It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
masa sisanya..kukasih jatahku aja ya..hhe
w usahain besok. tadi ada bagian yang kurang pas. ragil bentar lagi nongol kok
Kami bertiga masih diam. Aku menunduk memandang kakiku yang menjulur ke bawah. Ya, kami bertiga sedang diatas loteng tempat jemuran.Tak ada yang berani memulai percakapan. Aku lirik Boby, dia masih menunduk. Didit masih memandang keluar, tapi ntah kemana pikirannya tertuju. Dan untuk pertama kali kulihat didit merokok. Tangannya sedikit gemetar.
“dit..” kata boby lirih tanpa berani memandangnya.
Dia masih asik dengan rokoknya tanpa sedikitpun melihat kearah kami.
“gua...” kata boby lagi.
Didit lalu berdiri dan menjatuhkan rokoknya lalu menginjaknya. Dia masukkan tangannya ke dalam saku celananya.
“kadang sesuatu itu diluar dugaan ya?” katanya retoris.
Aku hanya menunduk. Perasaanku campur aduk. Jujur, saat ini aku takut. Yang aku takutkan saat ini adalah aku kehilangan sahabatku. Ya, aku begitu takut dia jadi menghindar dan membenciku.
“gua tuh gak bodo-bodo amat bob. Gua dan yang lain juga ngerasa kalian tuh gak cuman temenan. Gua tahu bob. Gua sadar ragil itu suka sama lo. Tapi untuk ngeliat secara langsung kayak tadi...gua belum siap bob. Gua...shock. “ katanya masih belum mau melihat ke arah kami.
Aku semakin merasa malu. Badanku terasa gemetar. Dan lidahku kelu. Aku hendak mencoba membantu boby menjelaskan tentang ini semua, tapi mulutku terasa terkunci.
“makanya tiap kali ragil kesini, gua pasti pulang. kenapa? Karena gua masih belum siap..” katanya lirih.
“kamu..sekarang benci sama kami dit?” akhirnya aku membuka mulutku.
Dia lantas menoleh ke arahku. Aku melihat roman kekalahan dari binar matanya. Dia sendu, sendu sekali.
“bagaimana menurut kalian? Apa aku berhak membenci kalian?” tanya dia lagi.
Aku dan boby terdiam. Entahlah, aku tahu ini salah, tapi aku terlalu lemah untuk tidak mencintai Boby.
“dit, lo boleh usir gua dari kost ini. Itu gak masalah. Tapi satu dit, gua belum siap buat dijauhin sama lo. Gua gak mau kehilangan sahabat kayak lo..” kata boby.”udah cukup gua ditinggalin orang-orang tersayang gua. Lo yang balikin senyum dan tawa gua dulu waktu gua ditinggalin orang tua gua. Gua bisa tertawa karena ada lo...” kata boby dengan mata mulai berkaca-kaca.
Kulihat bibirnya bergetar. Ada raut penyesalan yang sangat dari wajahnya. Maaf, bob, ini semua salahku. Kalau saja aku gak cinta sama kamu, kejadiannya gak bakal kayak gini.
“maaf bob, dit, ini semua salahku.” Kataku lirih.
“gil..” kata boby
“kalo aku bisa memendam rasa sayang ke boby, kejadiannya gak bakal kayak gini. Aku yang salah, aku yang salah..” kataku sambil menutup wajahku.
Aku mulai menangis sesenggukan. Sekarang aku merasa jadi orang yang paling bersalah karena telah menyeret boby, karena aku telah menghancurkan persahabatan mereka yang dalit.
Aku merasakan pundakku dipeluk seseorang.
“udah gil udah..” kata boby.
Aku lalu membuka tanganku dan memandang didit. Dia terlihat begitu shock.
“gua gak marah sama kalian. Gua Cuma belum siap. Lo juga gak mesti keluar dari sini bob. Gua juga masih belum siap kehilangan orang tengil kayak lo. Gua gak sanggup jalani hidup tanpa tawa nantinya. Tapi..”
“tapi apa dit?”
“gua minta satu hal sama kalian. Jangan nunjukkin kemesraan kalian di depan gua. Itu aja” katanya sambil membuang muka.
Aku terdiam. Selama ini aku selalu berusaha untuk tidak menunjukkan perhatianku ke boby secara berlebihan. Tapi ternyata aku tak menyadari, sekecil apapun aku peduli sama boby, mereka pasti sadar bahwa perhatian yang ku kasih ke boby itu gak biasa.
“aku janji, aku gak bakal kesini lagi dit..” kataku sedikit terisak.
“bukan itu maksud aku kak. Kakak boleh kesini kapanpun kakak mau. Tapi please..jangan terlalu mesra di depanku. Aku..” katanya terputus.
Dia menatap sendu wajahku lalu melihat ke arah gelang yang kupakai, gelang yang dulu dikasih boby kecil di danau. Aku menatap matanya, dan aku baru sadar, aku seperti mengenal tatapan itu. Mata itu, dan tatapan dalamnya sepertinya pernah aku rindukan.
Dia lalu berjalan melewati kami kearah tangga turun sambil bergumam.
