Aku mau share cerita karya Nayaka Al Gibran(di ambil dari blog Cerita Kaum Pelangi, dan dari blog penulis: DUNIA KATA NAYAKA) yang menurut aku cerita ini termaksud cerita terbaik yang pernah aku baca.. Karna ceritanya juga gk bgtu panjang, dan bwt aku gk bosen bwt baca2 ceritanya. Cerita ini juga yg menginspirasi aku dalam menulis "Jantung Hati" yg aku bwt happy ending, bwt pelarian dari cerita ini yg nyesek bngt..hehe
#siapin tisu :P
By : Nayaka Al Gibran
Seperti burung kertas….
Meski bersayap, namun ia tak dapat terbang
Ia tak bisa mengepakkan sayap lalu melanglang buana
Ia mustahil bergerak mencapai cakrawala luas
Karena bagaimanapun cantik wujud burung kertas,
Ia tetaplah sehelai kertas
Ia diam dan mati…
***
Ulee Lheue, 31 Desember 2012
Aku masih merasa canggung dengan diriku. Meskipun dulu pernah satu kali mengenakan peci dan baju koko yang kekecilan di badanku, tapi tetap saja saat ini rasanya bagai baru pertama kali aku menggunakan dua benda ini.
‘Kalau baju kokonya memang ukuranmu mungkin kamu bisa terlihat kayak muallaff…’
Apa benar aku tampak bagai muallaf? Senyum menyeruak di wajahku saat mengingatnya.
Kuperhatikan lagi keadaan diriku sebelum turun dari taksi yang mengantarku dari Hotel Medan di kawasan Peunayong menuju kemari. Baju koko-ku warna hitam, aku baru membelinya beberapa jam lalu, begitu masuk dalam toko pakaian muslim yang ada di Pasar Aceh Shoping Centre, aku langsung tertarik dengan baju ini. Bukan karena coraknya yang bagus berbordir sulam emas di dada hingga ke leher, dan juga di ujung lengannya, tapi lebih karena warnanya yang hitam pekat.
Aku menyentuh kepalaku, peci rajut ini juga berwarna hitam. Masih kuingat Bapak yang punya toko berkata ketika aku bertanya apakah ada warna hitam yang sama untuk tutup kepalaku, ‘Saya tidak akan menawarkan peci warna lain jika Anak memilih koko yang itu…’ begitu jawabnya, dan aku tidak menawar ketika mengeluarkan dompet untuk menjadikan dua benda ini milikku.
“Mas mau ke pelabuhan dulu baru nanti pulangnya mampir kemari? Saya bersedia menunggu barang setengah jam jika Mas ingin melihat-lihat pelabuhan…” Sopir taksi, pria lingkungan 40-an yang terlihat simpatik membuyarkan lamunanku, dia memanggilku ‘Mas’ mungkin dia mengira aku Orang Jawa. Bahasa Indonesianya lancar tanpa logat, tapi aku yakin dia adalah pribumi, wajahnya menunjukkan demikian. “Lagi pula, di sini masih terlalu sepi, biasanya agak sore nanti ramai pengunjung…” lanjutnya.
Aku tersenyum, menyadari bahwa aku sudah membuang-buang jam kerjanya dengan tidak segera turun sejak lebih lima menit lalu taksinya berhenti. Meski tampaknya dia sama sekali tak keberatan aku berlama-lama, bahkan bersedia menunggu jika aku ingin melihat-lihat pelabuhan lalu mengantarku kembali kemari, tapi tetap saja aku tak boleh memanfaatkan sifat baiknya, pasti di hotel sana ada orang yang ingin menggunakan jasanya.
Aku mengambil toples kaca bawaanku yang kutaruh di jok di sampingku “Tadi Bapak sudah membawa saya keliling Lampulo, sudah lebih dari cukup kok. Tak mengapa, Pak… saya turun sekarang saja. Saya memang berencana berlama-lama di sini…”
Bapak itu mengangguk ramah.
Aku membuka pintu.
“Baik-baik, Mas…” serunya setelah aku menutup pintu taksi.
Aku membalas dengan mengangkat tangan kananku sambil mengangguk.
“Apa harus saya jemput lagi nanti?” kepalanya melongok dari pintu.
Aku diam sejenak lalu menggeleng, “Saya tidak yakin akan selesai di sini tepat jam berapa…”
Dia mengangguk-angguk mengerti. Setelah melambai padaku dan mebunyikan horn satu kali, taksinya bergerak maju.
Aku menghela napas, memegang toples kaca di tanganku kuat-kuat seakan takut benda itu akan meluncur jatuh dan pecah menghamburkan isinya. Setelah delapan tahun, setelah mengumpulkan kekuatan dan memantapkan hati, baru kini aku mampu kemari. Aku harus melangkah sebelum pijakanku goyah.
Comments
Btw, ngepost ke sini udah minta izin ke kak Nay? Pasti udah ya
Hamparan rumput menghijau menyambutku begitu melewati gerbang besar, tak ada jengkal tanah yang tak hijau di dalam sini, semuanya tertupi rumput yang menghampar rapi hingga ke sudut-sudut. Begitu luas, aku sampai harus memicingkan mata saat memandang tembok yang memagari sekelilingnya.
Kehijauan ini, sama persis seperti yang kulihat berkali-kali dalam lenaku. Aku sudah berada di tempat yang benar. Kutarik napas dalam
Bagaimana caranya aku bisa tahu? Sudut mana yang harus kupilih sebagai dirimu? Sisi hijau mana yang harus kudatangi untuk melepaskan isi toples-ku?
