It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@3ll0
@Adityashidqi
@yuzz
@kiki_h_n
@TigerGirlz
@Tsu_no_YanYan
@d_cetya
@Fuumareicchi
@jacksmile
@rebelicious
@obay
@zuyy18
Cincin 4. Penyegaran
“Rio Lazuar..”
Rio menggerak-gerakkan kepalanya dengan gelisah meski kedua matanya sudah terpejam.
“Rio Lazuar..”
Bisikan-bisikan halus seolah terdengar dan berhembus dalam kepala Rio.
Dalam mimpinya, Rio tengah berlari-lari dengan panik. Ia berlari seolah tanpa tujuan. Ia hanya berlari, menjauh dari suara yang mengejarnya. Namun semakin jauh ia berlari dan semakin ia sering mengubah arah larinya, suara itu tetap mengikuti dan semakin nyaring.
‘Tidak.. menjauh dariku! Aku tidak mau!’ jerit Rio.
‘Kau tidak bisa lari Rio Lazuar.. nasibmu sudah ditentukan. Kau sudah terikat dengan kiamat yang kian mendekat. Kau tidak bisa lari..’
‘Tidak.. Tidak..’ jerit Rio.
‘Kau tidak bisa lari!’ suara itu terdengar makin keras dan nyaring, dan saat Rio menoleh ke belakang, sebuah bayangan hitam menyusulnya dan menerkamnya, menelannya ke dalam kegelapan yang pekat. Seketika Rio menutup matanya.
Untuk beberapa saat tak ada yang terjadi, dan suara-suara itu telah menghilang. Perlahan tapi pasti, Rio kini bisa merasakan angin yang hangat. Rio juga bisa merasakan matanya silau meski terlindung dalam kelopak matanya. Rio pun membuka matanya perlahan, dan ia mendapati dirinya di sebuah tempat yang sangat terang. Di sekililingnya tumbuh bunga-bunga putih yang ia kenal. Dan di bawah pepohonan putih berdaun perak, tampak seorang wanita tinggi dengan rambut berwarna keemasan. Siapa itu? Rio pun perlahan menguatkan kakinya untuk berdiri dan perlahan mendekatinya. Semakin ia melangkah, ia semakin dapat melihat dengan jelas rupa wanita itu. Wanita itu benar-benar tinggi, bahkan lebih tinggi dari pria paling tinggi di dunia saat ini. Wanita itu berdiri di bawah sebuah pohon yang paling tinggi di tempat yang pernah Rio jumpai itu. Rambut emasnya yang sebagian tertutup sebuah kain penutup berwarna putih tampak berkibar perlahan diterpa angin sepoi. Kini Rio sudah semakin dekat dengan wanita itu. Semula ia agak takut, namun rasa penasaran sekaligus rasa kagum menuntun kakinya untuk terus melangkah.
Rambut Rio tersibak dengan kencang saat angin berhembus cukup kuat, menerbangkan juga kelopak-kelopak bunga yang berwarna putih salju.
“Siapa kau?” tanya Rio sambil menutupi wajahnya dari terpaan angin dan kelopak bunga dengan lengannya.
Wanita itu, samar-samar tampak tersenyum. Penglihatan Rio makin terhalau oleh kelopak bunga yang beterbangan. Rio mencoba melangkah lebih dekat namun hembusan angin itu makin kuat dan menghambat langkahnya. Dalam tiupan angin yang menderu dan kelopak-kelopak putih itu, samar namun pasti, Rio mendengar sebuah suara wanita yang terdengar begitu dalam dan agung.
“Jangan takut Rio Lazuar.. Terimalah nasibmu, terimalah cincinmu, dan terimalah perasaanmu. Niscaya kau akan menemukan jawaban atas segala kegundahanmu.”
Rio membelalakkan matanya, dan seketika angin keras berhenti berhembus.
Saat kelopak daun terakhir yang terbang melintas di depan mata rio berlalu, ia tidak menemukan sosok wanita itu lagi.
“Di.. Di mana kau?!” tanya Rio dengan lantang sambil melihat sekelilingnya, namun ia tidak menemukan apapun di sana, kecuali bunga dan pepohonan.
Saat Rio bisa menerima kenyataan bahwa tak ada siapapun di sana dan sadar bahwa wanita itu telah pergi, ia bersimpuh di bawah pohon itu dengan tatapan kosong.“Kumohon.. tolong aku..” gumam Rio pelan.
“Jangan takut Rio..”
Mata Rio melebar dan ia menengadahkan wajahnya.
Tampak seseorang mengulurkan tangannya pada Rio. “Aku akan selalu bersamamu.”
Mata Rio bergerak-gerak melihat orang itu, hingga bibirnya bergumam lirih. “Kau..”
Sebelum Rio sempat menyelesaikan kata-katanya, tempat itu tampak makin terang dan terang. Wajah orang itu tertutup cahaya putih yang menyilaukan, dan saat mata Rio hampir tak mampu lagi menahan rasa silau di matanya, ia bisa melihat bibir orang itu tersenyum padanya dan seperti mengatakan sesuatu namun Rio tak mampu mendengarnya, hingga tempat itu benar-benar berwarna putih seutuhnya.
***
Rio seketika membuka matanya. Suasana yang ia dapati sekarang sudah kembali normal. Kamar kontrakannya yang sepi dan gelap. Wajah Rio yang berpeluh dan pupil mata yang menyempit tampak berpendar temaram dalam sinar bulan yang menerobos masuk lewat jendela dan gorden tipisnya. Kini Rio mencoba bangkit dan duduk di ranjang sambil mengatur nafasnya. Tangan kanannya memegangi dahi dan mencengkram sedikit poninya.
Rio mereka ulang semua pengalaman yang ia alami sebelumnya dalam mimpinya. Mimpinya terasa begitu nyata. Padang itu, wanita itu, suara itu.. Apa maksud kata-kata wanita itu? Kenapa aku harus menerima nasibku? Cincin terkutuk ini, dan perasaanku? Lalu satu lagi yang membuat Rio risau. Ia tidak bisa mengingat wajah orang yang mengulurkan tangan padanya. Entah karena cahaya yang terlalu terang saat itu atau memang Rio tanpa sengaja melupakannya?
Rio memejamkan matanya rapat-rapat. Ia lelah dengan semua pengalaman ganjil itu. Ia ingin sekali melupakannya meski ia juga sangat penasaran dengan apa yang ia alami saat ini.
Rio pun membuka kembali matanya dan melihat ke arah jam dinding yang tergantung kaku di dinding depan ranjangnya. Cahaya temaram bulan yang berwarna kebiruan tampak menyorot jarum pendek yang menunjuk angka 2.35. Rio menghela nafas dalam. Ia tidak bisa memejamkan matanya lagi.
***
Cahaya mentari pagi yang keemasan menerobos jendela kelas XI IA2, tempat Rio duduk saat ini. Untuk kesekian kalinya, Rio menutupi mulutnya dan menguap. Di tangan kirinya tampak handphone yang selalu aktif mencari data-data yang sedari tadi Rio cari. Milda yang baru saja datang tampak penasaran melihat penampilan Rio yang terlihat tidak fit dan tampak begitu serius di depan layar handphonenya. Milda pun mendekat dan melihat Rio yang mengetikkan keyword ‘Firima Rings’ di browser handphonenya. Alis milda tampak terangkat heran melihat kata itu. “Apa itu, Rio?”
Rio menoleh sesaat dan kembali serius menatap handphonenya. “Mau tahu saja kau.”ujarnya datar.
Milda tampak berwajah masam setelah mendengar kata Rio itu. Ia pun meletakkan tas di mejanya lalu kembali duduk di samping Rio.
“Kau tidak terlihat fit hari ini Rio. Oh tidak, bahkan sedari kemarin kau tampak tidak sehat. Ada apa sebenarnya Rio? Kau punya masalah?”
Rio diam saja, seolah tak mengacuhkan keberadaan Milda di sampingnya.
