It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tapi ada beberapa typo, cek sendiri ya..
Dilanjutkan jangan lama² 8->
lagi..:D
supranaturalnya diperbanyak *request* , hehehe.
zuyy18 iya,, k depannya bkl lbh teliti lagi. makasih koreksinya
kiki suka crita supranatural ya? aku juga suka skali. utk awal2 crita ini sdikit2 dl ya unsur supranaturalnya. aku mncoba mnikmati crita ini sdkit lbh lama.. tp aku janji kebelakang aku kuatkan dan banyakin unsur supranaturalnya.. makasih
lagihh>< suka deh^^
jangan lupa mention yah
titip mention ya TS..
@3ll0
@Adityashidqi
@yuzz
@zuyy18
@rebelicious
@kiki_h_n
@TigerGirlz
@Tsu_no_YanYan
@d_cetya
@Fuumareicchi
@jacksmile
Cincin 3. Makan Malam dan Fakta Gelap.
Waktu menunjukkan pukul 17.00. Rio segera menuju dapur dan membuka kulkasnya, memastikan semua bahan yang ingin ia masak tersedia. Setelah ia mengeluarkan beberapa bahan di atas meja, ia beranjak sebentar ke arah laptopnya yang sedari tadi menyala. Ia memutar playlist kesukaannya, lagu-lagu dari band metal Avenged Sevenfold. Dalam irama yang keras, Rio dengan semangat mengolah bahan masakannya.
Sesuai dengan janji Rio kemarin, ia akan memasakkan makanan special untuk Don. Rio ingin memasak nasi goreng singapur kesukaan Don. Yah, Don selalu mengatakan masakan Rio enak, dan menu yang paling Don suka adalah singaporean fried rice atau nasi goreng singapur. Rio juga mengeluarkan sekantung chicken nugget dari dalam kulkas. Kalau ayam, lauk kesukaan Rio. Biasanya jika ada waktu lebih, ia suka membeli fillet ayam dan membuat chicken katsu atau teriyaki sendiri. Don tidak cocok dengan rasa saus teriyakinya, namun itu justru merupakan sebuah keuntungan bagi Rio yang penggila daging olahan ayam.
‘Chop chop chop..’
Suara pisau pada talenan terdengar lincah. Suara berdesis saat bumbu bertemu dengan minyak panas terdengar riuh dan beberapa lama kemudian, aroma yang lezat mulai memenuhi dapur dan seisi rumah kontrakan Rio. Rumah kontrakan Rio memang tidak terlalu besar. Hanya terbagi atas empat sekat, ruang tamu, kamar, dapur dan kamar mandi. Jadi, menumis bawang sebentar saja aromanya sudah seruangan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.58. Rio baru saja selesai menuang nasi goreng ke mangkuk besar. Di sampingnya berjajar dengan anggun sepiring chicken nugget dan sepiring lagi berisi irisan selada segar dan tomat. Rio tampak tersenyum puas dengan hasil kerjanya. Setelah ia menutup makanannya itu dengan tudung saji dan ia bergegas mandi. Ia tidak ingin kekasihnya makan dengan lelaki yang berbau bumbu dapur.
Suara pancuran air terdengar riuh dari bibir kran. Rio beberapa kali mengguyur badannya dengan air yang terasa begitu dingin segar. Saat Rio mulai menggosok tubuhnya dengan sabun, matanya kembali terpaku pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin itu tampak sebagian tertutup busa sabun yang perlahan tergelincir di permukaan logamnya yang licin. Penasaran, Rio kembali mencoba melepaskan cincin itu dari jarinya. Sudah dua hari ia habiskan bersama cincin itu dan cincin itu tetap tak bisa dilepas. Rio berharap kali ini dia lebih beruntung. Perlahan ia memegang cincin itu dan dengan sedikit memutar-mutarnya, ia coba untuk menggeser cincin dari jarinya. Cincin itu bergeser sedikit. Mata Rio sedikit berbinar. Namun, lagi-lagi cincin itu berhenti bergerak saat membentur tulang ruas jari Rio. mata Rio kembali sayu. Ia mulai cemas dan takut. Cincin itu sama sekali tak mau dilepas dari jarinya. Bahkan awal mula cincin itu ada di jari Rio saja ia masih belum menemukan jawabannya.