Lalu aku berjalan ke satu sudut hijau terpilih…
***
Padang Bulan, akhir Agustus 2003
Aku baru saja meletakkan koper berukuran lumayan besar di teras rumah yang akan menjadi kediaman baruku selama menuntut. Pinggangku lumayan pegal, duduk hampir 6 jam dari Kisaran kemari tidaklah nyaman. Selain pinggang dan punggungku yang rasanya kaku, leherku juga tegang. Satu-satunya hal yang ingin kulakukan sekarang adalah mengguyur badanku dengan air segar lalu merebahkan diri di tempat tidur. Tapi sebelum itu, aku masih harus menaikkan barangku ke lantai dua. Kupandang koper di lantai teras dengan malas, juga ransel yang kuturunkan dari punggungku beberapa menit lalu. Penghuni kos-an ini ternyata kurang solidaritas, tidak ada yang keluar untuk membantu Si Anak Baru memasukkan barangnya. Atau mungkin mereka memang tidak sedang berada di dalam.
Aku menghembuskan napas putus asa. Welcome to the new world, Edgar.
DIN DIINNN
Suara klakson yang amat sangat keras membuatku menoleh ke gerbang, mobil travel baru saja berhenti di sana, mengantar penumpang kah? Atau menjemput penghuni kos yang mau pulang kampung? Aku berdiri memperhatikan.
Supirnya turun dan langsung menuju ke bagasi di belakang, ternyata mobil itu menurunkan penumpang. Aku tak bisa melihat orang yang diturunkan Si Supir, dia tidak keluar dari pintu berseberangan yang terlihat di depanku.
Tak berapa lama, mobil itu bergerak maju setelah Si Supir membunyikan klaksonnya satu kali. Aku masih belum beranjak dari teras, masih terus memperhatikan ke gerbang.
Di depan sana, seorang anak SMP terlihat kerepotan menyeret barang-barangnya. Dia kepayahan sendiri, kopernya lebih besar dari punyaku, hampir dua kali ukuran koperku. Selain itu, masih ada satu tas jinjing berukuran tak kalah besar di tangan kiri ditambah satu ransel segede ranselku yang bertengger berat di belakangnya.
Rasanya aku ingin tertawa melihat anak itu kepayahan. Bodoh, sudah tahu badannya kecil, kenapa maksain nyeret semua barangnya sekaligus? Tunggu, dia menuju kemari, kemungkinan dia penghuni baru juga sepertiku. Apa kos-an ini menerima bocah SMP? Seingatku minggu lalu pemilik kos-an memberitahu kalau yang ngekos di sini adalah mahasiswa semua, tapi kenapa sekarang ada siswa SMP yang menuju kemari?
Suara ribut roda kopernya menggesek kerikil jelas kedengaran. Baru beberapa langkah melewati gerbang, bocah itu berhenti. Ini juga kebodohannya, seharusnya dia meminta supirnya berbelok ke halaman sepertiku tadi, toh gerbang itu cukup luas untuk dimasuki truk besar.
Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya, menatap lurus ke depan. Saat itu, aku masih memperhatikannya. Mata kami bertabrakan, entah apa yang kurasakan, tapi mendadak saja dadaku berdebar. Hal pertama yang berhasil kuidentifikasi dari anak itu adalah, dia punya mata bundar, dari jauh pun aku bisa tahu kalau matanya juga bersinar jernih.
“First day juga…?”
Logatnya lucu, sedikit cadal. Namun entah kenapa aku menyukainya. Kuberi dia sebuah anggukan.
“Kufikir, aku akan jadi satu-satunya anak baru di sini…”
Aku tersenyum, “Saat tiba sepuluh menit tadi aku juga berfikiran sama sepertimu…” aku berjalan mendekatinya, kuputuskan untuk mengambil alih koper raksasanya. Sesekali berbuat baik tak ada ruginya. Kuabaikan rasa pegalku yang sempat kukeluhkan beberapa menit lalu. “Pindah rumah?” candaku sambil menunjuk koper besarnya.
“Abah dan Ummiku sangat takut anak cowok satu-satunya kesulitan mendapatkan barang-barang di sini, jadi mereka sangat gigih mengisi koper mudik ini untukku…” dia menyengir.
Hal selanjutnya yang berhasil kuidentifikasi dari sosok mungil ini adalah, dia gingsul, tapi entah bagaimana itu membuat senyumnya menarik dalam penglihatanku. Aku sedikit mendapat kejutan, abah-ummi, pasti dia muslim. Selain itu, aku tambah menyukai logatnya.
“Apa mereka juga memberimu daftar?” aku bertanya sambil meraih gagang kopernya.
Dia mengernyit menatapku.
“Daftar hal-hal yang harus dan tidak boleh kamu lakukan di lingkungan baru…”
Dia tertawa, lalu menggeleng cepat.
“Yah, setidaknya ortumu lebih keren. Tahu? Aku punya daftar seperti itu dalam ranselku…” kukedipkan sebelah mataku padanya.
Kali ini dia tertawa lebih lebar. “Apa daftarnya banyak?”
“Nyaris penuh enam lembar kertas.."
“Waow…!” bibirnya membulat.
“Coba tebak, apa yang menempati urutan pertama dalam daftar Hal Yang Harus Dilakukan…”
“Mandi dua kali sehari?” tebaknya, “Eh, tunggu tunggu… pasti mengganti kaus kaki setiap tiga hari. Iya kan? Ummiku sering ngingatin gitu tuh…”
Aku tertawa lalu menggeleng. “Di urutan pertama yang harus dilakukan adalah, tidak boleh absen berdoa tiap hari minggu…” Dia mengernyit lagi.
Aku paham apa yang sedang dipikirkannya. “Aku katolik…” ujarku sebelum dia bertanya.
