BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

THE LITTLE PIECE OF HEAVEN

191011121315»

Comments

  • seru ... dan penasaran ...
  • Lagiiiiiii hihi makin suka
  • Bagus ganteng
  • @QudhelMars @Apell @lulu_75 @yopopo @Hajji_Muhiddin

    Cincin 14. Dedaunan Berbisik

    “Bangun!”

    Rio merasakan tangan yang dengan kasar menepuk-nepuk pipinya, memaksa matanya untuk terbuka. ‘Ah, sial!’ gerutu Rio dalam hati saat matanya terbuka sipit. Rasanya baru sekejap ia terlelap dan kini ia sudah harus melanjutkan perjalanannya di hutan itu.

    Arvand mendekati Rio yang merenggangkan tangan dan punggungnya. Matanya menutup ketika ia menguap dengan lebar. “Tidurmu nyenyak Rio?”

    “Ha?” Rio membuka sebelah matanya saat ditengah-tengah menguap. Buru-buru saja ia menutup mulutnya dan matanya melebar ke arah Arvand. Dia tidak sadar jika Arvand sudah ada di dekatnya. “Ah, iya. Nyenyak sekali. Aku bahkan sampai tidak bermimpi.”
    kini Rio sedikit tertegun dan tersenyum kecil. Ia menyadari bahkan sudah sekian lama sejak dia dihantui mimpi yang sama setiap malamnya. Kini tak adanya mimpi membuat Rio merasa seperti baru mengerjapkan matanya saja.

    “Hey, Varos. Kau tidak menggunakan kekuatanmu untuk.. err.. semacam menyingkat waktu bukan? Aku merasa baru saja memejamkan mataku!”

    Varos yang tengah menginjak-injak sisa api unggun semalam tampak mengepalkan kedua tangannya di sebelah pinggangnya. “Jangan bicara omong kosong. Semakin lama aku bersamamu membuatku semakin kesal saja!”

    “Yah, sorry” jawab Rio acuh sambil berusaha bangun dan menepuk-nepuk celananya. Membersihkannya dari dedaunan. Namun sensasi menggelitik aneh terasa di punggung tangannya yang merambat naik menuju lengannya. Mata Rio melebar ketika melihat sesuatu yang merangkak di lengannya. “Waaaa!!!”

    Jeritan Rio seketika membuat Kamal dan Varos berbalik ke arah Rio. “Ada apa?!”

    Tampak di mata mereka Rio yang mengibas-ngibaskan tangannya dengan panik dan Arvand yang sibuk menginjak sesuatu di tanah. Hingga saat Arvand mengangkat kakinya, seekor kelabang yang telah gepeng dan terputus. Entah kenapa Rio tertegun melihat pemandangan itu, saat Arvand menepis dan menginjak kelabang itu, serta bagaimana keadaan kelabang itu sekarang. Kini Arvand menghembuskan nafas dan tersenyum ke arah Rio.
    “Sudah tidak apa-apa Rio. Kelabangnya sudah takkan menyakitimu lagi.”

    Mata Rio masih membulat kikuk ke arah Arvand. “Ya.. Terima kasih Arvand..”

    “Heh.. Keterlaluan. Terus saja kau berlindung di punggung temanmu itu. Dan suatu saat, ketika tak ada lagi yang dapat melindungimu, kau akan gepeng diinjak musuhmu. Tanpa mampu membalas dan tanpa mampu membuatmu mati secara terhormat.”

    Rio hanya menatap Varos dengan tajam, seolah mencoba mencerna ejekan Varos padanya. Pandangan Rio seketika beralih ketika Arvand menepuk pundaknya. “Tidak apa-apa Rio. Jangan dengarkan dia. Aku kan sudah berjanji akan berusaha terus melindungimu. Dari bahaya paling kecil hingga yang besar.”

    Mata Rio tampak berpendar menatap mata Arvand. Entah kenapa Rio merasa begitu tenang dan damai ketika mendengar suara Arvand. Begitu juga saat melihat mata biru menawan itu, seolah menghipnotis hati Rio.

    “Aku akan selalu di sini, di sisimu.”

    Senyum manis terlukis di bibir Rio. kata-kata manis Arvand membuatnya begitu ingin mencium bibirnya. Supaya Rio dapat merasakan manis perkataannya yang tersisa di bibir tipis kemerahan Arvand. Tapi apa daya, keinginan itu bagai hancur berkeping-keping ketika suara Varos terdengar melengking di telinganya.

