BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

SAHABAT IKHWAN BERBAGI

1134135137139140200

Comments

  • edited April 2014
    Metu peng pindo
  • @sinjai so what should experienced gay do?
    ane udh CO ke nyokap, adik saya pun mau nikah setelah lebaran tahun, so i dont think i need to rush the marriage thing :)
  • sinjai wrote: »
    Apakah Udah puas secara seksual?
    @jack_white5
    Jangan panggil akh ah, ini bukan di arab sono #sikap

    @sinjai‌
    saya sangat2 puas dgn istri saya. Mungkin krn sebelumnya saya blm pernah ML sama cowok ya.

    Tp setelah pemerkosaan itu pun, saya stabil aja. Trauma malah, dan gak kepikiran utk menuruti ajakan si oknum tsb.


  • Uncia wrote: »
    @sinjai nope masih belum ada niat menikah dengen perempuan sih....

    @Jack_White5‌ semisalnya mas ternyata berselingkuh dengan pria lain, apa yang akan mas lakukan?

    @Unicia : alhamdulillah sampai sekarang saya msh menjaga diri, semoga saya bs istiqomah.

  • aammiinn..akh @jack_white5 banyak yg iri sm ente lho...

    doain jg bsa segera nyusul yaa..
  • @join84

    Ya semua itu saya raih dgn perjuangan dan pengorbanan yg sangat beraaat.
    Aamiin, semangat ya teman2 semua :-)
  • @join84

    Ya semua itu saya raih dgn perjuangan dan pengorbanan yg sangat beraaat.
    Aamiin, semangat ya teman2 semua :-)

    Tak lupa doa dan kasih sayang Allah tentunya :-)

  • Di sebuah supermarket, seorang suami terdiam melihat istrinya sedang memarahi anaknya. Si anak yang berusia sekitar lima tahun itu ingin membeli sebuah mainan, namun ibunya melarangnya. Anak itu lalu menangis. Si ibu menyuruh anaknya menghentikan tangisannya, namun tangisan si anak semakin keras. Akhirnya, si ibu memukuli anaknya. Tangisan anak itu semakin menjadi-jadi. Si ibu semakin tak sabar sehingga pukulannya semakin keras dan bertubi-tubi. Melihat keadaan itu, suaminya pergi menjauh.

    Seorang ibu yang membawa anak remaja lelakinya melihat kejadian tersebut. Ibu itu kaget dan ingin sekali berbicara kepada ibu yang memukuli anaknya itu. Namun, karena melihat ekspresi si ibu yang masih marah, ia mengurungkan niatnya. Sebab, ketika seseorang sedang marah tentu tidak bisa diajak bicara baik-baik. Akhirnya, ia mendekati bapak yang sudah menjauh dari ibu dan anaknya itu.

    “Maaf Pak, apakah Bapak ayah dari anak itu?” Si bapak mengangguk dengan ekspresi wajah sedih bercampur malu.
    “Mengapa Bapak membiarkan anaknya dipukuli oleh istri Bapak? Mengapa membiarkan anak yang masih lemah dizalimi? Allah menitipkan anak pada kita untuk dididik dengan baik. Tentu Allah tidak ridha kalau titipannya dianiaya. Pak, kita akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah. Anak itu diam tak membalas karena ia masih lemah. Suatu saat dia sudah besar akan membalasnya. Dia menyimpan rasa dendam. Anak itu peniru. Kelak dia akan meniru yang dilakukan ayah-ibunya terhadap anak dan keluarganya juga. Bagaimana perasaan Bapak kalau hal itu terjadi?” Bapak tersebut terdiam mendengarkan si ibu yang sulit membendung kata-katanya.

    Tak lama kemudian Bapak itu mendekati anaknya. Ia membawa anaknya pergi dengan menaiki sepeda motor. Anak remaja laki-laki itu menyaksikan semua kejadian tersebut.

    Lalu ibunya memberi penjelasan bahwa seorang ayah adalah pemimpin dalam keluarga. Ia seharusnya yang mengendalikan dan mendidik keluarganya. Perbuatan si ibu tadi tidak boleh dibiarkan.

    Hari itu, si anak remaja laki-laki itu belajar dua hal. Pertama, tentang bagaimana seharusnya peran seorang ayah. Kedua, bagaimana jika melihat kemungkaran atau ketidakaadilan di depan mata tidak boleh membiarkannya.