“biarkan rasa sayang ini terjaga oleh masa..” katanya setengah berbisik.
Aku sedikit tersentak. Apa yang dia maksudkan? Apa karena dia masih shock karena kejadian tadi? Atau jangan-jangan...dia suka sama boby?
Resto, 15.00
Aku mengelap meja dengan perasaan tak menetu. Kejadian tadi pagi membuat aku tak konsen bekerja. Beberapa kali aku ditegor pekerja yang lain karena tersandung ember, menendang gelas dan hal-hal konyol lain. Aku lalu duduk dan menopang daguku. Apa yang harus aku lakukan tuhan? Tadi aku gak bisa nahan diri. Tapi kenapa aku bisa-bisanya menciumnya? Apa karena aku terbawa suasana? Tapi kan tadi di kamar mandi, mestinya suasananya pengen boker? Aih, ngaco. Aku merasa nyaman oleh perhatian yang dia kasih. Ya, dia udah menyentuh titik nyamanku. Dia dan segala yang dia lakukan membuatku selalu ingin diperhatikan. Hmm..dia sekarang mulai menjadi candu bagiku. Tapi bagaimana perasaanku sama bayu?
Arrgght...aku dilema..
“hey, kerja kok ngalamun ajah..” kata seorang remaja manis menepak pundakku.
Aku melihat ke arahnya.
“lagi ada masalah? yang namanya orang hidup mah pasti ada masalah atuh..” katanya lalu ikut duduk di sampingku.
Aku hanya diam.
“sok atuh cerita..” katanya lagi sambil memeluk pundakku.
Cerita? Cerita kalau aku sedang dibuat galaw oleh seorang lelaki yang sekarang jadi pacarku dan seorang gadis yang juga adiknya dan sekarang aku backstreet sama dia? Hmm..aku mesti mikir ribuan kali..
“ehh..ditanya teh malah bengong..gak punya duit mah ngomong atuh bob” kata dia lagi setengah bercanda.
“bukan duit Cup. Apa gua keliatan orang yang kurang duit?”
“ ‘-_-..”
“hahaha. Maneh mah meni kitu ih.”kataku sedikit relax sekarang.
(lo gitu amat sih mukanya)
“da kamu mah ngomong teh meni gak pake lidah.”katanya lagi.
“hahaha. Ssstt, gua kasih tau satu rahasia yah.”
“apa-apa?”tanya dia antusias.
“gua tuh sebenarnya mata-mata tau gak?”
“ ‘-_-..”
“gua tuh disuruh mata-matain kerja kalian “ kataku berbisik.
“wah masa?”katanya pura-pura penasaran.
“makanya gua sering keliling. Biasanya nyonya manggil gua habis briefing.”
“oh...”katanya datar.
“ah...kamu gak meni gak rame ah”
“ahihihi. Da kamu mah ada-ada ajah atuh. Jangan terlalu dipikirin ya.ntar malah kamu kerjaannya jadi kacaw”kata dia lagi.
“siap pak haji...”
“hahaha. Dasar kamu mah”
Lalu dia pun kembali ke dapur. Ucup adalah pekerja disini yang sudah lebih dulu. Senior lah, meskipun lebih lama sebulan dariku. Secara fisik anaknya terlihat menarik. Badannya juga oke, dalam artian proforsional dan enak diliat. Kulitnya pun putih bersih. Memang orang Garut selatan rata-rata memiliki keelokan rupa yang alami. Mungkin karena alam yang masih terjaga dan air yang bersumber dari mata air yang terjaga.tapi mungkin karena strata pendidikannya yang tak terlalu tinggi (maaf, kebanyakan yang disini lulusan SMP bahkan hanya SD) wawasannya tentang dunia luar masih terbatas. Kalaulah minimal dia lulusaan sma aja, aku yakin, dia akan terpilih jadi Jajaka Garut.
Tapi satu hal yang membuatku bertanya-tanya. Dia sering terlihat murung dan lebih pendiam, terutama kalu sedang ngumpul sama yang lain. Dia merasa minder mungkin. tapi minder kenapa? Toh disini kita memiliki latar belakang yang gak jauh beda. Kita disini karena himpitan ekonomi. Udah lah, aku sendiri masih diibuat pusing dengan masalahku, ngapain pusing-pusing mikirin orang.
Lantas aku menuju ke dapur dan melakukan pekerjaan lain. Aku membuang cupat cabe rawit, sedang ucup kulihat sedang membuat sambel. Tak tanggung-tanggung, sekitar satu kilo cabe rawit sedang dia ulek, itupun baru sesi pertama. Aku hanya bergidik ngeri, setidaknya setiap hari dia harus mengulek sabanyak minimal tiga kali, itu belum termasuk ngulek dadakan.
Pengunjung malam ini lumayan ramai seperti biasa. dan kejadian-kejadian di belakang layar masih saja tak berubah. Piring pecah, salah kirim pesanan, pelanggan marah-marah, dan rivalitas wiper yang semakin sengit dengan trik yang semakin canggih.
