkan sejak aku bersama Chris. Berada bersamanya, merasakan lengannya memelukku seperti ini dan membuatku merasa lebih baik.
“Kiss me,” jawabku atas pertanyaan Chris.
Chris kembali tersenyum sebelum mendekatkan wajahnya ke arahku dan menempelkan bibirnya ke bibirku. Ciuman pertama kami pagi ini setelah apa yang kami alami semalam. Angin yang berhembus membuat kami serasa tidak ingin mengakhiri ciuman kami namun akhirnya, Chris yang melepaskan bibirnya dariku lalu menatapku.
“It’s cold here, isn’t it?”
“Not really, I have you to make me warm.”
Adrian tersenyum lalu membelai pipiku dengan lembut. “I’m sorry, Adrian. I shouldn’t have left last night.”
“You’re here. We’re here now. Isn’t that the most important thing?”
Chris mengangguk. “Let’s go home now. I don’t want you to get sick.”
Chris kemudian bangkit dan mengulurkan tangannya yang tanpa ragu langsung aku sambut. Kami mengayunkan langkah kaki kami meninggalkan La Fontaine Médicis dengan jemari kami saling bertautan dan merasakan beberapa daun dari pohon Sycamore jatuh di hadapan kami, seolah ingin menyambut kebersamaan kami pagi ini dengan karpet dedaunan berwarna oranye yang sangat indah. Musim gugur tidak pernah seindah ini bagiku dan merasakan genggaman jemari pria yang paling aku inginkan dalam kehidupanku membuat segalanya semakin sempurna.
Diceritakan bahwa Polyphemus akhirnya membunuh Acis dengan batu besar hingga membuat Galatea akhirnya mengubah darah sang kekasih menjadi sebuah sungai Acis, yang sekarang mengalir di dekat Gunung Etna di Sisilia.
Kisahku dengan Chris memang tidak berakhir seperti ketiga sosok mitologi Yunani yang dipahat dengan begitu indah oleh Auguste Ottin pada tahun 1866 yang menjadi pemandangan utamaku pagi ini sejak mendudukkan diriku di bangku yang berada di tepi La Fontaine Médicis. Tidak ada orang ketiga yang cemburu atas hubungan kami. Namun, kisahku bisa saja berakhir seperti cerita Polyphemus, Acis dan Galatea jika aku terus membiarkan egoku menguasaiku dan membiarkannya menjadi Polyphemus dalam hubunganku dengan Chris.
“Isn’t it a wonderful morning in the fall?” tanya Chris yang aku sambut dengan sebuah senyuman.
“It’s a perfect morning, Chris.”
Maaf semuanya lama nggak diupdate karena lebih dari seminggu kemarin memang mencoba hidup tanpa internet selama ada di rumah. Berusaha untuk menyelsaikan satu cerita panjangku dan akhirnya memang selesai sih, hehehehe. ANTOLOGI-nya jadi kebengkalai. Maaf....
@AwanSiwon : Lah, kan udah ditambahin tuh ceritanya? hehehehe
@Adinu : Hahahahaha. Rasanya, cerita2ku memang galau semua deh Thanks udah mampir komen ya?
@Kiki_h_n : Dia pasti sabar kok
@Habibi : namanya juga cerita pendek, kalo panjang ntar jadinya cerita panjang dong, hahahaha. But, soon i will post my first long story here. Ditunggu aja ya?
@rarasipau : hihihi, iya. Udah Juni, LIntar musti bisa move on Keep commenting aja itu udah cukup buat bikin aku semangat kok. Nggak minta yang aneh2
@arieat : Why oh why kenapa? hihihihi
@bi_ngung : haduh, ngamuk kenapa? aku jangan dipentungin ya? ntar nggak bisa nulis lagi
@tonymonster : boleh dikoreksi? WHILE WE WERE WALKING, bukan TALKING Love very much nya ama siapa nih? hehehehe
ditunggu loh.