It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Mengapa Mawar Merah dilambangkan sebagai cinta sejati?
---
Fred hanya satu dari belasan tukang kebun di istana. Namun ia satu-satunya tukang kebun yang merawat barisan mawar putih, bunga favorit sang Ratu. Meski Sang Ratu telah wafat bertahun-tahun yang lalu, Fred yang loyal merawat penuh cinta bunga yang kini menjadi favoritnya seperti mendiang penyelamatnya.
Belasan tahun yang lalu, diumurnya yang sebelas, ia hanya gelandangan di tengah kota. Mencuri demi mengganjal perut yang lapar adalah kebiasaannya sehari-hari. Hingga suatu hari ia tidak menyangka bahwa ia akan tertangkap dan dihajar oleh massa yang marah. Ia nyaris meregang nyawa jika saja kereta kuda Sang Ratu tidak melintas di jalan. Dengan belas kasih ia dibawa ke Istana Sang Ratu menjadikannya tukang kebun yang merawat Mawar Putihnya yang berharga.
“Fred!”
Wajah Fred menyembul di antara dua barisan mawar, tersentak mendapati Sang Pangeran tengah berada di hadapannya. Ia segera membungkuk dalam untuk memberi hormat. Namun wajah Sang Pangeran Mino tampak tak bersahabat. Pemuda belasan tahun itu tengah berkacak pinggang, menatap Fred dengan rasa tidak sabar.
“Bukannya kemarin aku sudah menyuruhmu menemaniku berkuda? Apa yang kamu lakukan di sini?”
Fred masih membungkuk. “Maafkan saya, yang mulia. Saya sedang mengerjakan tugas.”
“Tapi aku menyuruhmu untuk menemaniku!”
“Biarkan saya menyelesaikan tugas saya dan saya akan menemani anda.”
Mino benci Fred, begitu yang ia rasakan setiap kali Fred menolak menemaninya. Fred selalu tenggelam dalam tugas yang ia kerjakan sejak Mino belum menginjak dunia. Namun Mino tidak akan pergi dari sana sebelum Fred mau mengikuti perintahnya. Jadi Pangeran muda itu terus berdiri di sana, mengikuti Fred dari satu barisan ke barisan lainnya, melihat bagaimana dengan penuh cinta dan kehati-hatian merawat mawar putih milik mendiang Sang Ibunda.
“Nah, semua sudah selesai.” Ujar Fred, menepuk-nepuk tangannya dari debu.
“Ayo!” Sang Pangeran Muda segera menarik tangan Fred, menghiraukan seruan si tukang kebun.
Mino selalu merasa sendiri dan sepi setelah kepergian sang Bunda diusianya yang menginjak 9 tahun. Sang Raja berusaha memberikan segala keinginan Sang Pangeran, berusaha membuat Sang Pangeran selalu bahagia. Namun nyatanya tak secuil kebahagaiaan yang ia dapatkan. Kebahagiaan itu telah menjadi abu bersama Sang Ibunda.
Hingga suatu hari, ia menginjakkan kaki ke kebun Mawar Putih untuk mengingat Sang Ibunda. Ia menginginkan bunga itu untuk berada di kamarnya. Namun seseorang dengan berani membentaknya, melarangnya untuk memetik. Orang itulah si Tukang Kebun, Fred. Mino tentu terkejut. Fred yang seorang Tukang Kebun dengan berani membentaknya yang seorang Pangeran Kerajaan. Mino tentu marah.
“Bukan begitu caranya jika ingin memetik, Yang Mulia. Duri mawar akan melukai jari anda.” Fred mengeluarkan pisau kecil yang tipis, memotong setangkai mawar putih, menyingkirkan duri yang melekat dan memberikannya pada Mino. “Ambillah.”
Dan esoknya Mino kembali, belajar memetik mawar dari Fred. Esoknya dan esoknya lagi. Hingga akhirnya Mino tak bisa lepas dari Fred. Pangeran muda itu semakin dekat pada si tukang kebun mawar putih, mengajak si pemuda untuk menemaninya setiap waktu. Tidak peduli jika Fred akan sibuk dengan pekerjaannya, Mino akan memaksa Fred menemaninya.