“Oh…” dia hanya berujar pendek.
Aku bersip-siap memikul kopernya.
“Hey… kamu akan membantu membawa koperku kah?”
Alisku bertaut, menatapnya heran. “Memangnya apa yang kamu pikir akan kulakukan di sini? Menuturkan riwayat hidupku? Of course, aku akan membantumu memasukkan koper mudikmu ini ke dalam sana…”
Kali ini dia benar-benar tertawa, “Terima kasih…”
Aku menggumam lalu mulai memikul ransel besarnya di bahu kananku. Berat, tulang leherku sampai berderak.
“Terlalu berat ya?” sepertinya dia mendengar bunyi tulangku barusan.
“He eh… kamu benar, Abah dan Ummimu sangat gigih mengisi koper ini.” Aku mulai berjalan mendahului. Di belakangku dia mengikuti sambil menjinjing tasnya, masih tetap kepayahan.
Aku meletakkan kopernya di samping koperku, setelah itu kurenggangkan leher dan badanku ke kiri dan kanan. Dia bengong mendengar bunyi tulang-tulangku yang sedang ber-extensi.
“Apa kamu sering ngangkat benda-benda berat?”
“Aku sering mikul karung beras, papaku punya gudang sembako di rumah.” Semoga dia tidak menganggap serius bualanku tentang karung beras barusan. “Lalu, apa yang dilakukan siswa SMP sepertimu di sini? Mandaftar SMA? Bukankah saat ini sudah terlalu telat untuk itu?”
Dia membeliak, “Jadi dari tadi kamu nganggapnya aku masih bocah yang baru tamat SMP?”
Aku mengangguk mantap tanpa dosa. “Kenapa harus nyambung sekolah menengah jauh-jauh hingga kemari, apa di tempatmu ti…”
“Senin besok adalah awal semester gasal pertamaku di Fakultas Hukum!” dia memotong kalimatku secepat lesatan peluru. “Aku sudah melepas seragam SMA-ku dua bulan lalu…”
Mulutku menganga. Anak sekecil ini masuk Fakultas hukum? Sulit dipercaya. Kuperhatikan lagi sosok di depanku lebih lekat. Mulai dari puncak kepalanya hingga ujung sepatunya yang kuperkirakan bernomor 36 atau 37. Sungguh, dia sangat mirip siswa SMP.
“Berapa umurmu?” akhirnya aku mampu bersuara setelah menelan ludah beberapa kali karena tercekat sendiri ketika membandingkan keterangannya dengan fakta hasil observasiku yang berbanding terbalik.
“Dua puluh enam bulan Desember nanti genap enam belas…”
“HAH…?!?” untuk kedua kalinya aku hampir melompat dari tempatku berdiri.
“Aku sempat loncat kelas saat SD, dan masuk akselerasi saat sekolah menengah…”
Aku menganga lagi. Dia lebih dua tahun di bawahku. Aku jadi ingin tahu berapa IQ-nya.
“Apa kita akan mengobrol saja atau bergotong royong memasukkan barang-barang kita… emm… maksudku, mengangkut barang-barangku. Kamu akan membantuku membawanya ke tingkat dua kan?”
Aku berhenti dari ketakjubanku terhadap sosok mungil yang kupastikan akan menjadi temanku di kos ini sebagai sesama anak baru. Kupandang dia, “Hemm… aku tak ingin melihatmu terguling di tangga gara-gara nyeret kontainer ini…” kuputuskan untuk memasukkan kopernya terlebih dahulu.
“Bagus, jadinya kamu gak rugi punya badan gede gitu…” ujarnya santai lalu menuju pintu.
“Apa kita tak perlu ngabarin Ibu Kos dulu kalau kita sudah masuk?” aku melirik rumah induk semangku yang berdiri tak kalah megah di sebelah kanan bangunan kos.
“Nanti saja, kan kunci kamarnya kita sudah punya…” dia berbalik menatapku setelah membuka pintu depan dengan kuncinya. “Apa kamu belum dapat kunci?”
Aku mengangguk, “Aku langsung dapat kunci kamar dan kunci duplikat pintu depan setelah membayar lunas dua minggu lalu.
“Ya udah, berarti langsung masuk aja…”
Aku menggumam. Kecil-kecil ternyata dia punya mental juga. Aku berjalan mengikutinya masuk ke rumah. Kali ini kopernya kuseret. Kami melintasi satu ruang luas yang hanya berisi satu set sofa dan satu TV. Di lantai bawah hanya ini satu-satunya ruang luas yang bukan kamar. Selain itu, di sini ada 4 kamar, juga 2 kamar mandi berdekatan dengan dapur sempit yang sepertinya jarang digunakan.
“Kamu dapat kamar yang mana?”
“Di atas juga…” jawabku.
“Nanti aku bantu ngangkat ranselmu…”
“Itu wajib,” balasku singkat.
Dia membuka pintu, ternyata kamar kami bersisian. “Kita sedinding…” ujarku.
Dia mengangguk, “Kemana orang-orang ya? Sepi begini…”
Aku mengangkat bahu, kudorong kopernya melewati ambang pintu kamar. “Bisa jadi masih liburan di kampung halaman masing-masing, bisa juga masih berada di kampus…”
“Di kampus? Sudah lewat jam lima begini?” tanyanya sambil melirik jamnya.
Aku merespon dengan kembali mengangkat bahuku. “Gak penting… ayo sekarang bantu ngangkat barangku.”
Dia melihat jamnya lagi, “Emm… aku ingat tadi belum sempat shalat Ashar… waktunya mau abis nih…”
Aku langsung melotot.
