It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Masih awal jdi blum bisa coment.
Sukses dengan cerita baru'y.
:-(
Kasi tau donkkk
@672048 @Abyan_AlAbqari @AdhetPitt @Adra_84 @adzhar @aglan @AgungPku @Aland_Herland @angelofgay @Ardhy_4left @Beepe @BinyoIgnatius @chandisch @danze @darkrealm @dheeotherside @Dimz @DItyadrew2 @FeRry_siX @Fruitacinno @Hanz_cullenz @hwankyung69 @iboobb7 @jokerz @Jhoshan26 @Monic @mr_Kim @Ozy_Permana @poelunx @rarasipau @Ren_S1211 @rendra123 @rezadrians @sasadara @Shruikan @Sicnus @surya_90 @Tsu_no_YanYan @ularuskasurius @Venussalacca @xanxan @yubdi @Zhar12 @zhedix
Sorry ya updatenya kelamaan. Mungkin teman-teman dah banyak yang lupa dengan awal ceritanya. Baca juga cerita fantasi yang ku buat. Judulnya RAINBOW KINGDOM.
Selamat membaca...
Part II
Suasana ruang makan begitu ramai. Anak-anak panti sudah tak sabaran untuk menyantap makan malam mereka. Beberapa dari mereka telah duduk mengelilingi meja makan. Sebagian lagi sibuk membantu pengurus panti membawa makanan ke meja makan.
“Di... Mana kak Lexy?” Tanya bunda pada Didi yang sedang duduk sambil memegang piring di atas meja.
“Gak tau.” Didi agak cuek.
“Cepat panggil. Kayaknya kak Lexy ada di kamar.”
Didi nampak manyun. “Gak mau ah. Didi gak mau dimalahin lagi.” Didi menggembungkan pipinya.
Bunda mendekati Didi dan berdiri di sampingnya. “Kak Lexy gak marah sama Didi. Dia sedang sedih karena neneknya baru meninggal.” Bunda mengusap kepala Didi. “Didi masih ingat kan yang bunda bilang siang tadi?” Didi melirik bunda lalu menganggukkan kepalanya.
“Nah... Didi mau kan bantuin bunda?” Kembali Didi mengangguk. “Itu baru namanya anak pintar. Sekarang Didi ke kamar, ajak kak Lexy makan. Didi janji ya harus bisa ajak kak Lexy!”
“Iya bun...” Jawabnya pelan. Rasanya Didi enggan menuruti permintaan bunda. Tapi Didi gak mau melawan karena takut disebut anak nakal. Didi mau jadi anak pintar dan penurut. Bunda pernah bilang kalau Didi jadi anak baik maka Allah akan segera mengabulkan doa Didi untuk bertemu dengan mama.
Status Didi di panti asuhan ini sedikit berbeda dengan anak-anak yang lain. Mamanya menitipkan Didi secara khusus. Dia memohon agar ibu panti tidak memberikan Didi kepada siapa pun yang ingin mengadopsinya. Dia berjanji akan menjemput Didi sebelum Didi dewasa.
Saat itu usia Didi baru lima bulan. Mamanya terpaksa menitipkan Didi karena alasan ekonomi. Dia hanyalah seorang wanita muda yang terusir dari rumah karena hamil di luar nikah. Lelaki bejat yang menodainya tak mau bertanggung jawab dan tak diketahui keberadaannya.
Untung saja mamanya bertemu ibu panti yang berbaik hati memberikan pertolongan. Dia diperbolehkan tinggal di panti hingga akhirnya melahirkan. Namun dia merasa tak enak jika terus-menerus menjadi beban di panti. Saat itu keuangan panti sedang tidak bagus karena berkurangnya sumbangan dari donatur.
Dia memutuskan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Tak ada yang bisa diharapkan jika dia terus tinggal di panti yang terletak di pinggiran kota kecil. Dia berharap bisa merubah nasib dengan merantau ke kota besar. Rasanya sangat berat meninggalkan Didi di panti. Namun dia tetap melakukannya.
Sudah empat tahun berlalu tetapi tak sekalipun dia mengunjungi Didi. Jarak ribuan kilo meter menjadi faktor utama. Dari pada menghabiskan uang untuk ongkos, dia lebih memilih mengirimkan uang itu ke panti. Rasa rindu harus bisa diredam. Namun bisa sedikit terobati dengan hadirnya foto-foto Didi yang rutin dikirimkan pihak panti.
