It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Kamu manggil aku gitu sekarang?” dia membelalak, “Kok kesannya kayak aku ini cewek kelas enam SD ya?”
Aku terbahak, “Usia baru, nama panggilan yang baru, oke Ngil…” aku mendekatkan kue, “Ayo tiup lilinnya.”
Dia terlihat mikir-mikir, lalu menyeringai jahil, “Aku juga mau berhenti manggil kamu Edgar, mulai sekarang kamu adalah,” jeda sesaat yang menimbulkan lipatan di keningku. “Jayen… G-I-A-N-T, Jayen.” Dia meniup lilin. “Makasih, Jayen…”
Giliranku yang membelalak. “Apa aku mirip Takeshi yang jadi Jayen di Doraemon?”
Dia menggeleng, “Boleh aku makan kuenya?”
“Trus kenapa manggil aku gitu?” kujauhkan piring kue dari jangkauannya.
Dia mengerucutkan bibir, “Julius Edgar Siagian… di ujung namamu kan ada G-I-A-N-nya, aku cuma nambah huruf T aja. Kalau udah ditambah huruf T kan jadi lain lafalnya, tapi itu masih ada unsur namamu kok.”
“Kamu sedang berusaha membegokanku, ya?” kutatap dia tanpa berkedip.
Teuku menggeleng lagi, “Boleh aku makan kuenya?” untuk kedua kalinya dia bertanya dengan nada lebih memelas.
Aku mendesah, ah sudahlah. Terserah dia memanggilku apa. Kusodorkan piring, “Semoga panjang umur ya, Mungil…”
“Amiiin…” dia menggenggam sendok dan membelah-belah kue kecil itu.
“Ayo makan…”
“Nanti dulu, kadoku belum kamu buka…” aku mengulurkan tangan kiriku.
Dia batal menyuap kue ke mulut, menatap kotak kecil yang kuangsurkan buatnya. “Itu kado? Kecil amat, bungkusnya pun jelek…”
Rasanya aku ingin menimpukkan piring di tangan kananku ke mukanya yang tidak lebih besar itu. Tapi aku tak mungkin tega, alih-alih aku malah tertawa. “Siapa suruh lahir tanggal tua begini? Coba kamu lahirnya pas tanggal muda, kiriman dari rumah baru datang, pasti kotaknya gak segini…”
Dia tersenyum, “Bercanda…”
“Jangan liat dari besar kecilnya…”
“Tapi lihatlah dari keikhlasan orang yang memberi,” Teuku menyambung kalimatku, “Itu adalah cara ngeles orang pelit kebanyakan.”
Aku tertawa lagi, “Gak kok, aku beneran ikhlas, dan memang cuma sanggup kasih segini.”
Teuku mengambil kotak dari tanganku, “Makasih ya, Jayen…”
“You’re welcome, Mungil…”
Kotak itu langsung rusak begitu berada di tangan Teuku, dia membukanya dengan style preman pasar nagih iuran keamanan. Semoga saja dia tidak jantungan ketika melihat isinya.
“BOLA…!” dia membeliak, “Tenis?” kali ini sambil menunjukkan bola itu tepat di depan hidungku.
“Bisbol,” sahutku pendek.
Bahunya turun, “Rugi bangun tengah-tengah malam buta begini…”
Aku menarik rambut kriwilnya, “Gak tau terimakasih banget… aku ikhlas tau!”
“Bercanda…” dia menimbang-nimbang bola hijau itu di tangannya, “Siapa tahu ke depan nanti aku bisa jadi pemain tenis kayak Roger Federer… makasih ya…”
“Udah berapa kali makasihnya?” aku menimpuknya dengan kotak bekas kado, “Itu bola bisbol, ultahmu kali depan aku beliin sarung tangannya, terus ultah sekali lagi aku kasih pemukul. Komplit selama tiga tahun.” Iseng kutarik lagi rambutnya lalu mendahului menyerbu isi piring.
“Sakit tau!” dia menggapai kepalaku, maksudnya ingin balas menjambak. Namun karena badannya lebih pendek dia kesusahan melaksanakan niat.
Teuku naik ke ranjang dan menumpahkan kekesalan dengan berusaha menumbangkanku. Aku tersedak kue yang belum selesai kukunyah. Di saat aku terus batuk-batuk, Teuku justru tertawa-tawa sambil menyerang kepalaku tanpa ampun. Piring kue jatuh ke kasur dan menumpahkan isinya di atas seprei, tapi sepertinya dia tak peduli.
“Ngil…” aku batuk-batuk, “Stop, aku kesedak…” masih batuk-batuk.
“Mampus…” dia tak menggubris.
Aku menelungkup di ranjang sambil terus menyalak sementara Teuku duduk di pinggangku sambil ngakak besar.
“WOIII…!!! BERISIIIKKK…!!!”
Ada yang berteriak dari kamar sebelah, aku dan Teuku langsung terdiam.
Aku membawa Teuku melihat pesta kembang api di alun-alun kota Medan. Kami sudah terlunta-lunta sejak pukul sembilan malam. Teuku berkali-kali mengeluh kakinya pegal dan mengajakku duduk dimana saja. Kalau tidak ingat bakal mengundang perhatian, ingin saja aku mendukungnya di punggungku, dia tidak lebih berat dari kopernya yang pernah kupikul dulu.
“Jayen… kakiku rasanya mau tanggal. Nyesal deh aku ikut ajakanmu…”
“Tepat tengah malam saat kembang apinya sudah memenuhi langit Medan, rasa sesalmu bakal terinjak-injak hancur tak bersisa,” cetusku sambil menyodorkan kaleng soft drink buatnya. “Lagipula, ini kan pesta setahun sekali, masa kamu mau ngurung diri di kamar kos dengan film-film gak jelas di laptopmu itu.”
“Film-ku jelas tau, memangnya laptopmu, isinya bokep semua.” Dia menenggak isi kaleng dengan rakus, “Alamat harus cari kamar kecil lagi nih…”
Aku tertawa, lalu merespon ucapannya. “Memangnya kamu pernah lihat kalau laptopku penuh bokep?”
“Ya tahu aja, cowok kayak kamu tuh pasti doyan ngoleksi yang kayak-kayak gitu.
“Cowok kayak aku? Memangnya aku cowok yang bagaimana?” kejarku.
Teuku fokus memandangku sekarang. Aku seperti mengalami de javu, debar seperti ini pernah kualami ketika kami bertatapan untuk pertama kalinya di halaman rumah kos. Kini aku bahkan dapat melihat jelas matanya yang bersinar secerah Venus, bintang timur.
Teuku terdiam lama. Mata kami masih bersitatap, tak ada yang mengedip hingga dia kalah lebih dulu. Teuku berhenti memandangku dan menolehkan kepalanya lurus ke depan. Aku melakukan hal yang sama kemudian.
“Kamu cowok baik…”
Itu ucap lirih yang keluar dari bibir Teuku setelah kami lama membisu. Aku tidak meresponnya, diam hingga dia kembali bersuara yang lebih berupa bisikan.
“Kamu adalah lelaki baik yang pernah jadi sahabatku…”
Aku tersenyum simpul. “Itu penilaian subjektifmu untukku kan? Kamu bilang gitu karena orangnya adalah aku.”