    Di dalam masyarakat kita sering melihat seorang ayah yang begitu lemah tidak berdaya dalam memimpin keluarganya. Hal itu sering dijadikan anekdot. Maka munculah istilah “Ikatan suami takut istri”, bahkan sampai dijadikan serial sinetron. Sehingga hal itu pun berdampak dalam mendidik anak. Ayah tak mengambil peran dalam mendidik anak. Ibulah yang mengambil alih seluruh kepemimpinan pendidikan anaknya.

    Memang dalam pelaksanaannya seringkali ibulah yang lebih banyak berperan. Namun, tetap yang menjadi komandannya adalah ayah. Ayah turut mengkonsep, melaksanakan dan mengontrol pelaksanannya.

    Bayi manusia dikandung selama sembilan bulan. Sebuah waktu yang cukup lama. Selama itu, bukan hanya ibu yang bersiap menjalani peran sebagai ibu, namun juga ayah. Ayah harus belajar banyak bukan karena banyak melaksanakannya, namun karena ayahlah yang memimpin dan mengendalikannya. Ketika ada kekeliruan istri dalam mendidik anak, maka suami seharusnya bertindak meluruskannya. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita semua.* Penulis Buku Mendidik Karakter dengan Karakter.

    SUARA HIDAYATULLAH PEBRUARI 2014
  • Kuasailah, Jangan Dikuasai





    Hampir setiap orang berharap memiliki harta yang berlimpah. Apalagi di zaman semua serba uang. Semua kebutuhan dan keinginan harus diperoleh dengan uang.

    Sayangnya orang banyak lupa, gara-gara harta, tidak sedikit yang nestapa. Lihatlah di negara-negara berteknologi maju dan melimpah materi, justru merebak empat penyakit akibat stres: jantung, kanker, radang sendi, dan pernapasan. Inilah gambaran nestapa peradaban materi. Harta yang dicari dan dibangga-banggakan ternyata membawa sengsara. Tak bisa menjamin hidup bahagia.

    Agar harta tak sia-sia, kita harus bijak menggunakannya. Jika tidak, kita sama saja lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. Miskin menderita, kaya pun sengsara.
    Nah, bagaimana seharusnya kita menyikapi harta benda ini?

    Orientasi Tauhid

    Apa orientasi dasar hidup kita? Bagaimana kita memandang materi yang kita cari dan kita punyai? Untuk apa semua harta yang kita miliki?

    Banyak orang, tanpa sadar, belum memiliki orientasi dasar yang benar terhadap harta. Cara pandangnya kabur, terombang-ambing oleh situasi dan kondisi.

    Cara pandang seseorang terhadap harta menunjukkan lurus tidaknya orientasi hidupnya. Seorang yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan harta menunjukkan orientasi dasarnya adalah kekayaan. Ia menjadikan harta itu sebagai tujuan tertinggi. Sehingga ia rela mengorbankan waktu, kejujuran, dan harga diri demi mendapatkan kekayaan.

    Bahkan, berdoanya kepada Tuhan pun tidak ada yang diminta kecuali harta dunia. Nasib di akhirat pun terabaikan. Inilah yang disyinyalir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Firman-Nya:

    — teks Arab—

    Maka di antara manusia ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”; dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.” (Al Baqarah [2]: 200)

    Jika itu yang dilakukan, tidak perlu menunggu di akhirat, di dunia pun pasti akan menuai banyak masalah. Ia telah menebar energi negatif. Dan siapa yang menebar angin, ia pasti menuai badai.
    Niat dan tindakan yang tidak benar akan berbuah pahit. Konflik dengan keluarga dan kolega, berurusan dengan hukum, sampai ancaman pembunuhan dari mereka yang merasa dizalimi.

    Cara-cara seperti itu jelas tidak mengundang berkah dan ridha Allah Ta’ala. Mungkin bisa saja ia berkelit dari jeratan hukum karena kelicinannya. Tapi, tanpa rahmat Allah Ta’ala, kehidupannya tak akan berkah.
    Seorang yang telah bersyahadat mestinya menjadikan tauhid sebagai orientasi dasar dalam hidupnya dan menjadikan ridha Allah Ta’ala sebagai tujuan hidupnya. Adapun harta hanya menjadi alat, bukan tujuan. Maka ia akan menggunakan harta sebesar-besarnya untuk mencapai tujuan mulia itu.