TAMA
Lega. Itulah perasaanku saat ini. Lebih baik kami putus dari pada batinku terus tersiksa. Aku tak mau selalu merendahkan diri sendiri dengan mengemis cinta darinya. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Jika tak ku akhiri, aku bisa semakin terpuruk dan akan semakin sulit untuk bangkit.
Aku tak dapat memungkiri perasaan sakit di hati ini. Aku juga bodoh karena sempat berharap Alex membujukku agar tidak memutuskannya. Mana mungkin dia melakukannya. Malah sebaliknya, dia pasti senang telah berpisah denganku.
Aku tak boleh lemah. Aku harus kuat dan harus bisa menghapus nama Alex dari hatiku. Aku yakin aku pasti bisa. Demi kebaikan diriku sendiri. Aku juga tak boleh mengecewakan orang-orang yang menyayangiku.
Mobil yang ku kendarai kini telah terparkir di depan sebuah café. Ku lihat tak banyak kendaraan terparkir. Tanpa menunggu waktu lama, aku segera turun menuju pintu masuk. Ku lihat tulisan ‘close’ di pintu kaca. Aku tak peduli dan tetap masuk ke dalam.
“Maaf pak. Kami sudah tutup.” Seorang waiter menghampiriku sesaat setelah aku masuk.
Ku lihat beberapa pengunjung yang masih berada di café ini. Sepertinya mereka masih diberi waktu kurang dari sepuluh menit lagi hingga pukul 12 malam. “Kamu baru di sini?”
“Iya pak. Saya masih baru di sini.”
“Pantas kamu gak kenal saya.”
“Eh ada mas Tama.” Seorang waiter mendekat ke arahku. “Maaf mas. Deni baru dua hari kerja di sini jadi gak tau siapa mas Tama. Pasti mas mau ketemu mbak Marsya.” Pemuda tampan itu tersenyum manis. Sejak dulu aku sangat menyukai senyumannya.
“Gak apa-apa kok. Santai aja. Mana Marsya? Dia ada kan?”
“Kayak biasa mas. Mbak Marsya ada di ruangannya.” Lagi-lagi dia tersenyum dan memamerkan lesung pipitnya. “Mas langsung saja ke ruangan mbak Marsya. Bentar lagi saya antar minumannya. Kayak biasa kan?”
“Oke. Makasih ya...” Aku berlalu meninggalkan mereka. Terdengar suara Re memberitahu waiter baru itu bahwa aku adalah sepupu Marsya sekaligus pemilik sebagian saham di café ini.
“Loh Tam...” Marsya terkejut. Dia baru saja keluar dari ruangannya. Terlihat tas yang disampirkan di lengan kirinya. “Ngapain tengah malam kemari? Kalian ada masalah lagi?”
“Kita ngobrol di dalam aja ya... Bentar lagi Re mau ngantar coklat panas pesananku.”
“Boleh.” Marsya kembali masuk ke ruangannya dan aku pun mengikutinya.
Aku menceritakan apa yang baru saja terjadi di antara aku dan Alex. Ku keluarkan semua uneg-uneg di hatiku agar diriku merasa lebih tenang. Marsya menjadi pendengar yang baik tanpa memotong ucapanku.
Namun acara curhatanku sedikit terganggu saat terdengar suara ketukan. Tak lama Re muncul dengan membawa nampan. “Silahkan mas...” Katanya setelah meletakkan coklat panas dan beberapa cemilan yang juga terbuat dari coklat.
“Makasih Re...” Kataku sambil memperhatikan lesung pipitnya.
“Re... Apa semua tamu udah pulang?” Tanya Marsya.
“Sudah mbak. Sekarang teman-teman lagi beres-beres.” Jawabnya sopan.
“Silahkan kalian pulang kalau sudah beres.”
“Siap bos.” Re tersenyum lebar lalu meninggalkan kami.
Aku salut melihat Re yang selalu bisa tersenyum. Jauh berbeda denganku yang sangat sulit tersenyum. Pada hal kehidupannya bisa dibilang tidak mudah.
“Hei!”Aku cukup terkejut saat Marsya menepuk bahuku. “Jangan bengong aja! Kalau kesambet aku juga yang repot.”