Dia menyengir, “Kamu kan udah sering ngangkat karung beras, pasti kopermu yang tidak lebih besar dari punyaku itu adalah perkara kecil, iya kan?”
Ungkapan ‘Orang kecil mungil biasanya banyak akal bulus’ agaknya berlaku untuk bocah satu ini. “Hhh… ya sudah, sembahyang lebih penting dari yang lain, kan…”
Dia tersenyum, “Makasih ya…”
Lelahku terangkat bersama senyum lebar yang menampakkan gingsulnya. Bersamaan dengan senyumnya, aku menyadari bahwa diriku sudah jatuh suka pada makhluk Tuhan ini.
“Masuk…”
Satu wajah melongok di balik daun pintu, sepertinya aku mulai hapal garis senyum di wajahnya. “Aku tidak ngasih salam, takutnya kamu kebingungan menjawabnya nanti… karena jawab salam bagi kami itu wajib…” dia melangkah masuk setelah menutup pintu.
“Hemm… trims atas pengertiannya…” aku melanjutkan pekerjaanku dengan buku-bukuku.
“Kamu ngambil jurusan apa?” dia mulai melihat-lihat barangku yang masih berantakan di sekitar tempat tidur.
Setelah memasukkan koperku ke kamar, aku langsung tidur tanpa mandi terlebih dahulu seperti yang sempat kurencanakan. Terbangun jam tujuh lewat malah langsung mengobrak-abrik isi koper dan ranselku.
“Fakultas Ekonomi…”
“Calon bankir…” ucapnya lirih sambil berjongkok di dekat koperku.
“Yap, begitulah…”
Hening. Aku sibuk dengan buku-buku dan beberapa peralatan tulisku termasuk laptop dan printernya, dua benda yang baru dibelikan papaku ini kutempatkan serapi mungkin di meja belajar yang sekarang menjadi milikku, sedang dia hanya diam memperhatikan.
Selesai dengan meja belajar, aku berbalik untuk memasukkan baju-bajuku. Aku terpegun sejenak melihat dia sedang menimbang-nimbang sesuatu di tangannya.
“Itu namanya rosario…” ujarku sambil mendekat. “Aku tak melihat ketika Mama memasukkannya…”
Dia mendongak memandangku, lalu mengulum senyum. “Baru kali ini aku lihat langsung…”
“Dan memegangnya sekaligus…” aku berjongkok lalu mengambil rosario-ku dari telapak tangannya. “Aku simpan ya?”
“He eh…”
Kumasukkan itu ke dalam laci meja belajarku paling atas lalu meneruskan berbenah. Dia pindah duduk ke atas ranjang yang sepreinya masih berantakan setelah kutiduri tadi, sekarang dia asik memencet-mencet hape.
“Apa tadi sore kamu sempat menyebutkan asalmu?” aku bertanya sambil terus mengatur barang-barang.
“Kita juga belum sempat menyebutkan nama masing-masing kok…” ujarnya santai.
Aku berhenti bergerak lalu menoleh padanya, dia masih terpekur pada layar hape, masih asyik sendiri.
Kudekati dia “Mengapa kita bisa sampai lupa berjabat ya?” aku mengulurkan tangan.
Dia berhenti memencet hape dan menyambut tanganku, “Karena koperku tampak lebih menarik.”
Aku tertawa pendek, “Julius Edgar Siagian…” ujarku menyebutkan nama lengkap.
“Ada marganya kah?”
Alisku bertaut, kenapa dia mau tahu? Bukankah seharusnya dia menyebutkan nama lengkapnya juga? Dan ini aneh, seharusnya dia bisa menduga-duga yang mana nama marga dari namaku. Aku mulai menyangsikan, dia tidak sepintar seperti kelihatannya. Dan aku juga tahu kini, dia tidak berasal dari Sumatra Utara.
Aku tertawa, dia hampir sukses merunutkan nama belakang orang Batak. Gemas kueratkan genggamanku pada telapak kecilnya. “Siagian juga nama marga tau…!”
Mulutnya membulat tanpa suara.
“Lalu, apa margamu?” aku balas bertanya meskipun aku tahu dia pasti tak punya marga.
Dia menyengir, lagi-lagi memberiku pemandangan gingsulnya. “Teuku Phonna Darussalam… menurut kabar, aku masih tergolong berdarah biru.”
Aku membelalak, “Teuku? Teuku Ryan, Teuku Wisnu, Teuku Zacky, Teuku Firmansyah…”
“Teuku Umar,” cetusnya.
“KAMU DARI ACEH???” sosok kecil di depanku penuh dengan kejutan.
Dia tertegun kaget, “He eh… masalah ya buatmu?”
Aku diam sebentar sebelum kembali berucap, “Aku belum pernah bertemu orang dari sana sebelumnya. Mengapa harus jauh-jauh kuliah kemari? Di sana kan ada univ negeri juga, Syiah Kuala kan?”
“Eh? Ada larangan ya, kalau di tempat sendiri ada universitas negeri maka dilarang kuliah di universitas lain di kota orang?” dia melirik tangannya yang masih kupegang, “Tanganmu gede, sakit tau. Lepasin!”
Aku baru sadar, kulepaskan genggamanku.
“Lagipula, sejak SMA aku sudah berniat pengen kuliah ke luar daerah, belajar mandiri. Aku pengennya ke Pulau Jawa, tapi ya gitu, dengan alasan kalau aku anak lelaki satu-satunya di rumah, Ummi gak ngijinin aku keluar Sumatra. Akhirnya, aku putuskan untuk milih univ negeri paling tua di luar Jawa, USU."