Dia menggeleng, “Itu penilaian objektif, bukan karena orangnya kamu, tapi karena kamu memang baik…”
TET TERERET TET
Suara terompet mulai bersahut-sahutan. Petasan juga mulai meledak dimana-mana.
“Budek kupingku lama-lama di sini…” keluhnya.
“Sesaat lagi, jangan budek dulu…!”
Aku segera bangun dan menarik tangan Teuku begitu orang-orang mulai menghitung mundur dari sepuluh. “Ayo, sudah saatnya…”
“… ENAM… LIMA… EMPAT… TIGA… DUA… SATUUU…!!!”
Dan kembang api seketika itu juga bertaburan menutup langit. Di sampingku, entah mendapat energi dari mana, Teuku berseru riuh sambil mendongak langit. Dia tertawa gembira, berganyut di bahuku dan sesekali melompat.
“Aku belum pernah lihat yang kayak gini… Aku belum pernah lihat yang kayak gini!” serunya berulang-ulang.
Aku tak akan melupakan ekspresinya. Melihat Teuku seceria sekarang, rasanya bagai seisi dunia baru saja diletakkan dalam tanganku.
Kami kelabakan mencari transport untuk pulang ke kos. Teuku sudah meringis-ringis menjelepok di atas trotoar sambil sesekali memegang lututnya. Rasa lelah yang tadi sempat dilupakannya ketika kembang api meledak kini muncul lagi, berkali-kali lipat lebih parah katanya.
Dia membalas ucapanku dengan gumam pelan, masih sambil memijit lututnya.
“Gak balas ngucapin?”
“Se-la-mat ta-hun ba-ru, Ja-yen…” balasnya dengan nada menjengkelkan. Lalu, “BECAAAAAAKKK…!!!” dia berteriak keras.
Aku melihat sebuah becak mendekati kami.
“Akhirnya…”
Sepanjang perjalanan dari kota ke Padang Bulan, Teuku menyandarkan kepalanya ke pundakku. Sepertinya dia sama sekali tidak terganggu dengan keadaanku yang pasti bau keringat. Tangannya juga mengait pinggir saku jaketku. Entah dia beneran tertidur atau tidak, aku tak peduli.
***
Lampulo, akhir Februari 2004
Aku masih tidak percaya dengan keputusanku sendiri. Dulu aku hanya berkelakar kalau ingin melihat rumah Teuku, siapa yang mengira ternyata aku benar-benar bisa berada di tempatnya. Aku berhasil meyakinkan mamaku agar memberi izin menghabiskan seminggu liburan akhir semesterku di tempat Teuku. Awalnya mamaku bersikeras melarang, beliau khawatir mengingat kondisi di Aceh yang sedang dilanda konflik, berpergian ke sana dipandang terlalu beresiko. Tapi ketika Teuku mengatakan ‘Kita akan baik-baik saja’ itu sudah lebih dari cukup untuk meyakinkanku bahwa Tuhanku dan Tuhannya akan menjaga kami. Lagipula, ini aku bersama Teuku, dia sudah pernah pulang pergi sebelumnya.
‘Natal kamu gak pulang, tahun baru juga gak pulang, sekarang libur semester juga gak pulang… Mama khawatir…’
Mamaku akhirnya luluh setelah kuyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja, dan pasti akan pulang saat libur tahunan nanti yang biasanya lebih lama.
Jadi, di sinilah aku sekarang, di daerah bernama Lampulo yang letaknya tak begitu jauh dari pantai. Kami tiba lewat pukul sepuluh malam, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 13 jam dari Medan ke Banda Aceh dalam mobil travel yang sumpek dan membuat sakit seluruh badan. Aku berdiri canggung melihat Teuku dipeluk dan dicium keluarganya di beranda rumah.
Kesan pertama yang kutangkap, mereka adalah keluarga yang solid. Abah dan umminya menyambutku hangat, adik perempuannya yang paling kecil –dibungkus piyama Hello Kitty- menyalami dan mencium tanganku, sepertinya dia baru terbangun atau bisa jadi menolak untuk tidur sebelum kakak laki-lakinya pulang, bocah TK itu terkantuk-kantuk memegang guling kecilnya. Sedang adik perempuannya yang lebih besar menunduk malu-malu ketika bersalaman denganku, kuperkirakan dia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
“Mari masuk, Nak Edgar. Langsung istirahat saja, lelah pastinya seharian di mobil,” ujar abahnya sambil mempentangkan pintu lebih lebar.
“Iya, Om…”
Jujur, aku sedikit segan dengan abahnya Teuku, aura kharismatik beliau membuatku tak berani menatap wajahnya terang-terangan. Lain dengan umminya, aku langsung merasa nyaman.
“Yuk, Gar…” ternyata di sini Teuku memutuskan untuk memanggil namaku seperti biasanya.
Aku tersenyum sambil mengangguk.
***
“Aku gak bangunin kamu, kasihan. Gak apa ya kamu sarapannya telat.”
Aku menguap sambil duduk di kursi meja makan.
“Eh, mau langsung makan? apa gak mandi dulu…”
“He eh, mandi dulu…”
Adiknya yang paling kecil masuk ke dapur, berdiri memperhatikanku yang masih kusut hanya bercelana pendek.
“Halo…” sapaku sambil menunduk. Kuberanikan diri menyentuh rambutnya yang sama persis seperti rambut Teuku.
“Jangan harap dia mau menjawab, dua adikku diam banget kalau ketemu orang baru.” Teuku selesai mencuci, “Tuwah, kita tunggu Ummi aja sambil nonton tivi, yuk!” Teuku menggandeng tangan adiknya.
“Kamu mandi sana, jangan sampai sarapanmu jamak sama jam makan siang.”
“Namanya unik ya, Tuwah?” tak kurespon kalimat Teuku yang menyuruhku mandi, sebaliknya mengomentari nama adik kecilnya itu.
“Cut Nyak Meutuwah, namanya…” jawab Teuku.
“Bagusnya. Yang satu lagi?”
“Cut Nyak Taria, dia baru kelas satu SMP.”
Aku manggut-manggut, “Memangnya ummimu kemana?”
“Belanja bahan dapur. Udah sana mandi, makin siang nih.”
***
Yang tak bisa kulupakan saat di rumah Teuku adalah ketika sampai hari Jumat. Saat Teuku dan abahnya sudah rapi dengan pakaian muslim mereka sedang aku duduk tenang di sofa ruang tamu sambil membolak-balik majalah, Tuwah berucap dengan suara yang cukup jelas terdengar dari arah dapur setelah sebelumnya asik mondar-mandir mengecek keberadaanku tanpa menegur sepatah kata pun.
“Ummi, Abang Edgar itu engga ke mesjid ya?” ternyata dari tadi dia heran mengapa aku duduk tenang-tenang saja sedangkan kakak dan abahnya sudah hendak pergi. Ketika rasa herannya sudah tak tertahan minta diluruskan, dia mendapatkan umminya untuk bertanya.
Lirih kudengar umminya menjawab di sela bunyi pisau yang beradu dengan talenan, sepertinya beliau sedang memotong sayur. “Pergi, Nak… tapi Abang Edgar perginya baru hari minggu lusa…”
Aku tersenyum simpul mendengar jawaban lirih itu. Malamnya ketika aku bercerita pada Teuku saat menjelang tidur, dia tertawa sampai ranjang bergoyang.