Merasa tak dianggap, Milda mengambil nafas dalam. “Baiklah kalau kau tidak mau cerita.” Ia pun beranjak dari tempat Rio dan berjalan keluar kelas, mencari udara segar.
di luar kelas yang cerah dan sejuk, tak sengaja Milda bertemu Arvand yang baru datang di depan kelas. Ia pun tersenyum lebar dan menyapanya. “Pagi Arvand!”
Di dalam kelas, pandangan Rio tampak lepas dari layar handphonenya saat mendengar nama Arvand.
“Pagi.. “ balas Arvand dengan senyumnya yang khas.
Saat Arvand hendak memasuki kelas, Milda menahan bahunya dan berbisik padanya. “Teman sebangkumu dalam keadaan tidak baik.. tolong hibur dia.”
Mendengar itu, Arvand memandang Milda dengan tatapan bingung. Milda memberinya isyarat untuk segera masuk dengan gerakan wajahnya. Arvand pun memahami maksud Milda ketika ia memasuki kelas. Ia melihat wajah Rio yang tampak pucat dan kantung matanya terlihat jelas. Sementara Rio, matanya tampak menunduk dan bergerak-gerak gelisah.
“Hai!”
Suara Arvand yang tiba-tiba di sampingnya membuat Rio terkejut. Ia tak sadar jika Arvand sudah sampai di tempat duduknya.
“Kau kenapa Rio? tanya Arvand sambil melepaskan tasnya.
Rio masih enggan menatap wajah Arvand. “Tidak, aku tidak apa-apa.” Jawab Rio sambil berusaha tampak sibuk dengan handphonenya. Namun tiba-tiba situs yang hendak ia kunjungi error. Rio pun melempar handphonenya di atas meja sambil kemudian menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
“Siall...”umpatnya tertahan di balik jari jemarinya.
Sikap Rio benar-benar membuat Arvand bingung.
“Kau kenapa Rio? Mungkin aku bisa membantumu..”ujar Arvand.
Rio pun membuka wajahnya kembali. Ia sadari, ia telah lepas kendali.
“Maafkan aku Arvand, aku hanya..” Rio tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia sendiri tidak bisa menjelaskan keadaannya. Saat ia mencoba menoleh ke arah Arvand, ia melihat Arvand membuka salah satu kantong ranselnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
“Err.. Kamu ingin white chocolate atau black chocolate?”
Mata Rio tampak bergerak-gerak saat Arvand menyodorkan dua bungkus cokelat padanya.
“Tidak Arvand, terima kasih..” ujar Rio pelan.
Seolah tidak memperhatikan jawaban Rio, Arvand kembali menggoyangkan dua cokelat di kedua tangannya. “Ambillah.. Kau satu dan aku satu.” Jawabnya dengan senyum yang polos.
Melihat senyum Arvand, hati Rio sesaat terasa sedikit sejuk. Ia pun mengulurkan tangannya, mengambil cokelat hitam di tangan kanan Arvand.
“Terima kasih Arvand.” Gumam Rio dengan senyum tipis yang ia paksakan.
“Sudah.. Makan saja..” gumam Arvand santai sambil menyobek bungus coklat putihnya dan langsung ia menggingitnya.
Rio tersenyum lirih. Ia pun membuka bungkus coklat itu dan menggigit potongan pertamanya. Saat cokelat itu sudah melumer dalam mulutnya, timbul sensasi hangat di tubuhnya. Seolah masalah dan bebannya menguap begitu saja. Harus Rio akui rasa coklat itu begitu lezat. Rio sudah seringkali memakan coklat merek itu tapi ia tidak pernah menyadari jika rasa coklat begitu nikmat. Apakah ini karena masalah yang ia hadapi? Atau..
Rio perlahan menoleh ke arah Arvand. Ternyata ia mengamati Rio sejak tadi, dan segera memalingkan wajahnya ketika Rio menoleh ke arahnya. Rio mengamati Arvand sambil mengunyah coklatnya, dan sesekali ia bisa melihat Arvand melirik ke arahnya lalu dengan gugup menggigit coklatnya. Rio pun memalingkan lagi pandangannya dari wajah Arvand, dan tanpa sadar Rio tersenyum.
Coklat mengandung senyawa endorfin yang menimbulkan sensasi bahagia dan menenangkan bagi orang yang mengkonsumsinya. Rio tidak tahu, apakah Arvand mengetahui hal itu atau memang Arvand secara kebetulan sedang membawa cokelat untuk bekal ke sekolah. Namun, satu hal yang pasti, Arvand membantu meringankan bebannya pagi ini. Rio pun teringat pada keputusannya kemarin, bahwa ia akan menghindar dari Arvand. Dan saat ini ia kembali berpikir.
“Arvand adalah orang yang baik, sepertinya aku keliru jika menghindarinya hanya karena ia bilang ‘suka’.” Gumamnya dalam hati. Setelah Rio mantap dengan pendiriannya itu, ia pun menoleh lagi ke arah Arvand.
“Arvand.”
Arvand segera menoleh ke arah Rio saat namanya dipanggil.
“Ya?”
Rio diam sesaat, menimbang kata yang akan ia ucapkan. Hingga akhirnya ia menghela nafas dalam dan mengucapkan keinginannya.
“Maukah kau menemaniku jalan-jalan sore ini?”
***
Rio meniup pelan telapak tangannya ketika berada di dalam mobil Arvand. Arvand yang melihat sikap Rio buru-buru mengatur ulang suhu AC-nya. “Terlalu dingin ya?” tanyanya.
Rio mengangguk pelan sambil tertawa kecil. Selain rasa dingin menyengat yang kini sudah mulai berangsur menghilang, Rio menikmati perjalanan ini bersama Arvand.
Dia masih ingat kejadian tadi pagi, saat ia mengajak Arvand, wajah Arvand tampak melongo sesaat. Wajahnya terlihat begitu lucu saat itu dan membuat Rio tersenyum kecil saat mengingatnya. Arvand sangat antusias dengan ajakan Rio dan berjanji menjemputnya pukul 4 sore, dan ia menepatinya.... setengah jam lebih awal. Lagi-lagi Rio tertawa kecil. Melihat tingkah Rio, Arvand menjadi bingung. “Kau baik-baik saja Rio?” tanyanya.
Rio menoleh ke arah Arvand dengan alis terangkat sebelah. Ia hanya menjawab dengan senyuman dan kembali memalingkan wajahnya ke depan, membiarkan Arvand terbengong-bengong di depan setir kemudinya.
Ya, Rio Cuma bisa tersenyum dan kembali larut dalam memori di kepalanya. Memori saat Arvand tiba-tiba sudah sampai di depan kotrakannya, membuat Rio kelabakan karena dia baru saja keluar dari kamar mandi. Belum lagi saat Rio mendapati Arvand tengah duduk di meja makan, memakan sisa nugget makan malam Rio. ah, anak itu memang seolah tak punya dosa. Hanya bisa tertawa sambil menggaruk kepalanya saat melakukan hal-hal yang konyol.
“Jadi, kita mau ke mana Rio?”
Pertanyaan Arvand seketika membuyarkan lamunan Rio dan menariknya kembali ke dalam mobil Arvand.
Saat Rio bingung ingin menjawab apa, mobil Arvand melintasi sebuah spanduk besar yang bertuliskan even Sirkus di sebuah taman rekreasi yang ada di kota Rio. Rio yang menangkap pemandangan itu lantas tersenyum dan menoleh ke arah Arvand. “Bagaimana kalau kita menonton sirkus?”
***
Mobil hitam milik Arvand sudah berhenti di tempat parkir yang mulai penuh dengan kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Rio keluar dari mobil itu dan langsung di sambut dengan udara yang hangat. Cuaca tampak cerah saat itu, dan Rio bisa menikmati cahaya keemasan mentari sore yang hangat.
“Ayo Rio.” ajak Arvand yang tampak bersemangat.
Rio pun tersenyum dan berjalan di sampingnya, menuju gerbang masuk tempat rekreasi terbesar di negara Rio. Ellysium.