Rio memejamkan matanya sejenak lalu meraih gayung dan kembali menyiram tubuhnya. Rio kembali malas untuk memikirkannya. ‘Yang jelas, ada acara yang tidak ingin aku lewatkan malam ini’ gumam Rio dalam hati, meskipun sebenarnya terselip rasa cemas di hatinya. Sampai kapan cincin itu akan terus berada di jarinya? Lagi-lagi Rio malas memikirkannya.
***
Rio tengah berdiri di depan cermin di kamarnya, membenahi tatanan rambut dan pakaiannya. Ia bisa saja berkata ‘Tidak akan’ saat Don menyuruhnya berpakaian sexy. Ia juga tidak mengerti apa yang Don maksud dengan pakaian sexy. Yang jelas Rio tidak ingin penampilannya jelek malam ini. Untuk ukuran makan malam di rumah, Rio hanya menggunakan baju putih v neck berlengan panjang hingga menutupi sebagian punggung tangannya. Dengan wajah mungil dan kulit seputih itu, menggunakan pakaian seperti yang ia kenakan saat ini, membuatnya tampak seperti remaja korea. Manis namun juga dingin. Itulah Rio. Dan kebetulan cincin baru yang ia kenakan tampak mendukung penampilannya. Menambah kesan dingin dan manis seperti yang Rio harapkan dari dirinya. Entah kenapa Rio merasa begitu berbeda malam ini. Entah perasaannya saja atau memang ada sesuatu yang lain?
Rio memalingkan wajahnya saat mendengar bunyi daun pintu rumah kontrakannya diketuk. Ia pun bergegas menuju ruang tamu dan membukakan pintu untuk orang yang ia tunggu-tunggu. Seorang pria berambut mowhawk dan mengenakan kaos hitam dan jaket hitam berdiri dengan gagah di depan Rio. Untuk sesaat keduanya saling bertatapan dan tersenyum, saling mengagumi. Hingga akhirnya Rio menggeser tubuhnya dan mempersilakan Don untuk masuk.
Begitu Rio menutup pintu, sebuah tangan yang kekar melingkar di badannya. Rio bisa merasakan bibir Don di tengkuknya dan juga nafasnya yang menggelitik pelan, menyebarkan sensasi hangat di tubuh Rio.
“Kau manis sekali malam ini.” Bisiknya.
Rio hanya tersenyum dan membalikkan badannya hingga wajah keduanya bisa bertemu. Saat Rio menatap wajah Don, entah kenapa waktu berhenti sesaat. Dan saat itu entah kenapa bayangan wajah Arvand melintas dan menutup wajah Don. Hingga Rio mengerjapkan matanya sejenak lalu wajah Don kembali tersenyum padanya.
“Kau juga begitu tampan malam ini.” Ujar Rio sambil mengecup
tipis bibir Don.
Don tersenyum mendapat ciuman lembut yang sudah lama tidak ia rasakan dari Rio. Dengan semangat ia mencondongkan wajahnya ke arah Rio, namun dengan jarinya Rio mencegah Don.
“No.. Makan dulu.” Ujar Rio dengan senyuman nakal.
Melihat reaksi Rio, Don pun tertawa kecil dan melepaskan tubuh Rio dari cengkraman pelukannya. Rio pun membawanya ke dapur. Di sana tampak sebuah meja dengan dua kursi yang saling berhadapan. Di atas meja terdapat beberapa makanan yang Rio siapkan tadi, juga dua buah gelas dan teko bening berisi jus jeruk.