“Adikku memang gitu, suka penasaran. Biasa kan, usia anak segitu rasa ingin tahunya sedang pesat…”
Aku mengangguk, “Yang mendamaikanku tuh jawaban Ummi… Memangnya di sini ada gereja, ya?”
“Gereja Methodist sih ada, kamu mau ke sana hari minggu ini? Kalau mau biar aku antar.”
Aku berfikir sejenak. “Gak usah aja, hari minggu ini kita muter-muter lagi, sorenya kan udah harus balik.”
“Ya sudah…”
***
“Kamu turisnya, aku tour guide-nya. Jadi diam sajalah!” Teuku selalu bilang begitu tiap kali aku menawarkan untuk menyetir dan dia yang memberi instruksi di tiap persimpangan, tapi dia tak mau.
Terakhir, saat menjelang siang setelah dua kali isi bensin, kami melihat-lihat pelabuhan kapal air di Ulee Lheue.
“Kalau mau ke Sabang ya lewat pelabuhan ini perginya.
“Yah, aku malah gak ingat Sabang… duh, kamu telat nyinggungnya. Padahal kita sempat untuk pergi. Itu pulau paling brand di Aceh, kan?”
Teuku tertawa, “Nanti kapan-kapan deh, aku juga sama sekali gak ingat tuh kemarin-kemarin.”
“Ngeles aja, takut aku minta dibayarin, ya?
“Itu juga salah satu hal yang menjadi pertimbanganku…”
“Dasar pelit!”
Teuku hanya ngakak besar sambil terus mengemudi pulang.
***
LALU bulan-bulan berganti. Kami menjalani rutinitas perkuliahan semester dua tak jauh beda dari semester satu. Seiring waktu pula, aku semakin menyadari satu rasa yang mulai berakar dan mengembang dalam hatiku. Itu adalah perasaan tak ingin kehilangan. Itu adalah perasaan tak ingin jauh. Itu adalah perasaan tak ingin berpisah. Belakangan aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak salah memutuskan, aku tidak salah memutuskan bahwa nama perasaan itu adalah cinta. Ya, dari hanya jatuh suka, dari hanya jatuh sayang, kini aku sudah jatuh cinta pada Teuku Phonna Darussalam.
Aku sama sekali tak disaput ragu, sama sekali tak dibuat tertekan dengan aturan alam dan kodrati yang tidak membenarkan objek tujuan perasaanku, aku sama sekali tidak takut dan bimbang. Aku meyakini dengan keteguhan hati yang bukan olah-olah. Salah atau benar menjadi hal yang tak penting lagi.
Yang aku pegang, aku mencinta Teuku, lelaki mungilku. Itu saja.
Ketika hatiku kian mantap, aku mulai menunggu masa, mengintai kesempatan, menanti hari dimana aku bisa meneriakkan kata cinta yang tertahan di ujung lidah. Aku sabar, selama Teuku masih bersamaku, meski dia belum tahu, itu sudah cukup bagiku.
Aku mendapat kado sehelai oblong warna hitam dari Teuku sebagai hadiah ulang tahunku. Dia juga membelikan kue tart dan lilin angka 19 untukku. Tidak sepertiku yang mengagetkannya tepat tengah malam, Teuku baru masuk kamarku setelah sembahyang subuh. Aku memakluminya, dia tak pernah mengejutkan orang ketika masih dalam jam dimana si orang tersebut seharusnya beristirahat. Itu katanya.
“Masih terhitung awal bulan, jadi aku beli yang mahalan dikit…” ujarnya ketika aku mempentangkan oblong itu dari bungkusnya.
Aku tersenyum senang ketika melihat labelnya, dia benar, ini cukup mahal. Tapi aku masih ingin balas dendam mengingat betapa dia pernah membuatku geram saat ultahnya Desember kemarin.
“Coba kalau warnanya putih ya, Ngil… bakal lebih senang.”
“Aku kan beli sesuai seleraku, kalau mau yang warna putih harusnya kamu kasih uangnya ke aku lebih dulu. Gak terima kasih banget…”
“Bercanda…” tukasku sambil tertawa. “Makasih ya, Ngil…”
Dia mengangguk.
“Emm… boleh aku peluk bentar?”
Dia melongo, “Kenapa?”
“Sebagai rasa syukur aja bisa punya teman kayak kamu.”
Dia mengangkat bahu, “Jangan lama-lama…”
Aku tersenyum lalu memeluknya. Puncak kepalanya cuma sampai di batas bawah dadaku.
Aku bahagia.
***
Kisaran, Agustus 2004
Libur tahunan. Jauh-jauh hari Teuku sudah mengutarakan niatnya untuk gantian berkunjung ke rumahku. Dia mengaku itu adalah keputusan terbesar dan terberat yang pernah diambilnya selama periode satu tahun ini. Aku mengerti yang dia maksudkan dengan keputusan terberat itu adalah, dia berat kerena tidak berjumpa keluarganya liburan kali ini. Satu sisi aku kasihan dan ingin saja melarangnya ikut, tapi satu sisi lagi aku sangat ingin dia ikut bersamaku. Maka, aku tidak melarangnya.
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 5 jam dari Kota Medan ke Kisaran, kini aku tiba di rumah. Di sampingku, Teuku berdiri sambil merapikan rambutnya –yang menurutku tak akan pernah bisa rapi walau digosok dengan setrika paling panas sekalipun, dia berdecak beberapa kali.
“Kamu pasti orang terkaya di Kisaran ya, gede banget rumahnya. Lebih gede dari rumah kos kita.
“Cuma unggul ukuran aja, tampilan luar dan dalamnya standar. Gak ada fasilitas yang luar biasa,” ujarku. “Mama-papaku pasti ada di gudang, yuk!”
Teuku mengikutiku menuju bangunan beton yang terpisah sepuluh meter dengan samping kanan rumah, itu adalah sumber nafkah keluargaku. Sebagian besar waktu satu harian dihabiskan mama-papaku di sana.
“Ternyata kamu gak bohong ya tentang mikul karung beras…”
Aku tertawa, “Aku gak bohong tentang gudang sembako. Kalau tentang karung beras, pekerja Papa yang melakukannya. Mereka datang pas ada bongkar muat aja…”
Sepertinya Teuku siap mengomel, tapi batal karena mamaku keburu histeris menyambut kami. Setahun tidak bertemu anak tunggalnya membuat mamaku bereaksi berlebihan. Aku merona sendiri karena pipiku dicium beliau berkali-kali, kepalaku jadi bulan-bulanan sambil terus berujar “Mama kangen Mama kangen…”
“Ma, ini Teuku yang sering Edgar certain di telepon…” kataku menghentikan tingkah Mama yang membuatku terlihat belia sepuluh tahun ke belakang.
“Horas, Tante… apa kabar?” sapa Teuku sambil menyalami dan mencium tangan mamaku.
“Duh, Nak Teuku bener-bener menggemaskan seperti yang dibilang Edgar… Tante baik… selamat liburan di Kisaran, selamat datang di rumah Edgar, moga betah.”