Dan Fred tidak pernah menolak ajakan Mino karena ia tahu Mino membutuhkan seorang teman untuk menemaninya yang merasa sendiri. Fred akan selalu menyediakan waktu luangnya, di luar waktu mengurus kebun untuk menemani Mino.
“Besok aku ingin berburu. Temani aku!” perintah Mino begitu kegiatan kuda berakhir.
“Tentu, Yang Mulia.”
Mino berbalik, berkacak pinggang dan menatap tegas pada Fred yang tengah menaruh pelana di gantungan kayu. “Aku mau kamu menemaniku, lupakan kebun mawar itu.”
Fred menatap Mino sejenak lalu tersenyum dan mengangguk pelan. Sebuah isyarat bagi Mino bahwa keinginannya tentu tidak akan terpenuhi begitu saja dengan mudahnya. “Aku membencimu.” Ucap Mino dan berlalu pergi bersama kekesalannya. Dua kata yang selalu ia ucapkan pada Fred setiap kali kegiatan mereka berakhir.
Si Tukang Kebun akan menghela setiap kali sang Pangeran Muda telah berlalu, dan Fred akan berkata pada hatinya yang ragu dalam bisikan yang pelan “Maafkan saya, Yang Mulia.”
Perang telah meletus, dan kerajaan membutuhkan seluruh tenaga untuk melindungi tanahnya. Kerajaan membutuhkan semua pria dewasa dari segala kalangan untuk menjadi prajurit, memenuhi kekurangan pasukan. Fred si Tukang Kebun, di usianya yang matang harus ikut berdiri di medang perang.
Malam itu, sehari sebelum prajurit melangkah ke medan perang, Mino mengunjungi barak secara diam-diam, memanggil Fred untuk menemuinya sekali lagi. Keduanya bertemu di ladang gandum yang telah di pangkas, duduk bersisian memandang langit.
“Besok kamu sudah harus pergi.”
Fred mengangguk, menjawab tanpa suara. Mino menoleh, menatap wajah Fred cukup lama. “Kenapa kamu harus ikut?”
“Ini kewajiban saya, Yang Mulia.”
Mino memeluk kedua lutut yang ia tekuk, menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangan. Dengan suara yang teredam. “Pulanglah.”
Fred menoleh, menatap wajah Mino yang tersembunyi. Sekali lagi suara lirih Mino terdengar. “Pulanglah dengan selamat. Kumohon berjanjilah.”
“Ya, saya berjanji.”
Belaian yang pelan dan hangat terasa di kepala Mino, hingga ia menggigit bibir bawahnya dengan keras. Mino marah. Ia marah pada segalanya, pada perang, pada keadaan, pada Fred yang tidak pernah mengerti, pada dirinya yang begitu bodoh. Mino hanya terdiam, menikmati belaian yang melunturkan amarahnya. Kembali dengan lirih ia berkata “Aku membencimu.”
“Ya, saya tahu. Saya tahu.”
Lelah. Fred merasa amat lelah. Ia berjalan tertatih, di antara belukar, di antara pedang yang ternoda, di antara tubuh yang tak bernyawa. Tubuhnya yang terbalut zirah terasa remuk. Kepalanya terasa pusing, sebelah pandangannya mengabur oleh darah yang mengalir menutupi salah satu matanya. Ia berhenti sejenak, menarik napas lebih dalam meski ia tahu terasa amat sulit.
Ia kembali melangkah, tujuannya adalah posko prajurit. Namun ia tersandung oleh kakinya sendiri, dan terjatuh di semak berduri, membuat wajahnya terasa perih oleh duri mungil yang menusuk kulit luarnya. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa berat. Ia terbatuk dan kembali merasa perih pada luka gores dan tusuk di tubuhnya.
Indra penglihatannya menangkap beberapa bayang putih di antara semak, menghirup aroma khas yang selalu ia cium nyaris di sepanjang hidupnya. Ia menyadari bahwa ia telah terjatuh di semak mawar putih, dan wajah Mino terlintas di benaknya. Wajah Mino yang marah terus berputar berulang-ulang, suara Mino yang membentaknya dan berkata “Aku Membencimu” terus terdengar di telinganya. Membuatnya tersenyum bahagia.