Aku manggut-manggut. “Kenapa milih Fakultas Hukum, kamu kan pintar ya… kenapa gak milih fakultas yang agak berat dikit, kedokteran misalnya, atau sains?”
“Gak ada suatu apapun di dunia ini yang lebih berat ketimbang hukum. Hukum itu elemen pertama untuk menjadikan sebuah bangsa lebih bermartabat, elemen dasar untuk menegakkan keadilan, menata kehidupan dalam sebuah negeri. Menurutmu… apa yang lebih berat dan lebih utama dari itu?”
Huh, sepertinya aku salah omong. Aku menggeleng lemah, tak sanggup menjangkau pola pikirnya. “Ya ya ya… hukum memang paling berat deh,” ujarku kalah debat. “Trus, di Aceh sana kamu menetap di kabupaten apa?”
“Aku di Banda Aceh, nama daerahnya Lampulo…”
“Gak pernah dengar.”
“Gak penting juga untuk diketahui. Bagaimana denganmu?”
“Aku dari Kisaran, terdampar ke Fakultas Ekonomi karena kebetulan masuk lima besar di SMA-ku.”
Dia manggut-manggut, “Hemm… kamu gak bawa kendaraan? Setahuku, mahasiswa yang manggil ortunya dengan papa-mama pasti tunggangannya hebat-hebat… tapi tadi aku lihat di halaman gak ada satupun mobil mengkilat.”
Aku kontan terbahak, Teuku yang satu ini punya sifat lucu. “Baru dua bulan lalu aku nabrak orang, gak parah sih… tapi papaku beringasnya minta ampun, motorku disita untuk waktu yang tidak jelas… makanya aku nyari kos tidak di luar Padang Bulan, biar dekat kampus."
“Bagus kan, bisa jadi masa untuk instrospeksi diri. Kamu bisa merenung sepuasnya dalam angkot setiap pergi dan pulang kuliah.”
Aku mengangkat bahu. Lalu suara ribut tivi ditingkahi suara gitar dan obrolan tak jelas mulai terdengar dari lantai bawah. Penghuni kos sudah mulai unjuk gigi.
“Apa kita perlu beramah-tamah dengan yang tua-tua? Sepertinya mereka sedang bikin onar di bawah sana…” dia memberi usul.
“Malas… gak ngaruh juga. Biarin aja, kita juga bayar kok di sini. Gak ada efek kita baik-baikin mereka. Jangan terlalu ramah, lebih baik dikenal dingin buat jaga diri, pergaulan di sini bahaya.” Aku memperhatikan lagi Si Mungil ini, apa dia cukup bisa menjaga dirinya sendiri ya? Persepsi orang-orang pastilah sama seperti ketika pertama kali aku melihatnya, lugu dan polos. Sasaran empuk untuk dibelokkan dalam ritme pergaulan kota besar.
“Kalau badanku gede dan jangkung kayak kamu, rasanya gak akan ada yang berani macam-macam.” Dia bangun dari ranjang, “Aku ikut saranmu, jadi lebih dingin kan? Karena ukuranku kecil maka saranmu patut diindahkan.”
“He eh…”
“Apa?”
“Aku paling gak tahan berada lama-lama dalam satu ruang dengan orang yang malas mandi, gak peduli secantik atau seganteng apapun dia…”
“Setan…”
“Kalau tidak punya sabun mandi, aku bisa kasihkan…”
“Kembali saja ke alammu!”
Ujung rambut kriwilnya menghilang begitu pintu kamarku tertutup. Apa selain meledek dia juga baru saja memujiku?
‘Gak peduli seganteng apapun dia…’
Aku berbalik ke cermin, memperhatikan tampilanku sendiri di bidang datar itu. Sepertinya Si Mungil dari Aceh memang baru saja memujiku, tampilanku masih membanggakan di cermin.
***
Kami langsung jadi teman akrab, pergaulanku di luar kampus hanya dengan Teuku. Dia juga begitu, satu-satunya temannya di luar kampus hanya aku. Dua bulan pertama nge-kos tak ada satu hari pun yang terlewati tanpa bertemu satu sama lain, kadang dia yang membuat keributan di kamarku atau kadang aku yang pergi menimbulkan keonaran ke kamarnya. Aku menemukan banyak hal yang kusukai darinya, selain dari tampilannya yang membuat gemas, aku juga geregetan tiap kali mendengar logatnya.
“Kata dokter, lidahku pendek, jadi phonetic-ku tidak seperti mereka yang lidahnya normal-normal aja, makanya logatku cadal gini. Bukan Bahasa Indonesia saja, Logat Acehku juga sama…” begitu katanya ketika aku menyinggung gaya bicaranya yang lucu.
Selain itu, aku menikmati waktu yang kuhabiskan dengannya. Wawasannya luas, dia mengerti segala bidang, dia juga pendengar yang baik, pemberi saran yang bagus kadang-kadang meski sebelum itu harus membuatku jengkel lebih dulu, tapi dia selalu bisa membuka pandanganku. Membuatku merasakan aura positifnya, membuatku merasakan keceriaannya. Bagiku, dia masih seperti kanak-kanak, keberadaannya selalu menggembirakan. Aku selalu merasa lelahku saat di kampus terangkat lepas begitu tiba di kos dan bercengkrama dengannya. Aku semakin jatuh suka, mungkin aku juga mulai menyayanginya tanpa kusadari.
Aku mulai familiar dengan menu daerah asalnya. Kami selalu membeli nasi bungkus di kedai makan Aceh langganannya untuk makan malam.
“Kalau kamu beneran pengen ikut aku liburan semester pertama nanti, maka mulai dari sekarang harus terbiasa sama makananku. Ummi tahunya masak Aceh aja. Kalau gak suka, berat badanmu bisa turun nanti di rumahku.”