    “Hey, kalian berdua! Lekas pergi! Jangan sampai kalian tertinggal. Aku tak kan repot-repot mencari kalian!”

    “Baiklah, baik!” seru Rio. Rio dan Arvand saling melempar senyum kecil. Mengubah ketegangan Varos menjadi gurauan kecil bagi keduanya dan kembali melangkah.

    Kaki telanjang rombongan itu sudah menyusuri punggung hutan selama beberapa jam. Matahari sudah semakin tinggi dan sinarnya semakin kuat menghujam rimbunnya dedaunan. Rio berjalan agak cepat menyusul Varos. “Varos.. tidak bisakah kita mencari sesuatu untuk dimakan? Sesuatu yang berlemak dan panas?”

    “Apa maksudmu?”

    “Yah, kau tahu dari kemarin kita hanya memakan buah-buahan dan biji-bijian. Aku ingin sesuatu yang lain. Aku sering melihat di film-film bahwa orang yang menyusuri hutan biasa berburu untuk mencari makanan berlemak.”

    Rio seketika terhentak ketika Varos menghentikan langkahnya dan berbalik menatap wajah Rio dengan ekspresi khasnya saat akan mengatakan suatu kejutan.

    “Ide bagus Rio.”

    Varos kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik jubah hitamnya. Sebuah belati. “Aku mengambilnya dari salah satu mayat di sini. Yah, kutahu akan berguna.” Ujarnya sambil menyodorkan belati itu ke arah Rio.

    “Selamat berburu, Robin Hood.”

    Rio tersenyum aneh sambil mengambil pisau itu dan berjalan mendahului Varos.
    Arvand tampak setengah berlari menghampiri Rio. “Apa kau yakin Rio?”

    “Ya. Kenapa tidak? Akan kubuktikan padanya bahwa aku tidak selemah yang ia pikir.”

    Keraguan muncul di wajah Arvand. Rio bisa menangkap keraguan itu dan ia balas dengan senyuman. “Lihat ini, Arvand.”

    Rio melempar-lempar belati di tangannya dan dengan cepat ia melemparnya hingga tertancap dengan tajam di sebuah batang pohon. Arvand tampak tertegun melihatnya.

    “Aku sudah berlatih cukup lama Arvand.. Seorang teman mengajariku.” Mata Rio tampak kosong untuk beberapa saat ketika ia menyebut seorang teman. Teman itu tentu saja tak lain adalah Don. Kekasihnya.

    Mata Rio kini bergerak ke arah Varos yang menyusulnya dengan tawa kecil. “Haha.. Anak kecil memang selalu menganggap semuanya mudah.”

    “Apa maksudmu Varos?”

    “Yang kau bidik selama ini adalah objek yang tak bergerak.”

    “Kau salah. Aku sering membidik orang-orang brengsek yang menantang tawuran.”

    “Tapi mereka hanya manusia. Kerumunan manusia. Dengan jumlah dan posisi mereka yang berkerumun, sudah pasti kemungkinan lemparanmu mengenai target meningkat. Berbeda dengan hewan. Mereka tidak mengandalkan akal. Tapi insting. Insting yang mereka asah sejak lahir. Dan di tempat seperti ini, tumbuhan, semak, serta kurangnya pencahayaan bisa menyulitkanmu dalam membidik.”

    “Kita lihat saja nanti Varos.” Potong Rio. “Kita lihat saja.”

    “Oke..”sahut Varos dengan bibir yang ia majukan, seolah mengejek. “Kita lihat saja nanti.”

    Satu jam setelah perdebatan itu, wajah Rio yang semula begitu bersemangat kini berubah hambar. Selama satu jam lebih dia mencari, dibantu Arvand, Kamal dan Armitha, tak tampak pergerakan hewan apapun. Hanya lalat dan serangga-serangga di tanah yang mungkin baru saja menyantap daging-daging busuk para mayat.
    “Sial.. kenapa tak ada satupun hewan yang bisa kubidik?”

    Gerutuan Rio membuat Varos tertawa di belakang mereka.
    “Tentu saja. Hutan ini sudah lama ditinggalkan. Ditinggalkan oleh kehidupan itu sendiri. yang tinggal di sini hanya kematian.”

    “Apa? Kenapa?” tanya Armitha saat Varos berjalan melewatinya.

