Aku menggeser tombol OFF ke arah shuffle di iPod shuffleku. Memasukkan earphonenya, dan Clazziquai Project bernyanyi. Aku mengeraskan volume, melepaskan penat. Gara-gara mama pergi ke Subang, aku harus naik angkot untuk ke kampus. Minggu ini, minggu praktek. Aku kebagian shift dinner, yang mulai masuk pukul dua siang. Aku menunggu lampu hijau untuk menyeberang menyala. Kaki bergoyang mengikuti irama lagu. Panasnya Bandung mulai terasa. Lampu isyarat menyeberang sudah berubah menjadi hijau. Aku melangkahkan kakiku. Dan, BRAK! Aku terjatuh di aspal. SHIT!
Aku melepaskan earphone dan menatap mobil yang menabrakku. Sebuah sedan berwarna silver. Aku mengeluarkan handphoneku dan memotret nomor polisinya. Ketika mengambil handphone itulah aku merasakan ada yang aneh dengan kakiku. Ah yah, celanaku robek, dan kakiku berdarah. Seorang pria turun dari mobil, diikuti seorang cowok berusia 20 tahun.
"Ngga apa-apa kan dik?"
"Ngga apa-apa gimana sih! Ngga liat apa kaki saya berdarah, celana saya robek! Shit! Baju saya kotor lagi!"
"Yailah, cuman kaya gitu doang juga!", si cowok tiba-tiba buka suara.
"Heh! Lo ga bisa nyetir ya! Ngga tau peraturan apa kalo disini tuh belok kiri ikut isyarat lampu! Buka matanya, mas!"
"Lah, kok lo nyolot sih!"
"Iyalah gue nyolot! Lo yang salah juga! Gue kan nyebrang di zebra cross!"
"Yaudah, lo maunya gimana?"
"Kantor polisi. Kasih SIM lo, gue udah foto plat nomornya!"
"Aduh, Reza! Mending kamu diem, angkat dia, masukkin mobil, bawa ke rumah sakit!"
Cowok itu memandang pria yang kutebak berumur 35 tahun. Pria itu membantu mengangkat tubuhku, dibantu Reza yang manyun. Aku sudah duduk di kursi belakang. Aku mengeluarkan handphoneku, menelepon teman satu shiftku.
"Cu, gue ga masuk hari ini. Bilangin anak-anak ya. Lo ganti sous chef in-chargenya deh. Gue tabrakan, ini lagi di jalan ga tau mau kemana."
"Lah? Kok bisa?"
"Lah apaan? Ya mana gue tau. Yaudah yah, salam buat anak-anak!"
"Om, ke Borromeus aja, asuransi saya dirumah sakit sana soalnya."
"Borromeus, Za!"
"Ih, kan deket ke Advent."
"Lo mau bayarin gue?"
"Sudah Reza!"
Cowok itu diam. Menatapku dari spion tengah. Aku membalas tatapannya, dan berkata tanpa suara,
"Lo pikir gue takut?"
***
Aku menatap perban yang membungkus kakiku. Keren juga yah.. Aku menggerak-gerakkan kakiku. Katanya biar ga kaku, kalau kata mama.
"Nih.", pria itu menyodorkan sebotol jus jeruk dingin padaku. Aku menerimanya.
"Makasih, om."
"Saya Surya. Kamu?"
"Nandi, Om."
"Oke Nandi, saya minta maaf atas kejadian ini ya? Reza memang jarang bawa mobil saya. Dan jarang juga lewat jalur itu."
"Oh, iya Om. Lain kali, hati-hati saja."
"Yuk, saya antar pulang."
Aku melirik jam, pukul empat sore. Aku sudah mengantongi surat dari rumah sakit untuk ijin esok.
"Saya pulang sendiri saja, Om."
"Eh, nggak. Saya yang bertanggung jawab."
"Tapi, rumah saya di Bandung Timur loh Om. Macet kalau jam segini."
"Nggak, nggak apa-apa."
Reza muncul sambil membawa obat yang harus ditebus.
"Nih!", ucapnya sambil memberi kantong berisi obat-obatan. Banyak juga yah? Ergh.
"Surya, ayo pergi. Udah jam segini ntar keburu mulai lagi filmnya."
"Reza, kita antar Nandi pulang."
"Hah? Ngapain? Suruh aja naik taksi!"
"Reza! Kamu itu susah ya dibilangin. Nandi itu tanggung jawab kita sekarang."