“Waw.. Kau menyiapkan semuanya dengan sangat baik, Honey..” ucap Don sambil dengan wajah takjub menggeser kursi. Don pun sambil tersenyum layaknya seorang gentleman, mempersilakan Rio duduk di kursi yang baru saja ia geser. Melihat itu, Rio hanya tersenyum kecil dan duduk di kursi yang Don persilakan untuknya. “Perlakuanmu terlalu berlebihan untuk hidangan yang terlalu sederhana ini Don.”
Don mengangkat alisnya dan duduk di kursinya. “Ini adalah hidangan yang sangat istimewa bagiku Honey.”
Rio benar-benar tersanjung dengan kata-kata Don, meski ia tidak ingin megungkapkannya secara lisan. Don adalah orang yang baik. Ia selalu berusaha menyenangkan Rio meski Rio sebenarnya adalah pribadi yang angkuh dan pencemburu. Namun yang membuat Rio kagum dan seakan tak mau lepas dari Don, seorang lelaki besar yang sebenarnya tidak terlalu tampan adalah, keihlasannya dalam menerima Rio dan kesungguhannya dalam mencintai Rio. Bersungguh-sungguh atas apa yang ia ikrarkan di depan wajah Rio. Cinta yang tulus.
Acara makan malam itu pun dimulai. Don tampak lahap memakan nasi goreng kesukaannya dan Rio mengunyah pelan sambil tersenyum melihat kekasihnya itu. Hingga ia teringat akan sesuatu.
“Don..”
“Iya?” jawab Don dengan mulut agak penuh.
“Ada apa kau di ruang BP tadi siang?”
Don seketika menghentikan kunyahannya. Rio mengangkat alisnya pada Don, dan Don pun menelan makanan di mulutnya.
“Tidak apa-apa, Honey..Yah.. Seperti biasa..” ucap Don yang tidak berani menatap mata Rio.
Ekspresi wajah Rio berubah pucat. “Apanya yang seperti biasa? Masalah tawuran kemarin kan?”
Don diam lalu mengangguk pelan sambil memainkan makanan di piringnya.
“Kenapa hanya kau Don? Kenapa aku tidak? Aku juga terlibat.. Lalu, bagaimana dengan Malik?” tanya Rio memburu.
“Hehe.. Itu tidak perlu honey..” kini Don terlihat lebih tenang. Ia menusukkan garpunya di salah satu potongan nugget. Sementara Rio tampak bingung.
“Aku yang mengajakmu, Malik, dan teman-teman lainnya. Aku ketuanya, dan aku yang bertanggung jawab.”
“Itu yang kau ucapkan pada guru BP?”
Don mengangguk dan menggigit nuggetnya.
Rio hanya melongo. “Lalu bagaimana kata mereka?”
“Yah. Begitulah.. Sebagai siswa kamu harus begini.. Jangan buang-buang waktu dengan ini.. itu... “
“Lalu.. Kau tidak dihukum kan?” tanya Rio sedikit menunduk, mencari mata Don yang daritadi menghindari mata Rio.
“Errr... Tidak terlalu berat sih.. Hanya..”
“Kau tidak sampai di skors bukan?”
Seketika Don menatap mata Rio dan tersenyum polos.
Rio seketika meletakkan sendok dan garpunya. Tapi sekejap Don tertawa dan mencubit dagu Rio. “Tapi bohong..” Don pun tertawa puas.
Ia tampak geli melihat wajah Rio yang menganga dan kelihatan kesal. “Wajahmu lucu saat kau cemas Honey..”
Sementara Rio hanya terdiam. Sebenarnya ia kesal sekali. ia sudah cemas apabila terjadi sesuatau pada Don, namun ternyata kecemasannya sia-sia dan kini ditertawakan oleh Don. Namun semarah apapun ia, pada akhirnya Rio tertawa juga.
