BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

THE LITTLE PIECE OF HEAVEN

Bagi yang suka cerita bergenre supranatural, fantasy dan romance, silakan merapat :)

Salam kenal semua. Ini cerita pertama Robi, mohon komen dan sarannya. terima kasih..

Cincin 1. Rio dan Cincin

“kriiing..”
Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Pak Ivan segera saja membereskan peralatannya berupa laptop keluaran lama, mouse, kabel charger dan beberapa buku usang , kemudian berpamitan. “Cukup sekian pertemuan kita kali ini, selamat siang.” Sebuah kalimat yang Rio –dan pastinya bersama murid-murid lain- nantikan sedari tadi akhirnya terdengar juga dari bibir hitam guru membosankan itu. Dengan sedikit malas Rio memasukkan buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas, sementara murid-murid yang lain berjalan melewati mejanya, tak sabar ingin keluar dari belenggu akademik itu. Mata rio sedikit melirik, ketika sebuah tangan meletakkan secarik kertas di atas mejanya. Rio mengalihkan pandangannya ke arah lelaki yang memberikan kertas itu dan kini sedang berjalan acuh keluar ruangan. Tinggallah Rio sendiri di ruangan itu. Ia meraih secarik kertas itu dan membaliknya. Terdapat tulisan di sisi lain kertas itu. Sebuah tulisan tangan khas murid lelaki.

“Vs. Tenggara. Lorong 07.”

Rio memandangnya sejenak, lalu meremas dan membuang begitu saja kertas itu. Dengan tenang Rio merangkul tasnya dan berjalan keluar kelas, hingga langkahnya terhenti oleh suara yang menunggunya di samping pintu ruangan.

“Kau harus ikut Rio.”

Rio memandangnya dengan tatapan malas. “Oh. Kau belum pulang.”

Lelaki pemilik suara tadi segera berdiri, melepaskan sandarannya di tembok. “Ya.. Don menyuruhku untuk memaksamu pergi.”

Rio mengangkat alisnya sekilas kemudian berjalan lagi, dan lelaki itu mengikutinya dengan tergesa.
“Please, Rio.. kalau kita sampai kalah, nama sekolah kita, masa depan adik-adik kita juga akan buruk Rio.. “

Rio, dalam langkah cepatnya hanya tersenyum tipis. “Kata-katamu seperti superhero yang mau menyelamatkan bumi saja, Malik.”

“Ish, ini bukan waktunya bercanda, Io. Aku serius!”

“Ya, aku juga serius, Mal..”

“Lalu?”

“Lalu apa? Ya tentu saja pulang.”
Mendengar jawaban Rio, Malik langsung mencegat langkah Rio.

“Please Rio. Don ingin semua murid unggulan kita ikut dalam duel hari ini. Setidaknya jadikan ini yang terakhir Rio.”

Rio bisa melihat dua bola mata Malik yang fokus menatapnya, tanda ia begitu serius akan ucapannya. Rio pun hanya menghela nafas panjang, dan melepaskan tas dari rangkulannya. Tanpa berkata-kata ia melemparkan tasnya pada Malik dan berjalan melewatinya. Menerima tas itu, malik tersenyum dan bergegas menyusul Rio.
***

Api kecil tersulut dari sebuah pemantik perak, menyulut ujung rokok yang akhirnya menyala kemerahan dalam bayang-bayang lorong. lelaki penyulut rokok itu menjepit rokok itu dengan dua jarinya sambil menghembuskan asap kelabu dari bibirnya. Kilau merah dari rokok yang ia gengam tampak terpantul samar di cincin peraknya. Begitu juga dengan bayangan dua orang lelaki yang baru saja muncul dari balik belokan. Lelaki itu menoleh ke arah dua sosok itu. Rio dan Malik. Lelaki itu menghisap kembali rokoknya kemudian berdiri dari sandarannya di tembok, menyambut dua sosok yang ia tunggu-tunggu.

“Rio.. aku tidak menyangka kau mau datang.” Serunya ringan.

“Omong kosong. Harusnya aku yang tidak menyangka aku mau datang.”

Lelaki itu tersenyum kecil dan menjepit rokok di bibirnya. Ia kembali menyandarkan punggungnya pada tembok. Ia menggerakkan kepalanya pada Malik, mengintruksi Malik untuk berjalan keluar lorong, memeriksa keadaan. Malik yang langsung memahami intruksi itu segera berlari kecil ke ujung lorong, sedangkan Don mengeluarkan sebatang rokok lagi kemudian menyodorkannya pada Rio.

“Penunda lapar?” ujarnya.

Rio mengacuhkannya dan duduk di kotak kayu usang di dekat lelaki itu. “Kau tahu aku benci rokok, Don.”

Lagi-lagi lelaki yang bernama Don itu tersenyum, kali ini dengan gelak tawa tertahan, ya, tertahan rokok yang terjepit di bibirnya. “Yah.. Aku lupa.” Ujarnya sambil memasukkan lagi rokok ke dalam bungkusnya.

Rio tersenyum kecut. “Padahal setauku gajah memiliki ingatan yang tajam.” Ujar Rio sambil melirik ke arah cincin perak Don.

Tampaknya Don tahu maksud sindiran Rio. Ia menoleh ke arah cincinnya kemudia tertawa kecil. Ia kembali bangkit dan berdiri di depan Rio. “Hey, hey, tampaknya hari ini kau begitu dingin padaku.” Ujarnya sambil merenggut pelan dagu Rio yang langsung Rio tepis.
Don tampak sedikit terkejut melihat reaksi Rio. Ia pun perlahan duduk di samping Rio.

“Errr... Apakah kau masih marah soal kemarin?”

Rio melirik sesaat, kemudian menghela nafas dalam. Melihat itu akhirnya Don mengerti.
“Ayolah.. Aku kan sudah minta maaf padamu.. Kemarin aku harus..”

“Ya, aku tahu.. Mengurus pacarmu kan?”

Don terdiam. “Dengarkan dulu Rio.. aku..”

“Don, mereka sudah datang!”

Teriakan Malik menyela kata-kata Don, dan ketika Don menoleh, benar saja, segerombol pemuda berseragam SMU lain berjalan dengan bunyi gemuruh redam yang menggaung di lorong itu. Don segera berdiri dan melihat jam tangannya. “Mal! Di mana yang lain?”

“Sebentar, aku masih menghubungi mereka.” Jawab Malik yang saat ini sedang menempelkan handhone di telinganya.

Sementara itu Don kembali membungkuk di hadapan Rio dan berbisik, “Kita bicarakan lagi nanti, sekarang diamlah di sini. Aku pasti akan melindungimu.”

“Hey, Donatello! Si Gajah dari Cendana!”

Sebuah suara lantang membuat Don memalingkan wajahnya dari Rio. Dan kini ia sadar bahwa gerombolan itu sudah berdiri tak begitu jauh dari tempatnya berdiri.

“Di mana?” tanya lelaki berambut jabrik yang kelihatannya meruapakan ketua gerombolan tersebut. Mereka dari SMU Tenggara.

Don mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum tipis. “Apanya yang di mana? Penismu?”

Mendengar itu, tampak beberapa siswa dari tenggara begitu marah dan beberapa siap maju untuk menonjok hidung Don, tapi lelaki jabrik itu menahan mereka dengan senyum tertahan.

“Kau yakin dengan jumlah 3 orang Cendana bisa mengalahkan 105 Tenggara?”

Don hanya tersenyum, lalu Malik mendekatinya dan berbisik, “Mereka masih makan siang.”

Senyum Don makin mengembang, meski tampak emosi yang terbendung di bibir melengkung itu. “Shit” bisiknya pelan. Kemudia ia berjalan beberapa langkah sambil mengacungkan dua jarinya.