    “Itulah kenapa aku mengatakan ini bukan hutan biasa.”

    “Kemungkinan karena dulu tempat ini dialiri oleh materi vulkanik, seperti lava. Mungkin itu yang membuat tidak banyak ditemui hewan-hewan di sini.” Potong Arvand. Jujur saja itu membuat Varos kesal, karena mengurangi unsur kejutan dan mistis yang ia persiapkan.

    “Dan kau tidak memberitahuku, Arvand?”

    “Maaf Rio.. Aku hanya tak ingin membuatmu kecewa. Lagipula seingatku dari buku yang kubaca, seharusnya masih ada hewan buas seperti rubah dan rakun yang mendiami hutan ini.”

    “Tapi mereka bukan hewan buruan Arvand..”

    Arvand hanya menundukkan wajahnya sambil menggaruk-garuk kepalanya.

    “Tidak apa-apa. Setidaknya kau bisa mencoba membidik sesuatu yang bisa bergerak dengan cepat.”
    Varos tampak menunjukkan jarinya ke arah kanan rombongan. Mata rio tampak melihat sedikit pergerakan semak beberapa belas meter dari tempatnya berdiri.

    “Dia sudah mengikuti kita sedari malam. Kalau kau ingin dia tidak menggorok lehermu saat kau tidur nanti, sebaiknya kau bidik dia.”

    “Tapi apa itu?”

    “Lempar sja belatimu Rio.”

    Rio menelan ludahnya. Dilihatnya di semak-semak itu, kilau kemerahan tampak menyembul samar di sela semak belukar. Kini Rio bisa melihat sosok yang menjadi targetnya. Seekor rubah. Matanya tampak bertemu dengan mata Rio. dan seketika pergerakan semak menjadi liar menuju dirinya.

    “Lempar Rio!”

    Tangan Rio bergetar. Rubah itu tampak semakin dekat menuju dirinya, tampak dari pergerakan semak yang seakan memebelah menuju tempatnya.

    “Rio..”
    Baru saja Arvand hendak menawarkan bantuan, belati itu sudah terlempar dan pergerakan semak menjadi kembali tenang. Tergantikan oleh suara berdecit pelan dan mengiba. Varos dan Kamal segera berlari menuju target Rio. sejenak Varos terdiam danmenoleh ke arah Rio dengan senyuman puas di wajahnya.
    “Kemarilah Rio.”

    Dengan ragu Rio melangkahkan kakinya menuju tempat Varos berdiri. Dilihatnya rubah itu hendak bergerak namun belati itu menusuk di perut dan menghalangi otot kaki belakangnya untuk bergerak. Ia hanya berdecit dan melolong mengiba. Suara itu terdengar seperti pisau berkarat yang menyayat hati Rio.

    “Tampaknya mata para jenderal sudah sampai di hutan ini.” Ujar Varos.

    “Apakah dia..”

    “Betul Kamal. Dia hewan suruhan salah satu jenderal. Tak kusangka kekuatan mereka sanggup mencapai tempat ini. Tidak akan lama sampai mereka menyusul ke tempat ini.”

    “Sekarang, kau akhiri penderitaannya Rio. Cabut belati itu dan tikam lehernya.”

    Kamal tampak menoleh ke arah Varos dengan tatapan protes. Namun Varos masih saja tersenyum ke arah Rio.

    Sementara Rio, tangannya gemetar dengan hebat. Tubuhnya seperti tak bertulang melihat kondisi rubah yang sekarat itu.
    “Cepat lakukan Rio! jangan perpanjang penderitaannya!”

    Rio mengangguk cepat dan pasrah. Matanya tampak berkaca-kaca dan bergerak tidak fokus. Perlahan, dengan tangan yang gemetar ia meraih pisau itu. namun baru saja jari Rio menyentuh pangkal belati, sesosok tangan lain meraih belati itu dan dengan cepat menikam tepat di leher rubah itu. pupil Rio tampak menyempit ketika melihat bagaimana rubah itu terperanjat sesaat dan kemudian tak bergerak. Dia mati.

    Dengan mulut menganga, Rio menelusuri pandangannya asal pemilik tangan itu.

    “Sudah tidak apa-apa Rio. Jangan mengotori tanganmu lebih dari ini.”

    Rio bagai tergagap melihat wajah Arvand. Wajah Arvand juga tampak tak terlalu senang. Ia hanya bisa melihat Rio dengan tatapan sendunya. “Kau bukan pembunuh, Rio.”