Setelah ia pikir-pikir, semua masuk akal juga. Ayah Don adalah orang yang paling disegani oleh pihak sekolah. Beliau adalah bupati sekaligus penyumbang terbesar di sekolah Rio dan Don. Tentu pihak sekolah tak akan bertindak gegabah, jika tidak ingin nama sekolah mereka terancam. Terdengar tidak adil memang, tapi yah.. beginilah hidup. Yang punya uang yang berkuasa. Dan selama ketidakadilan itu menyelamatkan kekasihnya, buat apa Rio risau?
“Hey, aku baru tahu kau memakai cincin, Honey..”
Rio menghentikan tawanya dan memperhatikan cincinnya. “Ini? Ya.. aku..”
Rio menghentikan kata-katanya sambil memandangi cincin itu. ‘Haruskah aku mengatakannya? Apakah Don mau menerima kenyataan bahwa cincin ini datang secara ajaib di jari manisku? Bagaimana jika ia menganggapku aneh?’
“Honey?” tampak Don mengeryitkan alisnya pada Rio yang masih bengong menatap jari manisnya.
“Ya! Err.. Aku membelinya... secara online. Aku suka modelnya.”jawab Rio dengan senyum lebar dan polos.
Don tersenyum juga melihat Rio. dia suka sekali melihat Rio tersenyum. Bagi Rio yang dingin dan lebih banyak diam, tentu adalah sebuah momen langka bagi Don, melihat dia tersenyum lebar seperti itu. Pada akhirnya, keberadaan cincin itu tak jadi masalah bagi Don.
“Ya.. Cincin itu tampak indah di jarimu. Kau pun tampak berbeda malam ini.. Apakah mungkin karena cincin itu? Ah tidak, kau selalu indah buatku.” Ucap Don.
Dari matanya yang memandang langsung ke arah mata Rio, seketika membuat wajah Rio memanas. Rio hanya tertawa kecil dan menundukkan wajahnya.
“Kau sungguh pintar dalam merayu, Don.” ujar Rio sambil memotong nuggetnya.
Don tersenyum sambil menghela nafas, kemudian ia mengulurkan tangannya, memegang tangan Rio. Rio kontan saja terhenyak dan memandang Don. ia bisa melihat mata Don yang begitu teduh menatap matanya.
“Kalaupun aku mengatakan seratus bahkan seribu kata yang mengungkapkan keindahan dan kebaikanmu, maka itu bukanlah seribu rayuan, melainkan sebuah kejujuranku yang paling dalam.”
Mata Rio sedikit melebar mendengar itu. Jantungnya mulai berdetak cepat dan Rio akhirnya hanya menundukkan wajahnya, menyembunyikan rona malu di wajahnya.
“Aku mencintaimu Rio.. Lebih dari apapun. Aku akan selalu ada untukmu, dan kau pun juga berjanjilah, bahwa kau tak akan pergi meninggalkanku.”
Kali ini Rio menengadahkan wajahnya, mencoba memandang mata Don, namun akhirnya ia menundukkan matanya lagi. Entah kenapa ia tak sanggup membalas tatapan Don. Ada sesuatu di dadanya yang menggeliat dan berontak. “Iya.. aku berjanji.”
Don tampak tersenyum puas mendengar kata-kata Rio. ia beranjak dari kursinya dan mencium cincin Rio. Namun, bagai tersengat listrik, Don buru-buru melepas bibirnya dari cincin Rio dan melepas tangannya. “Aagh!” jeritnya sepintas.
Rio segera saja berdiri dari kursinya dan menghampiri Don yang tengah memegangi bibirnya. “Ada apa Don?” tanya Rio cemas.
“Entahlah, Honey.. Sepertinya cincin barumu membakar bibirku.” Ujarnya sambil melihat jari yang tadi menyentuh
bibirnya, memeriksa apakah ada darah mengucur.
Rio melihat bibir tipis Don. ia tidak melihat ada bekas luka apapun. “Aku tak melihat luka apapun Don..”