"Hah? Tanggung jawab? Jangan bilang dia bakalan tinggal sama kita!"
"Duh, maaf ya, mending saya pergi sendiri deh. Lagipula, ini rumah sakit, bukan bar yang kalo ngomong harus teriak-teriak.", aku berusaha bangun dari kursi. Berjalan pincang berpegangan pada hand rail yang terpasang di dinding.
"Kamu pulang naik taksi. Aku mau antar Nandi.", aku mendengar Surya berkata pada Reza. Tak lama kemudian, tangan Surya membantuku berjalan.
"Nggak usah repot-repot, Om. Saya bisa pulang sendiri."
"Nggak. Ayo sekarang ke mobil."
***
Aku bermain dengan handphoneku. Teman-teman shiftku mengirimkan foto hasil masakan saat praktik tadi.
"Kuliah semester berapa?"
"Semester lima."
"Ooo.. Sudah bisa masak apa?"
Aku menoleh ke arah Surya.
"Yang pasti bukan masak air, mi instan atau telur goreng."
Surya tergelak. Lepas.
"Baru kali ini saya dapat teman ngobrol yang asyik. Padahal, jarak umur kita lumayan jauh kan?"
"Iya kayaknya. Om kan seumuran sama kakak ipar saya yang pertama."
Surya tergelak lagi.
"Jangan ketawa terus, Om. Ntar nabrak lagi.", ucapku sambil menatap ke arah jalan.
"Reza itu adiknya Om?", tanyaku.
"Bukan."
"Terus? Keponakan?"
"Yaaa, bisa dibilang gitulah."
"Oooh."
"Kenapa? Kamu mau juga?"
Aku menatap Surya. Heran. Ia berganti raut muka. Mungkin merasa ada yang salah dari perkataannya.
"Rumah depan itu, Om. Yang pojok."
Surya menghentikan mobilnya persis di depan pagar. Aku beranjak turun dari mobil. Surya membukakan pintu untukku dan membopongku. Pintu pagar masih tertutup. Aku menekan bell dan tidak lama kemudian Mbak Minah muncul dari dalam rumah.
"Ya ampun, Aa kunaon ieu?"
"Ditabrak, Mbak."
"Aih aih.. Makanya hati-hati atuh A'."
Aku mengangguk-angguk sambil terpincang-pincang berjalan kedalam. Aku langsung menuju kamar, Surya masih membopongku. Aku duduk diatas kasur. Okay, badanku tiba-tiba meriang. Aku mengecek dahi dan leherku. Lumayan hangat.
"Meriang? Efek obat, Ndi."
Aku mengangguk malas. Surya bangun dan memindahkan kursi belajarku kesamping kasur.
"Pulang sana Om, ditungguin Reza."
Surya tersenyum.
"Saya mau ketemu orangtua kamu dulu. Mau minta maaf dan ngejelasin masalh ini."
"Mama lagi ke Subang, Om. Pulangnya besok. Mbak Mita lagi kerja, Mas Ari juga masih kerja."
"Papamu?"
"Papa udah di surga."
"Oh. Maaf."
"Om nggak salah kok."
"Kamu kenapa manggil saya Om terus sih?"
"Lah, terus panggil apa?"
"Saya masih terlalu muda untuk dipanggil Om."
"Itu kan menurut Om, menurut saya tidak."
Surya tergelak.
"Ya sudah, kamu saja yang boleh manggil saya Om."
"Oke deh. Trus, Om mau nungguin saya sampai sembuh disini? Sampai luka saya ilang?"
"Nggak lah."
"Trus, ngapain masih disini?"
"Nemenin kamu saja. Kasihan kamu ngga ada yang nemenin. Masa cuman sama pembantu kamu aja?"
"Percaya ngga Om, dia itu kakak saya."
Air muka Surya langsung berubah.
"Bercanda kali, Om. Serius amat."
Surya menatapku gemas.
"Udah ah Om, saya mau tidur. Ga enak badan nih, gara-gara Om."
"Iya, maaf."
"Maafnya Om saya terima asal bawain saya sekotak Rum Raisins Chocolate Ice Cream."
"Apaan tuh?"
"Oh my God. You just too old to know what is Rum Raisins Chocolate Ice Cream."
"I never sit on a sofa with a box of ice cream."
"So, you should try to do."
"Works calling."
"No have time for yourself? Oh, pity you."