Yap, pengalaman kerja disini memang takkan pernah kulupakan.
****
“oke. Jadi kesalahan tadi jangan sampai terulang lagi. Paham?” kata teh ninih dengan mata melotot.
Kami hanya terdiam mendengar ocehannya yang ngalor-ngidul. Kadang apa yang dia ucapkan bergegas hendak masuk dari kuping kanan, belom sempet masuk dah keluar lagi lewat kuping kanan lagi. So, ngapain dipikirin.
Jam 12 adalah jam tutup resto. Dan setelah rolling ditutup mulailah sesi selanjutnya. Briefing. Briefing adalah ajang evaluasi, lebih tepatnya ajang omel-mengomel. Yang jadi subjeknya sudah pasti teh ninih atau nyonya besar. Dan yang jaadi obyeknya biasanya waiter dan washer.
Aku menatap kearah jendela dengan kuyu. Ujannya kok gak brenti-brenti..
“mo balik?”katanya sambil menyapu lantai. Memang, biar besok tak terlalu cape, kami nyicil beberes dari malam.
Aku memandang kearahnya sambil merengut.
“ujannya lumayan gede..nginep sini aja” kata Ucup.
“tapi kan besok gua masih sekolah”
“ya daripada lo sakit. Balik shubuh kan bisa..” katanya.
Aku menimang sesaat. Yap, aku bisa stel alarm jam 5 pagi. Lalu chaw ke kostan.dan kebetulan malam inipekerja yang lain akang menginap di luar. Memang satu hari mereka diizinkan untuk tidur diluar untuk refreshing. Kadang main PS, atau kadang sekedar muter-mter kota Garut di malam hari.
Kami berdua lalu bergegas menuju ke kamar. Sebetulnya aku tidak mau menyebutnya kamar. Kenapa? Karena aku pikir ruang ini kurang layak dinamakan kamar. Dimensinya sekitar 6 x 3 meter. Dan kamar ini lebih tepat kusebut gudang, karena banyak sekali dus-dus dan karung. Dan sebagian dus itu ditumpuk dan dilubangi. Ternyata itu adalah lemari bajunya. Terlihat sederhana tapi cukup kreatif karena dihiasi oleh tempelan poster-poster artis dangdut atau vokalis-vokalis seperti Pasha Ungu atau Ariel Peterpan.
Dan lantainya pun hanya dialasi tikar tipis saja dan sebagian lagi oleh bekas kain spanduk kampanye pemilihan Bupati. Dan kulihat dipojokan ada karung bertumpuk-tumpuk yang kusadari ternyata itu adalah bantal. Miris juga, pikirku. Kulihat keatas, tak ada langit-langit. Dan yang membuatku sedikit exited karena dindingnya dihiasi lampu warna-warni dan dibentuk dengan cukup sederhana tapi artistik. Aku tersenyum melihatnya.
Aku tidak tahu apakah kamar pekerja putri kondisinya seperti ini atau tidak, tapi yang pasti kamar putri akan tercium lebih harum, tidak apek bau keringat dan bau-bau lain seperti kamar ini.
*****
Kamar Gudang, tak tahu jam berapa.
Mataku masih terasa berat sekali, tapi tidurku merasa terusik oleh suara yang cukup berisik. Kucoba buka mataku, tapi karena lampu kamar dimatikan dan hanya mendapat penerangan dari cahaya lampu yang minim sekali, aku kurang jelas melihat apa yang terjadi. Kupicingkan mataku dan aku melihat ada bayangan seorang lelaki yang sedang berjongkok memunggungiku. Kuperhatikan sesaat, ternyata dia sedang berjongkok di tempat ucup tidur yang sedang memunggunginya. Pria itu lagi ngapain? Pikirku. Aku terus memperhatikannya dan kulihat Ucup terbangun lalu duduk. Lamat-lamat kuperhatikan perawakannya, kalau gak salah itu kang Bara, suaminya Teh ninih.
Kemudian mereka berdua berdiri dan berlalu meninggalkanku. Aku bertanya-tanya, ngapain mereka malam-malam? Aku merasa penasaran sekali. Dan rasa penasaran ini telah mengalahkan rasa kantukku. Aku lantas bangun dan mengikuti ke arah mereka pergi dengan mengendap-endap dan berusaha tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
Kulongokkan kepalaku ke pintu yang hanya ditutupi tirai, kulihat mereka seperti mengendap-endap. Sontak saja aku semakin curiga.
Aku mengikuti kemana mereka pergi dengan mataku, dan ternyata mereka berdua berjalan menuju ke arah saung di ujung dekat wc. Jantungku mulai berdebar. Aku lantas berjinjit mengikuti mereka. Kulihat mereka menengok kiri-kanan-belakang lalu masuk kedalam saung. Apa yang akan mereka lakukan di saung itu pikirku. Aku masih mengendap-endap mendekati saung itu dengan perasaan tak menentu, antara takut dan penasaran. Dan proporsi rasa penasaranku lebih dominan sekarang sehingga aku memutuskan untuk mengintip apa yang akan mereka lakukan.