Tampak wajah Don menatap Rio dengan ekspresi bingung. Ia pun meraih lengan Rio dan melihat cincin di jari Rio. “Apakah cincin ini tidak membakar jarimu? Setidaknya apakah kau merasa panas? Atau tersengat?”
Rio menggeleng pelan. “Kalau aku merasa cincin ini menyakitiku, tentu aku akan melepasnya segera.” Rio menelan ludah sesaat. ‘meski aku tidak pernah bisa melepasnya’ batin Rio.
Don termenung dengan jawaban Rio. ia pun mencoba menyentuh cincin itu dengan jarinya dengan perlahan. Saat kulit jarinya menyentuh permukaan cincin itu, dingin. Tidak ada sengatan atau sensasi membakar apapun. Itu hanya terasa seperti cincin biasa saat ini. Namun Don yakin bahwa bibirnya seakan terbakar saat menciumnya. Dan Don tak akan mau mencobanya untuk kedua kali.
“Entahlah Rio.. apakah ini perasaanku saja atau apa.. yang jelas...” kata-kata Don sempat terhenti. Ia melihat wajah Rio yang kini menarik pandangannya ke arah cincinnya. “ Ah lupakan. Perasaanku saja. hahaha”Sambung Don sambil mengacak-acak rambut Rio.
Rio hanya tertunduk sambil tersenyum tipis. ia tidak tahu bagaimana menjelaskan semuanya kepada Don, dan ia juga merasa tak enak hati pada Don. Benarkah cincin ini menolak ciuman Don? Kenapa?
***
Rio berdiri di ambang pintu, melihat Don melaju dengan sepeda motornya. Ia terus di sana memandanginya hingga kilau merah lampu belakang motor Don menghilang menjadi sebuah titik kecil. Setalah titik merah itu tak terlihat lagi, Rio segera masuk ke dalam rumah kontrakannya, menutup semua pintu dan menguncinya rapat-rapat. Setelah ia tiba di kamarnya, segera saja ia duduk di depan cermin. Ia melihat dirinya yang berbeda dengan bayangan dirinya beberapa jam yang lalu, sebelum Don datang. Ia melihat rambutnya yang semula tertata rapi kini agak berantakan. Matanya yang semula berbinar kini kelam seperti dirundung awan mendung. Ia melihat dirinya lebih dingin dari sebelumnya. Di cermin itu ia kembali mengulang semua ingatannya. Saat cincin itu menyakiti Don. Rio masih tidak percaya jika cincin itu benar-benar melakukannya. Yah Rio tahu bahwa cincin itu sudah membawa banyak keanehan sejak kemunculannya pada jari manis Rio, namun kali ini sudah kelewatan! Menurut Rio, karena insiden itu, suasana yang tercipta di antara Rio dan Don menjadi canggung dan hambar, tidak seperti biasanya. Don yang biasanya menginap kini pamit pulang (dengan alasan mengantar ibunya check up). Sebagai hasil akhirnya, Rio menyalahkan cincin itu atas hilangnya waktu berkualitas bersama kekasihnya itu.
Dan sialnya, dalam suasana hati yang chaos itu, lagi-lagi bayangan Arvand muncul dalam benaknya.
“Aaarggh!”
Tanpa Rio sadari ia sudah menjerit tertahan. Dengan putus asa ia memegang erat cincin di jarinya dan berusaha menariknya keluar dari ruas jari manis Rio. Tapi lagi-lagi meski dengan sekuat tenaga ia mencoba melepas cincin itu, semakin banyak tenaga yang terbuang sia-sia. Cincin itu tak bergeming, tetap melingkar nyaman di jari manis Rio.
Mata Rio tampak bersinar beringas melihat cincin itu. Rasa penasaran, kebingungan, takut dan putus asa bercampur padu menjadi emosi yang meluap-luap. Hanya satu hal yang terpancang di hatinya. ‘Cincin ini harus ku singkirkan!’