"Yes, pity me. Oh, last time I did it when I was ten years old."
"Oh! For God's sake! Okay, let's do it. Mbaaaaakk!", aku teriak dari dalam kamar memeanggil Mbak Minah.
"Iyaaa A'?"
"Mbak, beliin ice cream dong. Nih uangnya.", aku mengangsurkan selembar uang lima puluh ribuan.
"Karena di daerah sini susah nyari rum raisins, rasa klasik aja ya?"
Surya mengangguk, masih tidak mengerti.
"Beliin yang tiga rasa mbak. Coklat, vanilla, strawberry!"
"Beres, A'!"
"Terus?", tanya Surya.
"Just sit, wait, and relax.", aku menyodorkan remote TV. Surya mengambilnya dan langsung surfing channels.
"Please no CNN, BBC, or Al-Jazeera."
Surya tertawa. Beralih dari CNN dan berhenti pada StarWorld.
"Don't you say that you are Gleek!"
"Sorry to say, but I am!"
Aku tertawa. Surya juga.
Sepuluh menit kemudian Mbak Minah mengetuk pintu. Membawa satu kotak ice cream, dua sendok, dan dua gelas air minum. Aku membuka kotak ice cream dan menyodorkannya pada Surya.
"Longgarin dasi, gulung lengan kemeja, buka kancing leher, dan enjoy your show!"
Surya tersenyum. "Mau?"
"Nggak ah."
"Ayolah. Saya suapin."
"Hmm.. Strawberry please?"
Surya tersenyum.
***
Comments
kalo bisa happy ending, jangan kaya 'tempura....' kemarin. ;-)
Thank you if you like it. Like my story or like me? Hueheuheuheu..
lanjut2, keren ceritanya.
diantos update an nana
Aku meneguk satu gelas susu murni yang selalu tersedia hingga tandas. Bersendawa dan tersenyum kecil mengingat Mama pasti akan melotot kalau beliau tahu tingkahku. Seperti biasa, Mama sedang mengontrol peternakan. Kakak-kakakku sedang berlibur bersama keluarga mereka. Aku sendirian deh.
Handphoneku berbunyi.
"Ngga ada kelas. Tapi Cost Control maju ke jam kedua."
Yah, ngapain aku bangun pagi-pagi kalau gini? Tapi nanggung juga sih, mengingat aku harus berangkat naik angkot. Bicara berangkat naik angkot, lukaku sudah sembuh. Hundred percent. Dan, Surya kerap menghubungiku. Tapi, semua BBM, telepon, atau SMS darinya tidak pernah kubalas. Bagiku, sudah cukuplah Surya bertanggung jawab hingga lukaku sembuh.
Aku menunggu angkot menuju kampus. Lumayan lama karena angkot yang melintas selalu penuh. Tiba-tiba sebuah city car berhenti di depanku. Kaca penumpang terbuka. Surya. Aku melongokkan kepalaku.
"Kuliah? Ayo bareng!"
Aku menggeleng.
"Ayolah.", ia membuka pintu. Okay, daripada ga dapet angkot aku masuk kedalam mobil.
"Akhirnya ketemu juga ya.", ucap Surya.
"Hah? Ketemu apaan, Om?"
"Ketemu kamu."
"Hah?"
"Kok BBM, SMS bahkan telepon saya nggak pernah kamu balas sih?"
"Ya ngapain Om? Kan saya sudah ngga butuh bantuan apa-apa lagi dari Om."
"Kamu ngga butuh. Tapi saya masih butuh."
"Butuh apaan?"
"Lawan bicara."
"Duh, kesannya saya ini jago debat yah? Saya bukan kusir Om."
"Kok?"
"Kan yang jago debat itu kusir. Makanya ada debat kusir."
Surya tergelak. "Ini yang saya kangenin dari kamu."
***
Aku menunggu Surya di gerbang kampus. Surya mengajak makan malam selepas aku kuliah. Kebetulan jam kuliahku sama dengan jam kerjanya. See? Sometimes I feel like an officer who works 9 to 5, 5 days a week.
Mobil Surya berhenti didepanku. Ia membuka kaca, dan tersenyum. Aku membuka pintu dan duduk disampingnya.
"Sorry I'm late."
"Apology accepted if you can bring me some meals in less than thirty minutes."
"Okay, tapi kalau saya bisa bawa kamu makan kurang dari tiga puluh menit, saya punya dua permintaan yang harus kamu terima."