“Dua. Cukup dua saja dari kami untuk menghajar kalian semua.”

Rio tertawa kecil mendengarnya.
Lelaki jabrik itu juga tertawa yang kemudian diikuti oleh yang lain. “Hahaha.. Seperti yang kudengar tentang si Gajah Cendana..” ujarnya sambil maju beberapa langkah hingga kedua hidung dua lelaki dari dua SMU itu hanya berjarak beberapa inchi. “..over confident.”

Dan setelah kata-katanya berakhir, sebuah pukulan keras dan cepat menghantam hidungnya hingga si jabrik terlempar ke gerombolannya. Tampak mata mereka menyala geram kepada Don, dan si jabrik yang berusaha bangkit dengan hidung patah-berdarah, menunjuk ke arah Don. “Hajar dia!” dan semua lelaki itu berlari menuju ke arah Don dan Malik. “..jangan sampai ada ruang di wajah mereka yang tidak berdarah!”

Don hanya tersenyum dan mengelus jari jemarinya. Saat itu, sekilas saja, Rio melihat ke arah cincin perak Don, dan setelah itu, bagai buldozer, Don memukul semua musuh yang mendekta ke arahnya. Malik pun menghajar beberapa lelaki yang lolos dari pukulan Don. Rio terus menatap sepk terjang Don. Dia benar-benar luar biasa. Entah sejak kapan ia dipanggil dengan sebutan gajah. Sebutan itu mengacu pada kekuatannya yang luar biasa, namun juga bisa dikaitkan dengan cincin perak yang ia kenakan. Cincin perak dengan ukiran gajah dan permata bewarna hijau sebagai mata incinnya. Cincin itu selalu Don kenakan, dan entah kebetulan atau tidak, Don pernah mengaku bahwa cincin itu berpengaruh pada performanya. Entahlah, Rio sendiri tidak menyukai takhayul, namun sejauh ini tidak ada satu orangpun yang mampu lolos dari pukulan Don. Setidaknya hingga hari ini.

Seorang pria berteriak berhasil lolos dari jangkauan pukulan Don dan berlari ke arah Rio.

“Rio!!!” jerit Don, yang kemudia disusul dengan sebuah suara keras, dan lelaki beruntung itu (kini tidak lagi) jatuh.

Sebuah batu menggelinding di dekat kaki Rio. Batu berdarah. Rio memungut batu itu, dan melemparnya dengan keras dan –nyaris mengenai kepala Don- mengenai telak di dahi salah seorang lelaki yang hendak memukul Don.
Don hanya tersenyum padanya dan kembali fokus pada korbannya. Sementara Rio memungut batu lain, memain-mainkannya sebentar dan kemudian melemparnya kembali di antara kerumunan tenggara.

Begitulah cara Cendana, dan inilah alasan Don bersikeras mengajak Rio. Selain masalah pribadi yang mereka berdua miliki, juga sebagai strategi yang sudah lama dilakukan oleh geng Cendana. Pemilihan lokasi perkelahian di lorong yang beruang gerak sempit, posisi Don sebagai garis depan, mengahalau siapapun yang hendak menerobos, Malik di garis kedua yang menghajar orang-orang yang ‘selamat dari pukulan Don, dan Rio, yang berada di garis belakang, melayangkan serangan jarak jauh. ‘Pemanah’ yang tak pernah meleset.

‘Dia bilang dua? Dia bilang akan melindungiku? Bullshit” umpatnya sambil melempar kembali dua batu sekaligus yang dua-duanya tepat mengenai sasaran.

Merasa dicurangi karena berkelahi dengan menggunakan senjata berupa batu, Tenggara mulai membalas dengan melempar batu ke arah kubu Don, khususnya Rio. Dengan berbekal tongkat kayu yang telah Don siapkan untuknya, Rio menangkis batu-batu itu. Bahkan beberapa ia kembalikan lagi ke arah kubu Tenggara. Dia tampak seperti pemain bisbol profesional sekarang.
Sebuah batu melayang jauh melewati Rio dan menghantam sesuatu di belakang Rio.

“Aduh! Sialan! Siapa ini yang melempari aku!”

Rio menoleh. Seorang lelaki berkepala nyaris botak tengah mengelus-elus kepalanya yang sedikit berdarah. Di belakangnya tampak puluhan laki-laki yang berjalan beriringan menuju tempat Rio berdiri.
“Kalian lama sekali.” Ujar Rio dingin sambil menerima batu yang lelaki botak itu lemparkan kepadanya.

“Our apologize, my queen..” sahut lelaki lain berkaca mata. Rio melempar batu ringan ke arahnya, yang spontan berteriak kesakitan.

“Lebih baik kalian cepat bantu si gajah.” Ujar Rio.

“Itu sih tak usah kau katakan, my queen.” Ujar si botak sambil melepas seragamnya dan berlari menuju garis depan. Rio hanya tersenyum kecut sambil menangkis seragam bau yang si botak lemparkan padanya. “Suatu saat pasti akan kulempari kepala botakmu dengan pisau dapur.”

Pertarungan kini berubah ramai. Kubu Tenggara tampak makin terdesak. Rio hanya bisa mengawasi dari kejauhan sambil terengah-engah. Hari makin sore. Mentari kian condong ke arah barat dan bayangan tembok lorong itu kian naik, mengenai betis Rio. Dan saat itu mata Rio menangkap bayangan manusia tak jauh dari tempat ia berdiri. Seketika Rio menoleh ke arah barat, ke atas tembok lorong, dan matanya sempat tak bergerak.

Satu orang, yang Rio yakin adalah seorang lelaki. Ia berdiri mengenakan jaket panjang dengan topi bundar berwarna hitam. Wajah tak terlihat jelas karena ia membelakangi sinar matahri sore, plus kaca mata hitam besar yang menutupi matanya. Meski begitU, Rio bisa berasumsi bahwa matanya sedang mengawasi gerombolan murid itu, tidak, mereka mengawasi Rio. Siapa dia? Polisi kah? Tapi kenapa dia diam saja?

“Rio!”

Lamunan Rio terpecahkan oleh suara Don, dan begitu ia menoleh, sebuah batu melayang ke arah wajahnya. Tak akan sempat Rio tangkis. Dalam pemandangan lambat, dia bisa melihat sebelum matanya secara refleks menutup, Don yang berusaha berlari ke arahnya, dan batu yang begitu dekat dengan dahinya. Dan saat matanya benar-benar terpejam, sebuah angin yang berderu pelan, seakan berbisik padanya.

“Kutitipkan, sebuah kiamat padamu.”

Seketika mata Rio terbuka, dan dia tidak mendapati apapun terjadi padanya, kecuali suara batu yang menggelinding pelan di kakinya. Mata Rio terbelalak. Bagaimana mungkin batu itu bisa tidak mengenainya? Rio langsung teringat akan sosok lelaki itu dan ia kemabali mendongak ke arah bibir tembok, namun sosok itu telah lenyap.

Belum sempat ia terkejut, ia merasakan rasa dingin di jari manisnya, dan saat ia mengangkat jemarinya, sebuah cincin berpendar dingin di jari manisnya. Cincin yang tak pernah ia lihat sebelumnya dan tak pernah ia ingat memakainya. Sejak kapan?

Masih dalam keadaan linglung, Don datang dan mengguncang tubuhnya. “Rio! Kau tidak apa-apa?” tanyanya sambil melihat dan meraba kepala serta tubuh Rio, memeriksa apakah batu itu melukai tubuhnya.

“Tidak, aku tidak apa-apa Don.” Ujar Rio sambil menyingkirkan tangan Don dari tubuhnya.

“Oh, syukurlah kau berhasil menghindari batu itu. Aku pikir batu itu akan mengenaimu.”