Rio melihat sekelilingnya. ia segera berdiri, berjalan tergesa menuju lemari dan mengobrak-abrik isi laci lemari bagian bawah. Dikeluarkannya sebuah palu dan ia letakkan jari-jarinya beserta cincin itu di lantai yang dingin. Jantung Rio berdebar kencang. Palu di tangan kiri sudah terhunus di udara. Rio tinggal mengayunkan palu itu ke cincin yang melingakar di tangan kanannya. Dengan sebuah ayunan yang pasti, besi palu itu berdenting keras saat bertemu permukaan cincin itu. Dan saat Rio melihat jari-jari kanannya, jari-jari yang seharusnya juga ikut terluka saat palu memukul cincinnya, masih baik-baik saja, begitu jga dengan cincin itu. Cincin itu masih ada di jari manisnya. Tidak penyok, tidak ada tanda kerusakan bahkan meski hanya sebuah goresan kecil. Melihat itu Rio makin kalap. Dengan sekuat tenaga ia memukul-mukul cincin itu dengan palu. Ia tidak peduli apabila jarinya yang terpukul, yang jelas cincin itu harus hancur.
“Tingg!!”
Suara denting terkhir yang bisa Rio hasilkan. Dengan nafas terengah-engah, Rio mengangkat jari jemari kanannya. Cincin itu masih ada. Utuh. Tak ada cacat sedikitpun, begitu juga jari jemarinya.
“Sial!!” umpat Rio melempar palu ke lantai.
Di tengah nafasnya yang tersengal-sengal itu, ia melirik ke arah palu tadi, dan ia terhenyak. Ujung palu yang ia gunakan untuk memukul cincin itu, telah penyok di beberapa bagian, dan Rio bisa melihat asap tipis mengepul pada ujung palu itu, menandakan palu itu sudah mengalami gesekan atau benturan yang keras hingga menghasilkan panas. Sementara saat Rio menyentuh cincinya, bahkan hangat pun tidak terasa. Seolah cincin itu tak terpengaruh sama sekali dengan adanya benturan benda keras tadi.
“Ini tidak mungkin..” decitnya pelan.
Wajah Rio menoleh ke arah dapur. Ia pun segera berdiri dan menghampiri meja makan. Di sana ia meraih pisau dapur dan menghunuskannya ke arah jari manisnya.
Tangan kirinya tampak bergetar dan peluh dingin mengalir di dahi dan leher Rio. Hingga sebuah suara yang dingin menghentikan perbuatannya.
“Jika kau jadi kau, aku tidak akan melakukannya.”
Mata Rio terbelalak. Ia mengenal suara itu. Ia pun segera menoleh ke arah suara itu berasal.
“Siapa kau? Bagaimana kau bisa...”
Rio tak mampu menyelesaikan kata-katanya saat ia melihat seorang lelaki dengan pakaian serba hitam, topi bundar dan kacamata hitam tengah duduk di kursi yang tadi digunakan Don, dan ia tengah menikmati sisa nasi goreng yang dibuat Rio.
“Lewat pintu, tentu saja.” Jawabnya santai sambil mengunyah.
“Mustahil! Pintu depan sudah kukunci.” Kini Rio berdiri menghadap pria itu. Tangannya yang gemetar memegang erat pisau dapurnya, bersiap apabila pria itu bertindak macam-macam. “Katakan padaku, bagaimana kau bisa masuk, dan apa maumu kemari.”ucap Rio perlahan namun dengan tekanan.
Pria berpakaian serba hitam itu menghentikan kegiatan makannya dan melirik ke arah Rio. setelah ia meletakkan sendok dan garpunya, ia menautkan jari jemarinya sambil tersenyum pada Rio.
“Dari pada itu,mungkin ada pertanyaan lain yang lebih penting untuk terjawab untukmu.”
Rio masih menatapnya dengan tajam. Ia mempererat genggaman pada pisau dapurnya.
“Apa maksudmu? Daripada kau bicara ngelantur lebih baik kau per...”
“Apa sebenarnya benda yang melingkar di jarimu itu?”