"Okay. Deal."
Surya memacu mobilnya.
***
Dan, dua puluh menit kemudian aku sedang menikmati sepiring Spaghetti ala Carbonara. Menu favoritku di kedai pasta ini. Sementara Pizza dengan topping keju masih menunggu untuk kulahap, Surya datang dengan senyum lebar.
"Kenapa Om? Kesambet di toilet?"
"Nggak. By the way, ini belom tiga puluh menit loh.", Surya tersenyum.
"Okay, you win.", aku meletakkan piring pastaku yang masih setengah habis. "Apa permintaan Om?"
"Ehem. Pertama, kamu harus membalas semua BBM, telepon, dan SMS dari saya."
"Asal bukan broadcast message ya Om.", potongku. "Dan juga late night call."
"Deal?"
"Deal."
"Kedua, saya butuh kamu di samping saya."
"Hah?"
"Iya, I know it already. I am who you are."
"Can I know what the hell is this?"
"We still on Earth, Baby."
"Seriously, what the hell is going on?"
Surya mendekat padaku. Ia membisikkan sebuah kalimat.
"I know that you are gay. Same with me. I'm a gay. I got it from Manjam."
Aku mendesis. "Damn!"
"You got mu words, baby?"
"I'm not your baby."
"Sweety?"
"I'm not a candy."
"Sugar pie?"
"I don't do pastries."
"Sweet of my life?"
"Nggak usah alay deh Om!", aku memukul lengan Surya. Surya tergelak. Mengambil sepotong pizza dan mengunyahnya. Aku meminum mint teaku. Great dinner. Yes, a 'great dinner'. Awkward.
"Kita sudah deal loh, Ndi.", ucap Surya.
"Hah! Yeah, deal.", aku mengambil piringku dan menggulung spaghetti. Baru kali ini aku merasakan Carbonara sauce bagaikan lendir yang menyiksa.
***
Aku sedang memandang jalanan ketika Surya menggenggam tanganku. Aku tersentak. Hangat. Dan tangannya yang besar membuatku merasa terlindungi.
"Om, may I ask you something?"
"I will always answer your questions."
"Reza?"
"Yes, he was my boyfriend. But we already broke up. Because, I can't live with no attitude person."
"I have no attitude too."
"Yes, you have. Simple, you still call me Om. That's your attitude. And you have your own personality."
Aku diam. Hah, entahlah.
"We are not taken yet, eh?", tanyaku.
"If you want it, I will."
"Nggak! Enak aja! Saya kan belom tau Om siapa. Siapa tau Om itu gembong penculik anak, gembong penjudi, atau pengedar narkoba."
Surya tergelak.
"Kamu tuh ya, su'udzon sama orang. Yaudah, besok kamu libur kan? Saya ajak ke tempat usaha saya."
"Dimana?"
"Nggak jauh kok, Jakarta."
"Jakarta nggak sedekat ITB-Unpad DU, Om."
Surya mengacak rambutku. "Saya benar-benar butuh banyak kosakata untuk meladeni kamu."
"Saya bukan kamus kok."
"Kalau gitu jawab saja iya atau iya."
"Kok?"
"Iya, saya memaksa."
"Hah! Okelah. Saya ijin Mama dulu tapi."
"Harus. Kalau perlu, saya yang bilang."
"Mau bilang apa Mama, kalau tau anaknya gaul sama Om-Om?"
Surya tergelak.
***
Aku sedang membuat sandwich isi telur dan salad ketika Surya menelepon.
"Ya?"
"Pasti baru bangun."
"Maaf, anda bukan seorang peramal ulung."
Surya terkekeh.
"Saya baru keluar rumah nih. Satu jam lagi saya sampai."
"Oh, okay Om."
Telepon kedua, dari Mama.
"Ndi, jadi ke Jakarta?"
"Jadi ma. Kenapa?"
"Ooo, ngga papa. Ngecek aja. Mama pulang ntar sore. Suruh Mbak Minah beli pisang. Mama mau buat kolak buat ntar malam."
"Beres, Ma."
Aku meletakkan handphoneku dan kembali melanjutkan membuat sandwich. Suatu kebetulan kalau Surya sudah sarapan. Okay, sandwich udah disimpan di kotak makan, satu botol thai tea juga sudah siap. Aku berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian.