Rio terdiam, sambil melihat batu di sampinya. Batu yang harusnya menghantam kepalanya.
“Ya.. aku pikir juga begitu.”

“Ya sudahlah. Tawuran kali ini sudah berakhir, dan lagi-lagi kita menang!” teriakan Don disambut dengan teriakan yang lain. Namun tiba-tiba suara sirine polisi terdengar dan gerombolan cendana langsung berlarian.

“Lari semuanya!” teriak Don. Ia pun berlari, sambil menarik tangan Rio. Rio pun hanya bisa pasrah mengikuti langkah kaki Don. Sementara pikirannya masih melayang pada banyak hal. Sosok lelaki itu, batu yang tidak mengenainya, serta cincin ini. Cincin yang saat ini masih melingkar nyaman di jari Rio. Mengikuti tubuh Rio kemanapun ia pergi, beserta dengan banyak pertanyaan yang mengikuti di belakangnya.
***

Para polisi tampak berlarian mengejar murid-murid yang terlibat dalam tawuran. Dan di sela-sela keramaian itu, seorang lelaki dengan pakaian serba hitam serta topi bundar tampak berjalan tenang di tengah lorong itu. Seolah keberadaannya tidak mengganggu polisi dan polisi pun tidak mengganggunya. Dan ketika lorong itu kembali sepi, langkah kakinya telah sampai di tengah lorong. tepat dengan sebuah batu di samping sepatu kulit hitamnya. Jari jemarinya yang panjang dan pucat meraih batu itu. Tampak saat meraih batu itu, di jari tengahnya, melingkar sebuah cincin berwarna hitam mengkilat dengan ukiran tulisan asing di sisi cincin itu. Berpendar begitu dingin seperti pualam. Bayangan batu itu tampak terpantul di kaca mata hitamnya. Dan sebuah senyum tipis melengkung di bibirnya.
“Rio Lazuar.. dan cincin nilda.”
***

Rio membuka daun pintu kontrakannya dengan malas. Setelah ia mengunci pintu, segera saja ia menuju kamar tidurnya lalu membanting sepatu, tas dan dasi seragamnya ke sembarang tempat di kamar itu, lalu terakhir, membanting dirinya sendiri di kasur. Dalam posisi tertelungkup, ia memandangi cincin ‘baru’ yang kini melingkar di jarinya. Harusnya cincin ini salah satu benda yang ingin ia banting selain tas, sepatu, dasi dan dirinya sendiri di kamar itu, namun ia tidak bisa. Tidak bisa bukan karena ia tidak rela melepas cincin itu namun memang tidak bisa. Tidak bisa dalam artian yang sebenarnya. Rio bahkan tidak tahu bagaimana cincin itu bisa masuk ke jarinya, sedangkan untuk melepasnya saja sangat sulit.

Rio mencoba melepasnya dengan mengguyurkan air di jari manisnya, berharap cincin itu bisa lepas dengan sedikit pelumas, namun tidak juga berhasil. Percaya atau tidak, cincin itu seakan begitu pas di jari Rio. Tidak kebesaran namun juga tidak terlalu sempit mencekik meski tidak bisa dilepas. Akhirnya Rio dapat ikhlas dan menerima kenyataan bahwa ia terjebak dalam cincin itu. Mustahil ia rela memotong jarinya hanya untuk melepas cincin konyol itu. Hey, sebenarnya cincin itu tidak konyol. Sekali lagi Rio mencermati cincin itu.

Cincin itu sebenarnya indah, sangat indah. Cincin itu terdiri atas dua sulur yang saling melilit, menjalin dan melingkar, membentuk suatu pola yang rumit dan melingkar sempurna hingga membentuk sebuah ruang oval kosong di tengahnya. Tampaknya itu ruang untuk mata cincin. Mata cincinnya dibiarkan kosong, tak ada permata di sana. Entah hilang karena terlepas atau memang belum terpasang, yang jelas tidak ada tanda-tanda cacat, goresan atau penyok pada cincin itu. Sulur-sulur itu tampak terbuat dari dua bahan yang berbeda, yang satu terbuat dari emas sedangkan satunya tampak terbuat dari perak. Keduanya saling terjalin membentuk suatu komposisi yang seimbang, halus dan tanpa cacat, dan entah kenapa Rio ragu bahwa cincin itu dibuat oleh manusia. Yang jelas, tidak ada cincin buatan manusia biasa yang dapat memakaikan dirinya sendiri di tangan pemakainya, dan tidak ada cincin biasa buatan manusia yang tidak dapat dilepas dari jari pemakainya, tanpa mencekik jari pemakainya. Ini pengalaman yang luar biasa!

Rio belum menceritakan hal ini pada siapapun, bahkan pada Don. Don tampak agak cemas setelah tawuran tadi. Lima menit setelah kejadian lemparan batu tadi, Rio terus termenung dan lambat dalam merespon. Berulang kali Don harus mengguncang bahunya untuk membuat Rio sadar kembali pada lingkungannya.

Sebenarnya Don sangat perhatian padanya, dan itu merupakan hal yang luar biasa, mengingat Don adalah ketua geng di SMU Cendana yang disegani oleh semua murid Cendana. Namun Rio juga risih, karena Don laki-laki, dirinya sendiripun laki-laki. Don sudah lama menyatakan kejutannya pada Rio, saat itu, saat Rio duduk di kelas satu dan Don di kelas dua. Don yang begitu ditakuti ternyata jatuh hati kepada Rio, seorang lelaki lemah dan berkulit selembut wanita. Beberapa anggota gengnya sudah tahu akan hal itu, dan Rio yakin mereka pun tak menyangka hal itu bisa terjadi. Namun apa daya, kekuatan Don terlalu buas untuk dibantah atau ditertawakan. Mereka pun akhirnya bisa menerima kelainan bos mereka. Lalu bagaimana dengan Rio? Rio pun kaget bukan main. Dia masih ingat saat tangan Don gemetar saat mengungkapkan cintanya pada Rio. Dan berhubung Don memaksakan jawaban saat itu juga, beserta kekhawatiran Rio apabila menolak plus kekaguman tersembunyi Rio pada Don, akhirnya Rio menerima cinta tak lazim Don dan berlanjut hingga sekarang.

Baru saja Rio memikirkan Don, handphone Rio bergetar. Dengan malas Rio merogoh handphone di sakunya dan melihat siapa yang menelfonnya. Donatello. Rio pun menerima panggilan itu dan menempelkan handphone di telinganya.

“Ya?” kata pertama Rio. Sebuah awal yang canggung.

“Err.. Kau tidak apa-apa,kan, Io?” tanya Don dengan nada sedikit canggung.
“Yah.. Aku tidak apa-apa.” Jawab Rio singkat. Ia memutuskan untuk berdiri dari ranjangnya dan menjepit handphone di antara telinga dan pundaknya.

“Kau yakin? Kau terlihat tidak baik setelah tawuran tadi. Apa kau terluka?”

Kini Rio tengah membuka kancing baju seragamnya satu persatu . “Luka?” Rio melihat tubuh di balik seragamnya nya di cermin. “Kurasa tidak.”

“Lalu?”

“Lalu?” Rio balik bertanya, ia melepas handphone sejenak dan melepas seragamnya, kemudian menempelkan kembali handphone ke telinganya. “Lalu bagaimana dengan kencanmu semalam, tuan DonatelLo?”

Don terdiam sesaat. “Dengar Rio.. Please percaya padaku.. Aku dan Tania tidak ada hubungan apa-apa. Kau tahu sendiri kan, kami bertetangga? Ayahnya memintaku memperbaiki mesin dieselnya saat mati lampu semalam..”

Rio terdiam untuk beberapa saat.