Mata Rio melebar. Sementara pria itu berdiri dan berjalan pelan, mengitari meja menuju tempat Rio berdiri.
“Bagaimana cincin itu bisa ada di jarimu? Dan bagaimana melepaskan cincin itu dari jarimu?”
Rio menelan ludah sejenak saat pria itu berdiri dekat dengannya. Seolah pria itu sama sekali tidak terpengaruh akan pisau yang digenggam Rio.
“Kau tahu tentang cincin ini? Siapa kau?!” tanya Rio. “Dan kau.. Kau yang waktu mengawasiku saat tawuran bukan?! Dan.. dan... harusnya kau orang yang ada dalam mimpiku!”
Pria itu tersenyum lebar, kemudian berjalan mundur dengan langkah santai. “Hey, hey.. Aku tidak akan menjawab pertanyaan selain tiga pertanyaan yang kuajukan sendiri tadi. Dan bagaimana aku bisa ada di mimpimu.. err.. aku tidak tahu! Mungkin kau merindukanku.”
Baru saja pria itu menyelesaikan kata-katanya, pisau yang semula dipegang erat oleh Rio sudah melayang ke arah wajah pria itu. Dan saat ujung pisau sudah hendak menyentuh kaca mata hitam si pria, mata Rio terbelalak, dan kakinya mendadak terasa begitu lemas.
Pisau yang harusnya menancap di wajah pria itu kini mengambang tak bergeming di udara. Tetap tak bergerak di depan wajah si pria. Pria itu kini melangkah menghindari pisau itu dengan santai dan menghampiri Rio yang kini berjalan mundur.
“Kau punya kemampuan yang bagus dalam membidik, Nak.”
Ujar pria itu dengan senyum yang polos.
Ia menjentikkan jarinya, dan seketika pisau itu kembali bergerak, meluncur sesuai lintasannya. Rio terkejut melihat kejadian itu, dan kini pisau yang tadi ia lempar menancap di dinding kontrakannya, lalu terjatuh ke lantai. Meninggalkan sebuah bekas goresan di sana.
“Aku seharusnya mati tadi.” Sambung pria itu yang terus berjalan menghampiri Rio.
Rio pun terus melangkah mundur, hingga punggungnya menyentuh tembok. Ia tak bisa ke mana-mana sekarang. Kini ia melihat wajah pria itu yang kini berhenti di depannya.
“Apa sebenarnya kau?” tanya Rio dengan intonasi yang dingin dan sarkas.
Pria itu tertawa kecil. Ia menekuk lengannya ke depan, dengan telunjuk megarah ke arah cincin Rio.
“Cincin itu, cincin Nilda. Satu dari empat cincin Firima.”
Mata Rio memicing keheranan. “Nilda? Firima? Apa yang kau maksud?”
“Ck.. Satu pertanyaan satu jawaban. Aku tidak menerima feedback apapun.” Kilah si pria.
Rio menarik nafas panjang, mencoba menahan diri.
“Lalu kedua, bagaimana cincin itu bisa ada di jarimu?” kata si pria yang kini berjalan mundur lagi ke arah meja makan. “Ya, aku orang yang mengawasimu saat tawuran itu, dan aku yang menolongmu dari lemparan batu itu.”
Mata Rio terbelalak. ‘Jadi benar dia orangnya? Dan dia yang menyelamatkan aku dari lemparan batu itu? Tapi bagaimana bisa?’
“Caraku menolongmu, dan caraku memasangkan cincin itu di jarimu, sama dengan caraku menghentikan pisaumu tadi.” Sambung si pria berjubah hitam sambil duduk di meja makan dan mengambil sepotong nugget.
“Itu mustahil. Kau pasti alien, setan, jin atau sebangsanya.” Umpat Rio.
Pria berjubah hitam yang semula mengunyah kini tampak terbatuk-batuk karena tersedak.