Satu jam kemudian aku sudah duduk disebelah Surya. Ia memakai polo shirt hitam dengan celana jeans biru dongker. Sepasang loafer membungkus kakinya. Dihidungnya kini bertengger kacamata hitam model aviator yang cocok dengan rambut spikenya. Sementara aku? Hanya memakai kaos angkatan, jaket jeans usang yang kubeli seharga sepuluh ribu dari Gedebage, jeans hitam, dan sepasang sneakers.
Surya membelokkan mobilnya menuju Pasteur. Masih pukul delapan pagi. Jalanan sudah mulai ramai.
"Om, udah sarapan?"
Surya menggeleng. Aku memutar tubuhku mengambil tas dari bangku belakang. Mengeluarkan sekotak makanan berisi sandwich.
"Nih.", aku menyodorkan sebuah sandwich. Surya mengambilnya. Tersenyum.
"Thank you."
"No problem."
"Kamu selalu sarapan ya?", gigitan pertama.
"Iyalah. Dari kecil Mama selalu masak buat sarapan. Om pasti ga pernah."
"Nggak.", kata Surya dengan mulut penuh dengan sandwich.
"Ih, padahal ya, kalau sarapan itu bisa nambah konsentrasi."
"Iya gitu?", gigitan kedua.
"Iya. Lagian ga usah ribet kok Om. Semangkuk sereal atau oatmeal juga udah cukup. And, forget a cup of coffee."
"Emang kamu biasanya sarapan apa?"
"Tergantung. Bisa ala France, ala America, atau ala kosan."
"Hah?"
"Iya, bisa aja aku sarapan scrambled egg atau omelette. Tapi kadang juga sama sereal yang cepet."
"Ooo", dan sandwichku habis dalam tiga gigitan.
"Laper apa doyan?"
"Hehe. Enak banget."
"Nih.", aku menyodorkan thai tea.
"Apaan nih?"
"Oh my God! Jangan bilang Om ga tau Thai Tea!"
Surya menggeleng polos.
"Om taunya apa sih?"
"Taunya saham yang sedang melemah apa dan kurs mata uang yang menguat apa."
Aku menoleh padanya. "Do I care?"
"You should care, because that's one of my jobs."
"One of your jobs?"
Surya mengangguk.
"Saya nggak paham dunia saham sama kurs-kursan. Jadi saya diam saja deh."
Surya mengacak rambutku.
"Kamu itu wawasannya luas. Kamu bisa jadi diplomat, sekarang kamu nunjukkin kalau kamu itu seorang cook, dan lima menit lagi mungkin kamu berbicara kayak politikus. Nyeceeeerr kemana-mana."
Aku tersenyum. "Bunglon yah?"
"Iya. Bunglon kamu tuh."
Aku tertawa.
***
Tiga jam kemudian kami sudah bermacet-macet ria di tol dalam kota. Surya hanya mengatakan akan membawaku menuju salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Senayan. Satu setengah jam kemudian, Surya sudah menginjak remnya dan membuka kunci pintu.
"Welcome to my world. One of mine."
Aku tersenyum. Surya mengalungkan tangannya ke leherku.
"Capek ya?"
"Lumayan, Om."
"Yaudah kita sekalian lunch disini ya?"
"Up to you."
Surya membawaku ke arah lift. Menekan angka lima. Dan membawaku ke sebuah restaurant bernama Bunga Rampai. Aku menoleh padanya.
"Yes, this is my world. One of mine."
"Why you asked when I give you Thai Tea?"
"Just kidding."
Aku menggembungkan pipiku.
"Ngambek.", Surya mengacak-acak rambutku. Mungkin, kalau orang lain lihat kami seprti adik kakak yang sedang menikamati akhir minggu. Seorang wanita menghampiri kami. Aku melirik name tagnya. Zulfaini, Store Manager.
"Selamat siang, Bapak.", ucapnya sambil tersenyum.
"Selamat siang. Lancar hari ini?"
"Alhamdulilah, Pak."
"Baguslah. Saya mau lunch disini. Santai saja.", ucap Surya. Mbak Zulfa mengangguk sambil tersenyum. Membawa kami ke sebuah meja di pojok dalam. Seorang waitress memberi daftar menu pada kami. Restaurant ini berkonsep Melayu. Meliputi masakan Sumatera, Kalimantan, Malaysia, Thailand Selatan, dan Singapura.
"Mau apa?"
"Nggak tau. Om aja ah yang milihin. Kan saya ga tau."
