BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

MEMOIRS II (Dimaz' classic story)+ cerpen valentine(nino's blue valentine)

1111214161762

Comments

  • @fansnyaAdele : send aja alamat fb mu di [email protected]
    ntar gw add
  • XIV

    Sesi pemotretan dilakukan di salah satu sudut pantai yg ternyata harus dituju dg berjalan kaki. Sebenarnya, untuk turun kepantai,pihak resort menyediakan fasilitas lift. Tapi sayangnya, lokasi foto kali ini dilakukan didaerah pantai sebelah resort yg untuk mencapainya kami harus menuruni undakan semen yg jumlahnya ratusan.
    Aku cukup bangga dg kemampuan fisikku. Tapi saat sampai dibawah, ternyata aku lumayan ngos-ngosan juga. Bahkan sedikit gemetar pada bagian kakiku. Gimana para kru yg kudu bawa peralatan ya?pikirku lagi. Dan herannya, kulihat beberapa dari mereka justru tertawa santai. Apa aku sudah harus merasa tua? pikirku kecut.
    Dan Jeffry. . . . ,tampak cuek seperti biasanya. Hari ini dia terlihat casual dg celana pendek dan t-shirt tanpa lengan. Dia memakai kaca mata yg membuatnya terlihat gagah. Meski aku enggan untuk mengakui, tapi kunyuk satu itu memang punya aura yg berbeda dg yg orang lain. Bahkan dari sesama model. Dia memang memiliki pesona seorang bintang. Bersinar, jauh dan berbeda. Hebatnya, bahasa tubuhnya juga jelas dan bisa berubah sesuai dg kehendaknya. Ia bisa terlihat seperti seorang bintang yg profesional dan bersinar seperti sekarang, hangat dan menggoda sebagai seorang kekasih seperti semalam, acuh, cuek dan semaunya sendiri seperti pagelaran busana kemarin, atau juga ramah dan santai seperti saat tadi dia disapa oleh beberapa remaja yg ngaku ngefans dan meminta foto bersamanya waktu sarapan tadi.
    Tak kulihat Whitney bersamanya. Tapi aku memilih untuk diam saja. Akan lebih baik kalau aku tak berkomentar apapun. Setidaknya aku bisa sedikit terbebas dari tingkahnya yg menyebalkan. Akan lebih baik kalau aku konsentrasi dg tugasku.
    Dan ternyata pantai Namoss ini benar-benar lokasi yg bagus untuk pemotretan. Aku bisa melihat pasir pantainya yg putih dan bersih dari sampah plastik. Yg ada hanya sampah dedaunan kering yg berasal dari pepohonan yg ada disekitarnya. Air lautnya yg jernih tidak menyembunyikan dasar dangkalnya yg jelas membayang. Beberapa batu karang yg besar tampak menonjol dg teksturnya yg terlihat jelas dan kasar.
    "Ayo Maz. Dimake up dulu," panggil Mbak Rasti yg jadi make up artist kali ini. Kulihat Jeffry jg telah ditangani oleh yg lain. Akupun mendekat.
    Ruang ganti kali ini ada dibalik batu-batu karang besar itu. Saat aku telah selesai berganti baju dan keluar, kulihat Jeffry telah mulai diambil fotonya. Dan baru saat itulah aku baru paham dg konsep hitam putih yg Mas Arya katakan kemarin. Kulihat make up Jeffry dibuat sedikit agak tajam dg eye liner lumayan tebal dan tatanan rambut yg acak. Bajunya jg mencerminkan anak muda yg rebellious, bebas, liar namun toh tetap menawan dan jantan. Celana jeans hitamnya robek-robek, dg t-shirt yg juga terkoyak sehingga menampakkan sebagian besar tubuh bagian atasnya. Jeffry benar-benar bisa menyatu dg karakter yg ia wakili. Pantas dia menjadi topik hangat didunia entertainment akhir-akhir ini. Berbeda dgku yg terkesan rapi, kalem dan mewakili citra anak baik-baik.
    Mungkin memang itu yg mereka pikirkan saat melihatku, pikirku kecut. Jujur, kadang aku ingin bisa memiliki sisi liar seperti yg Jeffry miliki, meski aku tak yakin aku menginginkan menjadi super liar seperti cowok sinting itu.
    "Dimaz! Giliranmu! Jeffry ganti bajunya!" perintah Mas Arya, menyadarkanku dari lamunan singkat ku. Aku segera mendekatinya.
    "Gak perlu terpesona seperti itu melihatku," bisik Jeffry pelan saat melewatiku.
    "You wish!" balasku jengkel.