Sudah lama Rio tidak mengunjungi tempat rekreasi itu, dan saat ini Rio bisa melihat begitu banyak perubahan semenjak terakhir kali ia ke sana. Rio menjumpai banyak sekali wahana bermain baru yang bisa dikunjungi oleh pengunjung anak-anak maupun dewasa. Rio juga bisa melihat biang lala yang besar. Seumur hidup Rio tidak pernah menjajal menaiki wahana itu. Ia takut pada ketinggian. Tidak hanya wahana itu, Rio memandang ke sekelilingnya, ternyata banyak wahana yang belum ia ‘cicipi’. Don tidak pernah mengajaknya kemari, karena ia malu berjalan berdua bersama dengan sesama lelaki. sementara Rio tidak akan berani menaiki atau memasuki wahana-wahana itu sendiri. Kali ini ada Arvand yang tampak begitu santai berjalan berdua dengannya, dan kali ini Rio merasa ingin mencicipi semua wahana di tempat itu.
“Di mana sirkusnya, Rio?” tanya Arvand.
“Err... Tampaknya di sana.” Jawab Rio sambil menunjuk sebuah gedung pertunjukkan khusus yang ada di pusat ellysium.
“ Tapi aku baca dari spanduk tadi, acara sirkusya dimulai pukul 7, jadi bagaimana sambil menunggu 3 jam lagi, kita icipi semua wahana di sini?” Rio menoleh ke arah Arvand dengan senyum menantang.
Sementara Arvand tampak menyeringai tanda ia menerima tantangan itu. “Boleh! Yang mana dulu?”
Rio melayangkan pandangannya ke sekitar. Biang lala bisa ia naiki terakhir kali saja, sedangkan untuk awal, Rio ingin sesuatu yang menantang. “Bagaimana kalau... Ghost Tunnel.” Ujar Rio sambil menunjuk suatu ruangan panjang dengan sedikit antrean di depan mereka.
Arvand menoleh ke arah jari Rio mengarah. “Kelihatannya menarik. Ayo!”
‘deg!’
Jantung Rio nyaris meloncat ketika Arvand merangkul bahunya dan menggiringnya ke tempat itu. Rio sedikit menoleh ke arah Arvand, ia tampak tidak canggung sedikitpun saat merangkul Rio. mungkin bagi lelaki, suatu hal yang biasa bila saling merangkul di pundak. Mungkin perasaan Rio saja yang terlalu sensitif.
Kini Rio dan Arvand sudah duduk di sebuah gerbong kereta yang berjalan pelan membawa mereka ke tempat yang gelap dengan penerangan lampu berwarna merah temaram. Rio sebenarnya bukan seorang uke yang terlalu penakut, namun wewangian mistis ala kota Rio dan suara-suara raungan serta desahan pelan sukses membuat bulu romanya merinding.
Sejauh ini Rio belum melihat ada sosok hantu yang muncul, namun dari kejauahan, suara tawa perempuan dan raungan tampak sudah menyambut mereka. Menanti untuk kejutan. Sementara saat Rio menoleh ke arah Arvand, ia tampak begitu tenang, dan secuil senyum simpul selalu melengkung di bibir tipisnya. Ugh, dia begitu manis.. seketika Rio memalingkan wajahnya yang memerah. Namun saat Rio menoleh ke arah berlawanan, lebih tepatnya ke arah dinding lorong, sebuah wajah tengkorak manusia sudah berada satu inci di depan hidungnya. “Huwaa!!”
Jerit Rio spontan memancing pengunjung lain juga ikut berteriak, terlebih lagi saat para hantu satu persatu melintas di depan mereka. Tampak hantu-hantu hijau yang sebenarnya hanya berupa hologram berjalan dan menembus kereta serta badan pengunjung. Otomatis saja teriakan meledak. Sementara di kursi belakang tempat Arvand dan Rio duduk, Arvand tampak tertawa kegirangan melihat hantu-hantu yang menurutnya unik dan lucu. Yah, dia yang besar di negara lain tentu baru ini melihat hantu indonesia. Sebaliknya Rio, matanya tampak membulat cemas, melihat ke sekeliling. Wajah-wajah tengkorak yang menempel di dinding dan bahkan seorang, seonggok atau sebuah, atau entah Rio menyebutnya bagaimana, hantu pocong yang melompat-lompat mengejar gerbong tempat Rio duduk. Arvand yang melihat pocong itu tertawa terpingkal-pingkal, namun tawanya perlahan terhenti saat melihat Rio menutup erat matanya dan tanpa Rio sadari, ia mencengkram erat lengan baju Arvand. Arvand tersenyum dan menggenggam tangan Rio. “Tenang.. Ada aku di sampingmu.. “
‘Deg!’
Perlahan Rio membuka matanya dan menoleh ke arah Arvand. Arvand tampak mengedipkan mata padanya kemudian ia kembali menghadap ke depan, meliahat pemandangan yang sungguh lucu baginya. Sementara Rio hanya terdiam dan menunduk, membiarkan tangannya yang dingin perlahan melepas cengkramannya pada lengan baju Arvand dan membiarkan tangannya di situ, merasakan hangatnya genggaman tangan Arvand.
***
Sudah tiga jam terlewati, dan Rio bahkan tidak merasa lelah saat mencicipi banyak wahanan di sana, mulai dari ghost tunnel tadi, roller coster, tornado, bahkan komedi putar yang berupa ayunan kuda yang biasa dinaiki anak-anak pun telah ia naiki bersama Arvand. Kini keduanya tampak berjalan sambil tertawa, mengingat kejadian-kejadian lucu saat mereka bermain.
“Haha.. sudah..sudah..”ujar Rio dengan nafas tersengal-sengal karena terlalu banyak tertawa. “Sudah pukul 7, harusnya sirkus akan segera dimulai.”
“Haha.. iya.. itu gedungnya ya? Biar aku saja yang beli tiketnya, sebentar ya!” ujar Arvand yang menunjuk tenda sirkus sambil tertawa kecil melihat Rio, persis seperti anak kecil yang berlari-lari kecil mengajak orang tuanya menuju ke tenda sirkus. Rio tersenyum geli dan berjalan pelan mengikutinya.
Namun baru beberapa langkah ia berjalan, sebuah angin sepoi berhembus pelan menerpa wajahnya, dan sebuah kelopak putih melayang di depan wajanya. Dengan cepat Rio menangkap kelopak itu. Ketika ia membuka genggaman tangannya, Rio bisa melihat jelas, kelopak bunga berwarna putih bersih yang tak asing baginya.
“i.. ini..” batin Rio. sebuah peluh tak terasa mengalir di keningnya.
Angin kembali bertiup lembut dan kelopak bunga di telapak tangan Rio kini terbang dan masuk ke dalam suatu tenda berwarna hijau tua. Di atas kain penutup pintu masuk, terdapat tulisan bercetak tebal dengan gaya gothic. “Oracle”.
Alis Rio sedikit terangkat setelah membaca tulisan itu. Sejak kapan ada tenda peramal di tempat rekreasi itu? Apakah ini juga termasuk dalam rombongan sirkus?
Tenda itu tampak hening dan jantung Rio berdegub cepat saat ia melihat tenda itu. Angin kembali bertiup pelan, menggoyang-goyangkan kain penutup tenda seolah ia memanggil-manggil Rio untuk memasukinya.
Ada suatu hasrat dalam diri Rio untuk masuk, namun ia kembali menoleh ke arah Arvand, ia tampak sedang mengantre membeli tiket sirkus. Rio menjadi bimbang. Saat ia menoleh kembali ke arah tenda untuk kedua kali, akhirnya ia putuskan untuk masuk. Namun sebelum ujung kakinya sudah sampai di ujung kain penutup tenda, ia berhenti sesaat dan mengirim pesan singkat pada Arvand.
“Masuklah dulu, aku menyusul. Tolong pesankan tiket untukku juga, thanks before. ”
Ketika Rio sudah memastikan pesan itu terkirim, ia pun menghela nafas dan memasuki tenda peramal itu.
