It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku menatap hampa pada burung-burung kertas yang sudah kutaburkan di atas rumput hijau tempatku duduk berjongkok sejak belasan menit lalu. Toples yang menjadi wadahnya juga turut kuletakkan di atas rumput.
“Aku sudah melepaskanmu, Mungil… aku sudah bisa mengikhlaskanmu…”
Aku menyeka mata. Kususurkan jemariku di atas rumput, menyentuh burung-burung kertas yang baru saja kutaburkan.
‘Terima kasih untuk telah jadi pelindungku selama ini…'
‘Mungkin kamu gak sadar bahwa keberadaanmu bersamaku telah melindungiku di negeri orang. Aku merasakan itu, aku merasa terlindungi dengan adanya kamu…'
Kembali aku merefleksi masa yang pernah kulewati bersamanya. Dari awal aku melihatnya di gerbang rumah kos, sampai rekaman wajahnya yang melongok dari kaca mobil travel. Saat itu aku merasakan perpisahan kami beda. Siapa mengira, dia yang menangis sambil melambai dari pintu mobil ternyata menjadi penglihatanku yang penghabisan akan sosoknya, bahkan aku merasa sudah benar-benar berpisah dengannya ketika sesengukan di atas motorku waktu itu. Begitu juga ketika kami berbicara lama di telepon saat hari jadinya.
Takdir sudah menunjukkan tanda-tanda dengan begitu jelasnya, manusia yang tak jeli membaca.
‘Aku menyayangimu lebih dari yang kamu tahu…’
“Aku juga menyayangimu teramat sangat, Mungil…”
Angin sore berhembus damai di sini, aroma pantai membaur di udara. Satu kali dulu aku pernah membaui aroma yang sama di sini, ketika Teuku membawaku memutari Ulee Lheue dengan motor bebeknya.
“Tadi aku mengunjungi Lampulo… tempat rumahmu dulu… ah, aku masih bisa melihatnya meski sekarang ada bangunan baru di sana…” kuseka mataku, “Rasanya aku melihat Tuwah dan yang lainnya menyambut kita di teras…” aku tertawa pendek.
Senja mulai turun. Aku sudah terpekur cukup lama di atas rumput hijau yang menjadi satu-satunya tujuanku di sini.
“Mungil, dulu kamu pernah mengatakan padaku hal yang belum pernah kamu katakan sebelumnya… bahwa kamu merasa terlindungi dengan adanya aku. Sekarang, aku juga akan mengatakan hal yang belum pernah kukatakan sebelumnya padamu, meski aku pernah berpikir bahwa mungkin kamu tahu…” aku berucap lirih. “Aku mencintaimu, Mungil. Aku mencintaimu…” nafasku tercekat, aku mendongak sebelum meneruskan ucapan. “Aku pikir, suatu saat aku bisa mengatakan langsung. Tapi ternyata aku salah… aku baru bisa mengatakan sekarang setelah sekian tahun lamanya… setelah kamu di sini…”
Sebentuk kedamaian menelusup dalam rongga dadaku, aku merasa begitu ringan sudah melisankan setelah menyimpannya bertahun-tahun. “Aku yakin Mungil sudah bahagia di sana… jangan khawatir, Jayen juga bahagia di sini…”
Aku menoleh pada kubah mesjid di arah matahari terbenam, suara orang membaca kitab suci Teuku mulai mengalun dari speaker-nya.
“Mungil, aku sudah harus pulang…” kususurkan lagi jemariku di atas rumput. “Jika penghujung tahun depan aku masih hidup, aku pasti mengunjungimu lagi…” aku tersenyum, “Mungkin dengan membawa serta bola tenismu… tenang saja… masih banyak benda yang bisa kubawa sebagai kawanku jika tahun depan dan tahun depan dan tahun depannya lagi aku masih ada…”
Aku mendongak menatap langit yang sudah kelabu seluruhnya, lalu kubawa pandanganku ke arah barat yang memerah. “Mungil, aku belajar ikhlas… aku sudah ikhlas… meski aku tak bisa lupa, tapi aku sudah melepaskanmu…”
Kuraup wajahku lalu bangkit berdiri. Kupandang lagi burung-burung kertas di atas rumput sebelum mengambil langkah. Aku lega kini, aku percaya, inilah yang diinginkan Teuku.
Kulangkahkan kaki menuju gerbang. Sebelum beranjak keluar, aku berdiri dan kembali menyapu seluruh hamparan hijau di dalam sini dengan mataku. Pandanganku berhenti pada papan tanda bertuliskan ‘KUBURAN MASSAL’ dengan huruf besar yang terbaca begitu jelas bahkan dari jauh, diikuti kalimat ‘TAMAN MAKAM SYUHADA KORBAN TSUNAMI DESEMBER 2004’ yang tertulis dengan huruf lebih kecil di bawahnya. Papan ini terpancang demikian jelasnya, sebagai tanda. Layaknya prasasti. Aku mendesah. Taman Makam Syuhada, Teuku adalah Syuhada… aku tahu itu sebutan yang baik. Dia telah berada di tempat yang layak, dengan sesama Syuhada.
Suara adzan magrib berkumandang tepat ketika aku keluar melewati gerbang hijau, pintu indah rumah Teuku sekarang…
TAMAT
ini dari kisah nyata ya?
@JNong aku juga gk tau ini fiksi atau nyata, hehe yg jelas akumah udah bengkak mata, dan nangis gaje, nyeseknya berhari2..haha
tp,, kalo untuk mbah nay,, aq rasa beliau ngijinin sih... coz,, mbah nay kan baik orgnya.. hahaha *dijewer
tp,, coba aja dulu saran dr @Tsu_no_YanYan hubungi beliau lewat twitter.. ato kalo g salah di blognya DUNIA KATA NAYAKA.. itu ada alamat email mbah nay... oya,, coba di tambahin juga link blognya mbah nay d sini,, sbgai bntuk pnghargaan atas karyanya... heheh
gitu aja sih sarannya... salam kenal TS..
@JNong ahaha.. habisin tisu nong... awkakwkaw... ceritanya mbah nay.. emang kabanyakan bikin ngena dihati... heheh..
@Rika1006 okeh dokeh... ya coba aja dulu tanyain.. ya sukur sukur kamu di kasih ijin untuk memposting semua cerita beliau kesini.. di nobatkan jadi official akun nya mbah nay di BF... awkakwkawk
Iya nih lagi dan lagi aku di buat galau karn baca lagi dan lagi cerita ini, smpe hri gini blm bsa tdur..haha
Klo mnurut aku cerita ini tuh bkan krn beda agama deh yg bikin berat, tpi justru dri perbedaan agama itu berkesan indah krn mreka ssling menghargai. Yang bikin nyesek tuh, krn Edgar blm sempet ngungkapin perasaannya ke teuku, dan teuku harus pergi dengan usia yg bgtu muda. Mereka saling mencintai wlwpun gk saling mngungkapkan.