    Pemotretan berjalan lancar. Kami berganti baju beberapa kali dg konsep yg sama. Jeffry mewakili sisi liar dari anak muda yg pemberontak yg bebas dan sedikit buas. Sementara aku mewakili sosok anak muda yg baik-baik dan polos. Kami juga diambil foto bersama dlm shoot yg lumayan banyak. Aku sempat dibuat salut oleh kemampuan Jeffry yg bisa begitu menyatu dg karakter yg diinginkan oleh Mas Arya, juga dg baju yg dia kenakan. Dia bahkan memberiku sedikit saran bagaimana harus membaur dalam tema kali ini. Tak heran dia mampu, karena setahuku, dia telah merambah ke dunia akting. Dan ku dengar, dia mendapat review yg bagus dari beberapa orang kritikus film. Meski aku tak suka mengakuinya, aku berterimakasih atas kebaikannya berbagi tips.
    Mas Arya tadi juga mengambil beberapa foto Jeffry dalam pose topless. Dan sekali lagi, meski aku sangat tidak suka mengakuinya, dia melakukannya dengan baik. Jeffry sempat bertanya kenapa aku juga tidak diambil foto setengah telanjangnya. Mas Arya hanya tertawa untuk menjawabnya, sementara aku pura-pura tak dengar saja. Kalau sampai Ayah melihat fotoku dalam pose seperti Jeffry tadi, mungkin aku tak akan ada lagi didunia ini, pikirku kecut.
    Pemotretan selesai saat menjelang sore. Untungnya, cuaca dan laut hari ini sedang bersahabat. Karena kalau saja hari ini laut sedang pasang besar, mungkin kami harus pindah ke lokasi lain. Para kru segera memberesi peralatan. Aku juga telah membersihkan make up ku dan berganti bajuku sendiri.
    "Hei Maz!!" Jeffry berteriak memanggilku. Aku yg sudah hendak pergi jadi urung. Aku tak menjawab, tapi membiarkannya mendekat. "Listen, I need a favour!" katanya pelan hingga hanya aku yg mendengar.
    Aku mengangkat alis, apalagi saat melihat kamera nicon yg ia pegang. Tapi Jeffry hanya tersenyum, menunggu semua kru naik ke tangga.
    "Bisa bantu aku ambil beberapa gambarku? Aku memerlukannya untuk koleksi pribadi," katanya saat semua orang telah menghilang dibalik rimbunnya pepohonan.
    "Kenapa gak minta sama Mas Arya tadi?!" tanyaku heran.
    "Kan udah bilang tadi. Ko-lek-si Pri-ba-di!" ujar Jeffry lagi sembari menekankan tiap suku katanya. Aku yang merasa sedikit berhutang karena kebaikannya tadi akhirnya hanya mengangkat bahu. Jeffry nyengir senang dan menyerahkan kameranya padaku.
    "Tapi jangan salahin aku kalo nanti hasilnya jelek!" kataku pelan sembari mulai mengutak-atik tombol kameranya.
    " Jangan khawatir!" kata Jeffry yang melangkah tak jauh dariku.
    "Mau diambil fotonya dima. . .," aku tak bisa menuntaskan kalimatku saat kulihat Jeffry telah membuka seluruh pakaiannya dan meletakkannya begitu saja dipantai. Lalu dengan santai dia melenggang dan menceburkan diri ke air. Dasar exhibionist sinting!! rutukku dalam hati dengan wajah yang sontan memanas. Emang dia nggak takut kalo ada orang lain yang mungkin kesini? Coba kalo ada wartawan yang tiba-tiba aja nongol. Bisa habis karirnya kalau mereka melihatnya polos begitu.
    Eh, atau mungkin tambah ngetop ya?!
    Sambil ngedumel aku mengambil bajunya dan menempatkannya agak jauh dari pantai, mencegah agar nantinya tidak basah.
    "Maz. . . , ayo mulai!" seru Jeffry dan kulihat dia berdiri didalam air yang hanya setinggi pinggangnya. Tapi tetap saja, saat air lautnya sedikit menyusut, aku bisa melihat bagian pubik hingga kejantannannya yg bergerak-gerak di air.
    Sial!! Ngapain aku tadi mau sih?!! gerundengku dalam hati, jengkel. Bagaimana aku bisa melakukannya kalau mataku justru fokus ke bagian tengah tubuhnya yang menggoda?
    "Maz!!" panggil Jeffry lagi.
    "Aku ogah ambil foto porno!" balasku keras.
    "Lha siapa juga yang mau difoto frontal?! Ambil aja dari bagian sini!" kata Jeffry dan menunjuk kebagian pubiknya keatas. "Kaya foto-foto seksi dimajalah dewasa gitu lho Maz!" ujarnya lagi dan. . .
    SIAL!!!
    Dia melangkah keluar dari air!
    "Okay!!" cegahku agar dia tidak terus keluar dari air dalam keadaan polos begitu. Bisa berabe ntar. "Kamu disitu aja!" kataku dan mempersiapkan kamera.