“Resek lo.”
“Kamu sih dari tadi ngeliatin Re terus, sampe bengong gitu. Kenapa? Suka? Baru juga putus tapi mata dah jelalatan.”
Aku tak menjawab. Hanya mengulum senyum. Seandainya saja aku bisa dengan mudah menyukai orang lain. Pasti hal itu akan sangat membantuku untuk melupakan Alex. Tak ku pungkiri senyuman Re memang sangat menawan namun hal itu belum mampu membuatku jatuh hati padanya.
“Aku senang banget kalau kamu bisa cepat-cepat melupakan Alex. Gak da gunanya kamu terus-terusan mikirin dia. Dia terlalu egois gak pantes mendapatkan cinta kamu. Tunjukkan kamu bisa move on. Bisa punya pacar yang jauh lebih baik darinya. Buktikan kalau kamu kuat. Tapi ingat! Kamu jangan kembali mencintai orang yang salah. Contohnya Re, dia bukan orang yang tepat untuk kamu. Dia memang baik bahkan sangat baik. Tapi dia bukan gay.”
“Iya aku tau. Lagian siapa juga yang jatuh cinta sama Re. Dari dulu aku suka aja liat senyuman sama lesung pipitnya. Kok bisa ya ada orang yang gampang tersenyum kayak dia. Aku gak pernah sekali pun liat dia murung.”
“Pastilah dia pernah murung. Tapi dia gak menunjukkan kesedihannya di depan orang. Dia memang tipe orang yang ceria, pekerja keras dan pantang menyerah. Aku juga kagum sama dia. Aku pernah dengar cerita hidupnya yang sejak kecil jauh dari kemewahan. Kebaikan dan semangatnya itu yang patut dicontoh. Dia dulu rela ngelepasin beasiswa dan gak kuliah karena harus membantu perekonomian keluarganya. Mamanya single parent dan dua adiknya masih kecil. Tapi Tuhan memang adil, dua tahun kemudian dia bisa dapet beasiswa lagi. Keuangan keluarganya juga lebih baik. Prestasinya tetap bagus walaupun dia kuliah sambil kerja. Gak lama lagi kuliahnya selesai.”
“Sya... Jangan-jangan kamu penggemar Re.”
“Dodol.” Marsya menjitak kepalaku. “Mana mungkin aku suka Re. Aku gak suka daun muda. Aku suka cowok yang lebih dewasa.”
“Gitu aja sewot. Bisa aja kan selera kamu berubah. Buktinya kamu banyak tau tentang dia. Hayo...”
“Kamu ingat Winda kan? Sepupuku dari pihak mama.”
“Ingat. Apa hubungannya?” Aku menunggu penjelasan Marsya.
“Aku banyak tau tentang Re dari Winda. Dulu Re itu gebetan Winda. Sayangnya Re udah punya pacar. Winda gak nyerah gitu aja. Katanya sih berjuang demi cinta. Winda nyari tau banyak hal tentang Re dari A sampe Z. Semua informasi tentang Re hampir gak ada satu pun yang terlewat. Tapi akhirnya Winda nyerah juga karna Re gak tergoda. Dia tipe cowok yang setia. Bahkan sampe sekarang dia masih pacaran sama cewek itu.”
Aku jadi semakin kagum dengan kepribadian Re setelah mendengar semua penjelasan Marsya. Sepertinya dia laki-laki yang nyaris sempurna. Mungkin kekurangannya hanya satu. Dia bukan orang kaya yang bagi sebagian orang adalah faktor yang sangat penting.
“Kenapa kita jadi bahas Re?” Marsya tertawa kecil. “Kamu sih pake acara bengong segala.”
“Kok aku gak disalahin? Yang cerita panjang lebar tentang Re, siapa?” Aku protes.
“Kalau bukan anak buahku, ku gebet juga tu anak.”
“Hahaha... Ngaku juga. Ingat non tinggal tiga bulan lagi. Bisa ditalak sebelum nikah kalo si duren sampe tau.”
“Gila lo yeee. Kalau doa yang bagus napa.”
“Sorry sorry. Bercanda lagi.”
Beban di benakku terasa telah berkurang. Terlalu bodoh jika aku selalu memikirkan Alex. Di luar sana banyak orang yang memiliki masalah jauh lebih besar dari sekedar masalah cinta. Aku tak boleh kalah dari mereka.