Kulihat Teuku kikuk sendiri karena bahunya ditepuk-tepuk mamaku perlahan. Dia tersenyum canggung dan mengangguk-angguk. “Pasti betah, Tante.”
Saat itu juga, kehadiran Teuku yang Anak Aceh langsung membuat heboh lingkungan sekitar rumahku yang mayoritas katolik. Mamaku merumpi dengan ibu-ibu tetangga di kiri kanan. Beberapa dari mereka bahkan langsung menyusul masuk ke rumah untuk melihat Si Anak Aceh. Hari pertama di rumahku dilalui Teuku tanpa melewatkan rona merah di wajahnya tiap kali ada ibu-ibu yang mengulurkan tangan padanya. Aku bahkan belum sempat membawanya beristirahat di kamar.
***
“Kamu sering nyeritain aku sama mamamu, ya?”
Aku membuka pintu kamar, “Beberapa kali…”
“Nyeritain apa saja?”
“Nyeritain beberapa sifat baik teman kos-ku,” jawabku sambil menyeringai padanya. “Yap, welcome to my world…” aku masuk kamar diikuti Teuku di belakangku.
Benda pertama yang menyita perhatian Teuku dari sekian banyak benda di dalam kamarku adalah toples bening bertutup merah yang bertengger sendiri di rak paling atas meja belajarku.
“Itu isinya apa?” dia menunjuk.
Aku mengikuti arah telunjuknya, “Lihat saja sendiri.”
Teuku berjalan mendekat, rak itu terlalu tinggi buat digapainya. “Siapa sih orangnya yang gak punya kerjaan bikin rak setinggi Seulawah gini…” dia mengomel, siap untuk memanjat ke kursi di dekatnya.
Aku geli sendiri mendengar Teuku berucap seperti itu. Kuhampiri dia lalu kuserahkan toples yang mencuri perhatiannya sebelum dia sempat memanjat ke kursi.
“Burung kertas?”
“Memangnya dari tadi belum kelihatan ya?”
“Warna-warninya berkilau, aku kira gulali.”
Aku sukses terbahak. “Jadi kamu mengambil dengan niat mau dimakan, gitu? Dasar bocah…” Ledekku, “Mereka berkilau karena terbuat dari kertas perda…” aku menunjuk pada toples di tangan Teuku.
“Tapi bagus ya… kamu yang bikin?”
Aku mengangguk. “Itu usianya sudah setua masa pendidikanku. Tahukah, aku bikin burung-burung itu saat kelas satu sekolah dasar. Aku bahkan masih ingat guru yang mengajarkan kami waktu itu, namanya Ibu Mimi.”
“Wah… luar biasa. Masih awet gini."
“Awet karena disimpan dalam toples kaca, kedap udara dan gak lembab."
Dia manggut-manggut, “Toples kaca juga bikin burung-burung ini tampak artistik di dalamnya… mereka jadi lebih cantik.”
Aku tersenyum melihat dia menatap toples yang masih terus dibolak-balik dalam tangannya dengan mata berbinar. “Meskipun cantik, ia hanyalah burung kertas, ia boleh punya sayap, tapi tetap tak bisa terbang kan?”
Dia menatapku, “Jayen sedang berfilosofi, ya?”
“Enggak,” jawabku. “Yang lebih pintar berfilosofi biasanya mahasiswa Fakultas Hukum.”
“Mahasiswa Hukum tuh pinternya ngapalin UUD empat lima, yang gemar nyiptain filosofi adalah Mahasiwa Filsafat.”
Aku tak merespon lagi, kuperhatikan Teuku yang mulai menggoyang-goyangkan toples, membuat burung-burung kecil di dalamnya berpelantingan.
“Banget.”
“Ambil aja…"
“Eh?”
“Aku bilang, kalau suka ambil aja, bawa pulang."
“Buatku?”
Heuh, lemot juga dia. “Iya. Gak mau?”
“Geratis kan, kenapa harus gak mau?”
Aku menghembuskan napas putus asa. Kutinggalkan dia yang masih asik dengan toples menuju tempat tidurku. “Kalau mau istirahat, silakan…” aku melepas kemeja dan kaos dalam, bertelanjang dada kuhempaskan diriku terlentang di kasur.
***
“Maaf ya, aku gak punya sajadah buatmu…” ujarku ketika Teuku baru saja selesai mengambil wudhu, ujung lengan baju muslim hitamnya tampak basah. Ini sembahyang magrib pertamanya di rumahku.
“Tak apa, sarung bersih ada kan? Minta itu aja buat sajadah… Aku gak ingat untuk bawa, padahal koko sama sarung dan peci gak kelewat. Pikun!”
Seperti biasa, aku diam memperhatikan sampai dia selesai menoleh ke kanan dan ke kiri.
***
Meskipun ini bukan yang pertama, berada satu tempat tidur bersama Teuku sekarang membuat aku berdebar hebat. Ketika satu tempat tidur di rumahnya dulu, aku tak merasa dadaku begitu berdentuman seperti saat ini.
Aku tak dapat memejamkan mata. Dari merebahkan diri lebih empat jam lalu kantuk sama sekali belum menjamahku. Alih-alih aku hanya memperhatikan sosok kecil Teuku yang berbaring damai satu hasta di samping kiriku. Nafasnya teratur, bibirnya sedikit merenggang. Dalam keadaan seperti ini, dia berkali-kali lipat tampak begitu menarik semua inderaku.
Tiba-tiba saja hasrat untuk memeluknya membuncah dalam dadaku.
Aku menahan napas sambil bergerak perlahan menutup sehasta jarak antara kami. Takut membuatnya terbangun, dengan begitu perlahannya juga aku melingkarkan tangan kananku ke pinggang rampingnya, diikuti bagian tubuhku lainnya yang menempel padanya. Sekarang, aku bisa merasakan hembus nafas Teuku di kulit dadaku, aku bisa membaui aroma rambutnya lewat hidungku, aku bisa merasakan tekstur kulit punggungnya di telapak tanganku. Kuangkat tungkai kananku untuk menyempurnakan dekapanku padanya seiring dengan mataku yang terpejam.
Tidur memeluknya seperti ini menimbulkan satu keyakinan baru lagi dalam hatiku… bahwa Teuku diciptakan untuk mengisi dekapku.
***
Dia mengangkat bahu, “Kalau mau tahu terlihat kayak apa ya bercermin saja.” Teuku melepas kancing-kancing baju muslimnya dan menyodorkan padaku. “Ini bukan seragam wajib, ini disunatkan saja. Yang wajib itu adalah menutup aurat selama shalat, boleh dengan pakaian apa saja asal suci…” dia menjelaskan lalu menyodorkan peci rajutnya.
Aku tersenyum menerima baju dan pecinya.
“Meski di badanku kedodoran, di badanmu pasti kesempitan. Baju koko style-nya memang harus longgar, gak ngepas kayak misal kita mengenakan kemeja…"
Dia benar, rasanya badanku mengerucut dalam belitan baju muslimnya ini. Teuku tertawa. Aku menatap bayanganku di cermin sambil nyengir sendiri. “Kalau ukurannya lebih besar lagi mungkin bakal bagus ya, Ngil.”