Tidak jelas apakah Rio merespon alasannya tau hanya malas menanggapi, Don terus mencoba menguatkan alasannya pada Rio. Yah, Rio memang orang yang sulit untuk diyakinkan, dan celakanya dia adalah tipe ‘uke’ yang pencemburu. Sebuah colekan kecil atau sekedar jalan berdua saja bisa membuat Rio kesal bukan main. Hal itu bisa terlihat dari sikap Rio tadi dan saat ini.

“Baiklah.. Aku mengerti.”jawab Rio dengan sebuah helaan nafas dalam.

Mendengar itu, suara Don yang semula lemah memelas berubah menjadi antusias. “Sungguh? Kau tidak marah lagi?”

“iyaa..” jawa Rio dengan senyum tipis. Ia kini membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan bantalnya yang empuk.

“Terima kasih sudah mengerti, honey.. “ ucap Don manis yang diikuti dengan suara kecupan.

“Ck, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Jijik.”

“Hahaha.. Dasar pacar aneh, diberi panggilan sayang malah tidak mau. Err.. Nanti malam...”

“Tidak..”

“Hey, aku bahkan belum selesai bicara..”

“Baiklah, coba kau lanjutkan.”

“Err.. nanti malam bisakah aku datang ke kontrakanmu?”

“Nah kan. Jawabanku tidak.”

“Ayolah.. Aku sudah sangat rindu padamu..”

“Hihi,, omong kosong. Kau baru saja bertemu tadi, dan kau sudah berlagak heroik tadi.”

“Oouuh.. Kenapa? Kanapa kau tidak mau? Apa kau tidak rindu denganku? Dengan momen-momen manis yang bisa kita lakukan malam ini? Err.. apakah kau masih marah?”

“Hey.. Don.. dengar.. Aku sudah memaafkanmu. Akupun merindukanmu.. aku juga rindu dengan momen-momen nakal..”

“Momen manis, honey..”

“Yah.. manis. Tapi tidak sekarang. Aku.. lelah.”

“Ou..”

Setelah itu beberapa saat keduanya diam. Hingga akhirnya Rio mencoba mencairkan suasana. Ia tahu Don sangat kecewa. “Baiklah Don.. Aku janji besok malam. Besok akan kumasakkan makanan kesukaanmu. Gratis.”

“Sungguh? Janji?” tanya Don, mencoba meyankinkan.

“Iya. Aku janji.”

“Haha.. Baiklah.. Err.. Well.. Aku tahu kau lelah. Mungkin ada benarnya kau istirahat.”

“Yah.. Terima kasih Don.”

“Ok.. Sampai jumpa besok dan besok malam..”

“Ya.. Sampai jumpa.”

“Oh, jangan lupa.. Kenakan pakaian yang sexy.”

“Tak akan!”

Dan suara Don pun digantikan dengan suara ‘tut tut’ pelan. Rio yakin dia tertawa di rumahnya. Begitu juga Rio yang tertawa kecil di ranjangnya. Lambat laun tawanya terhenti. Kini ia mengangkat jari jemarinya di atas wajahnya. Dia melihat cincin barunya.
Matahari makin tenggelam, menyebarkan warna lembayung di langit. Warna itu menerobos masuk melewati jendela kamar Rio dan terpantul temaram di cincin itu.

Hari ini terasa begitu panjang bagi Rio. Banyak hal yang menimbulkan pertanyaan di kepalanya. Bersama dengan cincin misterius itu, Rio seharusnya merasa takut dan mencari seseorang untuk bertanya dan bercerita. Namun, yang dilakukan Rio hanya berbaring di situ, memandangi cincinnya seolah itu adalah sebuah hadiah dari kekasih. Setidaknya cincin itu datang padanya saat bersama dengan Don. Dan berkat Don lah dia bisa bertemu dengan cincin itu.

Terlepas dari cincin yang tidak bisa ia lepaskan , dan bagaimana cincin itu bisa melingkar nyaman di jarinya, serta lelaki misterius itu, Rio terlalu malas memikirkannya. Ia terlalu lelah.

Dengan mata sayu, ia tersenyum kecil dan menarik tangannya, mendekat ke dadanya. “Selamat tidur, cincin ajaib.” Ujarnya pelan dan lambat laun, ia pun terpejam, begitu juga dengan matahari yang kian tenggelam, menarik perlahan sinarnya dari kamar Rio.
***
«13456715

Comments

  • like this...up lagi kapan...
  • Wow berhubungan ma Gaib nih....

    Boleh minta mention klo update lagi?
    Makasih.
  • Judulnya sama kaya judul lagu avenged sevenfold.

    Klo ceritanya . . . . *wait
    Gw baca dulu.
  • Oh ternyata bagus

    Alurnya ngalir
    Banyak narasinya tapi narasi itu ga bikin bosen (mungkin krn ini berbau fantasi jd ga bkin gw bosen)

    Harapan gw.
    Semoga cerita lu ga terlalu menye menye. Maksudnya ya gtulah susah jg jelasin menye menye.
    Dan 1 lagi
    JANGAN STUCK!!

    Summon gw klo update. Hehee
  • @RegieAllvano
    Makasih udah baca n komen, rencananya aku upload 3 hari sekali (insyaallah). dan utk malam ini aku kasih spoiler untk cincin 2 dulu ya.. makasih :)

    @3ll0
    of course, 3ll0 :)

    @Adityashidqi
    makasih komen dan sarannya. akan kujadikan catatan. :)
  • spoiler: cincin 2. Anak baru

    Saat Rio mendekat, ia makin yakin bahwa benang-benang sari dan putik bunga itu benar-benar terbuat dari emas. Begitu berkilau dan terlihat kuat. Rio pun mencoba memetik bunga pada ranting paling rendah, yang dapat ia raih. Ia mendapatkannya. Sebuah bunga, yang saat ia coba mencium aromanya, begitu harum. Wangi yang tak pernah Rio hirup seumur hidupnya.
    Rio pun kembali menerawang jauh ke horison seraya menggumam pelan. “tempat apa ini sebenarnya?”
    Baru saja ia mengucapkan kalimat itu, sebuah tangan yang kuat mengenggam pundaknya, dan seketika itu pula Rio menoleh......................................................

    ..........Akhirnya sebuah ujung sepatu terlihat menapak di ambang pintu, dan satu persatu, murid-murid bisa melihat sosok teman baru mereka. Mata Rio melebar ketika murid baru itu sudah sampai di depan kelas. Seorang lelaki jangkung, dengan kulit yang begitu putih, bahkan lebih putih dari kulit Rio, namun tidak terlihat pucat, dan yang paling mengejutkan adalah, warna yang mewarnai seluruh rambutnya. Dan tanpa sadar bibir Rio bergumam pelan, namun terdengar jelas di ruangan itu. “uban?”
  • lagi #plakkk...:D
  • Rio menua?? :o
    Update update!
  • malah teringat yujii dan marco, lol

    bagus, suka genre fantasy..
    boleh kalo mau mensyen2 :)

    Ohya, pribadi ane kurang suka ada spoiler, hehe.. tapi terserah ts jg sik.
  • cek, mensen ya kalo apdet.. :D
  • semoga ga berakhir gantung kayak cerita fantasi yang lain ya. ditunggu updatenya mas bro @ robi_is_a_goodboy
  • ikut nandain.

    setuju sama yuzz.
  • edited July 2014
    @RegieAllvano‌
    @3ll0
    @Adityashidqi
    @yuzz
    @zuyy18
    @‌rebelicious

    Makasih atas saran temen2, pasti TS ingat dan jadikan catatan. Berikut chap kedua dari d Little Piece o' Heaven. Mohon komentarnya, terima kasih. :)


    Cincin 2, Murid Baru

    Angin sepoi mengelus wajah Rio. Dan perlahan Rio mulai merasakan sesuatu yang lembut menggelitiki pipinya. Ia pun perlahan membuka mata. Yang ia lihat pertama kali adalah warna hijau rerumputan, dan daun kecil rumput yang menggelitik pipinya. Mata Rio makin melebar melihat perubahan di sekitarnya. Ia bangun dari posisi tidurnya dan ia kini bisa menerima keberadaannya di sebuah padang rumput yang luas. Rumput yang ia injak begitu hijau dan lembab, padahal seingat Rio terakhir kali ia sadar sebelum tidur, ia berbaring di atas ranjang. Saat Rio menengadah, ia tak lagi menemukan atap kontrakannya, namun sebuah langit yang begitu biru, lengkap dengan awan putih menggumpal. Masih terpana menatap langit yang sejernih itu, ia dikejutkan dengan serombongan burung berwarna putih. Terbang bergerombol membentuk barisan segitiga. Ia terbang melintasi cahaya mentari yang hangat, dan membentuk bayang-bayang di wajah Rio saat burung-burung itu melintas.