    Aku mengambil beberapa fotonya dalam pose-pose yang aku yakin bakal bikin para fans ceweknya ngiler. Sengaja menyembunyikan bagian vitalnya, namun juga memberinya pandangan sekilas yang pasti membuat mereka berteriak untuk meminta lebih. Dan sekali lagi, dengan tak rela harus kukatakan kalau kunyuk satu itu benar-benar model yang hebat. Ekspresinya tajam dan tepat.
    Bahkan aku dibuat salut oleh foto yang tadi kuambil. Saat kulihat hasilnya, aku yakin pasti akan ada kehebohan besar saat gambar-gambar ini beredar.
    "Kamu nggak renang?" tanya Jefrry yang tahu-tahu ada disebelahku. Aku berusaha untuk tidak melihatnya karena dia masih dalam keadaan polos. Kupusatkan saja perhatianku pada kamera dan hasil jepretanku.
    "Males! Kamu udah selesai kan? Pakai bajumu. Kita naik! Ntar keburu gelap!" kataku tanpa mengalihkan mataku dari screen kamera.
    Jeffry tak menjawab, tapi dia menjauh kearah letak bajunya yang aku taruh disebelah batu karang besar.
    "Gimana? Bagus?" tanyanya dan mendekat kembali.
    "Lumayan! Kayaknya aku punya bakat jadi photographer nih!" tukasku dan menyerahkan kamera itu padanya.
    Sejenak dia melihat hasil-hasil jepretanku. "Ini sih object fotonya aja yang bagus. Foto amatiran gini emang bergantung pada object doang!"
    "Narsis sinting!!" umpatku pelan dan menyambar kamera itu darinya. "Kamu nggak takut kalau nanti gambarmu ini bocor?" tanyaku dan mulai melangkah menaiki tangga.
    "Kan sudah kubilang itu untuk koleksi pribadi!" tukasnya dan mengikutiku.
    "Tapi kan bisa aja bocor!" ujarku ngeyel. "Luna ma Ariel aja bisa ketahuan!"
    "Ya biarin! Toh gak frontal ini!" sahutnya cuek. "Kamu nggak mau foto juga?" tanyanya.
    "Nggak! Dari tadi juga udah foto-fotoan," jawabku ketus.
    "Duh!!! Nyolot amat sih?! Emang nggak bisa kamu ngomong dengan baik kalo ama aku ya?" tanya Jeffry heran.
    "Lha kamu juga yang gak pernah bersikap bener!" sahutku dan terus melangkah cuek.
    "Nggak bener? Kapan juga aku pernah salahin atau ngerebut hakmu?" gerutu Jeffry membuatku berhenti melangkah. Dengan geram aku menatapnya. Tapi cowok sinting itu dengan santai melangkah menaiki undakan, menyusulku yang berada sekitar sepuluh undakan diatasnya.
    "Jadi kamu bener-bener gak pernah ngerasa ya?" tanyaku lagi.
    "Lho? Ngerasa apa?" tanyanya dengan nada tanpa dosa. Dengan cueknya dia melewatiku yang jelas-jelas melotot padanya.
    "Pertemuan pertama, kau menyebutku bodoh!" tukasku dan menjejerinya.
    "Sekali lagi kutegaskan, pendapatmu yang kuanggap bodoh! Bukan kamu!"
    "Pertemuan kedua, kau sengaja menyembunyikan syal yang harusnya aku pakai di show sehingga aku kelimpungan!"
    "Kan aku sudah bilang kalau ijin sudah kudapatkan dari pemilik sah syal itu. Plus, syal itu sudah kembali padamu, tepat sebelum kamu tampil!" sangkalnya santai.
    "Tapi. . . ,"
    "Dan! Kau menabrakku sesudahnya," potong Jeffry membuatku semakin merasa kesal.
    "Pertemuan ketiga, kau nyaris berhubungan sex didepan mataku dengan Whitney!"
    "Tepat sekali!" tegas Jeffry dengan senyum sinis. "Aku melakukannya dengan Whitney! Orang asing yang menjadi turis dinegara ini. Bukan temanmu, bukan saudaramu bukan pula pacarmu. Jadi kenapa harus dipermasalahkan? Plus, kau tidak harus menyaksikannya. Kau punya hak penuh untuk pergi meninggalkan kami kan? And you did! So what's the problem?!" tanya Jeffry dengan kedua tangan terangkat sementara senyum mengejeknya kembali tersenyum.
    Telingaku berdenging keras karena marah. Seharusnya aku tahu kalau aku tak akan pernah menang jika berdebat dengan kunyuk satu ini. "Fuck You!" desisku geram dan dengan kesal mendorong dadanya!