Begitu ia berada di dalam, Rio melihat pemandangan di sekelilingnya. Puluhan kain tipis panjang tergantung di seluruh sisi tenda dan atap tenda, sehingga Rio sesekali harus menyibak kain-kain tipis yang menghalangi jalan dan pandangannya. Setelah ia menyibak sebuah kain berwarna emas yang cukup besar, ia bisa melihat seorang wanita yang kira-kira seumuran dengan ibu Rio tengah duduk tenang di tempat duduk yang ditutup kain beludru berwarna merah. Wanita itu berambut panjang dan berwarna hitam legam. Di atas kepalanya tampak ia memakai selembar kain berwarna hijau untuk menutupi sebagian rambutnya, dan sebuah hiasan emas kecil yang tergantung di bagian tengah kain dan menjuntai anggun di dahi wanita itu.
Rio perlahan berjalan mendekat, dan wanita itu tersenyum padanya.
Wanita itu mengulurkan genggaman tangannya dan berkata, “Aku sudah lama menunggumu.” Ujarnya, dan ketika ia membuka genggaman tangannya, sebuah kelopak bunga bergerak pelan. Kelopak bunga yang seputih awan.
Mata Rio bergerak-gerak melihat kelopak bunga itu lalu berganti melihat ke arah wanita itu. Kelopak bunga itu sudah pasti adalah kelopak bunga yang ia lihat dalam mimpinya. Namun Rio bisa memastikan wanita di depannya kini bukanlah wanita tinggi yang ia lihat dalam mimpinya. Lalu siapa dia?
“Apa kau mengenalku?” tanya Rio.
Wanita itu tersenyum. “Duduklah, Rio Lazuar.”
Sekali lagi Rio terkejut, dan rasa curiga mulai menjalar di wajahnya. “Hey, bagaimana kau bisa tahu namaku? Kau.. apakah kau rekan si pria berjubah hitam itu?!”
Wanita tadi hanya mengeryitkan alis tanda tidak mengerti, hingga sekali lagi iagi mempersilakan Rio untuk duduk. “Duduklah terlebih dahulu.” Ujarnya dengan intonasi yang begitu lembut.
Bagai tersihir sebuah mantra, Rio akhirnya luluh dengan kata-kata wanita itu dan duduk di sebuah bantal berwarna merah di depan sebuah meja kecil.
Wanita itu tersenyum penuh arti saat Rio duduk dan mata keduanya saling bertemu. Ia kemudian mengulurkan tangannya ke arah Rio, sehingga Rio dapat melihat sebuah cincin berwarna tembaga yang melingkar di jari manis wanita itu. Cincin yang berupa sulur-sulur tembaga, saling melilit dan mengitari sebuah permata berwarna merah ruby di tengahnya. Jantung Rio berdegub kuat saat ia menyadari kalau cincin itu hampir mirip dengan cincin yang ia kenakan.
“Aku adalah orang yang sama denganmu. Dan aku di sini, akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang merisaukanmu itu.”
Seketika Rio terhenyak memperhatikan wanita itu dan cincin yang ia kenakan dengan tatapan tidak percaya.
Sementara wanita itu tersenyum, dengan seberkas sinar pantulan cincin berwarna merah tembaga di wajahnya yang tirus.
"Namaku Armitha. Pemegang cincin Hena, satu dari empat cincin Firima."
***
Rio, Armitha,?,?... hmmm masih penasaran apa si Don sejalan(?) sama Rio? ataukah di kubu yg lain....
lanjuut><
Kayanya rio dan don itu bakal jd musuh
Buktinya saat don berkata "cincinmu seperti menolak ciumanku"
ellysium? itu tempat roh anak2 setengah dewa di percy jackson bukan sih?
dan don, hmmm, ak berimajinasi yg enggak2 soal dia
dia pasti laki2 tangguh yang suka cium2 pacarnya sesukanya
tapi pasti mengasyikkan
regards aa
tapi kok curiga ma arvand, jangan2 ada sesuatu maksud dia ada di deket rio lazuar (suka ma namanya)
namanya! rio lazuar! )
khas bangettt! )
@3ll0
@Adityashidqi
@yuzz
@kiki_h_n
@TigerGirlz
@Tsu_no_YanYan
@d_cetya
@Fuumareicchi
@jacksmile
@rebelicious
@obay
@zuyy18
Cincin 5. Cincin-Cincin Kuasa
“Namaku Armitha, Pemegang Cincin Hena, satu dari empat cincin Firima.”
Waktu serasa berhenti di ruang itu. Kain panjang yang menggantung di tenda itu bergerak-gerak pelan, mengisi ketenangan dan ketegangan antara Rio dan wanita peramal. Wanita itu tersenyum saat melihat ketegangan di wajah Rio. ia pun menurunkan tangannya dan menjalinkan jari jemarinya di atas meja.
“Aku melihatmu di mimpiku, dengan ribuan kelopak berwarna putih menyelimutimu. Dan saat itu aku yakin, bahwa kau akan datang padaku, Rio Lazuar pemegang cincin Nilda.”
Rio tak berkata apapun, selain secara refleks menurunkan tangan kanannya dari pandangan Armitha.
Melihat reaksi Rio, Armitha tertawa kecil dan suasana terasa lebih cair saat ini. “Tidak perlu takut Rio.. Aku di sini bukan untuk mencuri cincinmu. Terlebih lagi mengetahui fakta bahawa cincin Tàren tak kan bisa di lepas dari jari pemiliknya. Aku di sini hanya ingin membantumu.”
Rio masih tampak diam dan matanya menatap kedua mata Armitha dengan mata bulat dan ragu.
Armitha pun menjulurkan tangannya ke wajah Rio. awalnya Rio tampak ragu dan beregerak menjauhi tangan Armitha, namun Armitha berkata dengan nada yang menenangkan. “Tenang Rio.. Jangan takut. Aku takkan melukaimu.”
Ujarnya, dan akhirnya ia bisa menyentuh wajah Rio, kemudian Armitha memejamkan matanya.
Untuk beberapa saat Rio merasa canggung dengan perlakuan Armitha dan kesenyapan yang terjadi saat Armitha memejamkan matanya, hingga bibir Armitha bergerak perlahan.
“Kau ketakutan Rio.”
Seketika mata Rio kembali membulat menatap wajah Armitha yang masih memejamkan matanya.
“Banyak hal yang kau alami selama tiga hari sebelumnya. Kenyataan-kenyataan yang kau pikir hanya ada dalam mimpi buruk. Cincin, pria berjubah hitam, mimpi, dan kiamat, kesemuanya datang padamu secara tiba-tiba tanpa kau tahu mana yang dapat kau percaya dan mana yang kau anggap hanya kegilaanmu semata.”
Setelah itu Armitha membuka matanya perlahan dan melihat mata sebelah kanan Rio telah menitikkan embun emosinya. Dan ia yakin Rio sendiri tak menyadari jika ia menangis.
Armitha tampak prihatin dengan keadaan Rio. ia pun mengusap air mata Rio dan Rio menoleh ke arahnya, sambil berkata lirih. “Tolong aku..”
Armitha terdiam sesaat dalam senyumnya kemudian melepaskan tangannya dari wajah Rio. “Tentu Rio. aku di sini untuk menolongmu.” Armitha tersenyum ramah padanya dan kemudian berdiri untuk mengambil sebuah nampan berisi teko dan dua buah cangkir.
“Aku sudah menyiapkan teh hangat untukmu.”
Kepulan uap yang begitu harum tampak mengepul saat Armitha menuangkan cairan bening kemerahan ke dalam cangkir. Kemudian ia menyodorkan teh itu pada Rio.
“Minumlah terlebih dahulu, untuk membuat dirimu lebih tenang.”
Rio pun menghapus sisa air mata di kelopak mata kanannya, kemudian dengan perlahan dan hati-hati ia mengambil cangkir tehnya, meniupnya perlahan kemudian menghirupnya pelan. Sensasi hangat dan menenangkan menyebar ke dada dan kemudian ke sekujur tubuhnya saat teh Armitha masuk ke dalam tubuh Rio. Untuk sementara perasaan Rio menjadi lebih baik, dan Rio pun meletakkan kembali cangkir tehnya di atas meja kecil Armitha.