“Mungkin,” sahutnya. “Kalau baju kokonya memang ukuranmu mungkin kamu bisa terlihat kayak muallaff…”
Sesaat aku bengong, dia pernah menjelaskan tentang muallaf padaku satu kali dulu. Katanya, muallaf itu keadaannya bersih seperti bayi baru lahir, semua dosanya sebelum jadi muallaf dihapuskan, tak dihitung.
Aku tersenyum sambil melepas baju muslim Teuku.
***
“Mungil sanggup gak, duduk motor selama lebih empat jam?” tanyaku saat pagi menjelang kepulangan kami ke Padang Bulan.
Dia baru saja memasukkan toples burung kertas yang kuberikan kedalam ranselnya. “Kenapa?”
“Hukumanku kandas, motorku balik lagi. Aku berencana bawa pulang motornya hari ini biar kita punya kendaraan di sana jika keluar-keluar. Sanggup aku bonceng selama itu gak?”
Teuku terlihat mikir, “Barang-barang kita mau ditaruh dimana?”
Aku tersenyum simpul, ternyata itu yang jadi bebannya. “Barangnya kita kasih mobil travel aja, biar Papa yang ngurus lah. Kita berdua balik pake motor, gimana?”
“Ayo aja!”
“Tapi kamu sanggup kan?”
“Kecil lah kalau cuma duduk aja.”
Tepat pukul sembilan pagi, setelah Teuku diwanti-wanti mamaku untuk berkunjung lagi liburan mendatang dan setelah uang sakuku ditambah Papa –uang bensin, katanya- kami meninggalkan rumahku.
Sepanjang jalan dari Kisaran hingga ke Padang Bulan, Teuku merapat ke punggungku. Aku yakin, dari depan dia bahkan tidak terlihat sedikit pun, tersembunyi di balik punggungku yang katanya selebar dan setinggi pilar mesjid. Yang membuatku senyum-senyum senang sendiri, dia hanya melepaskanku ketika kami singgah untuk minum. Selebihnya selama di atas motor, tangannya tak pernah meninggalkan pinggangku.
Kami melewati Bulan Puasa Teuku sama seperti dulu. Aku masih ikut sahur dan berbuka bersamanya, kadang-kadang masih mengisi perut dengan segelas jus atau air mineral dingin di siang hari, masih sering tertidur ketika sedang mendengarnya membaca kitab suci. Bedanya, kami tidak lagi membeli menu sahur sepulang dia dari mesjid. Karena sudah punya motor, kami membeli menu sahur tepat di jamnya. Seperti dulu, aku menikmati rutinitasku, bahkan lebih menikmatinya kini.
***
Perasaanku pada Teuku masih seperti dulu, kata-kata cintaku juga masih tetap tertahan. Adakalanya aku merasa begitu siap untuk berucap, bibirku sudah bergerak-gerak hendak memuntahkan kata, tapi kemudian aku menyadari diriku belum mampu menerima reaksi paling buruk dari Teuku. Meski belum bisa menyematkan status baru pada hubungan kami, aku tidak lantas merasa putus asa apalagi kecewa. Selama kami masih bersama-sama, status sehebat ‘kekasih’ belumlah terlalu prioritas.
***
Padang Bulan, awal Desember 2004
“Kalau kuliah kita udah tamat, kita bakalan pisah ya… mencari jalan sendiri-sendiri…”
Aku berpaling menatapnya, dia sudah lancar melipat-lipat kertas mengkilat di tangannya menjadi burung-burung kecil. Toples yang dulu masih menyisakan ruang kosong kini terlihat mulai penuh. Aku sendiri yang mengajarinya.
“Jangan ngomongin pisah dulu, masih lama kita selesainya. Masih ada tujuh semester lagi.”
Aku tidak dizinkan melipat kertas-kertas itu, dia mau memenuhkan toples dengan jarinya sendiri, ‘Setengah punyamu, setengahnya lagi punyaku…’ begitu dia berujar saat aku pertama-tama mengajarinya beberapa hari lalu.
“Apa aku udah pernah bilang kalau kamu adalah sahabat terbaik yang pernah kupunya?”
Aku mendesah, “Udah, saat malam tahun baru dulu itu kan…”
Dia menggeleng, “Bukankah saat itu aku bilangnya kalau kamu adalah lelaki baik yang pernah jadi sahabatku?” ternyata dia masih ingat dengan rinci kalimatnya waktu itu.
“Beda ya?”
“Jelas beda…” sahutnya mantap sambil memasukkan burung kertas ke sekian yang baru saja selesai dilipatnya ke dalam toples.
“Dimana bedanya?”
“Lelaki baik yang pernah jadi sahabat, beda dengan sahabat terbaik yang pernah dimiliki.” Dia membalikkan badan menghadapku, “Sini biar aku kasih pencerahan…”
Aku tertawa lalu duduk bersila menghadapnya, bersiap mendengarkan sesi pencerahan dari Teuku. Toples burung kertas berada di antara kami.
“Kalau ‘Lelaki Baik yang Pernah Jadi Sahabat’ itu artinya, masih ada kemungkinan lelaki lain yang kadar baiknya juga sama denganmu akan menjadi sahabatku…”
Aku bengong sambil mencoba mencerna kalimatnya. Lalu mengangguk mengerti.
Dia mengulum senyum, “Kalau ‘Sahabat Terbaik yang Pernah Kupunya’ itu artinya kamu adalah satu-satunya sahabat paling baik yang pernah kumiliki. TER-BA-IK…” dia memenggal-menggal kata ‘terbaik’ dengan jeda yang tepat.
“Gak ada yang lebih baik lagi, hanya kamu satu-satunya…”
Aku tak bisa berkata-kata untuk waktu yang agak lama. Satu sisi aku bahagia dengan kalimatnya yang menerangkan bahwa aku adalah satu-satunya lelaki paling baik yang pernah jadi sahabatnya. Namun pada saat bersamaan aku merasa bagai melompat dari atas menara, jatuh deras menuju bumi ketika dia memegang kuat kata ‘SAHABAT.’ Aku tak mungkin bisa lebih dari itu untuknya. Namun kemudian aku tercengang ketika dia tiba-tiba berucap…
“Andai aku cewek ataupun kamu yang seorang gadis, pasti aku akan mengubermu kemana-mana buat jadi kekasihku…” dia menyengir. Kalimat lanjutannya sukses membuatku terbelalak. “Andai dua orang lelaki tak dilarang pacaran, ya…”
Meski dia tertawa setelah berucap seperti itu, tapi hatiku sudah cukup menghangat. Kuambil kesimpulan sepihak, dia mencintaiku. Tapi norma menghalanginya untuk menyebutku kekasih. Itu sudah cukup.
***
Kami setuju untuk meninggalkan kost. Aku akan merayakan natal bersama keluargaku dan Teuku akan merayakan hari jadinya bersama keluarganya. Umminya sudah menelepon beberapa hari yang lalu mengabarkan ingin membuat syukuran seperti yang dulu pernah dilakukan ketika tiba hari lahir anak sulungnya. Kami juga sudah sepakat akan melewati momen pergantian tahun bersama-sama di Kota Medan seperti setahun lalu. Jadi, kami berjanji untuk sudah berada di kos-an lagi tanggal 29.
Tepat pukul sembilan pagi, mobil travel datang menjemput Teuku yang sudah siap dengan ranselnya. Dia tidak membawa pulang banyak barang, begitupun aku. Kami tak sampai seminggu di tempat masing-masing.