    Dan semestinya aku sadar bahwa kami sedang berada diundakan menuju pantai yg satu sisi adalah bebatuan karang, sementara yg lain adalah lereng karang yang terjal dan curam dengan rimbunnya pepohonan kecil dan tanaman merambat. Aku tak pernah ada maksud untuk melukai Jeffry, tapi waktu itu aku telah melakukannya.
    Karena doronganku yang lumayan keras, keseimbangan Jeffry goyah dan dia terpelanting kearah rimbunnya pohon-pohon kecil dan tanaman rambat yg tumbuh dijurang karang. Tubuhnya jatuh bergulingan diiringi oleh teriakan kerasnya yang kaget.
    "JEFFRY!!!!!!" seruku panik dan memburunya!
  • Argh kepotong critanya hikz hikz
    kudu nunggu lg deh lanjutannya
  • Baguss hhhahahahha
  • mªªªªñÑñ†††ªªªªªPP. SurªªªªñÑñ†††ªªªªªP...lanjutkan!! lebih cepat lebih baik!! pro rakyat!!!
  • Oh No !! Dimaz bakalan jd budaknya Jefry tuh, krn dia udh bikin Jefry cidera.. :( Lanjutin ! Lanjutin !
  • @jay dody: Konfliknya makin oke. Dimas jadi punya rasa bersalah dan mungkin mengubah sikapnya. *sok prediksi* kerenlah pokoknya!
  • Shit!
    Nape musti kecelakaan sih? Yg da nti timbul rasa salah n pasti bantuin ngerawat! Aaaaaaaa...............
  • Nanggung jay,
  • ..iya kak, aq nino tama :)
    lanjutiinn kak...
  • Tambah gregetan.. :D baca ceritanya.
  • keren alur ceritanya.... ditunggu kelanjutannya....
  • XV

    Kulihat Jeffry berpegangan pada sebuah batang pohon yg berukuran lumayan besar. Dan untungnya, ada sebuah karang besar yang menjorok keluar dengan permukaan yang cukup landai tak jauh dibawahnya.
    "JEFF!!!" panggilku cemas.
    Jeffry melepas pegangannya pada batang pohon itu sehingga tubuhnya merosot pada batu karang yang agak landai itu. Dengan berhati-hati aku segera mendekatinya. Meski kering, tanah disini cukup curam kemiringannya. Kalau sampai aku terpeleset, semua akan jadi bertambah runyam.
    "Jeffry!! Kamu nggak apa-apa?" tanyaku cemas dan berjongkok untuk memeriksanya.
    "You think?!" erangnya geram. Perlahan dia mendudukkan dirinya. Kulihat bagian belakang bajunya robek dan mengeluarkan darah. Punggungnya terluka. Dan juga kakinya tampak baret-baret. Dia meringis menahan sakit. Pasti perih sekali. Ya Tuhan!! Apa yang telah kulakukan?!
    "Kita harus kembali ke undakan," kataku cepat dan membantunya bangkit. Kusampirkan satu lengannya kebahuku. Jeffry mendesis kesakitan saat aku menegakkannya, tapi tidak protes.
    "Terimakasih sudah melukaiku. Ini yang kedua setelah kau menabrakku. So what next? Kau akan melemparku keluar pesawat?" tanyanya dengan rahang terkatup menahan sakitnya.
    "A-a-aku g-gak. . . "
    "Shut up dan kembalikan saja aku pada peradaban normal! Aku masih ingin hidup!" desisnya dingin tanpa menungguku membela diri. Aku tak bisa bereaksi karenanya. Dadaku masih berdebar kencang karena kejadian tadi. Dan syukur pada Tuhan, tebing itu tidak lurus kebawah. Karena kalau sampai Jeffry jatuh pada batu karang disana, bisa dipastikan kalau dia. . . .
    Aku bergidik ngeri membayangkannya.
    "M-maaf," gumamku pelan dan dengan penyesalan yang dalam.
    Tak ada sahutan dari Jeffry dan kami pun melangkah kembali ke undakan semen itu dengan berhati-hati. Jeffry yang terpincang mengikuti papahanku.
    Perjalanan keatas kami lalui dalam diam. Kalau tadi pada saat turun aku sudah kepayahan, kini pada waktu naik aku benar-benar harus berusaha mati-matian. Kali ini bebanku ditambah dengan membantu Jeffry, juga sedikit lelah akibat pemotretan tadi. Aku benar-benar nyaris tak mampu untuk melangkah. Tapi aku harus menguatkan diri karena kondisi Jeffry. Dia harus segera mendapatkan perawatan untuk luka-lukanya. Jadi dengan susah payah, kami terus melangkah sambil sesekali berhenti untuk mengambil nafas .