Aku dan Marsya memutuskan untuk segera pulang. Malam ini aku akan menginap di rumahnya. Sudah cukup lama aku tak berkunjung ke rumahnya. Pasti om dan tante merasa senang dengan kehadiranku.
***
Akhir-akhir ini aku semakin sering berkunjung ke café. Selain untuk memantau perkembangan café, alasan lainnya adalah agar aku bisa melihat senyuman manis itu. Sepertinya aku mulai menyukai Re. Baru sekedar rasa suka namun tidak menutup kemungkinan bisa berubah jadi cinta.
Marsya sudah berulang kali mengingatkanku agar jangan pernah berharap pada Re. Dia tak ingin hatiku kembali terluka karena cinta. Sampai saat ini saja luka itu belum hilang sepenuhnya. Masih menyisakan goresan-goresan yang terasa perih pada saat-saat tertentu.
“Tam... Dari tadi ku liat kamu celingak-celinguk terus. Kenapa? Nyariin Re?”
Aku hanya nyengir saat mendengar pertanyaan Marsya. Sepupuku yang satu ini memang paling tau isi pikiranku. Bagaimana aku tak khawatir, tak seperti biasanya Re telat seperti sekarang.
“Tadi dia nelpon aku. Katanya dia telat datang. Motornya tiba-tiba mogok di jalan.”
“Mogok? Kok bisa?”
“Mana aku tau.” Jawab Marsya sambil meninggalkanku.
Benar saja. Tak lama aku melihat Re masuk melalui pintu khusus pegawai café. Wajahnya nampak kusut dan rambutnya berantakan. Dia terlihat sangat kelelahan. Namun hal itu tak mampu membuatnya berhenti tersenyum. Aghh... Sepertinya aku semakin menyukai anak itu.
Marsya hanya geleng-geleng saat memergokiku yang sedang memperhatikan Re. Tetapi dia tak berkomentar. Sepertinya dia sudah bosan mengingatkanku. Sejujurnya aku juga bosan jika terus menerus diingatkan olehnya.
Walaupun Re nampak kelelahan, dia tetap semangat melayani para pengunjung. Dia memang pegawai teladan di café ini. Senyumannya tak pernah lenyap saat menghadapi tingkah yang aneh-aneh.
Aku merasa kesal saat melihat beberapa cewek yang kecentilan menggoda Re. Dia nampak risih dengan sikap cewek-cewek itu namun masih saja bersikap ramah.
Ada pula kaum gay yang terang-terangan memperhatikan Re dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan ada yang sok akrab dengan bertanya banyak hal saat Re mencatat pesanan mereka. Apa mungkin aku cemburu?
“Re...” Aku memanggilnya sesaat setelah dia mengantarkan pesanan.
“Iya mas.” Re menghampiriku dengan cepat.
“Kamu keliatannya kurang sehat. Istirahat aja di belakang. Biar teman-teman kamu aja yang handle. Lagian malam ini café gak terlalu rame.”
“Gak apa-apa mas. Cuma agak capek. Gak enak sama teman-teman kalo saya cuma duduk di belakang.”
“Tadi Marsya bilang motor kamu mogok. Udah dibawa ke bengkel?”
“Oh iya mas. Motor saya terpaksa ditinggal di bengkel. Katanya lusa baru bisa diambil.”
“Mas...” Seorang wanita mengangkat tangannya meminta Re agar mendatanginya.
“Permisi mas.” Re langsung menghampiri wanita itu.
Kembali ku perhatikan Re yang mendengarkan kata-kata wanita itu. Tak lama dia berjalan menuju dapur.
Aku berpikir sejenak. Senyuman mengembang di bibirku saat menyadari kesempatan yang ku dapat. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa mengantar Re malam ini. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan langka seperti ini.
Malam semakin larut. Satu per satu pengunjung meninggalkan café. Aku tak sabar menunggu detik demi detik yang terasa sangat lamban.
Aku menghampiri Re yang telah mengganti seragamnya. “Re... Mau pulang kan? Ayo biar saya antar.”
“Gak usah mas. Saya gak mau ngerepotin. Saya pulang sama Deni aja.” Re nampak sungkan.