Begitu dia pernah berkata ketika satu kali aku sempat berkelakar ingin melihat Aceh itu seperti apa. Aku memang tidak serius ketika mengatakan ingin melihat kampung halamannya, tapi aku serius menanggapi kalimatnya. Jadilah sejak saat itu aku selalu ikut Teuku ketika membeli makan malam.
Yang paling meninggalkan kesan dalam persahabatan kami adalah tenggang rasa. Aku mengakui, Teuku adalah muslim yang baik, muslim yang taat. Aku menghormatinya. Aku menghormati waktu ibadahnya. Bahkan aku suka memperhatikan saat dia bertransformasi dari mahasiswa kecil menjadi santri cilik bila sudah mengenakan sarung dan baju muslim serta tutup kepalanya. Bila kebetulan aku masuk kamarnya dan dia sedang beribadah, selalu, aku akan duduk menunggunya selesai tanpa membuat sebarang suara.
Demikian juga dia kepadaku, bahkan keseringan dia akan mengetuk pintuku pagi-pagi buta ketika hari Minggu bila aku malas bangun. Sejauh aku mengingat, baru Teuku sahabat terbaik yang kupunya.
***
Teuku berpuasa. Ini adalah bulan puasa pertama yang dilaluinya jauh dari keluarga. Sendirian, katanya. Namun aku meyakinkan diriku sendiri, Teuku tidak akan berpuasa sendirian selama aku masih menghuni kamar di samping kamarnya.
Pagi pertama dia bangun untuk makan di awal pagi, itu adalah penghujung Oktober, tanggal 27. Aku ikut membuat alarm di hapeku. Kami makan nasi bungkus dan lauk yang sudah dingin. Aku mengawani Teuku ke kedai makan untuk membeli menu sahur setelah dia pulang dari mesjid melaksanakan sembahyang malam pertamanya di bulan puasa.
“Beli dua bungkus, ya. Lauknya dipisah aja biar gak basi.”
Dia menatapku, “Satu lagi buat siapa?”
“Buatku, kan? Siapa lain?”
“Kan kamu bisa sarapan saat pagi… lagipula bukannya tadi kamu sudah makan malam? Ngapain lagi…”
“Trus nanti aku cuma liatin kamu makan aja sambil nelan liur, gitu?”
Teuku bengong sesaat, “Edgar mau ikut bangun sahur juga?”
“Rencana…”
Dia mengangkat bahu buatku, lalu berbalik pada Ibu Penjual, “Dua bungköh, Mak… eungkot ngen kuwah jih neupisah beh…”
Aku menikmati Bulan Puasa Teuku sebagai rutinitas baruku, dari penghujung Oktober sampai Nopember. Dia sempat gigih melarangku, tapi aku tetap dengan tekadku. Berat memang, aku mati-matian nahan diri agar tidak makan dari pagi sampai petang. Aku akan tergolek di tempat tidur setelah pulang kuliah. Namun selalunya, aku akan kembali bersemangat ketika Teuku berkata, “Beli bukaan yuk, Gar!”
Beberapa kali aku akan menjawab jujur ketika Teuku bertanya, “Ada makan gak siang tadi?” dan dia hanya tersenyum simpul sambil geleng-geleng kepala ketika aku menjawab, “Di kampus aku sempat minum segelas jus, gak apa-apa kan?” atau, “Tadi panas, aku minum air mineral dingin saat pulang.”
Aku selalu suka mendengar suara Teuku ketika dia kerap membaca kitab sucinya sampai larut malam di Bulan Puasa. Suara cadal Teuku terdengar lucu menggelitik kupingku ketika dia melakukan itu. Tak jarang aku sampai tertidur di kamarnya. Dia akan menggoyangkan bahuku menyuruh untuk pindah ke kamar ketika selesai membaca di atas sajadahnya.
Ini akan menjadi memoriku bersama Teuku yang tak akan pernah kulupa sepanjang napasku…
“Gar… Edgar… aku mau tidur.” Suaranya selalu lembut saat membangunkanku, beda dengan nadanya bila kami bercanda. “Kalau ranjangnya gede gak masalah kamu ngorok sampai ngiler di sini, tapi ini cuma muat buat badanku… bangun lekas!” dan selama berkata-kata, dia terus menimbulkan gempa di badanku. Aku suka, kadang malah dengan sengaja berlama-lama membuka mata.
Sebenarnya aku ingin pulang merayakan natal bersama keluargaku di Kisaran seperti Teuku yang tega meninggalkanku untuk merayakan lebaran dengan keluarganya di Banda Aceh. Aku benci bila ingat bagaimana dia membuatku kehabisan akal untuk menghalangi kepulangannya di penghujung Bulan Puasa lalu, saat itu dia sedang memasukkan baju-baju ke ranselnya.
“Aku bisa nangis penuh satu bak mandi bila gak nyium tangan abah dan ummiku setelah Shalat Ied…” jawabnya ketika aku memintanya untuk tidak pulang.
“Iya, aku ngerti… tapi liburnya kan cuma sebentar, cape loh bolak-balik. Banda Aceh tuh jauh…”
Dia melotot, “Kamu sanggup liat aku di sini kayak duda ditinggal mati istri, bengong sambil nangis di hari raya? Kamu gak kasihan?”
“Trus kalau kamu pulang, aku di sini sama siapa?"
“Sendirian,” cetusnya enteng.
Aku manyun, ingin saja aku mengeluarkan semua baju yang sudah dimasukkannya dalam ransel.
Tapi aku langsung luluh saat dia menutup obrolan sambil menatap sayu padaku.