Teuku memelukku sebelum masuk ke mobil, cukup lama. Kutepuk-tepuk punggungnya ketika kurasakan dia menangis di dadaku. Si supir memandang kami, dia pasti berpikir kalau aku sedang melepas keberangkatan adikku.
“Baik-baik ya di jalan…” kubantu dia mengeringkan matanya. “Kalau sudah sampai kasih kabar…”
Dia mengangguk, “Kamu juga jangan ngebut-ngebut pulangnya…”
“He eh… salam buat semua di sana.”
“Salamku juga buat Papa Mama…”
Kuangkat jempolku buatnya.
Dia menyalamiku, menggenggam tanganku begitu erat dan lagi-lagi air mata meluncur darinya. Kupaksakan sebuah senyum sambil satu tanganku yang bebas mengusap bulir air yang menggantung di bawah matanya.
“Jaga diri…”
Dia mengangguk.
Aku kaku dengan perasaan tak menentu ketika Teuku membungkuk dan mencium punggung tanganku, untuk yang pertama kalinya.
“Aku pulang, ya…” dia melepaskan genggamannya lalu berbalik.
Teuku masuk lalu menutup pintu, dia menempati jok depan, di samping Si Supir. Klakson berbunyi satu kali sebelum mobil bergerak, Teuku melongok sambil melambai padaku. Aku jelas melihat dia masih menangis. Kubalas lambaiannya hingga dia sudah tak terlihat. Wajahnya yang melongok dari kaca mobil terekam jelas di kepalaku, rambutnya yang tak pernah bisa rapi, bentuk wajahnya yang kecil, dan mata bundarnya yang berlinangan. Itu semua terekam dengan amat jelasnya.
Aku masih berdiri mematung hingga sepuluh menit setelah mobil travel meninggalkan gerbang. Baru setelah itu aku mengancing jaketku, menyandang ransel dan menyalakan motor.
Ketika motorku mulai melaju di jalanan, saat itulah aku menangis sejadi-jadinya. Dadaku rasanya sesak. Kami pernah berpisah sebelumnya, saat Teuku pulang untuk berhari raya. Namun perpisahan kali ini rasanya begitu beda sehingga emosiku tak terbendung, dan aku menangis sesengukan di atas motor…
***
Kisaran, 26 Desember 2004 pukul 00.00 WIB
Aku tak menunggu lama ketika panggilanku tersambung. Suara yang teramat kurindukan menyapa di ujung talian. Rasanya sudah begitu lama aku tak menikmati logat cadal ini.
“Halo… Jayen…”
Dadaku mengembang detik itu juga.
“Apa aku membangunkanmu, Mungil?”
“Aku belum tidur…”
Ya, aku tau kalau dia belum tidur. Jika sudah, panggilanku tak mungkin terjawab secepat ini, bahkan sebelum aku sempat mendengar nada sambung. Tapi aku berpura-pura bego saja.
“Eh, Mungil kenapa belum tidur?”
Dia tertawa, “Nunggu kamu nelpon…”
Aku tersenyum meski dia tak dapat melihatnya. “Kok yakin gitu kalau aku bakal nelpon? Kan aku gak ada bilang-bilang mau nelpon.”
“Kamu gak mungkin gak bakal nelpon!” cetusnya demikian yakin.
Aku tertawa, kemudian berdehem.
"Selamat hari jadi yang ke tujuh belas ya… semoga panjang umur.”
“Iya, makasih…”
“Maaf gak bisa bawain lilin angka tujuh belas ke situ…”
“Memangnya sekarang kamu punya lilinnya?”
“Engga.”
“Konyol…”
Aku tertawa, “Kadonya nanti pas balik ke sini ya, Ngil…”
“Sarung tangan bisbol?”
“Itu salah satunya,” jawabku.
“salah dua-nya?”
“Rahasia, biar jadi kejutan aja.”
“Harus bagus dan mahal!"
Aku tertawa lagi, “Pasti.”
Diam sejenak, sepertinya Teuku menguap.
“Kalau udah ngantuk tidur aja sana…”
“Gimana natalnya tadi?” dia tidak menggubris kalimatku, malah menanyakan natalku.
“Great, aku dapat banyak kado di sini…”
“Pohon natalnya?”
“Luar biasa, aku menghiasnya sama Mama…”
“Hemm…”
Lidahku kelu.
“Aku juga yakin bahwa diriku tak bisa menakar sedalam mana kamu menyayangiku…” dia tertawa pendek. “Jujur ya, saat pertama kali melihatmu di depan teras waktu itu, aku merasa takut melihat sosokmu yang jangkung. Dalam hati aku berujar, ‘Bakalan sering dipalak nih…’”
Tawa kecil menyembur dari mulutku.
“Tapi begitu melihat tatapan teduhmu padaku, aku langsung sadar bahwa ketakutanku tak beralasan. Lalu aku memutuskan untuk tersenyum… dan kamu menunjukkan kebaikan yang aku lihat di matamu ketika kita bertatapan.”
Aku sungguh kehilangan kata-kataku. Teuku tidak bersuara lagi beberapa lama kemudian, yang terdengar hanya bunyi hela nafasnya.
“Ngantukku hilang…” cetusnya tiba-tiba sambil terkekeh.
Aku ikut tertawa.
Kami mengobrol lama setelahnya, aku bahkan harus men-charge ulang hape polyphonic-ku karena batrenya lemah. Baru ketika jam menunjukkan pukul tiga dini hari aku memaksa Teuku untuk mengakhiri obrolan meski dia terus bilang tidak mengantuk.
“Besok adalah hari besarmu, gak lucu kalau kamu tiba-tiba pingsan pas sedang bagiin catering buat anak-anak panti. Udah sana tidur…!”
Setelah mengucapkan selamat sekali lagi buatnya, kami mengakhiri obrolan.
Sebelum tidur, kutatap kotak kado yang terbungkus rapi di atas meja belajarku. Aku sendiri yang membungkusnya sore tadi. Kado ulang tahun Teuku yang ke-17.
***
Kisaran, 26 Desember 2004
“EDGAR…!!! EDGAR…!!!”
Rasanya aku seperti mendengar teriakan Mama. Mataku terasa berat untuk kubuka.
“EDGAR… BANGUN… GEMPA…!!!”
Tanganku ditarik hingga aku terlonjak bangkit. Dan seketika aku sadar bahwa bumi bergoncang hebat. Bisa kudengar bunyi derak atap rumahku.
“AYO KELUAR…!!!” Mama kembali menarik tanganku.
Kantukku tak berbekas, aku tak pernah merasa se-terjaga ini sebelumnya. Begitu tiba di halaman, aku menemukan orang-orang sudah mengelesoh rata di tanah. Semuanya bergoyang. Rasanya tanah bergerak bak gelombang laut. Orang-orang meracau menyebut Tuhan, berdengung bagai dengung lebah, kadang diselingi teriakan.
Aku memegang kuat lengan Mama, kami jongkok di halaman rumah. Pikiranku melayang kemana-mana, Tuhan… apakah ini kiamat?