    Saat Rio melepaskan pandangannya ke bawah kembali, ia baru sadar jika ratusan, bahkan mungkin ribuan bunga-bunga seperti tulip muncul dan bermekaran. Mengisi padang hijau itu dengan warna yang sangat cerah. Warna putih. Belum sempat ia mengucapkan kata untuk mengungkapkan kebingungannya, sebuah tunas kecil tumbuh dengan halus di antara bunga-bunga itu dan dengan cepat tunas itu tumbuh menjadi pohon-pohon. Pohon-pohon itu tak pernah Rio lihat sebelumnya. Pohon itu tak berwarna batang coklat atau krem pucat, melainkan berwarna putih, lengkap dengan daunnya yang hanya berwarna dua macam, sebagian pohon berdaun perak, sedangkan pohon lainnya berdaun emas. Rio bisa melihat baik bunga maupun pohon aneh –namun indah- itu mulai menyebar ke seluruh padang. Rio tidak melihat batas padang itu berakhir dan Rio tidak melihat adanya gunung, laut atau bahkan hutan beton di sana. Hanya ada rumput, bunga dan pohon.

    Tidak berhenti sampai di situ, pohon-pohon itu kini mulai berbunga. Bunga berwarna putih. Lebih putih dari awan, dengan putik dan benang-benang sari berwarna emas dan perak, sesuai warna daunnya. Saat Rio mendekat, ia makin yakin bahwa benang-benang sari dan putik bunga itu benar-benar terbuat dari emas. Begitu berkilau dan terlihat kuat. Rio pun mencoba memetik bunga pada ranting paling rendah yang dapat ia raih. Ia mendapatkannya. Sebuah bunga, yang saat ia coba mencium aromanya, begitu harum. Wangi yang tak pernah Rio hirup seumur hidupnya.

    Rio pun kembali menerawang jauh ke horison seraya menggumam pelan. “Tempat apa ini sebenarnya?”

    Baru saja ia mengucapkan kalimat itu, sebuah tangan yang kuat mengenggam pundaknya, dan seketika itu pula Rio menoleh.

    Seorang pria dengan kacamata hitam dan berpakaian serba hitam, tersenyum padanya.
    “Suatu kehormatan untukmu, eh?”
    ***

    “Kriiiingg..!!”

    Rio seketika membuka matanya. Dengan gerakan tangan yang kikuk ia mencari handphonenya dan mematikan alarm. Seketika suasana menjadi hening. Hanya sesekali terdengar suara kicauan burung yang girang menyambut pagi.
    Rio masih melongo di kamarnya. Sepertinya nyawanya masih belum sepenuhnya kembali. Ia melayangkan pandangan ke sekitar. Padang rumput yang hijau sudah kembali menjadi ranjang. Langit biru dengan awan serta burung-burung telah kembali menjadi langit-langit kontrakan dengan sebuah lampu putih di tengahnya. Bunga-bunga dan pohon cantik tadi telah berubah menjadi sebuah tanda tanya di kepala Rio.

    “Apa yang sebenarnya terjadi?”

    Sebuah bayangan wajah itu kembali mencuat dalam ingatannya, beserta dengan suaranya yang sehalus angin musim dingin. “Suatu kehormatan bagimu, eh?”

    Rio memejamkan matanya erat-erat dan jarinya mencubit pangkal hidung di anatar dua alisnya. Berharap ia bisa melupakan wajah itu. Sementara cincin barunya masih melingkar anggun di jari manisnya. Berkilat dingin terterpa cahaya mentari pagi.
    ***

    “Hey!”

    Rio seketika mengerjapkan matanya. Ia pun melepaskan sandaran telapak tangan dari pipinya.

    “Melamun saja dari tadi. Kenapa kau?” tanya seorang gadis berjilbab yang kini duduk di samping Rio.

    “Tidak.. aku cuma.. yah.. aku cuma sedikit mengantuk, Mil.” Jawab Rio dengan nada malas dan berat.

    “Ish, lelah habis melakukan apa? Seperti habis ronda saja kau.” Gurau Milda yang kini mengeluarkan handphone sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

    Rio hanya tersenyum kecil menanggapi gurauan Milda.
    Rio merasakan handphonenya bergetar, tanda ada pesan singkat masuk. Ia pun mengangkat handphonenya dan melihat isi pesan singkat itu.

    ‘Donatello

    Nanti malam.. :-* ‘

    Rio tersenym melihat pesan yang terdiri atas dua kata dan sebuah emoticon genit itu, dan ia segera menutupnya saat milda ingin menengok isi handphonenya.

    “Ah, kau ingin tahu saja.” Gerutu Rio yang dibalas dengan senyum seringai kuda Milda.

    Baru saja Rio menyelesaikan kata-katanya, ruang kelas langsung gaduh. Murid-murid tampak bergegas memasuki kelas dan duduk di tempatnya masing-masing, begitu juga Milda yang segera pindah ke mejanya. Rio pun segera memasukkan handphone ke dalam sakunya. Ternyata bel masuk sudah berbunyi tadi, dan Rio bahkan tidak menyadarinya. Beberapa detik kemudian , seorang ibu-ibu berjilbab putih krim memasuki ruangan dan meletakkan tasnya. Seisi kelaspun beranjak tenang, memerhatikan ibu guru yang berdiri di tengah kelas dengan senyumnya yang anggun.

    “Anak-anak.. hari ini, kita kedatangan seorang teman baru.”
    Kata-kata ibu guru membuat ada kebisingan pelan di ruangan. Rio bisa mendengar siswi-siswi di belakangnya berbisik-bisik.

    “Ah.. aku sudah melihatnya tadi, di ruang kepala sekolah.. cowok.. dan dia.. unik.”

    “Unik bagaimana?”

    “Ssst.. nanti kau tahu sendiri.”

    Mata Rio yang semula melirik ke samping, kini kembali menatap ke depan, ke arah jendela kelas. Rio bisa melihat seseorang berdiri di sana, di dekat pintu, namun tidak terlihat jelas karena yang terlihat di jendela hanya punggung dan ranselnya. Mata Rio memicing ketika melihat sesuatu di atas tengkuknya. “Hey,, apakah itu rambut?”

    “Ya, jadi langsung saja ya, tentu kalian sudah penasaran dengan teman baru kalian.” Sambung ibu Guru. Ia pun menoleh ke arah pintu dan menganggukkan kepalanya. “Ayo nak, masuk.” Ajaknya, namun agak lama, anak baru itu tak kunjung muncul di ambang pintu. Murid-murid makin penasaran dan mulai mengangkat serta mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat rupa teman baru mereka. Ibu guru juga tampaknya agak gemas karena anak baru itu tak kunjung memasuki kelas. “Nak, ayo masuk.. teman-temanmu sudah menunggu.” Kata ibu guru lagi.