“Aku? Alien? Jin? Hahahaha... Asal kau tahu... Aku..” pria tadi tampak terdiam sesaat dengan mulut terbuka dan beberapa remah nugget jatuh dari bibirnya yang melongo.
“Kau apa? Kenapa kau berhenti?”
Pria itu terdiam sesaat lalu kembali mengunyah nuggetnya.
“Jadi pertanyaan ketiga.”
“Hey, kau belum menjawab pertanyaanku!” Rio sudah maju beberapa langkah, hendak menuntut pria berjubah hitam itu, namun langkahnya terhenti saat si pria kembali berbicara.
“Tak seorang pun.”
Alis Rio mengeryit heran. “eh?”
Si pria berjubah hitam mneoleh ke arah Rio dengan senyum yang dingin. “Tak seorang pun, mampu melepaskanmu dari belenggu cincin itu. Sampai kau menuntaskan kewajibanmu”
Jantung Rio berdebar. Rio seolah merasakan hawa dingin yang begitu kuat di sekilingnya, dan entah perasaannya saja, namun suasana di ruang itu mendadak menjadi suram. Si pria itu kembali berdiri, dan Rio kembali mundur beberapa langkah dengan kaki gemetar. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa begitu takut.
“Apa maksudmu aku tidak bisa lepas dari cincin ini?” tanya Rio dengan nada gemetar, sedangkan pria itu terus berjalan ke arahnya. “Lalu apa yang kau maksud dengan kewajiban?! Aku tidak terikat dengan apapun!”
“Kau sudah terikat, Rio Lazuar..”
Rio mendadak terjatuh setelah angin dingin menerpa tubuhnya. Penerangan di ruangan itu mendadak meredup dan berkedip-kedip. Bayangan pria itu tampak meninggi dan menyebar di seisi ruangan kontrakan Rio, sementara Rio bersimpuh serta merasa dirinya begitu kecil.
Ia melihat pria itu berjalan ke arahnya dengan mata bergetar.
“Nasibmu telah tertulis sejak kau lahir dan ikatanmu sudah tercipta sejak kiamat memilihmu, menggunakan cincin itu. kau tidak bisa lari Rio Lazuar! Meski kau memotong jarimu, cincin itu akan terus mengejarmu! Berpindah dari jari ke jari hingga akhirnya tak ada jari yang tersisa pada tanganmu. Dan jika itu terjadi, maka kiamat takkan terelakkan lagi. Bangsamu dan juga bumi ini.. Akan musnah!”
Rio seketika memejamkan matanya. Ia tidak sanggup lagi melihat suasana itu. Jantungnya berdebar kencang hingga Rio bisa mendengar bunyi degubnya dan..... dan suasana kembali hening. Perlahan Rio membuka matanya. Ruangan dapur Rio tampak sepi. Lampu kembali menyala dengan normal dan sosok pria berjubah hitam tadi sudah lenyap. Rio mencoba untuk berdiri dan berjalan mengamati sekitarnya dengan tatapan linglung. Ia melihat pintu depan tertutup rapat. Begitu juga jendela yang berteralis, semua tertutup dan tak ada yang rusak. Saat Rio masih berjalan dengan linglung melihat meja makannya, tiba-tiba ia sadar ujung kakinya menginjak sesuatu. Saat ia melihat ke bawah, ujung jarinya sudah menginjak pada gagang pisau.
‘Deg’ jantung Rio kembali bertabuh, dan saat Rio menyusuri arah mata pisau itu mengarah, ia melihat bekas goresan di dinding yang tampak baru.
Mata Rio tampak melebar dan bergerak-gerak. Ia pun mengangkat tangan kanannya dan melihat cincin yang berpendar angkuh di jarinya. Melihat itu Rio meremas kepala dan rambutnya, seraya bergumam pelan.
“Tuhan... Tolong aku..”
***
ada typo.
bagus kok, cm pribadi kurang suka sm pemakaian kata kebetulan, kebetulan ini, kebetulan itu..
ahh..saya suka saya suka