It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Iya bener deh chapter ini, paling menyentuh, gue jadi ragu sama sahabat2 gue yg katanya saling mendukung, emang sih udah mereka buktikan, tp klo gue ngaku bahwa gue BI, gue gak yakin mereka mau temenan lagi, ARRRGH susah ya jadi kita-kita
Iya bener deh chapter ini, paling menyentuh, gue jadi ragu sama sahabat2 gue yg katanya saling mendukung, emang sih udah mereka buktikan, tp klo gue ngaku bahwa gue BI, gue gak yakin mereka mau temenan lagi, ARRRGH susah ya jadi kita-kita
heheheh...
ditunggu lanjutannya
@halaah : kenapa memang kenalkah? pasti nggak lah ya kan bukan nama asli, hehehe
ditunggu ya cerita barunya :D
Hari ini perasaanku masih sama dengan perasaanku selama satu minggu ini. Setiap kali aku pulang di sore hari, rasanya selalu hampa. Perasaan ini muncul karena setiap hari selama satu minggu, bisa didibilang sama sekali aku tidak berbicara dengan Daniel. Kalaupun berbicara pasti aku yang memulai dan diakhiri dengan satu jawaban singkat yang keluar dari mulut Daniel. Selanjutnya hanya kecanggungan yang mengisi ruang di antara aku dan Daniel. Persahabatanku dengannya mungkin telah hancur, dan akulah yang menghancurkannya. Terkadang masih terasa rasa kecewa di hati, sebab aku masih berharap Daniel sebagai sahabat terbaikku mau menerima aku apa adanya seperti apa yang pernah dikatakan Mario. Tapi memang masalahku ini bukan masalah yang mudah bagi orang lain, bahkan mungkin bagi diriku sendiri.
Dengan langkah yang lesu aku pun mulai membuka pintu depan kosanku. Pintu ini memang selalu terkunci untuk menjaga keamanan para penghuni kosanku. Namun dalam keadaanku belakangan ini, bahkan untuk menemukan kunci yang tepat dari beberapa kunci di kantongku pun menjadi hal yang berat. Seperti sekarang ini sudah dua kali aku gagal menemukan kunci yang tepat untuk pintu ini, entah ada apa dengan ku ini.
“Sini biar gw aja!” tiba-tiba terdengar suara dari belakangku. Aku pun menoleh ke sumber suara itu. Oh ternyata Mario.
“Eh lo Yo.” Mario pun maju mendekat ke arah pintu untuk membukanya dan aku pun sedikit bergeser untuk memberikan ruang padanya.
“Muka lo tu makin asem aja, sampe buka pintu aja gak konsen.” Kata Mario sambil membuka pintu.
“Heeh sorry Yo.”
“Dah kebuka nih, yok masuk.”
Kami berdua pun masuk ke dalam kosan, tidak lupa Mario mengunci pintu depan kembali.
“Thank ya Yo, gw ke kamar dulu.”
“Tunggu Jo.”
“Kenapa Yo?” setelah selesai mengunci pintunya Mario pun bergerak ke arahku dan merangkul pundakku, seperti layaknya seorang sahabat.
“Masalah lo masih belum selesai ya?”
“Iya Yo, biarlah mungkin memang salah gw.”
“Tapi lo tu terlalu ngebawa masalah lo berat banget kayanya. Muka lo aja kaya gak ada harapan hidup gitu.”
“Sialan lo” kataku sambil tertawa kecut.
“Lo mau ikut gw nggak ntar malem? Kayanya lo butuh refreshing.”
“Hah kemana?”
“Sini deh duduk dulu.” Akhirnya kami berdua pun duduk di sofa ruang tamu kosan kami.
“Ntar malem gw ada janji ama temen gw di night club.”
“Hah, temen apa klien?”
“Ya gitulah sama aja, lo ikut ya!”
“Nggak ah, gw ngeri ah ke night club.”
“Ya ampun Jonathan, yang namanya night club tu biasa aja kali. Nggak sehina yang di TV-TV.”
“Tapi tetep aja kan gw bakal dugem, mabok, dll.”
“Kalo mabok ya tergantung lo nya kali, lo minum orange juice juga bisa kok di night club.”
Sejenak aku berpikir. Mario pun nampaknya memberiku waktu untuk berpikir sejenak. Sebelumnya aku belum pernah sama sekali pergi ke night club. Selain memang biasanya membuang banyak uang, aku juga terbayang tentang kelamnya aktivitas di dalamnya. Entah memang benar atau tidak, yang jelas itulah gambaranku tentang night club saat itu yang aku dapatkan dari informasi yang pernah aku dengar selama ini. Tapi memang terkadang rasa penasaran muncul dalam benakku. Seperti saat ini, rasa penasaran itu membuatku ragu untuk menolak ajakan Mario. Lagipula kali ini yang mengajakku adalah orang yang aku kenal dan aku rasa cukup dekat. Mungkin tidak ada salahnya aku mencoba, toh aku yakin aku bisa menjaga diriku di sana. Mungkin night club tidak seburuk yang aku bayangkan selama ini.