Fred meraih setangkai mawar putih, dan memetiknya. Mawar putih akan menjadi kado yang indah untuk Mino begitu ia kembali dari perang. Mungkin ia bisa melihat wajah dan senyum bahagia Sang Pangeran Muda untuknya. Sayang belati mungilnya tidak bersamanya, sehingga duri itu masih melekat di sana.
“Tunggu aku, Mino.”
Perang berakhir di bawah janji perdamaian. Mino berada di antara rasa bahagia dan cemas. Sebentar lagi para prajurit akan sampai. Dan di antara barisan semak mawar putih yang rapi, ia menunggu Fred untuk kembali
“Yang Mulia Mino?”
Mino menoleh dengan cepat, menangkap sosok pria berbaju zirah lengkap hingga helm yang menutupi wajah. Fred kah? Dengan langkah lebar Mino menghampiri sosok itu. Namun alangkah kecewanya ia begitu sosok itu melepaskan helm, bukan sosok Fred yang berdiri di hadapannya kini. Sosok yang tidak di kenal.
Sosok itu membungkuk hormat, menatap Mino dengan sorot sendu yang melenyapkan harapannya. Sosok itu meraih sesuatu dari balik zirahnya, mengeluarkan setangkah mawar putih berduri. “Ini dari Fred, Yang Mulia.”
Mino membeku di sana, sebelum akhirnya ia meraih mawar putih itu, menatapnya nanar.
“Ia berkata, Anda pasti akan sangat membencinya karena ia tidak bisa memenuhi janji. Tapi ia mengirimkan mawar putih ini sebagai permintaan maaf.”
Mino tidak berkata apapun.
Sosok asing itu terdiam dalam jeda yang lama, menarik napas dalam dan dengan suara yang berat oleh kesenduan ia berkata "Fred juga meminta saya untuk menyampaikan, bahwa sampai kapanpun ia mencintai anda, dan terima kasih sudah membencinya sepenuh hati."
Ucapan itu bak menghantam kepalanya hingga menyisakan kehampaan yang menghimpit dada.
Sosok asing itu membungkuk hormat. “Saya minta maaf dan permisi.”
Begitu sosok itu pergi, menghilang dari jarak pandang, bahu Mino lemas. Napasnya memburu lebih cepat. Pandangannya tak lepas dari setangkai mawar yang kini tergenggam erat dikedua tangan, menatap penuh duka. Hingga akhirnya ia jatuh berlutut. Dada Mino terasa sesak oleh kesedihan hingga kedua matanya terasa perih. Serasa seolah puluhan pedang menancap di punggungnya, menembus hingga dada. Menggaris luka yang lebar dan menganga.
“Ini bukan mawar putih, dasar Fred bodoh.” Lirihnya.
Tidak peduli meski duri yang tajam menusuk dalam di kedua telapak tangannya, tidak peduli meski rasa perih menggerogotinya, ia tetap menggenggam erat mawar putih yang nyaris seluruhnya telah berwarna merah, ternoda oleh darah. Ia mendekapnya erat di dada.
Ketika kedua matanya mengalirkan kesedihannya yang amat dalam, di tengah isakannya ia melirih “Aku sangat membencimu.”
btw fujo bukan fuji dan sama-sama
maaf sudah menyeret. Ini mungkin bakal jadi cerbung. Mungkiiiin
---
GIFTED HAND
“Kami sepasang kekasih.”
“HAH!?”
Gian membenturkan kepalanya di meja berkali-kali. Mengutuki tindakan sok beraninya setengah jam yang lalu. Ia hanya mencoba menolong, tapi kalimat itu meluncur begitu saja ketika senior Bon nyaris mendaratkan kepala tinjunya di wajah mungil Neo. Ia hanya membersihkan kesalahpahaman dengan kesalahpahaman lainnya. Lagipula itu salahnya. Damn!
“Jika ingin mati, lompat ke tengah jalan sana.”