    Bernilai Ibadah

    Bekerja mencari harta, bila berorientasi benar, bisa memuliakan kita. Meski bekerja terlihat hanya sebagai amalan dunia, tapi jika berbingkai tauhid, semuanya menjadi bernilai ibadah.

    Di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) , ada anak muda yang kuat dan perkasa. Suatu hari, pagi-pagi sekali, ia sudah keluar rumah untuk bekerja mencari harta.

    Kemudian ada orang yang berkomentar, “Kasihan sekali orang itu. Andai kata masa mudanya serta kekuatannya digunakan untuk fi sabilillah, alangkah baiknya.”

    Mendengar komentar itu, Rasulullah SAW pun meluruskannya. Kata beliau, ”Janganlah kamu mengatakan begitu. Sebab kalau keluarnya orang itu dari rumah untuk bekerja demi mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha fi sabilillah. Jika ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun fi sabilillah. Tetapi bila ia bekerja karena untuk berpamer atau untuk bermegah-megahan maka itu fi sabilisy syaithan (karena mengikuti jalan setan),” (Riwayat Thabrani).
    Dengan semangat fi sabilillah harta menjadi berkah. Harta akan mendatangkan kebaikan karena di sana ada rahmat Allah Ta’ala. Kalau ada kelebihan, insya Allah, bukan untuk kesombongan dan bermegahan, tetapi untuk diberikan kepada orang lain sebagai zakat, infak, dan sedekah. Harta yang baik adalah harta yang ada di tangan orang yang baik, yang digunakan untuk beramal shaleh.

    Para Sahabat Rasulullah SAW ada juga yang berharta banyak. Salah seorang di antaranya adalah Abdurrahman bin Auf. Dia pernah menyedekahkan 700 ekor unta beserta muatannya berupa kebutuhan pokok dan barang perniagaan kepada kaum Muslim. Ia juga pernah membeli tanah senilai 40 ribu dinar atau setara Rp 55 miliar untuk dibagi-bagikan kepada para istri Nabi SAW dan fakir miskin. Ia juga pernah menginvestasikan tak kurang 500 ekor kuda perang dan 1.500 ekor unta untuk jihad fi sabilillah.
    Ketika wafat ia pun masih sempat mewasiatkan 50 ribu dinar untuk diberikan kepada veteran perang Badar. Masing-masing pahlawan mendapat jatah 400 dinar atau setara Rp 560 juta.

    Tidak semestinya kelebihan harta menghalangi kita untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Harta yang dicari dengan jalan tidak halal jelas hanya akan mempersulit perjalanan menuju Allah Ta’ala. Harta yang dicari dengan jalan halal tetapi belum digunakan di jalan Allah, juga masih belum bernilai di sisi-Nya.

    Harta yang telah disedekahkan di jalan Allah Ta’ala, itulah investasi abadi yang akan dilipatgandakan balasannya oleh Allah Ta’ala. Sementara harta yang tersimpan, saat maut menjemput, pasti akan kita tinggalkan di dunia ini. Hanya amal yang akan menyertai kita menghadap Allah Ta’ala kelak.

    Rasulullah SAW berdabda, ”Ada tiga perkara yang mengikuti mayit sesudah wafatnya, yaitu keluarganya, hartanya, dan amalnya. Yang dua kembali dan yang satu tinggal bersamanya. Yang pulang kembali adalah keluarga dan hartanya, sedangkan yang tinggal bersamanya adalah amalnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

    Zuhud Sejati

    Banyak orang kaya yang merasa seolah-olah menguasai harta, padahal dialah yang dikuasai harta. Orang yang menjadikan harta sebagai tujuan dan melakukan segala cara untuk mendapatkannya adalah orang yang telah diperbudak oleh harta dan kesenangan dunia.

    Seorang yang punya orientasi dasar tauhid dan istiqamah dengan prinsipnya, akan memiliki mental yang tercerahkan. Kaya bukan semata pada harta, tetapi pada hati. Rasa berkecukupanlah yang membuat orang bisa berdaya memberi dan berbagi.

    Sebaliknya, seseorang yang secara materi kaya, tetapi mentalnya masih berkekurangan dan tamak, tak akan mampu mengeluarkan hartanya di jalan Allah Ta’ala. Ia malah ingin menyimpan sebanyak-banyaknya lagi. Mengambil dan mengambil. Orang demikian telah diperalat oleh hartanya.