Aku mengendap-endap berjalan ke arah saung yang ada di sebelahnya. Aku lalu naik ke saung di sebelah saung mereka dengan berusaha tanpa bersuara sedikitpun. Jantungku terasa semakin tak karuan. Aku lantas merangkak ke dinding dan merapatkan telingaku berusaha mencuri dengar.
Telingaku tak jelas mendengar, hanya suara gurusak gurusuk saja. dan kebetulan sekali tak jauh dari mataku, aku melihat ada celah yang memungkinkan aku mengintip. Aku merangsek maju dan kuintip mereka. aku tersentak kaget karena kang Bara sedang melucuti pakain Ucup. Jantungku berdegup kencang, tanganku mulai gemetar, lalu aku menutup mulut dan hidungku agar nafasku yang mulai ngos-ngosan tak terdengar oleh mereka. Aku bahkan takut mereka mendengar debar jantungku yang sudah tak karuan ini.
Aku dilanda takut yang sangat. Tapi aku dilanda rasa penasaran yang tak bisa kubendung. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu apa lagi yang akan mereka lakukan.
Kulihat kang Bara mulai menciumi leher Ucup dengan beringas sambil melucuti kemeja yang dia kenakan. Dia menciumi mulai dari leher kemudia turun ke dada dan mengarah ke putingnya. Kulihat walaupun dalam keremangan wajah Ucup seperti ogah-ogahan dan bahkan hampir menangis.
Aku mulai merasa panas. Entahlah, aku merasa sangat marah sekali. Tapi kenapa ucup tidak melawan atau menolak sama sekali? Apa dia diancam? Tapi tadi waktu dikamar aku tak mendengar kang bara mengancam si ucup? Otakku tiba-tiba saja teringat Ragil. Apakah dulu waktu di asrama dia diperlakuakan seperti itu? Aku hampir saja akan mendobrak dinding bilik pembatas ini tapi ternyata nyaliku menciut saat ingat kang Bara yang badannya sebesar kingkong itu sering berteriak-teriak dengan muka perangnya. Damn, kenapa aku sebegitu pengecutnya?
Lalu kulihat kang bara, bukan, bukan kang bara, tapi si bara brengsek itu telah meloloskan celananya dan senjatanya pun telah tegang dengan ngerinya. Ukurannya sangat membuatku bergidik ngeri. Aku yang sering berolok-olok dengan kawan sekelasku tentang waria yang sering mangkal di kerkof, sering bercanda tentang itu. Tapi menyaksikan sendiri senjata sebesar itu akan masuk ke lubang pup yang sempit, membuatku sangat ngeri. Jangankan merasakan benda sebesar itu dipaksa masuk, kita pup seret aja rasanya sakit.
Si bara itu semakin beringas menciumi sekujur tubuh ucup dan sekarang terus bergerak ke bagian tubuhnya dan berakhir di pusatnya. (maaf, aku gak terlalu bisa mendeskripsikan bagian ini) dia dengan begitu bernafsu mencelomotnya dan terus mengulumnya. Kulihat si ucup mulai menutup mata, tapi dari ujung matanya menetes air mata. Wajahnya sendu sekali. Aku bahkan tak tega melihatnya.
Kemudian kulihat si bara bangkit dan merangsek maju dan sekarang posisinya mengangkangi wajah ucup. Dia lalu memegangi kepala si ucup dan memasukkan secara paksa senjatanya yang raksasa itu ke mulut ucup. Aku dilanda rasa mual. Dia lalu memaju-mundurkan pantatnya dan kulihat si ucup beberapa kali tersedak tapi terus saja dipaksakan oleh si bara. Tangan dan badanku semakin gemetar. Kupalingkan wajahku, jujur aku tak sanggup melihatnya. Dan sekarang si bara membalikkan tubuh si ucup. Dia memegang pinggang ucup lalu mengangkatnya dan memposisikan si ucup agar menungging. Mataku terbelalak. Sebentar lagi aku akan menyaksikan senjata raksasa itu akan memasuki tubuh si ucup.
Senjatanya mulai menempel ke belahan pantat si ucup dan kulihat si ucup menutup matanya rapat sekali dan menggingit bibir bawahnya seperti menahan rasa sakit yang sngat. Aku tak sanggup melihatnya. Rasanya perutku mual sekali dan aku tanpa mengeluarkan suara bergeser ke belakang. Aku lantas turun dan dari saung dan segera menjauhi tempat itu. Badanku gemetar. Aku lalu mencari wc lain yang jaraknya cukup jauh dan aku masuk, lalu aku muntah. Bayangan kejadian tadi masih terbayang dan aku bergidik ngeri. Aku lantas kumur-kumur dan kubasuh mukaku. Kukeringkan dengan bajuku lalu aku kembali ke kamar. Kutarik selimutku dan terasa badanku menggigil. Aku dilanda rasa takut, cemas, dan gelisah. Tadinya aku mau langsung pulang, tapi urung kulakukan karena yang takut si bara itu tahu dan akan terjadi apa-apa padaku.