“Ummi kangen aku, Gar… ingat, dia bahkan berat ngelepas aku kuliah jauh kemari. Meski belum lama di sini, aku juga sudah merasa kangen rumah…”
Dan sekarang, saat tiba waktuku, dia malah berhasil membuatku luluh untuk membatalkan rencanaku pulang ke Kisaran. Sungguh tak adil.
“Gak sampai tiga hari kok, tanggal dua enam aku udah ada di sini lagi. Mama juga sudah kukabari kalau aku berangkat sore ini.”
Teuku duduk bersila di atas ranjangku, diam menunduk sambil memilin-milin rumbai sarung gulingku dalam pangkuannya. Aku menatap sekilas lalu meneruskan memilih baju dari lemari yang akan kubawa pulang nanti.
Teuku masih diam selama aku sibuk, masih menunduk hingga aku selesai memasukkan beberapa pasang baju dalam ransel. Sejak masuk kamarku belasan menit lalu, dia baru mengucap satu kalimat saja, “Jangan pulang dong, Gar…” setelah itu dia diam di atas ranjang.
“Beneran, tanggal dua enam aku akan balik. Ultahmu kan?” kutatap dia yang masih tidak bereaksi. “Aku janji bakal ngucapin selamat ulang tahun buatmu langsung dari mulutku, face to face…” kuturunkan ransel ke lantai lalu duduk di sampingnya.
Teuku tak merespon, sebaliknya dia semakin beringas membuat kusut sarung gulingku. Saat sedang begini, dia sungguh terlihat bagai anak SMP seperti yang kukira pertama kali dulu.
“Kamu khawatir aku gak balik pas tanggal dua enam ya?”
Teuku kian menunduk.
“Kamu khawatir nanti gak ada kawan buat ngerayain ultahmu, kan? Kamu khawatir aku keasyikan di rumah dan mutusin gak balik hingga lewat tahun baru, iya?”
Tiba-tiba saja aku mendengar bunyi serut ingus.
HAH? Apa ini? Aku menunduk mencoba menjenguk ke wajahnya, rambut kriwilnya menghalangiku. Kutahan diriku agar tidak tertawa, Teuku sedang berair mata. “Aku gak pernah ingkar janji, dini hari tanggal dua enam nanti aku udah ada di sini lagi. Pasti…”
Teuku mengucek matanya. Bunyi ingus diserut terdengar lagi. Dia menunduk kian dalam.
“Hhhh…”
Aku mendesah panjang. Kurogoh hape dari saku celana, semoga aku tidak diceramahi panjang lebar layaknya khutbah misa karena plin-plan begini. Kutekan tombol panggil di hapeku…
“Ma… Edgar gak jadi balik, ya… natalan di sini aja sama temen. Salam buat Papa, Edgar minta dikirimi paket Natal…”
Mamaku memang merepet panjang seperti yang kuduga, tapi tak sempat kudengar habis. Hapeku lebih dulu terbanting ke kasur ketika Teuku berteriak girang sambil menubrukku.
“YESSS…! BERHASIIILLL…!!!”
Teuku melepaskan pinggangku lalu nyengir sambil membersihkan sisa-sisa tangis di kedua mata dan hidungnya. “Makasih… aku akan jadi batu kalau kamu beneran pulang…” ucapnya lirih, lalu menunjuk dadaku, “Dan minta maaf untuk itu.."
Aku reflek menunduk ke dadaku, noda putih bening kental tampak lengket di kemeja putih yang baru saja kukenakan, tepat di tengah-tengah dada. Ingus Teuku. Rasanya asap menyembur kencang dari kedua kuping dan tanduk mencuat runcing dari kepalaku saat ini.
“SINI KAMU BOCAAAH…!!!”
Detik berikutnya kami bergumul di ranjang diselingi suara Teuku yang memekik-mekik. Entah kerena kegelian saat pinggangnya kugelitik tanpa jeda, entah karena kesakitan sebab rambut kriwilnya kutarik-tarik tanpa henti.
***
Padang Bulan, 24 Desember 2003
Teuku langsung berbinar ketika aku membuka kardus besar yang baru saja diantar mobil travel dari Kisaran, paket natal dari mamaku. Isinya pernak-pernik natal, kue-kue dalam toples bening, topi Santa ukuran kepalaku dan dua kado yang terbungkus rapi masing-masing bertuliskan ‘MAMA’ dan ‘PAPA’ di sampulnya.
“Wah… dapat kado…!” serunya begitu aku mengeluarkan dua kado itu dari kardus.
“Iya, kado natalku. Baru boleh dibuka besok.”
Teuku langsung manyun, tapi tak lama. “Wah, ada cemara juga!” serunya lagi.
“Itu pohon natalku. Biar aku tetap ngerasain aura natal meski gak di rumah.” Kukeluarkan cemara plastik yang tingginya tak mungkin lebih dari setengah meter itu dari kardus, langsung kuletakkan di sudut kamar.
“Aku bantu ya…” Teuku menghampiriku dengan kresek berisi pernak-pernik hiasan pohon natal yang diambilnya dari dalam kardus.
“Asal jangan dibikin jelek aja,” kelakarku.
Rasanya aku tak pernah sebahagia ini ketika mempersiapkan banyak pohon natal di rumahku sebelumnya. Kali ini aku merasa benar-benar sedang mempersiapkannya. Aku dan Teuku menggantung bola-bola mengkilat warna-warni, kaus kaki mini, merekatkan bintang di pucuk cemara, melilitkan pita bercahaya dan lampu-lampu kecil ke seluruh bagian pohon. Aku merasa begitu hidup ketika melakukannya bersama Teuku.