“Gimana Jo, mau nggak?” Pertanyaan Mario barusan menyadarkanku dari kebimbanganku.
“ Mmmm, ya udah deh boleh. Tapi lo jangan ngejual gw ke om-om ya.” Kataku sambil bercanda.
“Haha, jangan khawatir, lo nggak laku juga kali kalo dijual.”
“Eh sialan lo, gini-gini gw idola kampus tau.” Kami berdua pun tertawa. Memang Mario selalu bisa membuatku tertawa. Entah bagaimana awalnya namun ia selalu bisa merubah suasana hatiku yang sedang terpuruk menjadi lebih baik. Mungkin ini juga yang membuatku menerima ajakan Mario ke night club kali ini.
“Yodah sono mandi buruan, ntar jam 9 gw jemput ke kamar lo trus kita berangkat.”
“Hah jam 9 malem amat?”
“Namanya juga night club, ya malem donk Jonathan kampung.”
“Eh dasar lo, iya deh kalah sama yang langganan di sana.”
“Hahaha, dasar lo udah sono-sono.”
“Emang kita mau ke night club dimana sih?”
“Udah ntar lo liat aja biar surpise.”
“Halah surprise segala. Brarti gw bisa tidur dulu kan ya?”
“Iya bener lo tidur dulu biar ntar fresh.”
Kami berpisah di depan kamar Mario. Aku pun langsung menuju ke kamar untuk tidur sejenak. Aku set alarm untuk berdering tepat pukul 8 malam nanti. Sehingga aku masih punya waktu satu jam untuk mandi dan bersiap-siap nantinya.
...................................................................................
“Yo kita mau kemana sih ni, kasi tau lah?” Pertanyaan ini kembali terlontar dari mulutku di tengah perjalananku menuju night club untuk pertama kalinya.
“Yeh, dibilang liat aja ah. Ntar juga kan lo tau.” Jawaban ini pula yang keluar dari mulut Mario sejak 10 menit yang lalu. Jalanan Cihampelas memang sangat ramai dipadati kendaraan di malam sabtu ini. Entah kenapa Mario tetap saja mengambil jalan ini. Apa mungkin night club yang akan kami datangi ada di jalanan ini? Ah entahlah percuma saja jika aku tanya, pasti dia tetap tidak mau menjawab.
“Yak sampai.”
“Hah disini, yang mana?”
“Dah yuk ikut aja lo.” Kami pun berjalan sejenak. Aku terus saja mengikuti ke mana arah Mario berjalan. Aku tidak pernah tau ada night club di daerah ini. Mungkin memang karena aku yang awam soal hal seperti ini.
“Boy.” Sapa Mario ke salah satu orang yang baru saja keluar dari gedung yang saat ini berada tepat di depan kami.
“Woy, Yo baru dateng lo.”
“Iye nih, lo dah mau kabur aja baru mulai.”
“Kaga mau keluar bentar jemput temen gw.”
“Oh, ni gw juga bawa temen gw.” Mario pun menarikku sehingga aku sedikit bergerak maju.
“Jo, ni temen gw namanya Boy.”
“Halo.”
“Hai, gw Jonathan.”
“Temen sekampus Mario?”
“Oh bukan temen sekosan aja kok.”
“Oh ya udah have fun ya, Gw mau cabut bentar dulu. Yuk duluan.”
“Sip jangan lama-lama lo.”
“Iye-iye.”
Setelah Boy berlalu, Mario pun mengajak ku masuk ke gedung di depan kami tadi. Oh ternyata benar dugaanku gedung ini memang night club yang akan kami datangi. Begitu masuk, kamipun langsung disuguhi dengan suara musik yang sangat keras. Alunan musik cepat khas night club, yang memang asik untuk bergoyang. Di dalam sini cukup ramai, wlaupun belum terlalu penuh seperti yang ada di bayanganku. Mungkin karena saat ini masih pukul 10 malam.
“Inilah, night club. Gimana asik kan?”
“Asik sih, tapi pusing liat lampunya.”
“Hahaha, ntar juga kebiasa kok. Pokoknya lo mesti have fun sambil nenangin pikiran lo ya.”
“Eh tadi temen kampus lo?”
“Bukan temen disini kok.”