Setelah berselang cukup lama, aku mendengar ada suara orang membuka tirai dan aku lantas pura-pura tertidur. Sebenarnya aku gemetar dan takut setengah mati. Lalu kudengar si bara setengah berbisik ke ucup.
“ingat, jangan sampai ada yang tahu.” Katanya lalu berlalu meninggalkannya.
Ku balik badanku dan masih pura-pura tidur. Dari ujung mataku terlihat samar si ucup duduk sambil memeluk lutut, lalu dia sesenggukan. Perasaanku tak karuan. Aku ingin bangun dan berusaha menenangkannya, tapi rasanya waktunya kurang tepat. Aku kembali urungkan niatku. Dia lantas merebahkan badannya dan memunggungiku. Badannya meringkuk dan masih kudengar dia sesenggukan. Aku dilanda rasa bersalah yang sangat. Aku merasa pengecut sekali. Aku merasa jahat karena membiarkan dia mengalami kejadian buruk tadi.
Maaf cup, maafkan aku karena aku seorang pengecut. Maaf tuhan, karena aku biarkan mahlukmu disakiti, dan maaf gil, maafkan aku, karena aku biarkan apa yang kau alami dirasakan juga oleh orang lain.
*****
Aku lantas bergegas sholat shubuh dengan perasaan tak karuan. Dan setelah sekian lama aku tak berdoa dengan khusyu setelah kepergian ibuku, kali ini aku menengadahkan tanganku. Entah kenapa, aku menangis. Aku menangis karena merasa jadi orang paling pengecut. Aku menangis karena hanya bisa diam saja dan tak melakukan apapun untuk menolongnya. Dan aku mengis karena ingat ragiel. Aku hanya mampu mohonkan agar ucup diberi kekuatan dan segera di selamatkan dari mahluk biadab itu. Aku juga mohonkan agar mahluk biadab itu diberi azab seberat-beratnya. Dan aku memohon agar kenangan buruk itu segera terhapus dari ingatan ragil.
Setelah selesai berdoa, aku kembali ke kamar dan kudapati ucup sudah bangun.
“habis sholat bob?” tanya dia dengan senyum dipaksakan.
Aku hanya senyum. Kulihat matanya, dia masih berusaha menyembunyikan rasa sedihnya. Akupun tak mau menanyakan soal kejadian semalam.
“sholat dulu gih..” kataku dengan senyuman yang kupaksakan.
Dia lantas berdiri lalu mengambil handuk hendak mandi. Aku melihatnya lama. Mungkin sekarang dia merasa kotor dan ingin membersihkan diri dari kotoran yang diberikan si mahluk sialan itu. Aku kembali terduduk dan merenungi diri.
Setelah dia kembali dari kamar mandi, dia bergegas ke mushola lalu sholat. Aku mengikutinya. Kulihat, selesai sholat dia berdoa dengan khusyunya. Aku memerhatikannya. Dia bahkan sempat menitikkan air mata. Cukup lama dia berdoa dan mengadu pada Yang Kuasa. Entahlah, apakah dia masih mengaharap Tuhan menunjukkan kuasanya atau tidak, yang pasti dia hanya memejamkan mata dan air matanya terus menetes. Lalu dia mengusap wjahnya. Dia tampak kaget ketika sadar bahwa aku sedang memerhatikannya. Dia lalu menghampiriku. Kupegang pundakknya, lalu kubilang padanya,
“kalau kamu mau cerita, jangan sungkan-sungkan, cerita ke gua. Gua bersedia jadi pendengar lo yang baik.” Kataku.
Dia tersenyum lirih.
“yaudah, aku pulang dulu ya” kataku lalu mengambil tasku dan ku berjalan ke arah si beng beng, vespa bututku.
Kubalik badanku, dan ternyata dia masih melihatku. Dia tersenyum dipaksakan, aku balas senyum lagi. Kubuka rolling door, lalu kukeluarkan si bengbeng. Kupanaskan sebentar lalu kututup lagi rolling doornya. Kulihat dia masih melihat ke arahku. Aku lantas melajukan motorku ke kostku dengan perasaan campur aduk.
“lo kok ngabarin dulu kalo gak pulang bob?” tanya didit.
Aku tersenyum ke arahnya ketika dia membukakan pintu sebelum aku mengetuknya.
“maaf dit. Malem kan ujan, jadi..”
“bob” kata didit memotong ucapanku. “kita masih temenan kan? Lo gak usah sungkan. Gua khawatir malem lo gak balik. Gua sms gak bales, gua telpon malah gak aktif.” Katanya sambil cemberut.
“maaf dit, malem hape gua emang mati. Gau lupa bawa casan. Yadah, gua mandi dulu ya”
Aku lantas bergegas ke kamar mandi. Aku mandi sedikt terburu-buru karena aku ingin segera berangkat ke rumah ragil, untuk menjemputnya. Ya, untuk pertama kalinya selama kami pacaran, aku baru kali ini dilanda rasa ingin melindunginya. Mungkin karena kejadian semalam, aku diliputi rasa bersalah yang sangat. Ya, aku berjanji akan lindungin ragil. Aku janji pada hatiku sendiri. Dan sekarang, aku akan menjemputnya ke rumahnya, meski mungkin aku nanti akan bertemu bayu. Ya, aku akan bertemu bayu. Bertemu dengan seseorang yang membuatku menjadi sangat dilema.