Dunia masih terus bergoyang, kadang serasa menyentak. Aku takut tanah akan terbelah dan menyedotku ke dalamnya. Membayangkan demikian, aku bergetar ngeri.
Mama komat-kamit membaca doa, sekarang kedua tangannya mencengkeram lenganku begitu kuatnya. Aku mengikuti Mama, meracau apapun yang aku bisa.
Rasanya belasan menit ketika perlahan kurasakan bumi berangsur-angsur diam. Kupandang wajah-wajah pias di sekitarku, sama pucatnya dengan wajahku saat ini.
Kulihat Mama yang berdiri gemetar memandang gudang kami, isinya porak-poranda.
“Ma, Papa mana?” aku baru sadar bahwa dari tadi belum melihat Papa.
“Keluar pukul tujuh tadi…”
Aku memandang sekitar, Mama berjalan ke gudang. Lalu tiba-tiba aku ingat Teuku, apa di tempatnya juga terjadi gempa? Segera aku berlari masuk ke rumah. Kuabaikan beberapa guci keramik Mama yang pecah bertaburan di ruang tamu, aku berlari menuju kamar.
Satu kali panggilanku tak tersambung, kocoba lagi, masih belum tersambung. Aku berteriak kencang ketika mendengar suara Teuku pada panggilan kelima.
“Mungil… di sini gempa!” seruku kencang.
“Jayen…” lalu bunyi ribut koneksi yang buruk.
“Halo, Mungil… aku gak dengar apa-apa…” kembali aku berseru sambil berlari keluar dari kamar.
“…ru…man…gar…tiang lis…han… Krrrkk… kirkkk…”
Yang kudengar adalah suara Teuku yang terpenggal-penggal dan bunyi tak jelas. “Mungil…” panggilku.
Lalu
TUT TUT TUT TUUUTTT
Rasanya aku ingin membanting hape sialan di tanganku ketika berkali-kali kucoba menghubungi Teuku lagi setelahnya namun selalu gagal.
“Edgar, bantuin Papa di gudang!” papaku memanggil.
“Arrrggh…”
***
Begitulah yang kudengar. Kehebohan terjadi dimana-mana. Televisi menayangkan gambar tanpa jeda. Aku tak peduli. Di sudut kamar, aku masih terus memencet tombol panggil di hapeku. Masih terus melakukannya, meski aku tahu bahwa yang kulakukan adalah kesia-siaan.
Banda Aceh luluh-lantak. Ribuan orang tewas.
Aku tak ingin mempercayai dua kalimat itu, aku tak ingin mempercayai berita itu. Masih sambil berlinangan, kubanting benda ditanganku hingga hancur berantakan. Tak berbentuk lagi.
Kuharap Tuhannya menjaganya.
***
Bencana Nasional. Berita berkoar-koar demikian. Indonesia menjadi sorotan dunia, Aceh menjadi destinasi utama lembaga kemanusian di belahan dunia manapun. Semuanya tumpah-ruah menuju ke ‘rumah’ Teuku.
Aku tak ingin memadamkan asa yang masih berkelip-kelip kecil di hatiku. Aku tak ingin berhenti berharap bahwa Mungil-ku baik-baik saja di sana. Tapi kenyataan juga tak mungkin bisa kubantah.
Kami sudah berjanji akan bertemu kembali di Padang Bulan.
Aku mulai putus asa.
***
Jika saja tak dilarang keras oleh Papa, aku sudah akan menumpang truk bantuan yang menuju ke Aceh. Transportasi begitu sulit diperoleh. Mobil-mobil travel penuh hingga ke atap-atapnya. Tak ada celah untuk pergi.
Aku ingin mencari Teuku. Aku ingin menemukan Mungil-ku. Meski takdirnya harus pedih, aku ingin menemukannya di antara jasad-jasad kaku di sana…
Namun aku tidak berada di sana. Aku meringkuk gemetar di sudut kamarku yang terasa kian suram.
***
Kehilangan itu adalah sayat pedih
Dan remuk hancur
Dan derak patah
Dan nanah luka
Kehilangan itu adalah kehampaan
Dan kekosongan abadi
Dan keputus-asa-an panjang
Dan kesendirian tak ber-sudah
Kehilangan itu adalah aku
Dan diriku yang mati rasa
Dan hatiku yang hilang cahaya
Dan jiwaku yang serasa lepas…
Aku harus ikhlas menelan kenyataan pahit. Bahwa aku tak akan melihat Teuku lagi sampai kapanpun. Jumlah korban terus bertambah, tak ada harapan bagiku. Tak ada yang bersisa dari daerah yang berada di pesisir pantai, Lampulo begitu dekat dengan pantai. Aku berhenti berharap.
Dan kehilangan meleburku hingga jadi abu.
***
Kisaran, 01 Januari 2005
Aku berada di alun-alun kota medan. Teuku melompat-lompat girang di sampingku sambil mendongak langit yang dipenuhi nyala kembang api. Dia begitu ceria, begitu hidup… logat cadalnya memenuhi pendengaranku, sosoknya memuaskan pandanganku…
Saat pagi tiba, Mama bertanya, apakah aku menangis dalam tidurku malam tadi?
***
Padang Bulan, mulai Februari 2005
Aku melihat Teuku dimana-mana. Di kedai makan Aceh langganannya, di kampusnya, di sepanjang jalan Dr. T. Mansur saat pulang pergi kuliah, di kantin, di angkot yang melintas, di becak manapun yang berpapasan denganku, di dalam mobil travel, di mesjid dekat kos tempat dia beribadah hari Jumat, di sekitar Katedral Medan. Aku melihatnya setiap hari di boncengan motorku, di dalam kamarku, di seluruh sudut rumah kos. Aku menemukannya di gerbang ketika hendak pergi dan pulang, berdiri bersama koper besarnya. Aku melihatnya setiap saat, dia ada dimana-mana.
***
Aku menatap miris pada barang-barang dalam kamar Teuku. Sudah sejauh ini, tak ada siapapun yang datang kemari mengklaim bahwa barang-barang itu milik kerabat mereka, Teuku Phonna Darussalam. Tak ada seorang pun. Teuku seakan tak pernah kemari untuk diketahui siapapun di sana. Teuku seakan tak pernah lahir untuk ditelusuri jejaknya di sini oleh siapapun di sana yang tahu dia. Tak ada, Teuku terhapus hilang dari ingatan entah siapapun itu di sana.
Namun dia tidak pernah akan terhapus dari ingatanku, tak akan pernah. Kurebahkan diriku di atas ranjang tempat dia biasa berbaring. Kupeluk gulingnya dengan mata yang mulai basah.
Besok kamar ini akan ditempati orang lain. Pemilik kos baru saja memberikan kunci duplikat kamar Teuku padaku. ‘Dia paling dekat denganmu, tolong urus barang-barangnya, ya.’
Aku mulai membuka seprei dan sarung bantal, juga guling. Kulipat rapi dan kumasukkan dalam koper. Kukeluarkan baju-baju Teuku dari dalam lemari. Pekat. Hitam adalah warnanya. Gambaran dirinya ketika mengenakan baju-baju itu dapat kuingat semuanya. Ada baju muslim yang sempat kupakai juga di sini, peci rajutnya, sajadahnya, denim-denimnya yang begitu kecil, baju almamaternya, jaketnya, semuanya. Kini lemari itu kosong, isinya sudah kembali masuk ke koper besar tempat mereka berada ketika dibawa kemari dulu.