"Masa ga tau?"
"Okay, saya mau Chilli Crab, Char Kuay Teow."
"Nice choice. Saya mau Gulai Itiak saja."
"Es teh manis ya, Mbak."
Surya tersenyum.
"Kenapa Om senyum-senyum?"
"Nggak. Nggak nyangka aja saya bawa kamu kesini."
"Hah? Emang Reza kemarin ga pernah kesini?"
"Mana mau dia nemenin saya nengokin toko. Yang ada saya yang nemenin dia belanja."
Aku tertawa.
"Itu Om aja yang dikibulin. Win win solution lah."
"Yah, semoga aja sama yang satu ini saya nggak dikibulin."
"Siapa?"
"Nggak tau tuh. Dia bunglon soalnya. Capek kalau ngomong sama dia."
"Oh, jadi Om capek ngomong sama saya?"
"Loh, kamu ngerasa yah?", Surya memasang senyum jahil. "Kamu mulai suka saya ya?"
"Apa sih?", ucapku sambil mengedarkan pandangan. Ish ish, bisa-bisanya aku kejebak.
"Dimakan tuh kepitingnya. Merah kayak muka kamu sekarang."
Aku melotot. Menggembungkan pipi dan menyilangkan tangan. Surya tertawa.
trauma Ma story yg tiba-tiba Ilang ditelan bumi..
trauma Ma story yg tiba-tiba Ilang ditelan bumi..
"Bisa-bisa saya ngelarang kamu buat makan ice cream nih..", kata Surya sambil mengambil koran diatas coffee table. Aku menoleh. Mengeluarkan sendok dari mulutku.
"Who do you think you are? Ngelarang saya makan ice cream?"
"I will be your boyfriend. And I'm jealous with a box of ice cream."
Aku menggeleng. "I don't need a boyfriend. I want my ice cream."
"But, we already deal with it. Remember?"
Aku menoleh. Melotot. Huh!
"Ini masih PDKT loh, Ndi."
"Apaan?"
"Iyaa. Kamu pinter kok, jangan pura-pura ga ngerti."
"Apa sih Om?", aku bangkit dari sofaku. Menghampiri Surya. Surya meraih pinggangku, dan menjatuhkanku keatas tubuhnya.
"Saya ga akan ngelepasin kamu.", bisik Surya. Tiba-tiba bibir Surya mendarat dibibirku. Sekilas. Bukan ciuman yang lama.
"Rasanya enak.", ucap Surya sambil tertawa.
"What the hell..", desisku.
***
Surya memang mengajakku menginap di apartmentnya. Sebuah unit dengan dua kamar tidur dengan jendela menghadap daerah Kuningan. Tunggu, kami tidak tidur sekamar. Karena aku tertidur di sofa.
"Eh, udah bangun si Bunglon.", kata Surya sambil menghirup kopinya. Aku meliriknya.
"Susu. Mana susu?", tanyaku sambil membuka lemari es.
"Ngga ada susu."
"Yah? Terus?"
"Kenapa emang?"
"Saya biasa minum susu."
"Tapi saya nggak biasa."
Aku menutup pintu lemari es. Mengambil gelas, dan menekan tombol dispenser.
"Susu kan sehat. Nggak kaya kopi."
"Tapi kopi bikin melek."
"Susu bikin gampang istirahat."
"Pantesan kamu tidurnya nyenyak banget. Diciumin juga nggak bangun-bangun."
Aku tersedak. Surya tergelak.
"Om!"
"Peace."
"Pulang jam berapa nih?"
"Kamu nggak mau main dulu?"
"Nggak ah."
"Yaudah. Makan dulu tapi ya?"
"Makan apa?"
"Kamu mau makan apa?"
"Apa aja."
"Makan saya?"
"Mau banget!"
"Kamu kenapa sih sama saya ketus gitu?"
"Abisnya Om ngeselin."
"Tapi suka kan?"
"Suka. Suka pengen nyubit."
"Hahah!", Surya tertawa sambil berlalu.
"Om!"
"Ya?"
Aku memeluk Surya. Menyenderkan kepalaku ke perutnya yang sedikit buncit. "Kamu kenapa?"
Aku menggeleng. Surya mengusap rambutku.
"I miss my dad.", ucapku.
"I will be your dad, your brother, your best friend beside a boyfriend."
"Janji?"
"Janji."
***
Lanjut gan @bitter_ballen