“Jualan juga dia.”
“Ya gitu lah. Kenapa lo mau beli?”
“Haha, nggak lah bukan tipe gw. Lagian ngga punya duit.”
“Kalo ama gw mau nggak?”
“Haha gila lo, tapi gw nggak bisa bayar.”
“Haha, yodah yuk ah gw dah ada spot langganan.”
Kamipun bergerak ke arah bar yang ada di dalam night cub ini. Beberapa kursi masih terlihat kosong.
“Kodok!”
“Eh Yo baru dateng lo.” Satu lagi teman Mario yang tidak aku kenal muncul di hadapanku.
“Nih kenalin temen gw, Jonathan.”
“Hai gw, Edo.”
“Halah kodok aja pake ngaku Edo.”
“Sialan lo.”
“Dia nih nama aslinya Edo Sanjaya, cuma karena di DO dari kedokteran makanya dipanggil kodok.”
“Oh, haha. Halo.”
“Lo mau minum apaan Yo?”
“Gw Vodka deh, lo mau gw pesenin apa Jo? Ada orange juice ada kola juga kok?”
Ah sial di depan teman Mario malu banget kalo aku minum orange juice di night club ini. Tapi kalo harus minum alkohol aku takut nanti aku mabuk. Pengalaman terkahirku minum minuman beralkohol adalah di masa SMA ku. Saat itu aku minum beer karena ajakan temanku. Itupun hanya beberapa teguk badanku langsung panas.
“Gw sama kaya lo aja Yo.”
“Hah yakin lo, ntar lo...”
“Udah yakin samain aja.”
“Vodkanya dua do”
“Duduk Jo.” Aku pun duduk di sebelah Mario.
“Lo yakin mau minum Vodka?”
“Nggak apa lah sekali-sekali.”
“Tapi jangan banyak-banyak lo ntar mabok kalo nggak biasa.”
“Iya beres lah.”
Tidak lama setelahnya dua botol vodka pun disajikan di depan kami disertai dengan gelas bulat yang telah berisi es. Mario pun langsung menuangkan minumannya dan segera menenggak satu gelas vodka. Melihat itu akupun mengikutinya. Rasanya pahit di mulutku. Entah kenapa orang bisa menyukai minuman ini. Tanpa ragu aku pun menghabiskan satu gelas vodka dengan manahan rasa pahitnya.
“Wah gila lo Jo, kalo nggak biasa jangan langsung ditenggak.”
“Iya gak apa kok. Cuma rada pahit.”
“Haha yodah yuk turun.”
“Hah turun ke mana?”
“Joget lah. Musiknya lagi asik neh.”
“Oh ayuklah.”
Kami pun mulai berjoget dengan gaya yang menurutku sembarang. Walaupun aku belum pernah ke night club sebelumnya, tapi berbekal beberapa scene night club yang pernah aku lihat di TV aku bisa mengimbangi orang-orang di sini. Walaupun memang masih terasa sangat kaku.
“Joget aja semaunya nggak usah pake gaya n jaim segala.”
“Haha, iya.”
Setelah percakapan itu kami pun berjoget semaunya ala anak-anak yang sedang dugem. Aku sangat senang saat itu, untuk pertama kalinya aku merasa sangat bebas merdeka. Satu jam berjoget dengan alunan musik disco benar-benar menguras tenaga. Ditambah aku merasakan kepalaku yang agak sedikit pusing dan badanku yang panas. Mungkin ini efek aku minum segelas vodka tadi.
“Yo gw duduk dulu ya cape gw.”
“Oh ya udah sana ke bar aja, gw masih pengen joget bentar lagi. Lo ga apa kan duduk bentar sendiri.”
“Gak apalah, cuma disitu doank.”
Aku pun berlalu menuju ke bar tempat kami duduk tadi. Di sana sekarang sudah terlihat Boy teman Mario yang kami temui ketika kami datang kesini.
“Ah temen Mario kan ya?”
“Iya.”
“Duduk sini.” Aku pun duduk di sebelah Boy.
“Marionya mana?”
“Masih joget.”
“Oh kalian abis joget ya?”
“Iya tadi diajakin Mario.”
“Oh, trus kenapa duduk lagi?”
“Cape udah sejaman joget.”
“Hahaha, kalo Mario mah memang betah jogetnya.”
“Ohh, loh temennya mana mas Boy?”
“Oh tadi katanya ga enak badan, jadi ga jadi kesini. Kamu dah lama kenal Mario?”
“Eh nggak mas, baru beberapa bulan terakhir. Aku temen kosan barunya Mario di Tubagus.”
