It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
gimana om hati? Mereka sama ngga?
apaan tuh?
LAMA NUNGGUIN NYA...
@Vire... Jeung. ente emang paling mengerti ane...
Seperti yang ane posting di thread sebelah,
ane rela deh, jadi istri kedua suami ente... :oops:
Hampura abdi, kang Bahar
Sanes maksad abdi bade ngahaja nunda carita. ieu yeuh koneksi internetna keur lelet pisan. abdi teh nuju di offshore, tengah laut tos tilu poe. asa-asa rek make fasilitas kantor teh, bisi kanyahoan modalna. ieu oge nyoba nyambung make indosat.
Besok pagi baru balik ke darat pake kapal cepat. Kecuali kalau sore ini bisa selesai semua kerjaan, malem bisa ikut bos bule gw numpang choper.
eleuh tiasa sunda geuning...
bikin bingung aja
so, ceritanya masih lama dunk nih
Ada dua, lagi nunggu di lounge. satunya dah tuwir. satunya lagi masih single. gw sih curiga, kayaknya tuh bule PLU juga. umurnya dah 30-an gitu. Ganteng banget memang, tapi ga tau kenapa ya, gw kalau sama bule tuh suka ilfil.
Pan abdi mah asli sunda. ari si Mamah teh ti Majalengka, Bapa mah ti Ciamis, kitu.
Sudah dulu ah, chopernya udah datang kayaknya. Ntar malam gw mau posting lanjutan ceritanya.
gw aja pengen
anyway, tar malam gw baca lanjutannya
mungkinkah nicky benar2 marah sama andi
ato cuma ngambek karena ditinggalin
hi...hi...
Yang boneng?? My Mum also from Majalengka!! Jangan2 masih sodara.. tapi nyokap ente chinese bukan? heheheh...
BTW.. ane juga nunggu lanjutannya yak... cepetan....
Situasi yang selalu kukhawatirkan selama ini akhirnya terjadi juga, pikirku panik. Tapi apakah kejadian tadi sore itu yang membuatnya marah? Pasti benar……!! Pasti benar penyebabnya adalah kejadian itu. Oooh…., lalu apa yang harus kukatakan padanya? Haruskah aku meminta maaf? Lalu alasan apa yang harus kubuat untuk membela diri supaya dia tetap baik padaku…….?
Pikiranku benar-benar kalut saat itu, keringat dingin keluar dari dahiku, dadaku terasa sesak seperti dihimpit beban yang begitu berat dan jantungku kurasakan seperti sebuah palu yang dipukulkan bertalu-talu, sehingga selama beberapa menit tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulutku. Aku takut ucapanku malah membuatnya semakin marah. Aku hanya duduk terpaku sambil menatap wajahnya dari samping, sementara itu matanya tetap terpejam, seolah ingin menyingkirkan sosokku dari pandangannya.
Dengan perasaan tegang aku tetap duduk disampingnya menunggu reaksi selanjutnya sambil terus memandangi wajah Nicky. Aku lihat keringat seperti mengalir deras dari dahi dan lehernya dan jatuh diatas bantal. Wajahnya nampak kemerahan, seperti habis melakukan olah raga siang hari. Sementara itu badannya masih menggigil seperti orang yang sedang kedinginan dan dari mulutnya terdengar erangan dan gumaman tiada henti.
“Ada yang aneh”, pikirku. Tapi tak berani aku menyentuhnya lagi, kupanggil namanya dengan suara pelan di dekat telinganya : ”Nick………, Nicky…., Kamu kenapa, Nick?”
“Aaaah……, diam kau! Jangan kau dekat2 aku lagi!” katanya agak keras membuatku sedikit terlonjak kaget. Raut wajahnya tampak mengeras, keningnya berkerut tetapi matanya masih tetap saja dalam keadaan terpejam.
Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya kuberanikan diri meraba dahinya dan kurasakan dahinya itu panas sekali, tidak seperti biasanya. Tidak ada reaksi darinya atas tindakanku itu, tapi erangan dan gumamannya menjadi lebih intens. Ahhhh, rupanya dia terserang demam dan suhu badannya sangat tinggi, sehingga dia meracau ga keruan. Menyadari hal itu kurasakan beban yang tadi serasa menghimpit dadaku menjadi luruh, seperti ada ruang kosong di dadaku dan otomatis aku menarik nafas panjang untuk mengisinya dengan udara segar. Tetapi kembali perasaan lega tadi berganti menjadi perasaan cemas karena tidak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
Sempat bingung dengan perkembangan itu, aku segera berlari keluar menemui Mang Suta. Kuminta darinya kunci ruang resepsionis. Aku ingat disana ada kertas ditempel dekat pesawat telepon yang berisi daftar nomor telepon yang bisa dihubungi dalam keadaan darurat. Dan aku bersyukur waktu itu, karena kudapatkan nomor telepon beberapa dokter sekolah yang memang bisa dipanggil sewaktu-waktu bila dalam keadaan darurat.