Aku masih sibuk mengoleskan lotion ke kakiku sementara bayu masih sibuk mencari-cari handuk. Dasar adikku yang satu ini emang luar biasa. Sekarang sudah jam setengah tujuh tapi dia belum juga mandi. Aku hanya geleng-gleng kepala.
“bay, buruan, udah jam setengah tujuh..” teriakku. Dia tak menjawab.
Masih kudengar suara guyuran air, tapi tak lama, dia keluar dari kamar mandi. Cepet amat, pikirku.. Aku merasa heran, hari ini dia mengeluarkan seragam baru. Dia lantas memakai seragamnya. Tapi kok lengan panjang? Dia dengan tergesa-gesa memakai baju lengan panjang itu dan juga rok panjang. Aneh, apakah peraturan baru di sekolahnya, mengharuskan dia mengenakan baju lengan panjang dan rok panjang?
Diapun kulihat mengoleskan krim ke wajahnya. Jujur, ini kali pertama aku melihatnya bertingkah seperti ini. Memakai krim wajah, body lotion dan...sekarang dia sedang memakai kerudung. Kuulangi sekali lai, kerudung. Aku melongo melihatnya. Dia yang sadar aku memerhatikannya melihat kerahku malu-malu.
“kok kamu ngeliat aku kayak gitu, Gil?” kata dia.
Aku? Kamu? Apa aku sedang mimpi?
“mm..mm..kamu..pake kerudung sekarang, Bay?”
Dia hanya mengangguk. Tapi masih sibuk membetulkan posisi kerudungnya. Dia terlihat sangat kagok membetulkan posisi kerudungnya. Tentu saja karena selama ini dia tak pernah mau mengenakan kerudung. Palingan dia mengenakan mukena saat akan sholat saja, itupun terkesan asal-asalan.
“kok keliatannya jadi aneh ya?” kata dia sambil melihat ke cermin.
Aku hanya diam, masih dilanda bingung.
“udah, gapapa. Lagian juga sekarang udah hampir telat. Tapi..” kataku terpotong.
“tapi apa?”tanya dia penasaran.
“kamu kerudungan sekarang?”
“hehe..iya, lagi pengen nyobain aja.”jawabnya malu-malu.
“yaudah, yuk” kataku
Kami lantas bergegas turun dan segera keluar pintu. Aku tersentak kaget ketika pintu dibuka. Didepan pagar Boby sedang duduk di atas vespanya. Apakah ini mimpi? Baru sepagi ini aku sudah mengalami dua kejadian aneh. Bayu berkerudung dan berdandan, meski seadanya, dan kini boby sedang ada di depan rumahku. Apa dia..menjemputku?
“eh..ayo, udah telat” katanya.
Lalu Bayu keluar dan dia terlonjak kaget. Bayu tampak tersipu malu. Aku melihat tingkah keduanya. Terbersit di pikiranku, boby kesini untuk menjemputku sebagai pacarnya atau... menjemput bayu?
Kami berdua lalu berjalan ke arah Boby.
Boby dan bayu terlihat kikuk.
“so..?” kataku meminta kepastian. Dia akan menjemputku atau mengantar bayu?
Boby hanya tersenyum, bayu juga. aku tak tahu, apa aku harus menunggu dia menjawab atau langsung naik ke jok belakangnya?
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh ajakan boby.
“ayo gil, ntar keburu telat” kata boby.
Aku masih mencerna kata-katanya. Aku dengan ragu nak ke jok belakangnya. Kulihat sekilas bayu tamak merengut, lalu pura-pura senyum dipaksakan.
“duluan ya..” kata boby.
Jujur, perasaanku campur aduk. Antara bahagia, karena hari ini untuk pertama kalinya aku dijemput pangeranku, dan agak gak enak sama bayu. Akhir-ini dia terlihat sedikit berubah. Dan hari ini adalah puncaknya. Aku dilanda rasa pensaran yang sangat. Apa yang terjadi sama bayu?
“kok malah bengong? Gak seneng ya aku jemput?”kata boby mengagetkanku.
“hah? Hehe..nggak, kaget aja..” kataku gelagapan.
“yaudah, peluk atuh. Masa aku dianggurin..” katanya.
What? Apa aku gak salah dengar? Aku merasa sangat...bahagia. dia memintaku untuk memeluknya? Aku yakin ini hanya mimpi. Biarlah, aku tak akan menyia-nyaiakan mimpi indah ini, karena mengharap ini nyata sungguh sangat-sangat naif sekali. Aku lantas memeluknya erat dan kutempelkan pipiku di punggungnya. Aku memejamkan mata. Aku merasakan kehangatan di seluruh badanku, terlebih di dadaku. Hawa Garut yang biasanya dingin di pagi hari, pagi ini terasa hangat sekali. Badanku meliuk-liuk mengikuti gerakan motor dan aku mulai mendendangkan irama yang entah dari mana muncul. Yang pasti otakku bersenandung riang saat ini.