    Setelah beberapa lama aku sudah merasa akan pingsan. Ulu hatiku terasa nyeri. Aku mencoba mengacuhkannya karena tahu kalau kami harus segera sampai. Apa lagi saat kulihat Jeffry yang kupapah. Wajahnya mulai memucat sehingga aku semakin merasa cemas. Kugigit bibirku untuk menahan diri meski aku juga merasa kepayahan dan hampir pingsan. Kami harus segera sampai diatas, batinku dan kembali melangkah. Rasa-rasanya mustahil kalau kami bisa sampai kesana. Tadi siang, perjalanan kebawah sepertinya hanya memerlukan waktu beberapa menit, maksimal mungkin setengah jam jika ditempuh dengan santai. Tapi sekarang saat naik, terasa sudah berjam-jam kami melakukannya. Udara yang semakin terasa dingin dan suasana yang semakin gelap membuatku bergidik ketakutan. Apa jadinya kalau kami justru terjebak ditempat ini? Aku menyesal kenapa tadi aku tak membawa ponselku?! Tapi. . . . memangnya disini ada sinyal ya?
    Saat aku sudah hampir menyerah, kudengar panggilan beberapa orang diatas kami. Kulihat Mas Arya dan yang lain segera turun menyosongsong kami dengan tergesa. Belum pernah aku merasa selega ini melihat orang lain.
    "Apa yang terjadi Jeff?" tanya Mas Arya yang memeriksa Jeffry dengan matanya. Jelas dia tahu kalau kami bukannya berpelukan dalam konteks romantis.
    "Tadi aku tergelincir Ya!" kata Jeffry sebelum aku bisa menjawabnya. Dia segera melepas pegangannya padaku dan ganti menyampirkan lengannya pada Mas Arya. Anehnya, meski aku sudah kepayahan, aku ingin tangan Jeffry tetap dibahuku. Aku tetap ingin menjadi orang yang membawanya keatas. Ada perasaan tak enak yang kurasakan saat melihat dia dipapah oleh Mas Arya. Aku merasa bahwa akulah yang seharusnya melakukan itu. Aku yang menyebabkannya terluka.
    Penyesalan didadaku semakin terasa besar dan memberat.
    Yang lain cepat-cepat memanggil dokter. Dan Jeffry pun ditangani segera setelah dokter itu datang. Dokter itu juga memeriksaku. Tentu saja, komentarnya hanya terdiri dari dua kata. Kelelahan dan kaget. Jadi aku hanya butuh istirahat dan minum multivitamin yang dia berikan. Meski tubuhku terasa sakit semua dan harus beristirahat, sebenarnya aku ingin melihat keadaan Jeffry. Tapi tentu saja Mas Arya dan yang lain memaksaku untuk istirahat saja karena besok pagi kami akan kembali ke Jakarta, sehingga aku tak punya pilihan lain. Aku mencoba memejamkan mata. Kupikir akan sulit, karena kekhawatiranku akan keadaan Jeffry tak juga hilang, meski tadi dokter sudah meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja. Tapi nyatanya, karena kelelahan dan pengaruh obat, aku terlelap dalam hitungan menit.

    Pagi harinya aku terbangun dengan kaki yang masih terasa nyeri, meski tubuhku sudah agak mendingan. Setidaknya kelelahan kemarin sedikit terbayar oleh tidur awal semalam. Hingga kemudian aku teringat pada Jeffry. Aku sontan bangun. Dengan cepat aku mandi dan mengepak barang-barangku. Selesai, aku langsung menuju kamar Jeffry.
    Pintunya terbuka. Aku melongokkan kepalaku dan melihatnya sedang mengemasi barang-barangnya. Jalannya masih agak terpincang, tapi selebihnya dia terlihat baik-baik saja. Dia memakai celana panjang sehingga aku tak bisa melihat bagaimana luka disana. Tapi pada tangannya, aku bisa melihat beberapa perban yang direkatkan.
    Saat melihatku, dia menghentikan apa yang dilakukannya tapi tak mengatakan apapun. Kami saling menatap sejenak dalam diam.
    "Apa?" tanya Jeffry akhirnya, memecah keheningan. "Punya cara lain untuk membunuhku yang akan kau coba?" tanyanya datar.
    "Aku nggak pernah punya niat untuk membunuhmu!" tukasku cepat. "Apa istilah itu tidak berlebihan?" gerutuku lagi. Pilihan kata-katanya membuatku terdengar seperti seorang psikopat sadis.
    "Menabrakku dengan mobil, lalu mendorongku dari tebing. Hhmmm. . . . ," Jeffry berlagak berpikir keras, "Kalau itu perwujudan rasa cintamu padaku, mungkin kau harus berfikir ulang akan apa makna cinta sebenarnya Maz!" simpulnya singkat. Tentu saja aku tak terima.
    "Aku nggak. ."
    "Cemburu itu wajar! Tapi kan tidak harus dilampiaskan dengan cara yang sadis dan mengerikan bukan? Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik," cerocos Jeffry memotong kalimatku.