“Nah, sekarang katakan padaku, apa yang bisa keperbuat untukmu.” Ujar Armitha sambil kembali menautkan jari jemarinya.
Rio berpikir sesaat sebelum akhirnya bibirnya bergerak ragu. “Untuk saat ini.. aku hanya ingin kau menjawab pertanyaanku.”
Armitha mengangguk. “Bertanyalah.”
Rio menelan ludahnya yang masih terasa manis sebelum ia bertanya. Seakan ia takut pada pertanyaannya sendiri. Takut apabila jawaban pertanyaannya hanya sebuah fakta yang membuat harinya makin kelam.
“Cincin yang aku pakai ini.. dan cincin yang kau pakai..”
“cincin Firima.” Sambung Armitha.
“Iya.. sebenarnya cincin apa ini? Maksudku.. aku tahu, milikku Nilda dan milikmu Hena, dua dari empat Firima. Tapi.. Maksudku untuk apa.. dan...”
Armitha tersenyum melihat Rio yang kembali gugup dan gelisah dengan pertanyaannya sendiri. “Minumlah tehmu lagi Rio..” ujar Armitha.
Rio pun meraih cangkir tehnya dan menghirupnya cukup banyak, tak peduli saat lidahnya terasa agak terbakar saat teh cukup panas mengalir di mulutnya. Setidaknya ia mendapatkan sensasi tenang yang ia butuhkan.
Saat Rio menikmati tehnya, Armitha mulai membuka bibirnya. “Cincin Nilda dan cincin Hena. Rio dan Armitha, keduanya hanyalah sebagian kecil dari rahasia cincin di bumi ini.”
Rio tampak melirik Armitha dari balik bibir cangkirnya. Ia pun perlahan menurunkan cangkirnya dan mendengarkan dengan seksama, jawaban yang ia nanti-nanti selama ini.
“Sebagian kecil?” celetuk Rio.
“Ya.. Dua cincin Firima kita, hanyalah sekelumit bagian dari rahasia yang lebih besar.” Tegas Armitha kembali.
Setelah itu Armitha tampak melayangkan pandangannya jauh di belakang Rio. menerawang kosong, seolah melihat sesuatu yang tak mampu Rio lihat dan rasakan.
“Rahasia ini dibuat dulu sekali. setelah kehancuran umat manusia ribuan tahun yang lalu, saat banjir besar menenggelamkan seluruh perdaban dan makhluk. Hanya sedikit yang selamat. Dan setelah itu, empat orang yang selamat dari bencana tersebut menciptakan empat buah cincin sebagai wujud pengabdiannya kepada Tuhan. Empat cincin pertama yang akhirnya diberkati oleh Tuhan, hingga memiliki kekuatan untuk mengatur keseimbangan di Bumi, sehingga tidak terjadi lagi bencana yang menghancurkan peradaban manusia.
Namun saat itu Tuhan mengingatkan tentang munculnya makhluk di masa depan yang akan menghancurkan bumi seisinya. Makhluk itu akan menjadi kiamat bagi manusia.
Mengetahui hal itu, keempat orang pembuat cincin itu berkumpul dan berdiskusi bagaimana mencegah hal itu terjadi.
Akhirnya dengan kekuatan yang mereka miliki, mereka menciptakan lagi cincin kuasa yang memiliki kekuatan di bawah naungan mereka. Masing-masing dari mereka membuat empat buah cincin yang memiliki karakteristik kemampuan yang berbeda-beda. Dan akhirnya, terciptalah enam belas cincin kuasa yang mereka namai dengan cincin raja, atau Tàren Corma. Disebut dengan cincin raja, karena nantinya dengan cincin itulah diharapkan manusia mampu memimpin setiap elemen dari bumi sehingga keseimbangan dapat terjaga.”
Armitha mengehentikan ceritanya sejenak sambil menoleh ke arah Rio. ia meraih tangan Rio dan mendekatkannya pada tangannya, hingga kedua cincin mereka saling berdampingan.
“Cincin kita, Nilda dan Hena adalah dua dari keenam belas cincin Tàren, Rio. Mereka berdua masuk dalam golongan firima, yaitu golongan cincin yang mewakili kekuatan para manusia.
Sedangkan kedua belas cincin lainnya terbagi dalam tiga golongan yang lain. Empat cincin yang mewakili kekuatan para binatang, Celva Corma; empat cincin yang mewakili kekuatan elemen Bumi, Arda Corma; dan cincin yang mewakili kekuatan elemen langit, Menel Corma.
Keenam belas cincin itu takkan berarti tanpa adanya seorang pemakai, dan empat orang pencipta cincin sekaligus pemakai empat cincin utamalah yang memilih sendiri pemakai cincin-cincin Tàren (Tàren corma).”
Rio seketika teringat akan sesuatu. “Jadi.. Pria berjubah hitam yang memberiku cincin ini adalah salah satu dari mereka?”
“Benar Rio. Dia adalah salah satu dari empat manusia yang diberkati keabadian dan kekuatan melebihi manusia biasa. Mereka disebut sebagai Quattro Immortale oleh para manusia, dan disebut sebagai Canta Eldar oleh pemegang cincin Tàren, yang artinya adalah empat keabadian.”
Rio memandang Armitha dengan tatapan tak percaya. “Mustahil.. Tak ada manusia yang abadi.”
“Tentu Rio. meskipun mereka dapat hidup hingga beberapa millenia, namun mereka juga ditakdirkan mati. Semua yang bernyawa pasti akan merasakan mati, begitu juga mereka. Namun mereka hanya bisa mati ketika kiamat datang dan menghancurkan seluruh makhluk di muka bumi. Penyakit, usia, senjata dan kekuatan manusia tak akan mampu menyakiti mereka, kecuali Tuhan sendiri yang memutuskan mereka untuk mati melalui kiamat.”
Sekejap Rio kembali larut dalam ingatannya saat ia bertemu dengan pria berjubah hitam. Pisau yang ia lempar ke arahnya berhenti bergerak, dan ia berkata, “Kau punya kemampuan membidik yang baik, nak. Harusnya aku sudah mati saat ini.”
Jadi begitu, dia adalah salah satu dari empat pencipta cincin, dan dia juga yang mengantarkan cincin Nilda ke tangan Rio. tapi kenapa?
“Kenapa Armitha? Kenapa ia memberikan cincin ini padaku?”
Armita tersenyum lirih sambil memiringkan sedikit kepalanya, menampakkan kesan sayang dan perhatian. “Tak ada yang tahu Rio.. Umumnya cincin Tàren diberikan pada pemakai yang menurut para Eldar layak. Namun alasan dan kriterianya, hanya mereka dan Tuhan yang tahu.”
Rio kecewa mendengarnya. Dalam hatinya ia tidak ingin mengalami semua ini. Bila memang semua yang dikatakan Armitha benar, berarti tanggung jawab yang ia tanggung begitu berat.
“Yang pasti, ada rencana dibalik terpilihnya para pemakai cincin. Dan aku yakin setiap unsur akan memainkan perannya suatu saat nanti.”
Rio yang semula menunduk, kini menatap Armitha. “Seperti peranmu saat ini, membantuku memahami semua ini.”
Mendengar itu Armitha tersenyum, dan menghirup tehnya.
“Err.. Armitha. Kalau boleh aku bertanya, darimana kau mendapatkan semua informasi ini?”
Mata Armitha mengerling sesaat hingga ia menurunkan cangkirnya dan menelan pelan teh di mulutnya.
“Cincin Hena yang memberitahuku, Rio..”
“Cincin? Memberitahumu?”