****
Parkiran sekolah, 06.55 wib
“gil..udah sampe..” kata boby.
Aku lantas membuka mataku dan kulepas pelukanku. Dia tersenyum manis kearahku. Kok aku belum bangun juga dari mimpiku ya? Tanyaku dalam hati. Udahlah, mungkin aku sedang pulas.
Lalu kami turun dan boby merangkul pundakku. Kami berjalan beriringan. Aku sesekali memandang wajahnya yang sedang tersenyum. Aku jadi senyum-senyum sendiri.
“kenapa?” tanya dia memabangunkanku dari lamunanku yang indah.
“hah? Ng nggak kok.” Kataku malu-malu.
“yaudah, masuk sana” kata boby.
Aku baru sadar bahwa ternyata aku sudah sampai didepan kelasku. Aku memang tadi tak konsen. Pikiranku melayang-layang.
“udah sana masuk..” katanya sambil mendorong pelan tubunhkku. Aku lantas masuk dengan ragu dan sesekali melihat ke belakang. Ternyata dia masih disitu bahkan setelah aku duduk pun. Dia lalu tesenyum manis dan berjalan meninggalkan kelasku.
Aku berdiri lagi dan bergegas ke arah pintu, kupandangi punggungnya. Dia berjalan dengan gagahnya. Dan sekarang, kulihat didit menghampirinya dan mereka berjalan beriringan sesekali diselingi tawa. Aku bahagia sekali. Aku bahagia karena kali pertama dalam hidupku aku dijemput olehnya, meski aku belum yakin ini adalah nyata, dan bahagia karena kami tak dijauhi oleh didit. Terima kasih tuhan, atas aneugerah-Mu yang tak ternilai ini.
*****
Aku sedang mengerjakan tugas bahasa inggrisku dan didit di sampingku. Dia tampak serius sekali. Tentu saja serius. Dia sedang menyalin tugasku. Aku hanya geleng-geleng kepala.
“heh, nyon. Serius amat siloh?” kataku sambil menutup bukuku.
“apaan sih Bob. Jangan maen-maen ah. Ini masalah nyawa” katany sambil berusaha merampas bukku bahasa inggrisku.
“gimana bangsa ini mau maju kalo generasi mudanya kayak lo semua?”
“halah, gaya lo bob. Siniin ah.nanggung, dikit lagi nih..” katanya lalu merampas bukuku dan membukanya. Dia lanjutkan lagi menyalinnya.dasar.
Lalu tiba-tiba saku celanaku bergetar, yap ada sms. Kuambil lalu kubuka.
“bob” itu saja isinya. Sms dari bayu.
Aku melongo melihatnya. Aku ingat kejadian tadi pagi. Sebenarnya aku merasa gak enak sama dia. Aku datang kerumahnya untuk menjemput ragil, tapi disaat bersamaan dia keluar. dan dia tampak berbeda. Ya, dia tampak berbeda sekali tadi pagi. Dia mengenakan kerudung. Aku bahkan tak berkedip melihat perubahannya. Dan tadi pagi dia terlihat manis sekali. Entah karena wajahnya terlihat lebih cerah, atau karena aura kerudung yang membuatnya terlihat berbeda. Ya, secara keseluruhan dia tampak berbeda, dia tampak aneh dengan penampilan barunya, aneh yang manis tentunya.
Tapi aku segera sadar bahwa aku datang kerumahnya untuk menjemput Ragil. Aku harus berusaha menjaga dri untuk tidak terlalu exited, dan karena aku telah berjanji sama hatiku kalo aku akan jaga dia. Ya, aku akan jaga perasaan ragil.
Dan sekarang dia Sms yang isinya hanya memanggil namaku. Pasti dia merasa sakit hati sekali. Bukannya aku merasa geer, tapi aku yakin bahwa dia berubah karena aku. Dan disaat dia butuh aku memujinya atau bahkan hanya sekedar mengomentari perubahannya, aku datang malah untuk menjemput ragil. Bisa kubayangkan gimana perasaannya tadi. Aku lantas berjalan keluar dan segera menuju ke belakang halaman belakang kelas.
Kuambil hapeku lalu kutelpon dia.
“haloh..”
“...”
“bay?”
“mm..i..iya bob?”
“lagi apa?” tanyaku kikuk. Tiba-tiba aku dilanda perasaan tidak nyaman.
“lagi diem”
“...”
“...”
“bay, tadi pagi..”
“iya..gapapa. aku ngerti kok..”
“tapi tadi kamu...”
“hmmm?”
“kamu..”
“ya?”
“kamu...aneh?”
“hah?”
“heheh. Kamu aneh bay pake kerudung. Tapi untung aku suka sama cewek yang aneh..” kataku.
“ah..boby. aku beneran aneh ya? Aku malu tau bob. Baru nyampe kelas aja mereka ngeliatin semua ke arahku.”
“hahah. Gak usah dipikirin atuh. Kamu tuh gak pake kerudung aja cakep, apalagi pake kerudung, apalagi..”