    Rio tak bisa berkomentar apa-apa selain menatap Arvand. Ingin sekali ia berkata-kata namun pemandangan tadi seolah mencekik tenggorokannya. Ia hanya bisa menganga dengan suara tebata-bata dan tergagap, hingga tangan Varos merebut belati dari tangan Arvand dengan kasar.

    Dengan ujung belati terarah pada wajah Arvand, Varos berkata dengan nada yang lebih kasar dari sebelumnya. “Kau selalu mengacau, nak! Kalau kau mau temanmu itu lebih kuat dan tidak menjadi bulan-bulanan musuh, sebaiknya kau duduk dan diamlah!”

    Arvand segera bangkit dari posisi duduknya sehingga memaksa Varos melangkah mundur dengan ujung pisau masih terarah pada Arvand. “Kau tidak melatihnya menjadi lebih kuat, Varos. Kau mengajarinya menjadi pembunuh!”

    Dengan mata yang menyala penuh kemarahan, Varos mencengkram baju Arvand dan menghunuskan belatinya di tenggorokan Arvand. Tampak Kamal dan Armitha berlari menuju Varos. Mencoba mencegah terjadi hal yang lebih buruk. Namun langkah mereka terhenti ketika Varos kembali berkata dengan nada penuh maarah yang tertahan. “Jika kau tidak ingin melihat temanmu dibunuh, maka ia harus belajar bagaimana untuk membunuh. Ini bukan saatnya bersikap naif. Saat ini pilihan yang tersisa bagi kalian adalah; dibunuh atau membunuh. Dan kalau kau tidak ingin melihat temanmu melakukannya, maka pergilah!”

    “Cukup!”

    Waktu seolah berhenti. Kebisingan yang membuat kepala Rio terasa begitu pening terhenti sudah. Tampak mata yang lain terarah oada Rio. Perlahan Rio bangkit dan berjalan melewati rombongannya.
    “Mau ke mana kau, Rio?”

    “Bukan urusanmu Varos. Aku lelah dengan caramu mempermainkan kami. Aku lelah dengan semua ini!”

    Wajah Varos tampak membeku. Dalam posisi tertegun itu, Arvand membebaskan dirinya dari cengkraman Varos dan berlari mengikuti Rio yang sudah berjalan cukup jauh.

    “Tunggu Rio.. ada apa denganmu?”

    “Tidak apa-apa Arvand.”

    “Seorang yang baru saja mengatakan bahwa ia lelah dengan apa yang ia alami sudah pasti sedang dalam keadaan tidak apa-apa.”

    “Cukup.”

    Langkah Arvand terhenti. Dilihantnya Rio menundukkan wajahnya tanpa berpaling ke arahnya. “Aku hanya ingin menenangkan diriku dulu. Aku ingin sendiri.”

    “Tapi di sini tidak aman Rio.. Biarkan aku..”

    “Aku akan baik-baik saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”

    Kata-kata terakhir Rio berhasil memaku kaki Arvand di tanah yang lembab itu. Matanya tampak bergerak-gerak mengikuti bayangan Rio yang berjalan lemah, menjauh darinya. Semakin jauh dan jauh, hingga matanya tak mampu menemukan sosok itu lagi. Menghilang dalam pelukan sang hutan.
    Sementara itu, Rio berjalan dengan terhuyung-huyung. Kakinya terasa lemas dan tangannya tak berhenti gemetar. Dinginnya belati dan merahnya darah masih melekat kuat di dalam benaknya.

    Rio tampak begitu lelah dan tidak fokus. Beberapa kali ia nyaris jatuh karena kakinya terantuk bebatuan atau akar pepohonan. Hingga kali ini ia benar-benar jatuh dan wajahnya merasakan basahnya tanah.

    Susah payah ia mencoba bangkit dan memeriksa kakinya.luka lecet terasa perih di lutut Rio. dalam usahanya menahan perih itu, Rio menoleh ke belakang. Rombongannya tak terlihat lagi. begitu juga Arvand. Arvand yang selalu ada di sisinya kini tak tampak lagi. dia tidak ada untuk mencoba mengobat luka Rio. kini Rio merasa benar-benar sendiri.

    “Bagus Rio. kau menginginkan waktu untuk sendiri, dan kini inilah yang kaudapatkan.” Gerutunya pada dirinya sendiri.