“Ya..” ujar Armitha sambil menatap cincinnya. “Setiap cincin Tàren memiliki kekuatan yang unik Rio. begitu juga Hena yang kupakai. Dengan memakai cincin ini, aku dapat melihat masa lalu dan masa depan seseorang. Semua potongan masa lalu dan masa depan setiap orang yang tersentuh oleh cincin ini akan terekam di dalamnya. Dan dari jejak rekaman itu, aku bisa melihat perjalanan masa lalu cincin Hena ini, hingga akhirnya aku menemukan pendahuluku, pemegang pertama cincin Hena. Dialah yang menceritakan semuanya kepadaku, tentang rahasia cincin dan kebenarannya.”
Mata Rio tampak menatap Armitha dengan tatapan tak percaya. Sebuah cincin bisa memiliki kemampuan sebesar itu? Melihat masa lalu dan masa depan bukanlah hal yang biasa. Itu adalah rahasia alam dan seharusnya menjadi hak prerogatif Tuhan!
“La.. lalu.. Harusnya cincin Nilda juga memiliki kekuatan bukan? Apa kekuatan cincin ini?” tanya Rio dengan sedikit memburu.
Lagi-lagi Armitha hanya tersenyum getir. “Maaf Rio, namun aku tidak tahu jawabannya.”
Rio tampak kecewa dengan jawaban Armitha, dan kekecewaan itu terlihat oleh mata Armitha.
“Seorang pemakai cincin akan dan harus mengetahui kekuatan cincinnya Rio. Sampai saat itu datang, tak ada yang bisa memberitahumu seperti apa kekuatan cincinmu.
Seperti yang kukatakan tadi Rio, hanya para Eldar yang dianugrahi keabadian, sedangkan kita para Tàren hanya bisa menikmati usia seperti manusia biasa miliki. Cincin-cincin Tàren akan diwariskan pada orang lain setelah melewati puluhan bahkan ratusan tahun melalui peranan para Eldar. Sehingga tak akan ada orang yang tahu kekuatan masing-masing cincin sampai pemilik cincin itu sendiri yang mengungkapkannya. Eldar pun tak akan mau memberitahumu, dengan alasan khusus yang hanya diketahui oleh mereka.”
Rio hanya menundukkan kepalanya. Tanpa mengetahui kekuatan cincin Nilda, ia hanya seperti tikus yang terperangkap dalam jebakan emas. Tak tahu harus apa selain pasrah dalam belenggu.
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Armitha?”
Armitha tersenyum dan menggenggam tangan Rio, lalu bergumam dalam nada yang begitu halus. “Jagalah cincin ini Rio. Cincin Firima adalah cincin yang diberikan pada manusia untuk kebaikan manusia juga.
Firima tidak diberkati dengan keabadian, kekekalan dan kekuatan untuk merusak dan menghancurkan, melainkan untuk menjaga dan melindungi.
Sebegai pemakai salah satu cincin firima, kau harus menjaga perbuatanmu dan segala keputusanmu karena itulah yang menjadi tolak ukur Firima dalam menentukan apakah kau benar-benar layak untuk mendapatkan kekuatannya atau tidak. Dan meski aku tidak tahu peran kita dalam menyambut kiamat, namun aku yakin masing-masing pemegang cincin akan memainkan perannya. Begitu juga dirimu.”
Saat menghentikan sejenak kata-katanya, tampak Armitha melepaskan pandangannya dari mata Rio dan perlahan ia menerawang fokus lain jauh melewati kepala Rio.
“Cincin-cincin ini telah melewati perjalanan yang panjang bersama dengan perkembangan manusia, Namun selama itu pula peradaban manusia terus berganti. Ketika manusia mengalami masa kejayaan dan peradaban yang mutakhir, manusia justru merusaknya sendiri karena mementingkan ego dan nafsu belaka. Cincin-cincin Tàren yang harusnya bertugas menjaga keseimbangan dunia, justru dijadikan alat untuk berkuasa dan memperkaya diri, hingga akhirnya cincin-cincin itu juga yang menghancurkan mereka. Kini zaman kembali berganti dan peradaban manusia mulai bangkit kembali. Pendahuluku sudah meramalkan hal ini.”
Armitha kini kembali menatap Rio, dan tiba-tiba saja Rio merasakansesuatu yang dingin di sekelilingnya.
“Ketika keenam belas cincin Tàren kembali pada pemakainya masing-masing, saat itu juga makhluk buas bernama Faire akan bangun dari tidurnya dan memulai perjalanannya keluar dari kegelapan yang selama ini membelenggunya. Dan saat ia bangkit sepenuhnya, tak akan ada senjata, kekuatan, dan racun yang mampu melukainya, kecuali satu. Salah seorang pemegang cincin akan menikam jantungnya dan membebaskan dunia dari kiamat sekali lagi. “
Mata Rio membulat dan bergerak-gerak. Begitu juga mata Armitha yang tampak kosong.
“Si..Siapa dia Armitha? Kau memiliki kekuatan melihat masa depan. Tak bisakah kau melihatnya?”
Armitha memejamkan matanya sambil menggeleng. “Tidak.. Aku tak mampu melihat masa itu. Setiap kali aku membuka pintu yang berhubungan dengan kiamat, sebuah cahaya putih yang menyilaukan menghalangi penglihatanku dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain menutup pintu itu.”
Setelah itu keduanya terdiam. Baik Rio dan Armitha, keduanya hanya bisa menundukkan wajahnya. Armitha tampak terkejut dengan kebisuannya, hingga ia mengerjapkan kedua matanya dan tersenyum lagi pada Rio.
“Maaf Rio hanya itu yang aku tahu. Mungkin ada pertanyaan lain yang ingin kau tanyakan?”
Rio yang semula menundukkan wajahnya kini menengadah. Suara Armitha membuyarkan lamunannya. Sejenak ia berpikir sampai akhirnya ia menatap wajah Armitha dengan tatapan penuh harap.
“Saat kau memegang wajah dan tanganku, apa yang kau lihat?”
Armitha semula tampak terkejut, namun ia tersenyum juga. Pada akhirnya Rio duduk di depannya sebagai seorang pelanggan ramalan.
“Tidak banyak yang mampu aku lihat darimu Rio selain pengalaman yang kau alami beberapa hari yang lalu. Tampaknya Nilda menghalangi penglihatanku untuk masuk. Namun ada sebuah ruang kecil yang Nilda sisakan untukku melihat masa depanmu.”
Rio tampak menunggu kata-kata Armitha dengan antusias. Hingga bibir Armitha kembali bergumam. “Aku melihat, sesosok wajah.. Wajah seorang pemuda yang tampan berambut putih. Dan.. entahlah.. aku tidak pernah menjumpai lelaki seunik ini sebelumnya. Dia temanmu?” tanya Armitha dengan wajah sedikit ragu
.
Sementara Rio hanya tersenyum simpul dan mengulurkan telapak tangannya.
“Jelaskan padaku, pandanganmu tentangnya Armitha.”
***
Armitha melepaskan genggaman tangannya pada Rio, dan Rio tampak tersenyum penuh makna. Kegelisahan yang semula membebani dirinya terasa kian lenyap sekarang. Ia pun berdiri dan mengucapkan pamit pada Armitha.
“Terima kasih Armitha, aku begitu tenang setelah mendengar ucapan serta informasimu. Tanpa kau, mungkin aku..” Rio tidak melanjutkan kata-katanya dan hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara Armitha hanya tertawa kecil. “Iya Rio.. aku senang kau bisa menjadi lebih tenang sekarang. Namun ingat Rio..”
Senyum di wajah Rio perlahan pudar, dan kembali serus menatap Armitha.
“Aku tidak tahu apakah dengan sampainya Nilda ke tanganmu menandakan sudah kembali lengkapnya keenam belas cincin Tàren. Tapi aku harap kau mulai lebih berhati-hati sekarang. Rahasiakan kebenaran tentang cincinmu Rio.. Jangan sampai orang lain tahu, kecuali orang-orang yang dapat kau percaya dan mampu menjagamu.”
Rio termenung sesaat, meresapi kata-kata Armitha. Rio pun tersenyum dan mengangguk pasti. “Ya. Aku pasti berhati-hati. Dan bersamanya aku akan baik-baik saja.”