“apalagi apa?”
“pake kerudung tapi gak pake baju...hahah”
“ih dasar kamu mah yah..” katanya manja.
“maaf ya bay, buat tadi pagi. Gimana kalo ntar kita ke GT (Garut Theatre)?”
“ngpain?”
“maen bola”
“boby...”
“hahah. Lagian ke GT masih nanya mau ngapain. Ya mau nonton atuh geulis”
“nonton apaan?”
“aku mau nonton kembaranku. Irwansyah.”
“ahahay.”
“kokketawanya gitu sih?”
“iya-iya..emang film Heart masih ada gitu?”
“kata si Onyon waktu kemaren nyari exo sih masih ada..”
“haha. Dasar partner in bokep, yadah, aku tunggu jam satu ya”
“sip. Tunggu aa yang neng..”
“heheh. Yadah, sono belajar lagi, biar pinter”
“babay bay...”
Klik,langsung kututup. Aku bingung, kenapa tadi aku mengajaknya nonton. Mungkin karena aku diliputi rasa bersalah karena kejadian tadi pagi, aku secara spontan mengutarakan apa yang ada dipikiranku. Tak apalah. Kebetulan hari ini ragil ada Uji Kompetensi dan katanya pulangnya agak sorean. Jadi aku bisa nonton dulu sama bayu. Maaf gil, aku gak maksud khianatin kamu. Aku juga bingung. Tapi mungkin inilah konsekuensi yang harus aku terima. Biarlah waktu yang jawab semuanya.
Kuperhatikan yang lain sedang sesenggukan ketika melihat Nirina Zubir yang sedang dibawa ke rumah sakit. Kutengok ke orang yang duduk di sebelahku, dia hanya diam sambil tangannya menggenggam tanganku. dia tampak sendu, tapi tak menangis. Aku tak konsen menonton. Pikiranku kemana-mana. Aku terus saja memikirkan ragiel, ucup dan banyak hal lain.
Lalu tiba-tiba bayu menyenderkan kepalanya ke pundakku. Aku kaget sekali. Aku bingung harus gimana. Akhirnya kuelus kepalanya. Dia semakin mempererat genggaman tangannya. Aku mulai dilanda rasa bersalah lagi. Rasa bersalah padaanya karena dia harus menjalani hubungan seperti ini. Kami harus sembunyi-sembunyi dari ragil dan teman-teman yang lain.
Lampu yang tadinya redup mulai terang. Layar bioskop berwarna hitam dan terpampang tulian Sekian. Tampak para penonton mulai beranjak dan beberapa masih terduduk sambil mengusap pipinya. Suasananya masih sendu.
Aku dan bayu lantas keluar dari bioskop itu dan hanya terdiam.
“bob”katanya mengagetkanku.
“hah?”
“menurut lo...gua mesti ngelakuin hal kayak nirina zubir gak?” tanya bayu tiba-tiba.
“maksud lo?”
“gua mesti berkorban demi ragil kan, kayak nirina yang berkorban demi acha.”
“...” aku hanya diam.
ku tak bisa menjawab pertanyaan yang hanya butuh dua atau tiga huruf, ya atau gak. Aku sendiri bingung. Kalau aku jadi irwansyah yang dihadapkan pada dua pilihan, nirina sahabatnya yang tomboy atau acha yang penyakitan? Ntahlah, aku harus milih siapa.
“atau mungkin nasib gua bakal kayak nirina ya? Gua bakal mati? Tapi gua rela bob mesti mati, asal ragil bahagia.”katanya lirih.
“lo tuh ngomong apa sih?” kataku sambil melotot kearahnya.
“kenapa? Ini nyata kan? Gua sayang sama lo, ragil juga.”
“lo Cuma kebawa emosi film tadi bay. Itu film..”kataku lagi.
“tapi kondisinya sama bob. Sekarang gua mau nanya sama lo. Kalo lo di posisi irwansyah, lo bakal milih siapa?”
“bay..”
“jawab aja bob.”
“gua..”
“lo sayang sama ragil?”
“...”
“bob?”
“....”
“gua gak butuh jawaban lo bob. Lo yang tau jawabannya. Tapi satu hal, lo mesti turutin apa kata hati lo.”
“stop bay. Ini konyol. Kita nonton itu bukan buat berantem kan?”
“...” kini dia yang diam. Dia lalu menunduk.
“ya, kondisinya sama antara kita sama film tadi. Gua sama gantengnya sama irwansyah. Titik” kataku kesal dan berlalu meninggalkannya.
“hey.. tungguin bob..”
Aku berhenti dan dengan senyum berbalik arah. Lalu tersenyum ke arahnya.
“kita ikutin waktu aja, kemana dia bakal bawa kita, okey?’ kataku. Dia hanya tersenyum simpul.
Aku memang tak tahu kemana arah hidupku. Yang aku tahu saat ini adalah aku ingin bahagia. Ya, Cuma itu. Aku bahagia sama ragil, tapi aku juga bahagia ada disamping bayu. Fyuh, biarkan waktu aja yang jawab.
*****
ditunggu lah kripiknya