    Akhirnya sebuah ujung sepatu terlihat menapak di ambang pintu, dan satu persatu, murid-murid bisa melihat sosok teman baru mereka. Mata Rio melebar ketika murid baru itu sudah sampai di depan kelas. Seorang lelaki jangkung, dengan kulit yang begitu putih, bahkan lebih putih dari kulit Rio, namun tidak terlihat pucat, dan yang paling mengejutkan adalah, warna yang menutupi seluruh rambutnya. Dan tanpa sadar bibir Rio bergumam pelan, namun terdengar jelas di ruangan itu. “Uban?”

    Otomatis selurus murid tertawa. Rio seketika menoleh ke sekelilingnya dengan ekspresi canggung. Ia tak bermaksud mengatakan itu. Ia pun menoleh ke arah murid baru itu. Murid baru itu hanya tersenyum polos. Ia juga tampak bingung dengan apa yang terjadi. Sekilas saja ia tampak seperti anak idiot.

    “Ssh... Diam semuanya! Biarkan dia memperkenalkan diri dulu..” dan seketika ruangan menjadi tenang kembali.

    “Ayo, vand, sebutkan namamu.”

    Anak itu mengangguk dan tersenyum sambil menghadap ke wajah para siswa. Rio bisa mendengar siswi di belakangnya berdecit ‘oouw’ pelan di belakangnya. Ketika Rio mengamati wajah murid itu, mungkin Rio juga memikirkan hal yang sama dengan mereka. Dia tampak begitu manis.

    “Hai..”

    Kata pertama yang ia ucapkan. Sejenak ruangan hening, hingga sebuah “pfft” terdengar pelan dan meledaklah tawa seisi ruangan. Rio hanya tersenyum kecil. Kata pertamanya sungguh membuatnya benar-benar tampak seperti anak idiot. Tapi dia masih saja senyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang –Rio yakin pasti- tidak gatal.

    Akhirnya lagi-lagi ibu guru harus mengkondusifkan keadaan dan anak itu pun melanjutkan perkenalannya setelah keadaan tenang kembali.

    “Nama saya, Raama Arvando. Teman-teman bisa panggil saya Raama atau Arvand. Ando juga bisa.. err... Uban juga bisa.”

    Sekali lagi tawa meledak, dan untuk ketiga kalinya bu guru harus mendesis supaya ruangan kembali tenang. Saat itu bu guru melirik ke jendela, bapak kepala sekolah menoleh ke arahnya. Bu guru segera saja memalingkan pandangannya dan –Rio yakin- menelan ludah.

    “Baik anak-anak.. Arvand ini siswa pindahan dari Roma, dan rambutnya berwarna putih bukan karena uban, tapi karena memang sudah berwarna putih sejak lahir, dan juga bukan disemir, bukan begitu Vand?”

    Arvand tersenyum lebar sambil mengangguk.

    “Baik, sekarang kamu bisa duduk di kursi yang kosong.” Ujar ibu guru.

    Seisi kelas spontan mengarahkan pandangannya ke arah kursi Rio. Dan mata Rio dengan canggung menoleh ke sekitarnya. Ia baru sadar kalau di ruangan itu hanya kursi di sebelahnya saja yang kosong. Benar saja, saat Rio kembali menoleh ke arah depan. Anak baru yang jangkung itu sudah berdiri di sampingnya.

    Rio segera menaruh tas yang semula di atas meja ke bagian belakang kursinya, dan Arvand sudah duduk dengan nyaman di kursi barunya. Di samping Rio.

    “Hai..” bisik Arvand padanya.

    Dengan sedikit gugup Rio menoleh ke arahnya. Entah kenapa ia merasa begitu canggung hari ini. Kini ia bisa melihat wajah Arvand yang berjarak beberapa inchi dari hidungnya. Mata Rio bergerak-gerak melihat warna bola mata Arvand. Kagum. Mata yang berwarna biru, begitu jernih dan cerah.

    “Hai.” Sahut Rio lemah, dengan senyum yang dipaksakan.

    Arvand mengulurkan jari jemarinya yang panjang pada Rio sambil berbicara dalam intonasi yang asing dan terpenggal-penggal. “Salam kenal, aku Raama Arvando, bisa dipanggil..”

    “Raama, Arvand,Ando, atau uban?” sela Rio.

    Arvand tertawa kecil. Baru kali ini Rio melihatnya tertawa setelah sejauh ini ia hanya tersenyum polos. Setidaknya kali ini ia bisa melihat deret giginya yang putih dan rapi.

    Tampak Rio hanyut dalam kekagumannya pada Arvand, dan dia baru sadar saat Arvand mengajukan pertanyaan padanya.

    “Hey, bagaimana denganmu? Kau belum menyebutkan... namamu.”

    Rio yang sadar segera saja mengulurkan tangannya dan meraih tangan Arvand. “Rio, Rio lazuar. Panggil Rio saja.”

    Arvand kembali tersenyum. “Hai Rio..” ucapnya.
    Rio tersenyum kaku sambil membalas sapaan Arvand yang menurutnya agak aneh. “Hai.. Hai Arvand.”

    Belum puas Rio menikmati wajah dan keanehan Arvand, Arvand sudah memalingkan wajahnya ke belakang karena salah seorang siswi di belakang Rio mencolek bahunya. Ingin berkenalan.

    Rio pun kembali menghadap ke depan, dengan telinganya menangkap samar pembincaraan Arvand dengan dua gadis di belakangnya. Terdengar menjengkelkan bagi Rio. Rio tidak suka gadis-gadis itu berbicara dengan Arvand dengan suara yang manis dibuat-buat, atau.. memang pada dasarnya Rio kurang menyukai wanita, kecuali ibunya sendiri.

    “Sudah, berkenalannya nanti saja!”

    Kata-kata bu guru tadi spontan menghentikan mereka dan Arvand kembali ke posisinya.

    Pelajaran pun dimulai, dan selama jam pelajaran, Rio mencoba untuk fokus ke depan meski ia merasa Arvand sesekali memperhatikannya. Terakhir kali Rio yang mulai merasa penasaran menoleh ke arahnya, persis saat Arvand sedang menoleh padanya, hingga mata keduanya bertemu. Arvand segera memalingkan wajahnya dengan gugup ke depan. Dari gerakan Arvand memain-mainkan bolpoin, Rio bisa tahu kalau dia gugup. Rio tidak tahu apa yang Arvand pikirkan tentangnya. Apakah ia merasa ada yang janggal dengan Rio, ataukah.. diam-diam Arvand tertarik padanya? Seketika Rio tersenyum.

    Rio sudah terbiasa dengan munculnya pikiran itu dalam benaknya. Rio sadar bahwa pola pikirnya sebagai seorang gay cenderung menanggapi semua gerak-gerik atau pandangan seorang lelaki padanya sebagai sebuah sinyal ketertarikan, namun kini Rio menepis anggapan itu. Tak semua perhatian berarti menyukai. Itu hanyalah delusi yang sering dan banyak dialami oleh kaum seperti Rio. Begitu juga dengan kasus Arvand saat ini. Rio tidak ingin berpikiran kalau Arvand tertarik padanya. Meskipun, –jika Rio bisa jujur- penampilan Arvand adalah sebuah tekanan yang sangat besar bagi Rio. Tentu adalah sebuah impian umum bagi seorang gay mendapat pasangan seorang lelaki yang memiliki pesona serta berbagai kriteria umum yang didambakan oleh seorang gay. Mungkin apabila ada sepuluh kriteria secara fisik, Arvand memiliki kesepuluhnya. Entah Rio yang berlebihan menilai Arvand, tapi setidaknya itu yang ia rasakan.