“Gak ngerepotin. Kan saya yang ngajak kamu. Lagian kasian Deni kalo harus ngantar kamu dulu. Dia pasti capek bawa motor malam-malam gini.”
“Tapi mas.”
“Gak ada tapi-tapian. Ayo buruan! Saya tunggu di mobil.” Aku langsung meninggalkan Re yang nampak serba salah. Aku sengaja meninggalkannya agar tak mendengar alasan-alasan darinya.
Setelah menunggu sekitar lima menit akhirnya Re muncul juga. Aku tersenyum padanya saat dia masuk ke dalam mobilku. “Saya gak enak mas jadi ngerepotin kayak gini.”
“Udah nyantai aja. Saya senang loh bisa ngantar kamu. Kamu tinggal di mana?”
“Daerah xxx mas.”
Kami terlibat banyak obrolan di sepanjang perjalanan. Aku mendapat banyak informasi tentang dia dan keluarganya. Ternyata nama panjang Re adalah Renaldi. Teman-temannya memilih memanggilnya Re karena lebih simple.
Saat ini dia tinggal sendiri di sebuah kamar kos. Sedangkan mama dan kedua adiknya tinggal di rumah mereka yang terletak di daerah pinggiran kota. Dia mengunjungi keluarganya minimal sebulan sekali.
“Masuk mas... Gak apa-apa ya kalo kamarnya berantakan.” Ucap Re setelah membuka pintu kamar.
Kamarnya nampak sederhana dengan ukuran sekitar 3 x 3 meter. Tak banyak perabotan di dalamnya, hanya ada kasur kecil, lemari, meja belajar dan kipas angin.
“Gak berantakan. Untuk cowok, kamar kamu ini bisa dibilang rapi banget.”
“Bisa aja mas. Kayak gini kok dibilang rapi.” Re tertawa kecil. “Duduk mas.” Dia menarik kursi di dekat meja belajarnya.
Aku tidak duduk di kursi itu. Ada sesuatu di atas meja belajar yang menarik perhatianku. “Ini pacar kamu?” Ku ambil foto yang memperlihatkan Re memeluk seorang wanita.
“Iya mas. Namanya Cindy. Kami pacaran udah 3 tahun.”
“Cantik ya...” Aku memaksakan senyum saat mengucapkannya. Entah mengapa aku tidak senang saat mendengar pengakuan Re. “Kalian satu kampus?”
“Cindy seniorku di kampus. Kuliahnya udah selesai. Sekarang dia kerja di perusahaan advertising.”
“Saya pulang dulu ya...”
“Cepet banget mas.”
“Kamu kan mau istirahat. Kamu pasti capek, apalagi tadi kamu dorong motor.”
“Makasih mas udah mau nganter.”
“Udah ah jangan bolak-balik bilang makasih. Saya senang bisa mampir kemari. Lain kali saya boleh kan datang lagi?”
“Tentu boleh mas. Pintu kamar ini selalu terbuka untuk mas Tama.” Senyumannya semakin membuatku terpesona.
Re mengantarku sampai ke mobil. Ingin rasanya bersama-sama dengannya. Tapi foto itu dan pengakuan Re tentang pacarnya membuat mood-ku memburuk. Pada hal aku tau bahwa Re telah mempunyai seorang pacar tapi mengapa reaksiku begitu aneh.
Tidak mungkin diriku secepat ini kembali merasakan jatuh cinta. Hubunganku dengan Alex baru berakhir 2 minggu lalu. Aku masih sering mengenang saat-saat indah bersama Alex. Bahkan aku masih sedikit berharap hubunganku dengannya bisa kembali seperti dulu.
Apa mungkin aku mencintai dua orang di saat yang bersamaan? Entahlah. Aku bingung dengan perasaanku sendiri.
***
Bersambung
Aduhhh namanya renaldi ya? Mirip tukul donk! Hehehe
Goodlah ceritanya... Seperti biasa, mempesona brow....
@ularuskasurius Uda bs aja. Cb ditambah "y" jd sm kyk tukul. Mudah2an rezekinya yg mirip tukul. Kl muka... Tidakkk!
Uda kok blm komen di cerita baruku. Aku buat cerita itu slh satu sebabnya krn uda loh. Gak lucu sih tp lain aja. Gak sperti ceritaku yg lain.