Armitha agak terkejut mendengarnya, namun ia tetap tersenyum meski ada sedikit keraguan di wajahnya. Rio yang tak menyadari ekspresi wajah Armitha segera saja melambaikan tangan pada Armitha. “Sampai jumpa lagi Armitha! Sekali lagi terima kasih. Kuharap kita bisa bertemu lagi.” Dan Rio pun berlari kecil meninggalkan Armitha dan menghilang dari balik kain-kain panjang Armitha.
Hawa segar dan dingin segera menyambut wajah Rio begitu keluar dari tenda. Rio agak termenung ketika ia melihat ke sekeliling, suasana sudah tidak seramai tadi. Rio pun melihat jam pada ponselnya. “Sudah pukul sembilan?!” umpat Rio.
Tak terasa ia sudah lama sekali berbincang dengan Armitha, sampai lupa bila ia harus bertemu dengan seseorang di sirkus. Ia pun berlari menuju gedung pertunjukkan. Sudah sepi. Namun Rio melihat sosok seorang pria sedang duduk santai di sebuah kursi. Meski ia duduk membelakangi Rio, namun dari warna rambutnya yang mencolok, Rio bisa tahu siapa dia. Rio pun berjalan ke arahnya dan menepuk pundaknya.
“Hey!”
Pria itu tampak terkejut dan menoleh ke arah Rio. wajah pria yang polos dengan sebuah permen kapas di tangan dan mulutnya. Buru-buru Arvand menelan permen kapasnya dan berdiri meghadap Rio.
“Maaf Arvand, aku ada urusan tadi.. dan tak terasa dua jam aku meninggalkanmu.” Ujar Rio yang mencoba menahan geli melihat ekspresi wajah Arvand.
“Hehe.. Tidak apa-apa Rio.. Ohya, ini satu untukmu.”ujar Arvand sambil menyodorkan sebungkus permen kapas lagi untuk Rio.
Rio terlihat sedikit kikuk, namun ia tetap menerimanya dengan senyum sedikit dipaksa. Di umurnya yang sudah 17 tahun, ia masih memakan permen kapas? Hanya Arvand yang bisa membuat Rio seperti ini.
“Jadi bagaimana sirkusnya?” tanya Rio yang kini bersama Arvand berjalan menyusuri taman Ellysium.
“Errr... tampaknya bagus.” Ujar Arvand sambil tersenyum ganjil.
Rio mengeryitkan alisnya. “Kok tampaknya? Kamu benar-benar menonton sirkusnya kan?”
Arvand tampak menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum polos. “Kupikir akan lebih baik kalau aku menunggumu dan menonton sirkus bersama.” Ujarnya.
Rio seketika menghentikan langkahnya “Ja.. Jadi kau tidak menonton?”
Arvand mengangguk pelan, lagi-lagi dengan senyum polosnya.
“Oh, maafkan aku Arvand. Aku yang mengajakmu tapi aku juga yang membuatmu gagal menonton sirkus.” Rio tampak menyesal. Melihat itu Arvand buru-buru melambai-lambaikan kedua telapak tangannya.
“Ti.. Tidak apa-apa kok Rio.. Yang penting sekarang ada Rio di sini.”
Rio termenung dengan kata-kata Arvand terakhir. Untuk sesaat wajah Rio kembali memanas dan langsung saja Rio menundukkan wajahnya, supaya Arvand tidak melihatnya.
“Jadi, sekarang kita mau ke mana Rio?” tanya Arvand.
“Hah? Apa? Oh iya.. err...” Rio tampak begitu canggung. Ia juga bingung mau ke mana lagi setelah itu. Sedangkan ia masih ingin bersama Arvand beberapa lama lagi.
Dalam kebingungannya, ia melihat bianglala dengan lampu-lampu putih kebiruan yang berputar pelan. Ia pun menoleh ke arah Arvand sambil menunjuk wahana itu. “Naik bianglala yuk.”
Seperti yang ia duga, Arvand menyetujuinya dengan senang hati. Mereka berdua masih beruntung wahana itu masih mau beroperasi untuk 25 menit lagi atau untuk satu putaran.
Beberapa menit telah berlalu setelah keduanya masuk ke dalam gondola. Perlahan namun pasti gondola itu membawa Rio dan Arvand makin jauh dari permukaan tanah. Sebenarnya Rio sangat takut pada ketinggian. Makin tinggi gondola membawanya, makin terasa sensasi ringan dan hendak jatuh pada diri Rio.
Arvand tampaknya tahu ketakutan Rio pada ketinggian, tampak dari ekspresi wajah Rio yang tampak tegang. “Kau takut Rio?” tanyanya.
Rio tampak terkejut dengan pertanyaan Arvand. Ia tersenyum kaku dan menjawab, “Takut.. tentu saja tidak.” Kilahnya.
Untuk menutupi kegugupannya ia membuka bungkus plastik permen kapasnya dan memakannya. Arvand tertawa kecil melihatnya.
“Hey! Lihat!”
Rio mendongak ketika Arvand menyeru tiba-tiba. Dilihatnya Arvand tengah memandang ke arah kanannya. Rio pun menoleh ke arah yang Arvand pandang, dan seketika matanya bercahaya.
Pemandangan kota malam itu yang dipenuhi dengan cahaya berkelip-kelip seperti ribuan kunang-kunang beraneka warna berkerumun dan menciptakan pola dan suasana yang menenangkan. Lampu-lampu kota itu seperti menciptakan sebuah tabir cahaya, yang menjadi sebuah gradasi warna untuk langit malam yang biru kelam. Riuhnya suara klakson dan derum kendaraan bermotor terdengar samar di gondola itu. Semua keriuhan kota bagai teredam di gondola. Menciptakan suatu keheningan yang menentramkan.
Tak terasa keduanya menghabiskan beberapa menit dalam keheningan dan takjub akan pemandangan yang bagi Rio sendiri, jarang ia nikmati.
“Indah ya?”
Rio menoleh ke arah Arvand yang memulai membuka obrolan di tengah kesunyian itu.
Rio tersenyum dan kembali melayangkan pandangannya ke arah pemandangan kota dan horison malam.
“Iya.. indah sekali.” jawabnya. “Aku suka sekali suasana malam yang tenang dan dipenuhi cahaya seperti ini. Membuatku merasa lebih tenang. Seakan semua masalahku terangkat. Dan... harusnya aku takut ketinggian. Tapi dengan pemandangan seindah ini, mungkin aku bisa melupakan ketakutanku untuk saat ini. Haha..”
Untuk beberapa saat Rio terdiam dalam senyum simpulnya dan dia bisa melihat dari bayangan di kaca, wajah Arvand yang mengangguk-angguk pelan.
“Bagaimana denganmu Arvand? Haha.. harusnya aku tak tanya begini. Tidak banyak pria yang menyukai momen seperti ini..”
Arvand langsung saja menjawab pertanyaan Rio, seolah tak perlu berpikir untuk menjawab pertanyaan itu. “Aku juga!” ujarnya mantap dengan senyum polosnya. “Aku menyukai pemandangan di kota ini. Tapi.. aku lebih menyukai tempat ini karena bersama dengan Rio.”
Mata Rio melebar, dan jantungnya berdegub kuat sekali. perlahan ia menoleh ke arah Arvand, yang juga dengan gugup melirik ke arahnya.
Semula Rio tak bergeming, namun lambat laun, bibirnya melengkung manis. “Aku juga suka, menghabiskan waktu bersama Arvand.”
Kali ini Arvand yang melongo, dan perlahan ia memutar kepalanya ke arah Rio. Rio hanya tersenyum nakal padanya dan kembali mengarahkan pandangannya ke arah kota.