    Rio melirik dari sudut kelopak matanya, Arvand yang mengangguk-anggukan kepalanya, membenturkan pelan dagunya di ujung bolpoin yang ia hunuskan dengan dua tangannya di atas meja. Tampak bibir bawahnya sedikit maju, membuat ia tampak seperti anak sd yang polos. Ia terkesan tidak begitu mempedulikan pelajaran yang dipaparkan oleh bu guru. Ia tampak hanya bermain-main. Rio tersenyum tipis melihatnya.

    Bagi orang di negara Rio, tentu saja penampilan fisik Arvand begitu mencolok dan menarik perhatian. Bahkan di dunia pun baru ini Rio melihat seorang lelaki dengan rambut berwana putih seperti yang dimiliki Arvand. Rambut putih Arvand berbeda dengan uban. Rio tahu ada uban yang berwarna putih gading, ada yang kelabu keperakan. Namun rambut putih Arvand berbeda. Itu putih seputih-putihnya putih. Seperti salju. Dan entah kenapa Rio teringat pada bunga-bunga dan pepohonan yang ia lihat di dalam mimpinya.
    Rambut itu tampak begitu harmonis dengan kulit Arvand yang juga putih bersih dan merona. Tidak pucat. Rio juga bingung bagaimana rambut dan kulit itu tidak membuat wajah Arvand terlihat pucat atau aneh. Justru baru kali ini Rio melihat ada seorang lelaki yang begitu pas dengan warna rambut putihnya.
    Tulang rahang Arvand tampak tegas dan dia memiliki dagu yang runcing. Bibir tipis dan berwarna merah jambu. Hidung yang mancung namun tidak berlebihan. Alis yang tebal dan tegas, membuat matanya tampak begitu hidup. Roman mukanya tidak seperti kaukasoid, tapi juga tidak oriental. Apakah ia darah campuran? Rio tidak tahu pasti. Dan satu lagi yang paling membuat Rio kagum, saat Arvand untuk kesekian kali menoleh ke arahnya, Rio bisa melihat bola matanya. Bola mata yang berwarna biru cerah. Seperti cakrawala di siang hari yang tanpa awan. Begitu bersih, tanpa asap kelabu seperti di langit perkotaan. Secara keseluruhan wajahnya Arvand mengingatkan Rio pada salah satu karakter animasi yang bernama Jack Frost. Ya, Jack Frost.

    “Krriiingg..”

    Bel pergantian jam pelajaran sudah berbunyi. Bu guru berjilbab tadi kini membereskan barang-barangnya, dan sebelum meninggalkan kelas, ia memanggil nama Rio.

    “Rio.. saat istirahat nanti, kamu ajak Arvand berkeliling. Jelaskan tentang semua tempat dan fasilitas yang ada di sekolah ini, ya?”

    Mata Rio melebar. ‘what?’ gumam Rio dalam hati. Ia menoleh ke arah Arvand. Ia mengangkat alisnya sambil tersenyum lebar.
    Baru kali ini Rio mendapati seorang murid baru yang mendapat perhatian khusus seperti mengajak berkeliling dan menjelaskan fasilitas sekolah. Bukankah biasanya mereka mencari tahu sendiri seiring perjalanan mereka selama bersekolah? Istimewa sekali Arvand ini di mata para penggerak sekolah ini. Namun, semua tidak masalah bagi Rio. tidak ada salahnya, bahkan, hey.. Rio menyukainya.

    “Bagaimana Rio? Kok diam saja? Kamu keberatan?”

    Rio buru-buru menoleh ke arah bu guru. “Ti..Tidak bu.. Saya tidak keberatan.”

    Bu guru itu tersenyum lalu berjalan menuju pintu. “Baiklah kalau begitu. Kita ketemu lagi minggu depan. Assalamualaikum.” Pamitnya yang diikuti balasan oleh para siswa.

    Tinggallah Rio yang menunduk canggung. Sedangkan Arvand, ia kembali bermain-main, membentur-benturkan dagunya di ujung bolpoin sambil tersenyum.
    ***

    Bel istirahat pertama telah berbunyi. Rio membereskan buku-buknya ke dalam tas. Setelah itu ia menarik tangan Arvand yang sudah dikerumuni teman-teman barunya. Sungguh Rio melihat Arvand seperi daging yang dikerumini gerombolan hyena. Berusaha mengorek informasi dan berupaya akrab padanya.

    Arvand juga tampak sedikit terkejut saat Rio meraih lengannya. “Sudah saatnya berkeliling.” Ujar Rio yang langsung ditanggapi sinis oleh kerumunan itu.

    “Nanti sajalah Rio. Biarkan kami ngobrol dulu.” Ujar Milda.

    “Tidak. Aku ingin mengerjakan PR fisika saat istirahat kedua nanti.” Tolak Rio santai.

    Meski kurang puas, namun akhirnya mereka mengalah juga saat Arvand berdiri dan berjalan keluar dari kerumunan. “Nanti lagi ya.” Ujar Arvand pada mereka yang disambut dengan senyum dan pembubaran massa.

    Rio tersenyum tipis dan mulai berjalan menuju pintu sementara Arvand berjalan dengan langkah lebar menyusulnya.

    “Jadi, mau ke mana dulu kita?”

    Nafas Rio hampir saja berhenti saat Arvand bertanya sambil bergelayut di pundak Rio. Dengan postur Arvand yang tinggi dan bergelayut pada pundak Rio seperti itu membuat Arvand tampak akan mencium pipi Rio jika dilihat dari belakang. Dan Rio benar-benar merasa canggung saat wajah Arvand berjarak begitu dekat dengan wajahnya.

    “Eerr.. Arvand.. bisakah kau melepaskan pundakku?” ujar Rio dengan senyum canggung.

    Mata Arvand melebar sesaat kemudian buru-buru melepaskan tangannya. “Oh, maaf. Berat ya? Hehe..”

    Rio hanya membalas kata-kata Arvand dengan senyuman. “Ke perpustakaan dulu ya.” Sambungnya kemudian.

    “Alright then.”

    Rio pun mengajak Arvand berkeliling sekolah dan mengenalkan beberapa fakultas sekolah yang bisa Arvand manfaatkan selama bersekolah di sana. Saat berjalan, mata Rio menangkap beberapa siswa yang mengamati mereka berdua. Mungkin lebih memperhatikan lelaki jangkung berambut putih di sampingnya. Ia bisa melihat gadis-gadis di kelas satu memandang malu-malu dan siswi kelas tiga berbisik-bisik sambil memperhatikan Arvand. Namun saat Rio menoleh ke arah Arvand. Ia tampak tak peduli dan mengamati pemandangan sekitar.

    Sementara itu, Rio telah sampai di kelas Don, namun ia tidak menemukan Don di sana. Di mana dia? Apakah di kantin? Tanyanya dalam hati.

    Pertanyaan Rio terjawab saat ia dan Arvand melewati ruang BP. Mata Rio melebar dan air mukanya berupah pucat ketika ia melihat Don di sana, duduk membelakangi arah pintu. Rio yakin itu Don, dari bentuk kepala, dan perawakannya. Di depan Don tampak beberapa guru BP dan Kedisiplinan duduk dan tampak berbiacar serius dengan Don. Apakah ini terkait dengan tawuran kemarin?

    “Ngg.. Siapa dia?”

    Pertanyaan Arvand segera saja menyadarkan Rio. Ia sampai lupa jika ada lelaki berambut putih di belakangnya.

    “Dia Don.. err.. temanku.” Jawab Rio.

    “Sedang apa dia di sana?”