    Aku ternganga tanpa kata saking kagetnya. Ngoceh soal apa sih dia?! Apa kemarin kepalanya terbentur ke batu sehingga dia gegar otak gini? Atau mungkin sudah sinting beneran?
    "Aku gak nyangka lho, dibalik wajah kalem dan alimmu itu, ternyata kau orang yang cukup menakutkan," lanjutnya lagi seolah-olah dia sedang memberitahuku kalau satu tambah satu itu ada dua. Seakan-akan dia cuma sedang membicarakan hal umum yang anak SD saja bisa mengerti. Bukannya menjelaskan tentang kesimpulannya yang jelas-jelas absurd dan sepihak itu.
    "Kau sinting!" gumamku tak percaya.
    "Hei! Aku bukan orang yang berusaha membunuh orang yang kusukai dengan mendorongnya dari tebing karena cemburu," kata Jeffry sembari kembali membereskan barangnya.
    "AKU NGGAK SU. . . .," aku langsung sadar kalau aku hampir saja berteriak kesal. "Aku nggak suka denganmu," desisku dengan rahang terkatup geram. Mungkin aku tak harus menyesal dengan kejadian kemarin, pikirku lagi jengkel.
    Jeffry telah selesai mengepak barangnya dan kini berjalan terpincang mendekatiku sambil menyeret kopernya. Lalu berhenti persis didepanku. "Menurutku kau suka padaku. Kau cemburu karena aku bercumbu dengan Whitney didepan mukamu. Kau suka sekali padaku, tapi kau takut untuk mengakuinya. Karena aku tahu bagaimana matamu memperhatikanku. Terlebih lagi saat aku telanjang. Kau menyukainya sampai-sampai kau tak tahan untuk menyentuhku. Dan kau marah saat ini karena aku telah mengatakan tentang sebuah fakta yang kau sendiri, tak mau mengakuinya. And you know what. . . ?" dia mendekatkan bibirnya ketelingaku sementara aku tanpa sadar menahan nafas. "Tadinya aku juga menyukaimu," bisiknya dan tanpa kuduga dia mengulum bagian bawah telingaku dengan bibirnya yang lembut, membuatku sontan menarik wajahku yang telah memerah darinya. Mataku terbelalak tak percaya.
    Jeffry tersenyum sinis dan kembali berdiri tegak. "Tapi sayang sekali, aku tak tertarik untuk berhubungan dengan orang yang sakit jiwa," lanjutnya tenang lalu dia mengambil kameranya yang dari tadi kupegang karena kemarin belum sempat kukembalikan padanya. "Dan ini milikku! Good bye Dimaz!" katanya singkat lalu pergi meninggalkanku yang terpaku disana. Terlalu bingung untuk bereaksi.
    Butuh beberapa waktu bagiku sampai akhirnya aku bisa kembali bernafas normal dan memahami apa yang dia katakan tadi. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.
    "Tidak! Aku tidak menyukainya!" gumamku berulang-ulang. Tapi bahkan aku sendiri mulai ragu akan kebenaran kata-kataku itu. Penyangkalanku terdengar lemah dan sangat tidak meyakinkan. Bahkan bagi diriku sendiri.
    "Tidak. . . . ," gumamku lagi.
  • XV

    Kulihat Jeffry berpegangan pada sebuah batang pohon yg berukuran lumayan besar. Dan untungnya, ada sebuah karang besar yang menjorok keluar dengan permukaan yang cukup landai tak jauh dibawahnya.
    "JEFF!!!" panggilku cemas.
    Jeffry melepas pegangannya pada batang pohon itu sehingga tubuhnya merosot pada batu karang yang agak landai itu. Dengan berhati-hati aku segera mendekatinya. Meski kering, tanah disini cukup curam kemiringannya. Kalau sampai aku terpeleset, semua akan jadi bertambah runyam.
    "Jeffry!! Kamu nggak apa-apa?" tanyaku cemas dan berjongkok untuk memeriksanya.
    "You think?!" erangnya geram. Perlahan dia mendudukkan dirinya. Kulihat bagian belakang bajunya robek dan mengeluarkan darah. Punggungnya terluka. Dan juga kakinya tampak baret-baret. Dia meringis menahan sakit. Pasti perih sekali. Ya Tuhan!! Apa yang telah kulakukan?!
    "Kita harus kembali ke undakan," kataku cepat dan membantunya bangkit. Kusampirkan satu lengannya kebahuku. Jeffry mendesis kesakitan saat aku menegakkannya, tapi tidak protes.
    "Terimakasih sudah melukaiku. Ini yang kedua setelah kau menabrakku. So what next? Kau akan melemparku keluar pesawat?" tanyanya dengan rahang terkatup menahan sakitnya.