Kusapu mataku sebelum beranjak ke meja belajar. Teuku membawa pulang Laptopnya tika itu, kusentuh mesin printernya, berdebu. Buku-bukunya juga diselimuti abu tipis. Tangan yang biasa menjamah mereka tak ada lagi. Air mataku kembali meluncur deras ketika menatap kitab sucinya yang berdiri sepi di sudut meja, aku rindu suara Teuku ketika membacanya. Teramat sangat rindu. Kumasukkan benda-benda di atas meja belajar itu bergabung dalam kardus.
Sekarang aku terpaku menatap bola bisbol yang bersanding dengan toples kaca berisi burung kertas di dalamnya. Kedua benda itu diletakkan pada satu-satunya rak yang ada di meja.
‘Siapa tahu ke depan nanti aku bisa jadi pemain tenis kayak Roger Federer…’
‘Warna-warninya berkilau, aku kira
gulali..'
‘Toples kaca juga bikin burung-burung ini tampak artistik di dalamnya… mereka jadi lebih cantik…’
Kalimat-kalimat Teuku seakan kudengar lagi kini, begitu jelas. Aku mendekap kedua benda itu di dadaku. Rasanya begitu menyesakkan. Dia pergi terlalu pagi, bahkan matahari belum naik sempurna. Usianya genap tujuh belas…
Kini aku memasukkan sepatu-sepatu Teuku dalam kardus lainnya. Ukurannya begitu mungil, semungil nama yang kuberikan untuknya. Beberapa sandalnya juga kugabung dalam kardus sepatu.
Aku beralih pada poster-poster yang disebutnya sebagai kaligrafi yang tertempel di beberapa bagian dinding kamar. Dulu Teuku pernah membacakan bunyinya satu-satu untukku. Sekarang, aku melepaskan lembar itu satu-satu dengan perasaan hampa.
Kosong.
Bahkan setelah identitas Teuku telah tersembunyi di dalam koper dan kardus, aku masih bisa melihatnya bergerak aktif di dalam kamar ini. Nyatanya, identitas Teuku yang tersimpan dalam diriku tak akan pernah bisa kusembunyikan.
***
Aku hanya mengeluarkan baju muslim dan peci rajut dari dalam koper, kugantung dalam lemari bergabung dengan baju-bajuku. Sepasang sepatunya juga kuletakkan bersama beberapa pasang sepatuku.
Toples berisi burung kertas dan bola bisbol kusandingkan di dekat sarung tangan yang belum sempat kuberikan, di satu sudut meja belajarku. Di sana juga ikut menggeletak kotak yang masih rapi berbungkus kertas kado. Hadiah ulang tahun Teuku yang tak sempat diterimanya. Kado itu masih terbungkus rapi, bukan karena aku masih berharap bahwa suatu hari nanti aku bisa memberikannya pada Teuku. Namun ia masih berbungkus rapi karena aku tak punya daya untuk merobek bungkus, dan mengeluarkan isinya yang sempat kukatakan pada Teuku akan menjadi kejutan.
Baju muslim warna hitam dan peci rajut berwarna sama di dalam kotak yang masih terbungkus rapi di atas meja belajarku, tak akan pernah menjadi miliknya.
***
AKU hidup bersama bayang dan memoriku tentang Teuku sampai pendidikanku selesai tahun 2008. Aku tidak pindah kos, barang-barang Teuku masih terawat baik dalam kamarku. Kadoku yang tak tersampaikan juga masih di tempatnya walau kertas pembungkusnya mulai usang.
Papaku menangis haru ketika aku diwisuda. Mama sesengukan saat aku berujar, ‘Andai Teuku juga bisa memakai toganya…’ Lebih dari yang aku tahu, Teuku juga telah meninggalkan kenangan baik dan menorehkan rasa kehilangan di hati mamaku ketika dia pergi.
***
Penghujung tahun 2008 aku diterima bekerja di sebuah bank swasta di Kota Medan. Kupindahkan semua barang-barangku dan Teuku ke rumah kontrakanku yang baru.
Lembar hidupku boleh saja berganti sejak saat itu, tapi ingatanku akan masa yang telah lewat bertahun ke belakang tidak serta-merta terkikis. Teuku masih hidup dalam diriku.
Setiap datangnya bulan puasa, aku juga masih melakukan beberapa hal yang pernah kulakukan bersama Teuku. Setiap tibanya tanggal lahirku, aku akan melepas rindu pada baju kaus yang pernah dihadiahkannya untukku yang sengaja tidak kupakai lagi sejak dia tiada, kusimpan bersama baju muslimnya. Pun begitu ketika tiba tanggal lahirnya, ketika orang-orang mengenang musibah dahsyat di tanggal yang sama, aku tenggelam dalam sesaknya kenangan bersama Teuku, berteman dengan identitasnya yang masih kusimpan.
Lalu bila natal tiba, aku melihat diriku dan Teuku sama-sama menghias pohon cemara sambil tertawa-tawa.
Dan pergantian tahun menjadi titik hampa yang kulewati bersama sepi.
***
Kota Medan, pertengahan 2012
Akhir-akhir ini aku sering melihat Teuku ketika tidur. Dia berdiri di atas hamparan luas rumput yang menghijau, tersenyum padaku sambil melambai. Wajahnya begitu cerah, mata bundarnya masih sama seperti yang kuingat, rambutnya juga, hanya saja terlihat lebih rapi. Tak ada kata, dia hanya berdiri memandang dan melambaikan tangan sambil tersenyum.
Ketika paginya aku terbangun, benda pertama yang aku ingat adalah toples berisi burung kertas yang berada di nakasku. Burung kertas buatan kami berdua.
Setelahnya aku akan teringat kata-kataku sendiri yang pernah kuucapkan padanya.
‘Meskipun cantik, ia hanyalah burung kertas, ia boleh punya sayap, tapi tetap tak bisa terbang…’
Seperti perasaan tak terkatakan yang masih kusimpan dalam hatiku hingga kini. Perasaan bernama cinta itu begitu cantik, begitu indah. Tapi cintaku diam, tidak menuju kemana-mana lagi. Burung kertas itu seperti aku. Meski aku punya cinta yang masih begitu kuat, namun cinta itu tak mungkin melesat kemanapun. Aku tertahan. Cintaku sudah terkurung di satu titik, tak mungkin bisa tersampaikan lagi, buat Teuku.
***
Kota Medan, 26 Desember 2012
Ketika Teuku muncul dalam tidurku lebih sering dengan gambaran yang sama, aku mulai mengerti satu hal. Melepaskan. Ya, delapan tahun aku telah hidup bersama kenanganku, dan kini dia ingin aku melepaskannya.
Pagi ini saat terbangun, aku merenung dalam-dalam akan gambaran berulang yang selalu sama dalam tidurku. Maka kemudian kumantapkan hatiku. Kuyakinkan diri bahwa aku telah sampai di ujung garis. Lalu kuputuskan, aku akan mengunjungi Teuku di hamparan luas rumput menghijau tempat dia berdiri tersenyum sambil melambai kepadaku.
Aku akan ke sana untuk pertama kalinya…
***