    “Entahlah..” Rio terdiam sesaat. “Ayo kita lanjutkan Vand.” Sambungnya.

    Arvand pun mengikutinya tanpa protes. Sedangkan Rio mengeluarkan handphonenya dan menulis pesan singkat.
    ‘ada apa, Don? Kuharap kau tidak apa-aa.’
    ***

    Rio tampak diam sambil memegangi segelas teh dinginnya dan bibirnya tampak sedikit terbuka. Ia melongo melihat lelaki berambut putih yang tadi sempat memikatnya, kini tengah menyendok roti bakar dengan topping es krimnya. Sementara di samping piring roti bakar itu terdapat sebuah piring kosong bekas kentang goreng dan sebuah mangkok kosong yang semula berisi bakso. Arvand tampak tidak rakus saat makan. Ia cenderung tenang, namun tanpa Rio sadari ia sudah menghabiskan tiga menu sekaligus dalam beberapa menit obrolan mereka di kantin sekolah. Itu belum termasuk dua gelas susu coklat dingin yang kini tinggal setengah gelas. Sadar dirinya diperhatikan, Arvand menoleh ke arah Rio, lalu mendorong roti bakarnya ke arah Rio. Dengan mulut menggembung dan mata bulat, ia menawarkan makanannya pada Rio. Rio hanya tersenyum dan bekata, “Tidak, makanlah..”
    Dan Arvand pun melanjutkan menghabiskan menu terakhirnya.
    Rio masih tak bisa melepaskan pandangan herannya pada Arvand saat ia menyeruput teh dinginnya. Tapi setidaknya kini Rio bisa tahu lebih banyak tentang cowok aneh itu, dan fakta yang ia dapat cukup mencengangkan. Ia ternyata lahir di indonesia. Ibunya meninggal setelah ia lahir. Ia hidup berpindah-pindah bersama ayahnya –yang katanya bekerja sebagai sutradara- dari negara ke negara lain, bahkan dari benua ke benua lain. Tempat tinggal yang tidak menentu dan lintas benua itu membuat Arvand terbiasa dengan perbedaan budaya dan bahasa. Satu lagi, entah dapat dipercaya atau tidak, Arvand sudah menguasai setidaknya 13 bahasa, dan ia mempelajari bahasa indonesia hanya dalam waktu dua bulan. Hasilnya, kini membuat Rio terkesan. Ia sudah bisa berbahasa indonesia meski masih dengan intonasi yang aneh namun dengan absen atau pronounciation dalam bahasa indonesia yang bagus. Rio sudah menyaksikan tadi, bagaimana Arvand mengoceh dalam beberapa bahasa yang bisa Rio yakini, dia tidak asal berbicara dan bukan omong kosong.

    Baru saja Arvand menyeruput habis susu coklatnya, bel tanda waktu istirahat berakhir sudah berbunyi. Arvand pun segera beranjak dari tempat duduknya dan merogoh saku celananya, namun tiba-tiba saja gerakannya terhenti. Wajahnya tampak berubah pucat. Rio yang sedang mengeluarkan dompetnya keheranan melihat ekspresi wajah Arvand.

    “Hey, kenapa?”

    Arvand menoleh pelan ke arahnya. “Dompetku tertinggal di rumah..”

    Rio memandangi wajah Arvand dengan tatapan tidak percaya. sementara Arvand, hanya tersenyum polos sambil menggaruk-garuk kepalanya.
    ***

    “Aku janji besok aku ganti Rio..” ujar Arvand sambil berlari kecil menyusul Rio. Saat itu jam sekolah sudah berakhir dan Rio sudah berjalan menuju gerbang sekolah. Mendengar kata-kata Arvand, Rio hanya tersenyum.

    “Atau.. Atau aku antarkan uangnya ke rumahmu? Di mana rumahmu?” tanya Arvand antusias.

    Rio pun menoleh ke arahnya dengan senyumnya yang paling manis. “Tidak perlu Arvand. Tapi lain kali jangan lupa bawa dompetmu ya.” Ujar Rio dengan senyuman nakal.

    Arvand terdiam sesaat lalu tersenyum dan melanjutkan langkahnya, mengejar Rio dan lagi-lagi membuat Rio tercengang. Arvand bergelayut lagi di pundaknya sebentar dan berbisik di telinganya. “Aku suka Rio.”

    Seketika wajah Rio memanas. Ia menoleh ke arah Arvand yang kini sudah berjalan mundur di depannya.

    “Sorry?” tanya Rio dengan senyum canggung dan gugup.

    Arvand hanya tersenyum dan ia menoleh ketika sebuah mobil hitam berjalan melewatinya. “Ah, aku sudah dijemput. Sampai jumpa lagi, Rio..!” pamitnya dan dia pun menghilang di balik pintu mobil yang terlihat mewah itu. Tinggallah Rio yang mematung heran, memperhatikan mobil itu pergi dan menjauh.

    “Ada apa ini?” gumam Rio. Ia pun berbalik dan berjalan tergesa meninggalkan tempat itu.

    Jantungnya berdetak hebat. Nafasnya memburu seiring dengan langkah kakinya yang tak terasa makin cepat. Wajah itu, rambut putih itu, mata bitu itu, perilaku anehnya itu, dan terakhir, kata-katanya barusan. Ada apa ini? Kenapa semuanya berputar di kepala Rio dan membuat Rio tidak bisa berpikir selain memikirkan dia dan kata-katanya itu? Bagaimana mungkin hanya dalam sehari dia bisa mengungkapkan kata itu pada Rio? Kini anggapan Rio semula tentang bagaimana seorang lelaki memandang seorang gay tengah diuji kembali keabsahannya. Apa mungkin benar selama ini Arvand memperhatikan Rio karena benar-benar tertarik padanya? Hey, dia bahkan sudah terang-terangan berkata bahwa ‘ia suka Rio’. Suka yang seperti apa? Apakah ‘suka’ seperti yang Rio pahami? Atau sekedar ‘suka’?

    “drrttt..”

    Langkah kaki Rio terhenti. Begitu juga dengan genderang yang bertabuh riuh di dalamdada Rio sedari tadi. Perlahan ia angkat handphonenya yang ternyata mendapatkan pesan singkat dari Don.

    ‘Aku baik-baik saja, Honey.  aku akan ke tempatmu pukul 7. See you.. :-* ‘

    Mata Rio bergerak-gerak membaca tulisan itu. Kini ia bisa mendengar suara detak jantungnya berangsur normal dan nafasnya mulai berjalan teratur. Ia pun kembali memasukkan handphonenya ke dalam sakunya. Bagai terlepas dari sebuah ilusi, kini Rio bisa berpikir jernih lagi dan mulai berjalan dengan langkah santai seperti biasanya. Meski masih saja hatinya masih kalut.

    ‘Tidak, aku tidak bisa seperti ini. Aku sudah memiliki kekasih, dan aku harus menjaga hatiku, juga perasaannya. Yah.. harus begitu.’ Gumam Rio dalam hati. ‘Yah.. Ini pasti hanya kekaguman saja. Siapa sih yang tidak kagum dengan rupa Arvand. Yah meskipun dia aneh.. rambutnya seperti uban..’
    Dan Rio pun terus menggumam pelan dalam hatinya. Tanpa sadar ia hanya menggumam tentang Raama dan Arvando. Dan tanpa ia sadari, melingkar di jarinya, cincin Rio berpendar hangat, seperti cahaya senja.
    ***
  • Good!
    Menarik sangat menarik!

    Benerkan dugaan gw
    Klo narasi lu yg panjang itu ga bosen krn memang berbau fantasi.
    Coba klo cerita romance biasa. Pasti ude gw skip skip skip.
    Hahahaa ..

    Lanjuuuuttt!!
Sign In or Register to comment.