“Kadonya diletakkan di bawah pohon, kan?” Teuku mengambil kado dari atas meja belajarku dan meletakkannya di lantai di bawah pohon, pot cemara tertutup dengan dua kotak dari mama-papaku itu.
Aku tersenyum.
“Cantik ya…”
“Hemm…”
“Merry christmas, Gar…” ujarnya.
“Masih besok…”
Dia mendecak, “Kue-kue ini juga gak boleh dimakan sebelum besok ya?” sekarang toples-toples berisi kue kering bikinan mamaku jadi sasaran perhatiannya.
“Jangan dihabiskan…”
Dia menyengir seperti kebiasaannya, kemudian mulai mempreteli toples itu satu persatu sambil mengecap-ecap. Hatiku berdesir melihat betapa imutnya dia, aku semakin sayang pada mahasiswa belia satu ini.
***
“Iya, aku tau… itu Gereja Katedral Medan, sudah ada sebelum merdeka…”
Dia bengong. “Benarkah? Dari dulu udah ada dan bagus gitu?”
“Ya enggak dari dulu bagusnya, maksudku gereja itu sudah berdiri sejak sebelum merdeka, gitu. Konon, pada saat pertama dibangun, atapnya masih ijuk dan daun rumbia…”
Teuku mendengarkan ceritaku penuh minat, entah karena dia memang suka mengikuti sejarah atau karena dia memang menyukai ceritaku. Atau bisa jadi karena dia juga suka mendengar suaraku seperti aku yang suka mendengar logatnya.
***
Kota Medan, 25 Desember 2003
Aku keluar dari Gereja Katedral Medan setelah mengikuti Misa. Teuku tersenyum begitu aku berjalan menujunya. Kemarin dia benar-benar bersikeras menyarankanku untuk mengikuti misa di gereja paling tua di Sumut ini. Jemaatnya ramai sekali.
Aku sudah melarangnya untuk ikut, tapi dia tetap memaksa ingin mengantarku. Jadi, selama aku mengikuti Misa, Teuku setia menunggu di tempat makan tidak jauh dari gereja. Begitu tiba di tempatnya, alisku bertaut melihat tujuh buah gelas kosong bertebaran di atas meja.
“Tiga kali ke kamar mandi…” dia berucap sambil menunjukkan tiga jarinya begitu aku melongo sambil menatap tak percaya pada gelas-gelas di depannya. “Aku minum tiga macam jus, dua gelas es teh manis dan dua macam kopi…” lanjutnya, “Meja kasirnya ada di sana…” kali ini sambil menunjuk meja di dekat pintu keluar yang dijaga seorang wanita paruh baya.
Aku geram setengah mampus. Dia yang mengosongkan gelas, aku yang harus bayar. Bagaimana dia bisa tahan minum sebanyak itu? “Banyak bener…” lirihku.
“Masih untung aku gak ngosongin tujuh buah piring, sana bayarin!”
Aku menuju meja kasir sambil menggerutu dan bibir mengerucut.
***
Padang Bulan, 26 Desember 2003
“HAPPY BIRTHDAY, MUNGIIIIILLL…!!!”
Aku menerobos ke kamarnya tepat tengah malam dengan kue tart murahan di tangan kanan dan kado kecil berbungkus kertas perda di tangan kiri.
“HAH…?!?”
Aku menyalakan lampu kamarnya, kutemukan dia terduduk bengong di atas ranjang dengan rambut kusut dan tampang mengantuk. Selimut tebalnya bergulung-gulung di pinggang. Mulutnya tetap menganga ketika dia mengucek mata dengan kedua tangan. Aku berhasil mengacaukan jam tidurnya.
“Kenapa harus tengah malam begini sih, Gar? Ganggu tau… besok pagi kan bisa ngucapin selamatnya. Orang rumahku aja belum ada yang nelpon, eh kamu malah aktif sendiri…” dia menguap, lalu mengeluarkan diri dari selimut, sekarang duduk menjuntai di tepi ranjang.
“Wew, harusnya kamu seneng dong ada yang ngucapin tepat waktu. Hari ultah itu baru kerasa sakralnya ya begitu masuk permulaan hari, kayak sekarang.” Aku melangkah mendekati ranjangnya. “Orang-orang yang menyayangiku selalu ngucapin selamat saat masuk tanggal lahirku tepat tengah malam.” Kulabuhkan bokongku di pinggir ranjangnya.
“Ummiku bilang, tanggal lahir itu bukan untuk dirayakan, tapi untuk direnungi…”
“Siapa yang mau merayakan?”
“Lah, itu apa?” dia menunjuk kue tart-ku.
“Ini kue, buat kita makan…” jawabku, “Perayaan itu kan hura-hura, hingar-bingar, ini kan cuma kue saja.”
Dia manggut-manggut, “Dulu kami pernah memperingati hari lahirku dengan bikin syukuran di rumah, undangannya anak-anak panti asuhan…”
Aku diam, tidak merespon kalimatnya. Kunyalakan lilin angka 16 di atas kue. Aku tersenyum lalu mulai bernyayi sendiri.
“Happy birthday to you… happy birthday to you… happy birthday happy birthday, happy birthday Mungil…”
Dia terpegun, “Bilang apa barusan?”
“Nyanyi happy birthday, kan? Apa lain?”
“Gak, gak… yang terakhir, nyebut apa?” dia antusias, bahkan beringsut lebih dekat padaku.
“Mungil…” jawabku enteng. Apa dia tidak sadar kalau saat masuk tadi aku juga meneriakkannya dengan panggilan demikian? Mungkin tadi kupingnya belum terjaga sepenuhnya.
Alisnya bertaut. “Maksudnya?”