    Dengan sesekali mendesis menahan perih, ia bangkit dan dengan tertatih-tatih ia mendekati sebuah pohon besar yang menancap kokoh tak jauh dari tempat ia jatuh.

    Rio merebahkan punggung di batang pohon itu. matanya tampak memperhatikan luka di lututnya dan tangannya tampak menyapu tanah dan dedaunan yang menutupi lukanya. Lagi-lagi ia berdesis ketika perih di lutunya kembali menyengat.

    Berkas sinar mentari tampak seperti tirai transparan di hutan itu. suasana begitu tenang di sana. Benar kata Varos dan Arvand. Hutan ini tampak seperti ditinggalkan oleh penghuninya. Tak tampak adanya kelinci, rusa, harimau, atau setidaknya burung-burung yang bercengkerama dari belik dedaunan. Rio seolah benar-benar sendiri.

    Matanya tampak mengitari sekitar. Pertama untuk memastikan di sekitar tempatnya duduk, tidak ada mayat yang menggantung atau tergeletak. Kedua memastikan rombongannya sudah tiba atau belum. Ketiga, Rio harus akui tempat itu begitu damai.

    Terlepas dari mayat-mayat yang tergeletak di hutan itu dan keheningannya yang menyayat, tempat itu sungguh tepat untuk Rio berpikir. Mereka-reka kembali apa yang ada di benaknya, seolah sedang merapikan buku-buku yang menumpuk.

    Kini ia teringat kembali pada kegelisahannya. Kegelisahannya karena rubah itu, karena ancaman Varos dan karena Arvand. Rio tak bisa memungkiri bahwa ia tak pernah membunuh siapapun sebelumnya. Mungkin ia pernah melukai seseorang dengan lemparan batu, tapi tak pernah ia mendengar ia sudah membunuh seseorang. Bagaimana seorang laki-laki penakut yang bahkan hanya bisa menunggu di atas kursi melihat kecoak mati oleh obat nyamuknya, membunuh seekor rubah dengan belati? Itu rubah, belum manusia!

    Sampai kapanpun Rio merasa tak berdaya untuk membunuh, sekalipun Varos mengancamnya untuk mampu membunuh lawan-lawannya. Kata-kata Varos ada benarnya juga. Membunuh atau dibunuh?

    ‘Kau bukan pembunuh, Rio.’

    Suara itu kembali berdengung di benak Rio. cukup memberatkan kepala Rio hingga Rio sampai menundukkan kepala dan membenamkan wajahnya di pangkuan tangannya.

    Arvand benar. Rio hanya siswa biasa, dulunya. Sekarang ia harus berlatih untuk mempu membunuh? Ini bukan dirinya. Dan Arvand yang ia lihat tadi bukanlah Arvand yang dulu. Arvand yang konyol dan lugu. Bahkan dari wajahnya saja kau tak akan menyangka ia bakal mampu membunuh seekor kecoak, bahkan dengan obat nyamuk sekalipun.

    Namun kenyataannya berbeda. Nyatanya dia menginjak kelabang itu dengan tanpa ragu. Dia menikam rubah itu tanpa harus merasa gemetar di tangannya. Apakah Arvand memang sekuat itu? Ia sanggup berubah menjadi lebih kuat demi Rio?

    Angin berhembus perlahan. Daun-daun bergesekan satu sama lain, dan ribuan daun itu menimbulkan suasana yang berisik seperti bisikan-bisikan. Sebuah bisikan yang bahkan mampu ditangkap oleh Rio. “Rio..”

    Seketika lamunan Rio terbuyarkan oleh bisikan itu. Sebuah suara yang halus yang seolah memanggil namanya.

    Mulanya Rio mengacuhkan suara itu dan mengangga itu bayangannya saja, melihat bagaimana ia memandang ke sekitarnya dan tak menemukan seseorang pun di sana yang dapat mengeja namanya. Namun pandangannya berhenti di sebuah titik, ketika sebuah kelopak putih jatuh menutupi lututnya.
    Mata Rio melebar sejenak. Diraihnya kelopak putih itu dan dilihatnya luka di lututnya sudah menghilang.
    “ini..”
    Rio seolah tak mempercayai apa yang ia lihat di tangannya. Sebuh kelopak putih yang seharusnya hanya ada di mimpinya. Sebuah kelopak putih yang dulu mengantarnya pada Armitha. Dan kini kelopak putih itu menggiring mata Rio pada sosok di depannya.