“Oh gitu. Minum dulu deh lo kayanya ngos-ngosan gitu. Gelas lo yang ini yah? Sini biar gw tuangin.” Boy pun menuangkan segelas penuh vodka ke gelasku. Sial sekali keadaanku saat ini, aku tidak mungkin menolak tawarannya dengan alasan aku takut mabuk. Mau ditaruh dimana mukaku.
“Nih.” Dengan terpaksa akupun menghabiskan gelas kedua vodkaku. Rasanya tidak seburuk gelas pertamaku tadi, mungkin karena aku sudah sedikit terbiasa dengan rasa pahitnya.
“Udah tau kerjaan Mario belum?”
“Eh, oh udah kok mas.” Aku menjawabnya dengan suara yang agak perlahan karena sedikit merasa aneh harus menjawab pertanyaan ini.
“Oh hebat juga lo ya,masih mau bertemen ma kita setelah tau kerjaan kita, nggak banyak lo orang yang kaya gitu.”
“Oh iya nggak apa kok mas.” Aku menjawab seadanya karena sekarang yang aku rasakan kepalaku sangat pusing dan badanku lebih panas dibandingkan sebelumnya.
“Atau jangan-jangan lo punya alasan lain?”
“Hah m m maksudnya mas?” Sekarang Boy sedikit menggeser kursinya dan mendekatkan kepalanya ke arahku.
“Yah mungkin lo punya alasan lain yang bikin lo masih mau temenan ma dia, misalnya masalah perasaan gitu?”
“Mmm.” Aku merasa pertanyaan ini mulai masuk ke area privasiku.
You’re a firework, Come on let your colour burst..... Suara HP ku berbunyi. Oh Tuhan trimakasi HP ku berbunyi di saat yang tepat.
“Eh bentar ya HP ku bunyi nih.” Hah mama dan ternyata sudah ada 4 misscall yang nampaknya juga dari mama. Ibuku ini memang ibu yang sangat menyayangiku. Walaupun hanya untuk menanyakan apakah aku sudah makan atau belum dia tidak pernah absen menelponku setiap harinya. Sekarang aku tidak boleh membuatnya khawatir dengan mengetahui aku sedang berada di nightclub.
“ Eh aku keluar bentar ya mas, tadi jalannya lewat mana ya?”
“Oh sana.” Boy pun menunjuk ke arah pintu keluar club ini. Dengan kepala yang pusing luar biasa aku pun mencoba berjalan keluar. Berdesak-desakan, dan terburu-buru karena aku harus segera mengangkat telpon dari mamaku. Setelah kurang lebih 2 menit berjalan sempoyongan akhirnya aku bisa keluar dari gedung ini. Panggilan di HP ku sudah berhenti, sekarang tertulis 5 misscall. Sebenarnya aku ingin menelpon balik ke HP mamaku, tapi sekarang kepala ini benar-benar berat. Aku bergerak menjauh dari gedung ini untuk mencari tempat untuk duduk sejenak. Aku tidak tau pasti kemana arahku berjalan karena kepalaku benar-benar berat saat itu. Tiba-tiba aku sudah berada di tepi jalanan Cihampelas. Ramainya kendaraan dan lalu lalang manusia semakin membuat kepalaku serasa berputar dan sekarang aku sedikit susah untuk menjaga keseimbanganku. Di saat seperti ini aku ingin sekali menelpon Mario, tapi aku benar-benar tidak bisa mengambil HP ku untuk menelponnya. Sepertinya aku mabuk, itu yang ada di pikiranku. Akhirnya aku pun mencari dinding terdekat untuk tempatku bersandar. Aku pun terduduk di tanah bersandar ke arah dinding. Pandanganku sudah mulai tidak terlalu jelas. Mungkin ini juga efek karena aku belum makan malam. Tiba-tiba saja ada suara terdengar,
“Lo ngapain disini Jo?” Sepertinya aku mengenal suara itu. Tapi aku benar-benar tidak bisa melihat jelas wajah orang yang kemudian memapahku dan membantuku berjalan. Aku tidak tahu bagaimana tetapi sekarang aku sudah berada di atas motor orang yang memapahku ini. Dia memboncengku dan kepalaku kusandarkan di punggungnya karena terasa sangat berat. Aku tidak tahu siapa malaikat penolongku ini tetapi aku merasa tenang dan semuanya menjadi gelap setelahnya.
Kak @stephen_frans emang jago bikin cerita...
Oh y, org yg ngendong pesti daniel, ya kan? Ya kan? Ya kan?
Kurang panjang nih..
#Plak
hehehe
keren ni cerita nyan penasaran sama yng bonceng si jo, kyknya si marko or siapa sih lupa namanya, yg item itu lhoo..