    Seorang yang bertauhid, hanya menjadi hamba Allah Ta’ala, bukan hamba selain-Nya. Ia hanya rela dikuasai oleh Allah Ta’ala, bukan selain-Nya. Orang seperti Abdurrahman bin Auf mampu memberikan hartanya sampai sekian banyak bukan karena ia kaya raya, tetapi karena ia mampu menguasai hartanya.

    Sehingga, meski kaya raya, penampilan Abdurrahman bin Auf tetap sederhana. Ia tidak menyombongkan diri. Pakaiannya sama dengan pakaian pelayannya. Di badannya ada dua puluh bekas luka perang. Cacat pincang dan giginya yang rontok sehingga berakibat cadel, adalah tanda jasa di perang itu.

    Harta seharusnya hanya menempel di tangan saja, bukan di pikiran, apalagi di hatinya. Itulah zuhud. Zuhud bukan karena tidak ada harta tetapi karena idealisme tauhidnya. Orang seperti inilah yang akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat sebagaimana doa yang senantiasa kita panjatkan kepada Allah Ta’ala yang termaktub dalam Al Baqarah [2]: 201. “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Wallahu a’lam bish-shawab. ***
  • Menempati Rumah Baru



    Salah satu karunia yang Allah SWT berikan kepada seorang hamba yaitu rumah. Karenanya, orang yang mendapat rumah baru hendaknya menjadikannya sebagai ladang kebaikan dan ibadah serta tempat berzikir pada-Nya, bukan sebagai tempat maksiat.

    Berkaitan dengan menempati rumah baru, terdapat beberapa adab yang dianjurkan:
    Pertama, bersyukur pada Allah SWT atas karunia-Nya berupa rumah baru yang ia peroleh.

    Firman Allah: “Ingatlah ketika Tuhanmu mengumumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim [14]: 7)


    Kedua, ketika masuk rumah baru mambaca,
    م

    “Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.”
    Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam Al-Wabilus Shayyib, bahwa seseorang yang hendak masuk rumah atau kebun hendaknya membaca kalimat di atas sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat Allah.

    Hal ini didasarkan pada firman Allah, “Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu ‘maasya Allah, laa quwwata illaa billaah,’ sekalipun kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (Al-Kahfi [18]: 39)
    Rasulullah SAW bersabda, ”Jika Allah memberi kepada seorang hamba nikmat kebaikan terhadap keluarga, harta, atau anak, kemudian dia membaca, ‘masyaa-Allah, laa quwwata illaa billaah” maka dia tidak akan melihat adanya cacat dalam nikmat selain kematian. (Riwayat At-Thabrani)

    Ketiga, syukuran rumah baru.
    Sebagai bentuk menyempurnakan rasa syukur, kita dianjurkan untuk mengadakan walimah, mengundang orang lain untuk makan-makan. Walimah ini sering diistilahkan dengan Al-Wakirah. Sebagian ulama sangat menganjurkan hal ini, di antaranya Al-Imam As-Syafii. Beliau mengatakan “Di antara bentuk walimah adalah Al-Wakirah. Saya tidak memberi kelonggoran untuk meninggalkannya.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 8/207).

    Keempat, tidak terlalu khawatir dengan gangguan yang ada.

    Biasanya, orang yang akan menempati rumah baru ada yang merasa khawatir dengan makhluk halus yang kemungkinan sudah menghuni rumah tersebut. Menyikapi hal ini, sikap yang terbaik tentu menghilangkan kekhawatiran tersebut dan bersikap biasa saja. Sikap tidak peduli, ternyata menjadi cara ampuh untuk mengusir setan.

    Setan sebagaimana manusia, ketika dia mengganggu, kemudian tidak digubris, dia akan bosan untuk mengganggu. Sebaliknya, jika diperhatikan, dia semakin menjadi-jadi dalam menggoda.

    Kelima, banyak membaca al-Qur’an, khususnya surat al-Baqarah.

    Rumah yang baru ditempati hendaknya sering dibacakan surat al-Baqarah agar tidak didatangi setan. Rasulullah SAW bersabda, ”Bacalah surat Al-Baqarah di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya setan itu tidak masuk ke dalam rumah yang dibaca di dalamnya surat Al-Baqarah.” (Riwayat Al-Hakim)


    Keenam, ketika menutup pintu membaca basmalah.