    "A-a-aku g-gak. . . "
    "Shut up dan kembalikan saja aku pada peradaban normal! Aku masih ingin hidup!" desisnya dingin tanpa menungguku membela diri. Aku tak bisa bereaksi karenanya. Dadaku masih berdebar kencang karena kejadian tadi. Dan syukur pada Tuhan, tebing itu tidak lurus kebawah. Karena kalau sampai Jeffry jatuh pada batu karang disana, bisa dipastikan kalau dia. . . .
    Aku bergidik ngeri membayangkannya.
    "M-maaf," gumamku pelan dan dengan penyesalan yang dalam.
    Tak ada sahutan dari Jeffry dan kami pun melangkah kembali ke undakan semen itu dengan berhati-hati. Jeffry yang terpincang mengikuti papahanku.
    Perjalanan keatas kami lalui dalam diam. Kalau tadi pada saat turun aku sudah kepayahan, kini pada waktu naik aku benar-benar harus berusaha mati-matian. Kali ini bebanku ditambah dengan membantu Jeffry, juga sedikit lelah akibat pemotretan tadi. Aku benar-benar nyaris tak mampu untuk melangkah. Tapi aku harus menguatkan diri karena kondisi Jeffry. Dia harus segera mendapatkan perawatan untuk luka-lukanya. Jadi dengan susah payah, kami terus melangkah sambil sesekali berhenti untuk mengambil nafas .
    Setelah beberapa lama aku sudah merasa akan pingsan. Ulu hatiku terasa nyeri. Aku mencoba mengacuhkannya karena tahu kalau kami harus segera sampai. Apa lagi saat kulihat Jeffry yang kupapah. Wajahnya mulai memucat sehingga aku semakin merasa cemas. Kugigit bibirku untuk menahan diri meski aku juga merasa kepayahan dan hampir pingsan. Kami harus segera sampai diatas, batinku dan kembali melangkah. Rasa-rasanya mustahil kalau kami bisa sampai kesana. Tadi siang, perjalanan kebawah sepertinya hanya memerlukan waktu beberapa menit, maksimal mungkin setengah jam jika ditempuh dengan santai. Tapi sekarang saat naik, terasa sudah berjam-jam kami melakukannya. Udara yang semakin terasa dingin dan suasana yang semakin gelap membuatku bergidik ketakutan. Apa jadinya kalau kami justru terjebak ditempat ini? Aku menyesal kenapa tadi aku tak membawa ponselku?! Tapi. . . . memangnya disini ada sinyal ya?
    Saat aku sudah hampir menyerah, kudengar panggilan beberapa orang diatas kami. Kulihat Mas Arya dan yang lain segera turun menyosongsong kami dengan tergesa. Belum pernah aku merasa selega ini melihat orang lain.
    "Apa yang terjadi Jeff?" tanya Mas Arya yang memeriksa Jeffry dengan matanya. Jelas dia tahu kalau kami bukannya berpelukan dalam konteks romantis.
    "Tadi aku tergelincir Ya!" kata Jeffry sebelum aku bisa menjawabnya. Dia segera melepas pegangannya padaku dan ganti menyampirkan lengannya pada Mas Arya. Anehnya, meski aku sudah kepayahan, aku ingin tangan Jeffry tetap dibahuku. Aku tetap ingin menjadi orang yang membawanya keatas. Ada perasaan tak enak yang kurasakan saat melihat dia dipapah oleh Mas Arya. Aku merasa bahwa akulah yang seharusnya melakukan itu. Aku yang menyebabkannya terluka.
    Penyesalan didadaku semakin terasa besar dan memberat.
    Yang lain cepat-cepat memanggil dokter. Dan Jeffry pun ditangani segera setelah dokter itu datang. Dokter itu juga memeriksaku. Tentu saja, komentarnya hanya terdiri dari dua kata. Kelelahan dan kaget. Jadi aku hanya butuh istirahat dan minum multivitamin yang dia berikan. Meski tubuhku terasa sakit semua dan harus beristirahat, sebenarnya aku ingin melihat keadaan Jeffry. Tapi tentu saja Mas Arya dan yang lain memaksaku untuk istirahat saja karena besok pagi kami akan kembali ke Jakarta, sehingga aku tak punya pilihan lain. Aku mencoba memejamkan mata. Kupikir akan sulit, karena kekhawatiranku akan keadaan Jeffry tak juga hilang, meski tadi dokter sudah meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja. Tapi nyatanya, karena kelelahan dan pengaruh obat, aku terlelap dalam hitungan menit.

    Pagi harinya aku terbangun dengan kaki yang masih terasa nyeri, meski tubuhku sudah agak mendingan. Setidaknya kelelahan kemarin sedikit terbayar oleh tidur awal semalam. Hingga kemudian aku teringat pada Jeffry. Aku sontan bangun. Dengan cepat aku mandi dan mengepak barang-barangku. Selesai, aku langsung menuju kamar Jeffry.