Gian menolehkan wajah, memandang kesal pada pemuda mungil yang telah ia tolong. Pemuda mungil yang secara terpaksa menjadi teman sebangkunya. Bukannya berterima kasih, Neo malah tidak mengatakan apapun dan hanya terus membaca buku entah apa di bangkunya. Gian mengubah posisi, menghadap sepenuhnya pada Neo.
“Begitu caramu berterima kasih? Jika aku tidak membantumu, Kak Bon sudah menghajarmu tadi.” Namun Neo malah membalasnya dengan dengusan, membuatnya murka.
Jujur saja ya, Neo itu agak aneh dibanding siswa normal lainnya. Rambutnya pendek acak-acakan dengan poni yang panjang melewati alis, kulitnya putih yang anehnya begitu bersih, bahkan ia tidak memiliki kumis ataupun jenggot yang tipis. Tubunya jauh lebih mungil dibandingkan siswa lainnya. Lihat saja lingkar tangannya yang kurus sehingga muat dalam satu genggamannya. Lagipula, pinggang ramping itu mungkin akan pas di tangannya.
Wait! What?
Holy shit! Motherf*cker! Apa yang telah dipikirkannya? Dan sekali lagi ia membenturkan kepalanya di meja.
“Cih, bodoh.”
Pandangan Gian menoleh cepat, menatap tajam Neo yang tak memandangnya, terlalu asik dengan bacaannya. “Hah? Kau bilang apa?” Namun Neo tak menggubrisnya. “Kau—!”
Neo tiba-tiba menutup bukunya, menoleh dan tersenyum. Oh, Gian amat sangat yakin itu bukan senyum paling tulus yang pemuda mungil itu miliki. “Ya, sayang?”
Bukannya senang, amarahnya malah menanjak hingga ke ubun-ubun. Gian berteriak, meraung, tidak peduli pada siswa lainnya di dalam kelas yang malah menatapnya aneh, menganggapnya gila. Ia berdiri, menunjuk kasar pada Neo. “Damn, you!”
Neo kedua alisnya kebawah. Memasang mimic memelas dan menyedihkan yang palsu. “How rude~”
Gian menggeram, menendang kursinya dan beranjak pergi dengan langkah lebar, membawa emosinya setelah berkata “Terserah.” Meninggalkan Neo yang mendengus geli tanpa melihatnya pergi.
Sungguh, Gian hanya berniat baik dan menolong Neo waktu itu. Ia tidak memiliki rasa suka pada Neo seujung kuku pun. Tapi apa yang ia dapat? Pemuda itu malah tak menghargainya sedikit pun. Berterima kasih kek. Atau kasih hadiah kek. Gak usah muluk-muluk, peluk atau cium juga cukup kok. Mereka kan udah jadi sepasang kekasih. Apa susahnya sih?
WAIT! Otaknya telah teracuni!
Harusnya. Ya, seharusnya ia tidak menyukai Neo. Tapi kenapa dadanya terasa sesak saat tiba-tiba di suatu hari Neo menampakkan wajah bahagianya di hadapan Gian dan meminta bantuannya untuk dekat dengan Nauval, mantan teman sebangkunya. Hell! Sialan si Nauval. Ia yang sudah menjadi kekasih tak resmi Neo bahkan belum pernah melihat wajah bahagia pemuda mungil itu dan menyebutkan namanya. Harus diauki, wajah Neo tampak amat imut. Apalagi ketika bibir itu— Crap!
Harusnya. Ya, seharusnya ia tidak akan menyukai Neo. Ia sudah menekankan pada dirinya berkali-kali tentang hal itu. Tapi, kenapa Gian merasa amat frustasi ketika ia tertangkap basah oleh Neo tengah mencium bibir seniornya, Kak Rendra? Itu hanya kesalahpahaman, sungguh. Betapa frustasinya ia ketika Neo menjauhinya, menatapnya penuh benci.
Dia— Jangan katakan kalau ia mulai menyukai pemuda itu?
Sial.
PLAK!
Oke, kembali beberapa menit yang lalu sebelum suara tamparan itu terdengar.