Tak banyak yang mereka bicarakan lagi setelah itu. Keduanya hanya dapat larut dalam pikiran masing-masing yang mereka wujudkan dengan memandang langit malam dan kota. Gondola yang membawa mereka kian naik, kini sudah berada di posisi puncak. Tak terasa, posisi duduk mereka yang semua berhadapan, kini sudah bersebelahan. Keduanya mendongakkan wajahnya, menatap langit malam yang bertabur bintang dan sebuah bulan yang menggantung anggun. Memancarkan sinar ke wajah mereka dan memantul temaram di cincin Rio yang kini bertemu dengan jari jemari Arvand.
***
Sementara itu di dalam tenda fortune teller ‘Oracle’, Armitha tampak duduk termenung pada sisa daun teh di cangkirnya. Ia menggoyang-goyangkannya perlahan, hingga susunan daun teh itu sedikit berubah-ubah. Matanya tampak bergerak-gerak menatap daun teh itu.
“Tampaknya anda sedang gelisah nyonya.”
Sebuah suara terdengar begitu dekat dengan tempat Armitha duduk. Armitha pun tersadar dalam renungannya dan meletakkan cangkirnya perlahan. “Kau masih di sana, Kamal?”
Dan setelah itu, di belakang Armitha, tampak corak kain-kain pada dinding tenda bergerak, hingga muncul sepasang bola mata, kemudian secara bertahap, muncul wajah, badan, tangan dan kaki, hingga akhirnya muncul secara utuh, seorang lelaki dengan sorban dan pakaian khas timur tengah, berjalan mendekat ke arah Armitha. Dia duduk bersimpuh di sisi Armitha.
“Saya di sini nyonya.” Ucapnya dengan penuh hormat.
Armitha menoleh ke arahnya sekilas lalu kembali menerawang kosong ke arah kain-kain yang tergantung di depannya.
“Apa yang membuat anda resah Nonya?” tanya Kamal yang heran dengan perilaku majikannya.
“Aku baru saja melakukan kesalahan Kamal.” Ujarnya lirih.
Kamal tampak memiringkan kepalanya dengan tatapan bingung. “Kesalahan apa nyonya? Anda selama ini tak pernah salah dalam mengambil keputusan. Terima kasih atas berkat cincin yang memberkahi nyonya.” Ujarnya sambil menangkupkan telapak tangannya.
Armitha menghela nafas dalam. “Benar Kamal.. Aku tak pernah salah dalam mengambil keputusan berkat visi yang diberikan Hena padaku, namun apa yang terjadi apabila Hena tak menjelaskan apapun padaku?”
Kamal tampak terdiam dan berusaha memikirkan ucapan majikannya. Matanya tampak bergerak ke bawah tanda ia berpikir begitu dalam.
Tahu bahwa Kamal takkan sanggup menjawab pertanyaannya, Armitha kembali meneruskan kata-katanya.
“Aku telah berbohong pada anak itu. Pada Rio.”
Seketika Kamal menatap kembali wajah majikannya. “Berbohong? Bagaimana mungkin anda berbohong? Anda selalu mengatakan kebenaran.”
Armitha menunduk dan matanya tampak bergerak-gerak gelisah. “Aku sudah mengatakan semua kebenaran tentang cincin, karena memang itulah yang dijelaskan Hena padaku. Tapi.. Tentang pria itu.. Pria berambut putih itu..” Armitha menghentikan kata-katanya, seolah ragu, seolah tenggorokannya tercekat. “Aku tak bisa melihatnya. Selain wajahnya, tak ada yang mampu aku pelajari darinya.”
Kamal tampak terkejut dengan kata-kata Armitha, dengan mata melebar ia kembali bertanya pada Armitha. “Bagaimana mungkin anda tak bisa melihatnya? Apakah cincin Nilda itu menghalangi kekuatan anda?”
Armitha menggeleng pelan, masih dengan tatapan kosong dan ragu. “Tidak.. aku memang tidak bisa melihat masa depan Rio karena aku yakin kekuatan Nilda menghalangi kekuatanku. Namun pria berambut putih itu berbeda.”
Armitha tampak mendongakkan wajahnya dan mengulurkan tangannya seolah hendak meraih sesuatu. “Nilda membukakan satu pintu untukku masuk ke dalam salah satu memori Rio. hanya satu dari sekian banyak pintu. Dan pintu itu mengarahkanku pada wajah pria itu. Namun saat aku hendak masuk ke dalam memori pria itu, ada sebuah pintu berwarna putih yang tak bisa aku buka. Bahkan ada kekuatan yang melemparkanku kembali ke dalam memori Rio, ke dalam wilayah kuasa nilda. Dan aku yakin pintu putih itu, berada di luar kuasa Nilda.”
Armitha kembali menarik tangannya dan menundukkan wajahnya. “Aku telah berbohong pada Rio tentang pria itu, berharap Rio bisa kembali tenang dengan kebohonganku.”
Kamal tampak memandnag Armitha dengan prihatin. Tak pernah ia menjumpai majikannya jatuh dalam keraguan dan penyesalan. Hingga Armitha menoleh ke arahnya.
“Aku mengkhawatirkannya, Kamal. Tak ada kekuatan yang sanggup menghalangi kekuatan Hena selain kekuatan sesama cincin Tàren dan Eldar. Dan aku merasakan firasat tidak baik dari semua ini.”
“Firasat tidak baik apa itu?”
“Entahlah Kamal. Entahlah... Apa mungkin ini perasaanku saja?”
Lagi-lagi Kamal terhenyak dengan pernyataan Armitha. Armitha tak pernah mengucapkan kata-kata itu sebelumnya. Biasanya Armitha selalu yakin akan visi yang ia lihat dalam benaknya, namun kini Armitha seolah hanya mampu mengandalkan perasaan dan intuisinya belaka.
“Setidaknya Rio senang bersama dengannya nyonya. Itu adalah hal yang paling ia butuhkan saat ini, sebagai pemakai cincin Tàren yang masih muda.
Ia membutuhkan seseorang yang bisa ia jadikan tempat bersandar dan berlindung.” Hibur Kamal.
Armitha menganguk pelan. “Ya.. Kau benar Kamal. Setidaknya perasaanku sebagai manusia berkata jika pria itu adalah pria yang baik dan polos. Yah.. aku hanya bisa berharap pria polos itu bisa melindungi Rio, karena semua tak lagi sama bagi Rio. Kehidupannya perlahan akan berubah. Sebagai pemilik cincin Tàren, dia layak dilindungi, namun di sisi lain akan banyak yang mengincarnya. Dan bagaimanapun, dia akan memainkan perannya, baik besar maupun kecil dalam menyambut datangnya kiamat.”
Kamal tampak mengangguk pelan, dan Armitha meraih cangkirnya dan meminum sisa air teh di dalamnya.
“Tapi tetap saja ada hal lain yang meresahkanku Kamal.” Ujarnya setelah menghirup habis tehnya.
“Apa itu nyonya?” tanya kamal sambil merapikan cangkir dan teko ke dalam nampan.
Armitha tampak memangku pipinya yang tirus pada telapak tangan kanannya sambil menghela nafas dalam.
“Rio lupa jika bagaimana pun juga aku adalah penyedia jasa fortune teller ‘Oracle’. Dan dia tidak membayar. Bahkan untuk tehnya.”
Kamal hanya tersenyum mendengarnya, ia pun beranjak dari tempat itu dan menghilang ke dalam kegelapan.
***
@ yanyan n d cetya, wah kalian kompakan ya? haha.. utk don, masih misterius. tunggu chap berikutnya ya,,
@ aditya, hehe,, tunggu jawabnnya di chaptr2 berikutnya ya.. makasih
@yuzz: khas gimana, kak yuzz?
@ fuuma, iya, aku banyak mndapat inspirasi dr LOTR n manga katekyo hitman reborn.
@ kiki, iya aku juga suka nama itu
@lulu_75: ngga harus superhero sih, mrk tetap mnjadi anak skolahan biasa. ndak pake topeng, ndak pake baju lateks ketat dan clana dalam di luar. hahaha ohya lulu, ke depannya boleh aku mention?
@tigergirlz: banyak lho.. satu per satu pemakain cincin lain akan bermunculan di chaptr2 berikutnya.