    Dari Jabir bin Abdillah, Nabi SAW memberi banyak saran agar kita tidak terganggu setan. Rasulullah SAW bersabda: “Tutuplah pintu, dan sebutlah nama Allah. Karena setan tidak akan membuka pintu yang tertutup (yang disebut nama Allah).”


    (Riwayat Bukhari dan Muslim)
  • Yang dicatat untuk dia (si pelaku ibadah) dari shalatnya hanyalah apa yang ia tegakkan dari shalat itu dengan akalnya .

    (HR Ahmad dan Abu Daud) .




    Katakan (Kami) Kuat Melawan Setan



    “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (An-Nisa [4]: 76)

    Muqaddimah
    Bagi seorang Muslim, iman yang benar adalah iman yang mampu menggelorakan semangat dalam jiwa. Iman yang benar ialah iman yang tidak sekadar menyatakan kata yakin dengan penuh keyakinan. Namun, ia sanggup mendorong pemiliknya untuk berbuat amal kebaikan dan bersabar atasnya.

    Iman tersebut dikatakan nafi’ (bermanfaat) ketika ia tidak diam begitu saja, tanpa ada keinginan untuk berbuat amal saleh. Iman disebut berfungsi jika mengalirkan motivasi yang deras untuk terus bermujahadah (all out) dalam sebuah kebaikan, hingga tiba masanya orang itu mendaki puncak tertinggi amal saleh seorang Muslim, yaitu jihad (berperang) di jalan-Nya.



    Makna Ayat
    Abdurrahman Nashir as-Sa’di menjelaskan hal tersebut dalam kitab tafsirnya, Taisir Karim ar-Rahman fi Kalam al-Mannan. Ia berkata, ayat ini bukan sekadar berita yang menceritakan tentang adanya pertarungan abadi antara orang beriman melawan orang kafir. Namun juga perintah yang wajib dilaksanakan bagi setiap orang beriman. Bahkan lebih dari itu, dorongan untuk berjihad dan bermujahadah niscaya lahir dengan sendirinya jika benar orang itu mempunyai keimanan yang baik.

    Karena jihad dikatakan benar ketika ia memang bertolak dari dorongan iman semata. Sebab, iman itu pulalah yang kelak bisa mengontrol kualitas jihad dan mujahadah seseorang. Mulai dari mengawal niat yang ikhlas hingga menjaga adab-adab selama menunaikan jihad dan bersungguh-sungguh untuk amal kebaikan yang lain.

    Sebagaimana jihad menegakkan kebenaran dan mujahadah untuk beramal saleh adalah buah dari keimanan, pun demikian dengan orang-orang yang memperjuangkan ideologi kesyirikan dan kemaksiatan. Mereka juga punya “dalil” yaitu konsekuensi dari kekufuran dan muamalah mereka dengan thagut. Sejarah panjang kehidupan manusia senantiasa menorehkan catatan, adanya kekuatan al-haq yang selalu mendapat ujian dari kekuatan al-bathil yang juga tak pernah sepi dari pemujanya hingga kini.

    Imam as-Sa’di menambahkan, hendaknya setiap Muslim selalu menyadari kandungan ayat di atas. Bahwasannya, selama ini orang-orang kafir begitu bergairah menabuh genderang perang melawan umat Islam. Mereka bersemangat dan bersabar melakukan keburukan dan kemaksiatan. Bahkan ada di antara mereka sampai berani dan rela mengorbankan apa yang dimiliki. Mulai dari waktu, pikiran, tenaga, bahkan hingga harta dan nyawa sekalipun. Lalu bagaimana dengan umat Islam. Adakah di antara kita yang benar-benar telah mengurus agama ini? Adakah kita berani mengklaim jika hidup yang hanya sebentar ini benar-benar telah kita habiskan untuk memperjuangkan agama dan kebenaran?

    Di satu sisi boleh jadi kita lantang berteriak menyatakan keyakinan terhadap syariat Islam. Namun di saat yang sama terkadang kita seolah “ragu” dengan kebenaran tersebut. Hal ini terbukti dengan realitas di tengah masyarakat sekarang. Alih-alih memperjuangkan agama dan dakwah, menegakkan shalat berjamaah lima waktu saja kita masih enggan dan bermalas-malasan. Seribu satu alasan lalu dimunculkan untuk menutupi kemalasan tersebut. Jangankan mengurus dakwah atau menggerakan taklim dan pengajian di kantor, sekadar menghadiri ceramah pengajian di masjid samping rumah saja kadang kita harus menyeret kaki yang terus diam.