Seperti biasa di jam kosong, Bon akan duduk di sudut kelas, berkumpul bersama teman-temannya yang brutal, nakal, liar dan sebutan lainnya. Mengobrolkan apapun yang membuat kebosanan mereka lenyap. Dan seperti biasa, Bon akan selalu mencuri-curi kesempatan untuk melirik ke depan. Ke bangku di sisi depan, tempat dimana murid-murid yang –katanya- pintar tengah berdiskusi entah apa.
Rendra adalah pemuda bertubuh sedang dengan potongan rambut yang rapi. Kacamata selalu bertengger di hidungnya. Sebenarnya tidak ada yang begitu menarik dari pemuda itu. Biasa saja malah, jika bertanya pada siswa lainnya. Tapi bagi Bon ada sesuatu dari Rendra yang mampu membuat matanya melirik ke pemuda itu. Entah apa.
Saat itu pembicaraan berubah menjadi lebih ‘panas’. Teman-temannya mulai membahas video panas terbaru yang beredar di dunia maya. Siapa yang tidak terarik, coba? Tapi waktu itu tanpa sengaja, entah bagaimana mata Bon melirik pada Rendra. Ia hanya penasaran apakah Rendra tertarik pada hal-hal seperti ini? Atau tidak? Ia malah sempat berpikir—.
Rendra menoleh padanya, membuat Bon terkejut. Menatapnya dengan mata yang melotot. Rendra berdiri dari kursi dan menghampirinya dengan langkah yang lebar dan tergesa. Dan ketika jarak merak hanya satu langkah—
PLAK!
Bon bisa merasakan pipinya terasa panas dan menusuk. Ia terkejut, semua yang melihat kejadian itu terkejut dan terdiam, tidak pernah menduga. Hingga kekacauan nyaris terjadi ketika Bon menarik kerah Rendra dengan kasar. “Brengsek! Beraninya kau menamparku.” Raungnya.
Nyaris, hanya nyaris pukulan Bon mendarat di wajah Rendra, berharap kacamata itu patah atau paling tidak pecah. Namun entah kenapa wajah Rendra yang merah dan mata yang berkaca membuat tangannya terasa berat. Rendra menepis tangan Bon dari kerahnya. Ia menatap murka pemuda yang lebih tinggi beberapa senti darinya itu sebelum berbalik pergi. Meninggalkan Bon yang terpaku tidak mengerti.
Harusnya, setelah insiden itu rasa tertarik pada Rendra menghilang tanpa bekas. Harusnya. Tapi wajah Rendra saat itu kembali berputar di kepalanya. Membuatnya merasa bersalah. Bon tidak mengerti, kenapa ia merasa bersalah, sementara Rendra lah yang menamparnya, mempermalukannya. Sialan si Rendra. Ia akan membuat perhitungan dengan pemuda itu, tidak peduli pada wajah Rendra yang bagai minta di grepe itu melintas seharian di kepalanya.
Eh, apa?
Rencananya sih seperti itu. Tapi anehnya, setiap kali ia melihat wajah Rendra yang selalu menatapnya murka, rasa amarahnya menciut begitu saja. For god sake! Bon salah satu siswa brutal dan liar di sekolahnya, tapi kenapa menghadapi Rendra saja begitu sulit?
Rencana kedua, ia akan menghiraukan Rendra. Rencananya sih begitu, sudah berhasil separuh jalan malah. Tapi dengan rumor yang beredar antara Rendra dan junior Neo, malah membuatnya buta dan kalap. Ia malah nyaris mematahkan hidung pemuda mungil itu di depan kelasnya, di hadapan teman-temannya, jika saja kekasih pemuda itu tidak berada di sana, menjernihkan permasalahan.
Bon menjadi frustasi, amat frustasi. Menyadari bahwa sejak awal ia telah terjerat oleh Rendra.
Istilah umumnya sih, jatuh cinta.
Bangke!
Wah udah dimention, kasih kecup deh :-*
Ini masih akan lanjut kan?
JNong mau menceritakan 2 kisah dalam satu cerita yg sling berhubungan *sok tau*
Eh, aku tertarik sama kisahnya Bon dan Rendra.
Ditunggu yah