Setelah berhasil menghubungi salah seorang dokter yang kemudian bersedia untuk segera datang sesegera mungkin setelah kuceritakan apa yang terjadi, maka aku bergegas kembali ke kamar. Mang Suta mengiringiku, karena ingin tahu apa yang terjadi pada Nicky. Sambil berjalan kuceritakan apa yang kulihat tadi di kamar. Mang Suta hanya mendengarkan saja tanpa komentar sambil terus mengiringi langkahku menyusuri koridor.
“Aaah, ieu mah sigana keuna malaria, Den. Sami sareng pun adi ge kitu. Sok gogorowokan teu puguh mun keur maceuh teh.” Kata Mang Suta dalam bahasa Sunda setelah melihat sendiri keadaan Nicky. Mang Suta memegang tangan Nicky, sementara Nicky agak meronta seolah tidak mau dipegang. Dia berteriak :”Lepaskan aku! Kubilang jangan dekat aku lagi!!” Badannya masih terus menggigil dengan mata terpejam. Dari mulutnya masih keluar erangan-erangan, kadang-kadang dia mengucapkan kata-kata yang aku ga ngerti artinya. Mungkin dalam bahasa Aceh. Kuminta Mang Suta pergi berjaga di pintu masuk sekolah untuk menjemput dokter yang kupanggil dan mengantarnya ke kamar.
Kira-kira setengah jam kemudian, setelah aku menunggu dengan gelisah, Mang Suta datang mengawal seorang laki-laki yang sudah cukup umur yang ternyata adalah dokter yang kutelepon tadi. Kemudian setelah dokter itu melakukan tindakan2 pemeriksaan yang biasa dilakukan oleh seorang dokter, dia menjelaskan kepadaku :”Ketika saya mendengar penjelasan anda di telepon tadi, saya sudah perkirakan, sepertinya dia pernah kena malaria sebelumnya, dan saat ini kambuh lagi, biasanya kambuh karena kedinginan atau karena terlalu lelah, sementara asupan vitaminnya kurang terjaga. Kalau tidak cepat tertangani akan berakibat fatal. Untung anda segera menelepon saya. Tapi untuk memastikan, sebaiknya besok dibawa ke laboratorium untuk cek darah dan berikan hasilnya pada saya.”
Aku mengangguk mendengar penjelasannya. Kuingat bahwa tadi sore Nicky mandi dengan air dingin langsung kusiramkan dari kepala. Biasanya kan kubasuh dengan menggunakan air yang hangat. Kujelaskan kepada dokter itu bahwa kakinya terkilir beberapa hari sebelumnya dan hari ini sedang proses belajar berjalan.
“Ya, mungkin itu juga menjadi salah satu sebab kambuh sakit malarianya. Saya mau suntik dulu, tolong dipegangi supaya dia tidak banyak bergerak.” Katanya. Maka aku dan Mang Suta memegangi Nicky yang masih terus meracau ga jelas. Selesai dengan tindakan pengobatannya, Dokter itu menuliskan resep yang harus ditebus malam itu juga, karena harus diminumkan setelah makan malam. Dengan pengobatan awal yang ketat katanya, biasanya dalam dua hari juga sudah bisa normal kembali. Dokter kemudian merekomendasikan beberapa apotek yang bisa aku datangi dengan cepat.
Setelah meminta Mang Suta untuk menjaga Nicky, aku keluar mengantar dokter itu ke mobilnya dan setelah itu langsung pergi mencari obat. Dalam waktu setengah jam, aku sudah kembali ke kamar dan meminta Mang Suta untuk membuatkan bubur di dapur, sesuai pesan dokter tadi. Sementara itu kulihat Nicky sudah tertidur pulas, mungkin karena pengaruh obat yang disuntikkan tadi. Kuraba dahinya, suhu tubuhnya juga sudah jauh menurun dibandingkan tadi.
Ketika Mang Suta kembali dengan membawa semangkuk bubur, kubangunkan Nicky dengan lembut. Awalnya dia sulit sekali untuk dibangunkan, tetapi setelah beberapa kali kupanggil namanya sambil menepuk-nepuk pipinya secara perlahan, barulah kemudian dia terbangun. Itupun dalam keadaan yang sangat payah. Dalam keadaan setengah sadar dia bertanya lirih :”Kenapa aku, Di?”
“Kayaknya malariamu kambuh. Kamu harus minum obat, Nick, tapi lebih dulu perutmu harus diisi makanan. Ini Mang Suta sudah membuatkan bubur untuk kamu.”
“Aku kok ga punya tenaga, Di? Ga mampu rasanya aku bangun.” Katanya setengah bertanya.
“Berbaring saja kalau gitu, biar kusuapi beberapa suap. Setelah itu minum obatnya.”
Nicky menurut saja ketika kuminumkan obat setelah dia menghabiskan setengah mangkok bubur. Setelah itu dia tidur lagi. Kuusap dahi dan lehernya dengan handuk kecil untuk menghapus keringatnya. Pada saat itu boro-boro ada perasaan romantis, yang ada adalah rasa bersalah melihat keadaan Nicky yang payah. Karena setidaknya mungkin perbuatanku tadi sore jugalah yang menjadi salah satu penyebab kambuh malarianya.