    Pintunya terbuka. Aku melongokkan kepalaku dan melihatnya sedang mengemasi barang-barangnya. Jalannya masih agak terpincang, tapi selebihnya dia terlihat baik-baik saja. Dia memakai celana panjang sehingga aku tak bisa melihat bagaimana luka disana. Tapi pada tangannya, aku bisa melihat beberapa perban yang direkatkan.
    Saat melihatku, dia menghentikan apa yang dilakukannya tapi tak mengatakan apapun. Kami saling menatap sejenak dalam diam.
    "Apa?" tanya Jeffry akhirnya, memecah keheningan. "Punya cara lain untuk membunuhku yang akan kau coba?" tanyanya datar.
    "Aku nggak pernah punya niat untuk membunuhmu!" tukasku cepat. "Apa istilah itu tidak berlebihan?" gerutuku lagi. Pilihan kata-katanya membuatku terdengar seperti seorang psikopat sadis.
    "Menabrakku dengan mobil, lalu mendorongku dari tebing. Hhmmm. . . . ," Jeffry berlagak berpikir keras, "Kalau itu perwujudan rasa cintamu padaku, mungkin kau harus berfikir ulang akan apa makna cinta sebenarnya Maz!" simpulnya singkat. Tentu saja aku tak terima.
    "Aku nggak. ."
    "Cemburu itu wajar! Tapi kan tidak harus dilampiaskan dengan cara yang sadis dan mengerikan bukan? Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik," cerocos Jeffry memotong kalimatku.
    Aku ternganga tanpa kata saking kagetnya. Ngoceh soal apa sih dia?! Apa kemarin kepalanya terbentur ke batu sehingga dia gegar otak gini? Atau mungkin sudah sinting beneran?
    "Aku gak nyangka lho, dibalik wajah kalem dan alimmu itu, ternyata kau orang yang cukup menakutkan," lanjutnya lagi seolah-olah dia sedang memberitahuku kalau satu tambah satu itu ada dua. Seakan-akan dia cuma sedang membicarakan hal umum yang anak SD saja bisa mengerti. Bukannya menjelaskan tentang kesimpulannya yang jelas-jelas absurd dan sepihak itu.
    "Kau sinting!" gumamku tak percaya.
    "Hei! Aku bukan orang yang berusaha membunuh orang yang kusukai dengan mendorongnya dari tebing karena cemburu," kata Jeffry sembari kembali membereskan barangnya.
    "AKU NGGAK SU. . . .," aku langsung sadar kalau aku hampir saja berteriak kesal. "Aku nggak suka denganmu," desisku dengan rahang terkatup geram. Mungkin aku tak harus menyesal dengan kejadian kemarin, pikirku lagi jengkel.
    Jeffry telah selesai mengepak barangnya dan kini berjalan terpincang mendekatiku sambil menyeret kopernya. Lalu berhenti persis didepanku. "Menurutku kau suka padaku. Kau cemburu karena aku bercumbu dengan Whitney didepan mukamu. Kau suka sekali padaku, tapi kau takut untuk mengakuinya. Karena aku tahu bagaimana matamu memperhatikanku. Terlebih lagi saat aku telanjang. Kau menyukainya sampai-sampai kau tak tahan untuk menyentuhku. Dan kau marah saat ini karena aku telah mengatakan tentang sebuah fakta yang kau sendiri, tak mau mengakuinya. And you know what. . . ?" dia mendekatkan bibirnya ketelingaku sementara aku tanpa sadar menahan nafas. "Tadinya aku juga menyukaimu," bisiknya dan tanpa kuduga dia mengulum bagian bawah telingaku dengan bibirnya yang lembut, membuatku sontan menarik wajahku yang telah memerah darinya. Mataku terbelalak tak percaya.
    Jeffry tersenyum sinis dan kembali berdiri tegak. "Tapi sayang sekali, aku tak tertarik untuk berhubungan dengan orang yang sakit jiwa," lanjutnya tenang lalu dia mengambil kameranya yang dari tadi kupegang karena kemarin belum sempat kukembalikan padanya. "Dan ini milikku! Good bye Dimaz!" katanya singkat lalu pergi meninggalkanku yang terpaku disana. Terlalu bingung untuk bereaksi.
    Butuh beberapa waktu bagiku sampai akhirnya aku bisa kembali bernafas normal dan memahami apa yang dia katakan tadi. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.
    "Tidak! Aku tidak menyukainya!" gumamku berulang-ulang. Tapi bahkan aku sendiri mulai ragu akan kebenaran kata-kataku itu. Penyangkalanku terdengar lemah dan sangat tidak meyakinkan. Bahkan bagi diriku sendiri.
    "Tidak. . . . ," gumamku lagi.
  • next bang.....i want rafly i want rafly back *demo*
Sign In or Register to comment.