    Rahasia Kelemahan Setan
    Salah satu musuh utama seorang Muslim adalah balatentara setan dengan segala tipu dayanya. Hal ini berlaku sejak masa Nabi Adam Alaihi salam yang ketika itu terpedaya dengan bujuk rayu iblis, pemimpin tertinggi dari makhluk setan. Menilik kisah Nabi Adam di atas, tak sedikit di antara umat Islam lalu beranggapan bahwa setan adalah musuh yang kuat dan sulit terkalahkan.

    Asumsi tersebut tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Sebab semuanya berpulang kepada keimanan hamba itu sendiri. Kekuatan setan sesungguhnya berbanding lurus dengan kadar keimanan yang dimiliki oleh seorang hamba. Ketika kualitas iman sedang naik, bisa dipastikan dengan mudah mengalahkan tipu daya setan. Sebaliknya, jika pertahanan iman sedang down, niscaya setan mudah mengelabuinya.

    Sejatinya, tipu daya setan itu sangatlah lemah. Setidaknya hal itu yang diajarkan oleh Allah, Zat yang menciptakan bumi dan langit serta seluruh apa yang ada di dalamnya. Mufassir terkenal Imam at-Thabari menjelaskan hal tersebut. Menurutnya, umat Islam jangan terjebak dengan anggapan setan itu musuh yang kuat.



    Setan menjadi semakin kuat karena kita bersikap inferior terhadapnya. Kita merasa lemah dan tidak bisa menghadapinya. Padahal, menurut Imam at-Thabari, ayat di atas menegaskan bahwa kekuatan setan itu lemah jika berhadapan dengan orang beriman.

    Tak lain karena kekuatan orang-orang beriman itu bersandar kepada Zat Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa. Allah telah memberi busyrah (kabar gembira) kepada para hamba-Nya. Siapa saja di antara mereka yang menolong agama Allah, niscaya Allah tak segan menolongnya pula. Kebalikan dari pengikut musuh-musuh Allah, mereka hanya mampu mengais harapan dari tipuan setan dan kekuatan iblis saja. Padahal, setan dan iblis adalah makhluk ciptaan Allah juga yang sangat lemah dan hina di hadapan kemuliaan Sang Khaliq.



    Siapa Itu Thagut
    Menilik ayat di atas, dalam urusan aqidah, seseorang hanya diperhadapkan pada dua opsi saja. Apakah ia bergabung dalam kelompok fi sabilillah (di jalan Allah) atau ia memilih fi sabili at-thagut (jalan para thagut). Untuk itu, Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin lalu menerangkan makna tersebut dalam karyanya, al-Qaul al-Mufid. Ia berkata, thagut ialah apa dan siapa saja yang diperlakukan manusia dengan melampui batas yang sebenarnya. Baik itu berupa sesembahan misalnya, patung atau berhala. Bisa juga berasal dari sesuatu yang diikuti secara berlebihan seperti tokoh sesat atau ulama yang jahat.

    Terakhir, thagut juga bisa muncul dari orang-orang yang ditaati di luar batas kewajaran. Tak heran kita biasa menemui orang yang sangat fanatik buta terhadap pemimpin yang sesungguhnya ia justru menghalalkan yang haram dan telah mengharamkan yang halal.*


    Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Balikpapan. suara hidayatullah Juni 201
  • Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya,

    ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya,

    keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat

    dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya.

    (Khalifah Ali bin Abi Thalib)
  • Rasulullah Saw bersabda, “Jibril mendatangiku dan berkata,

    “Wahai Muhammad, hiduplah sesukamu, karena engkau akan mati,

    cintailah orang yang engkau suka, karena engkau akan berpisah dengannya,

    lakukanlah apa keinginanmu, engkau akan mendapatkan balasannya,




    ketahuilah bahwa sesungguhnya kemuliaan seorang muslim adalah shalat waktu malam dan ketidakbutuhannya di muliakan orang lain.”

    (HR. Al Baihaqi)


    nabi Saw bersabda,

    “Sesungguhnya di malam hari , ada satu saat yang ketika seorang muslim meminta kebaikan dunia dan akhirat, pasti Allah memberinya, Itu berlangsung setiap malam.” (HR. Muslim)



  • sapakah yang tau...cermin apa yang terbaik?
  • sapakah yang tau...cermin apa yang terbaik?

    ehm...sahabat??
Sign In or Register to comment.