    Sosok wanita yang sebelumnya berdiri di bawah pohon putih besar kini berdiri agak jauh dari tempatnya.

    “Rio...”

    Suara itu kembali berbisik dan mengajak kaki Rio untuk membuatnya berdiri. “Kau.. Wanita yang muncul di mimpiku bukan?”

    Rio berjalan ke arah wanita. Sesekali Rio megucek matanya, memastikan yang ia lihat bukan khayalan belaka. Dan ketika Rio membuka kembali matanya, ia lihat wanita itu mulai berjalan menuju semak-semak. Semakin dalam menuju gelapnya hutan.

    “Tunggu..”

    Rio mencoba memanggilnya dan berlari, namun seolah langkah kaki wanita itu begitu lebar hingga tak mampu untuk Rio susul. Rio menggerakkan kakinya lebih kuat lagi. penat dan khawatir ia buang jauh-jauh. Yang kini ia inginkan adalah meraih tangan wanita itu dan menanyakan segalanya.

    Rio berlari semkain liar. Dengan tangannya ia menepis dedaunan yang menghalangi pandangannya. Sedangkan di depannya wanita itu tampak berjalan semakin menjauh dari Rio. sesekali berbelok di antara pepohonan dan sesekali menoleh ke arah Rio dengan senyumnya yang angkuh. Dengan nafas yang memburu dan bernafsu Rio mengejarnya. Tak peduli seberapa ia berlari semakin dalam di hutan itu, di matanya hanya ada bayangan putih wanita itu.
    Namun bayangan wanita itu semkain jauh dan semakin sulit untuk diikuti, hingga mata Rio tak mampu menemukan wanita itu lagi. Dengan nafasnya yang tersengal-sengal ia berjalan tak menentu. Matanya berputar mengelilingi tempat itu namun wanita itu tak ada di sana.

    “Rio...”

    Bisikan itu kembali terdengar. “Di mana kau!” jerit Rio, namun satu jawaban yang ia dengar adalah bisikan yang menyebut namanya.

    “Rio...”

    Suara itu terdengar semakin sering dan seolah berasal dari segala arah. Mata Rio tampak berputar menggila ke sekitarnya. Ia berputar dan berjalan bagai orang linglung. Suara-suara itu memenuhi pikiran Rio, seolah berdengung di dalam kepalanya. Semakin lama semakin bersahut-sahutan dan semakin keras.

    “Hentikann!!”

    Rio mencoba berlari sekuatnya menghindari suara-suara itu. namun semakin jauh ia berlari suara itu tak bertambah pelan dan menjauh melainkan semakin mendekat. Hingga di satu titik Rio merasa tak tahan dan ingin berteriak, kakinya terperosok.

    Suara-suara itu mengacaukan pikiran Rio, hingga ia tak melihat tebing curam yang tersembunyi oleh semak-semak. Kini ia bisa merasakan tubuhnya berguling. Pandangannya berputar-putar dan ia tak mampu mendengar jeritannya sendiri meskipun ia yakin sedang menjerit. Hingga tubuhnya terhempas di bibir tebing, ke sebuah ruang kosong. Waktu sekaan berjalan melambat. Saat pandangan kembali fokus pada satu arah. Ia bisa melihatnya dengan jelas, sebuah sungai besar yang seolah merentangkan jubah panjangnya menyambut tubuh Rio.

    Sesaat sebelum kulit rio menyentuh aliran air, ia bisa mendengar sebuah bisikan di telinganya.

    "Selamat datang, di hutan kematian."

    ***


  • waduh siapa itu ya ...?
  • Antara pemilik cincin alda / nilda, soalnya saat rio jatuh, lukanya ga langsung sembuh, tapi sembuh sama kelopak putih itu.
  • Mari....
    Hai para Alda, kita sambut rio dan kawan2...
    Selamat datang rio.....
    Yg semangat ya don
    Suatu saat kau pasti akan menemukan cinta sejati kamu...
  • Up
    Up
    Up
    Up
    Up
    Up
    Up
    Uo
    Up
    Up
    Up
    Up
    Up
    Up
    Up
    Up
    Uo
    Up
    Update kak @robi_is_a_goodboy
  • Lanjutin Bro...
  • Lanjut..... Lanjut.... Lanjuttttt.....
Sign In or Register to comment.