Di keheningan malam itu, kembali perasaan gelisah, bimbang, galau dan sedih melanda hatiku. Lebih banyak karena masih khawatir dengan kalimat-kalimat yang dia lontarkan tadi. Apakah ucapan-ucapan itu benar2 dilakukannya dalam keadaan tidak sadar? Ataukah sebenarnya yang dia ungkapkan itu berasal dari dasar hatinya yang terlontar dalam saat-saat yang tak terkendali seperti saat mabuk atau terhipnotis? Kalau benar, berarti dia akan membenciku? Prasangka-prasangka itu terus menerus menghantui pikiranku. Semuanya menyudutkanku dalam posisi merasa bersalah.
Aah……, capek aku memikirkannya.
Lelah duduk disampingnya, aku berdiri dan berjalan bolak-balik ga jelas apa yang kukerjakan. Sesekali kuamati keadaannya, khawatir terjadi hal lain yang tidak kuharapkan. Ponsel geserku kugenggam terus tanpa sadar, dan jempolku berulang-kali membuka menutup ponsel itu dan terkadang memencet-mencet tombolnya, ga jelas juga apa tujuannya.
Tiba-tiba aku sadar dengan tingkah konyolku itu. Bisa gila aku kalau begini terus, kataku dalam hati. Kulempar ponselku ke atas kasur, lalu kuhempaskan tubuhku ke atas tumpukan beberapa buah bantal besar yang memang sengaja dipasang diatas sepotong karpet tebal di sudut bagian depan kamar. Sambil bersandar aku mencoba untuk relaksasi, mengendurkan urat-urat syaraf yang terasa tegang dengan menarik nafas dalam-dalam. Kufokuskan fikiranku pada tarikan nafasku yang kulakukan dengan tenang secara berulang-ulang. Kutanamkan dalam fikiranku bahwa apa yang diucapkan oleh Nicky adalah bukan ditujukan padaku secara personal. Dia sedang tidak sadar. Dia tidak marah padaku. Dia tidak membenci aku.
Setelah relaksasi selama kurang lebih lima belas menit, aku merasakan ada kelegaan di dalam dadaku. Aku bisa kembali berfikir jernih. Kucoba mengamati Nicky dari posisiku, tapi agak susah, jadi aku bangkit berdiri menghampiri tempat tidurnya. Kulihat wajahnya yang sedang tidur dalam kedamaian. Aku duduk di tepi tempat tidur dan menggengam tangan kanannya dengan kedua tanganku.
“Aku minta maaf, Nick. Aku sudah ga sopan sama kamu. Cepat sembuh, supaya aku bisa mengajarimu main gitar lagi. Aku rindu bermain basket denganmu lagi. Aku janji akan memperlakukanmu dengan baik. Akan kujadikan kamu adikku dan sahabat terbaikku. Maafkan aku, Nick. Aku sayang padamu. Aku cinta padamu.” bisikku perlahan sambil menatap wajahnya. Entah apakah ia mendengar atau tidak, tapi kulihat kelopak matanya sedikit bergerak. Kukecup jari tangannya, lalu aku pindah ke tempat tidurku.
Kuambil gitarku, lalu kumainkan dengan lirih sebuah lagu syahdu dari Melly, “Bimbang”, Ost-nya AADC.
Pertama kali aku tergugah
Dalam setiap kata yang kau ucap
Bila malam tlah datang
Terkadang ingin ku tulis semua perasaan
Kata orang rindu itu indah
Namun bagiku ini menyiksa
Sejenak ku fikirkan untuk ku benci saja dirimu
Namun sulit ku membenci
Pejamkan mata bila kuingin bernafas lega
Dalam anganku aku berada di satu persimpangan jalan yang sulit kupilih
Ku peluk semua indah hidupku
Hikmah yang ku rasa sangat tulus
Ada dan tiada cinta bagiku tak mengapa
Namun ada yang hilang separuh diriku
Pejamkan mata bila kuingin bernafas lega
Dalam anganku aku berada di satu persimpangan jalan yang sulit kupilih
Seperti yang ditulis Melly dalam syairnya, rindu itu menyiksa hati, siapkah aku kehilangan separuh hatiku yang sudah direnggut oleh Nicky? Terasa bimbang untuk memilih diantara dua jalan : To continue my effort for getting his heart, atau menghilangkan segala obsesi yang selama ini emblazoned in my mind...........................
Yup, bener banget, teh Vire. Cerita ini dirangkai dari diari gw yang berserakan dalam beberapa file di laptop gw. Hampir semuanya berisi tentang suka duka perjalanan hati seorang Andi.
Beda banget dengan Bang Remy yang menuliskan kisahnya langsung dari kejadian2 yang baru dialami. Jadinya masih fresh dalam ingatan.