It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
I love it..
thank you so much kak @danielsastrawidjaya, udah dimention..
it means a lot.. )
boleh minta mention di cerita ni ya mas @danielsastrawidjaya... please..
kalo update lagi, aku dimention ya ..
Welcome @caetsith Thanks ya dah mau muncul di thread aku. Smoga ceritanya gak mengecewakan. Mengenai ciri2 tokoh memang sengaja gak digambarkan secara gamblang. Nnt pelan2 ada kejelasan tp bertahap, itu pun kl reader msh ingat gambarannya yg tersirat dari awal.
@DM_0607 Akhirnya mampir di sini jg. Dah ku masukan ke daftar mention ya...
Didi = Renaldi? Liat aja ceritanya :P
Nnt bakalan ku mention. Tp khusus kali ini blm masuk daftar mention. hehe :P
@672048
@Abyan_AlAbqari @AdhetPitt @Adra_84 @adzhar @aglan @AgungPku @Aland_Herland @angelofgay @Ardhy_4left
@Beepe @BinyoIgnatius
@caetsith @chandisch
@danze @darkrealm @dheeotherside @Dimz @DItyadrew2 @DM_0607
@FeRry_siX @Fruitacinno
@Hanz_cullenz @hwankyung69
@iboobb7
@jokerz @Jhoshan26
@Monic @mr_Kim
@Ozy_Permana
@poelunx
@rarasipau @Ren_S1211 @rendra123 @rezadrians
@sasadara @Shruikan @Sicnus @surya_90
@Tsu_no_YanYan
@ularuskasurius
@Venussalacca
@xanxan
@yubdi
@Zhar12 @zhedix
Tarik paksa @alfa_centaury @joenior68 @pectoralismajor n @ziearvando
Teman-teman selamat membaca...
Part III
Didi memasuki kamar besar yang berisi banyak tempat tidur bertingkat. Dia melihat Lexy yang sedang duduk di salah satu tempat tidur. Didi berjalan pelan mendekati Lexy yang sedang memandang sebuah foto.
“Liat foto ya?” Didi melongok, mencuri pandang ke arah foto itu. Kedatangannya yang tak terduga membuat Lexy tersentak kaget. “Kakak lagi sedih ya?” Didi memperhatikan mata Lexy yang nampak merah.
“Ngapain kamu?” Lexy sungguh kesal karena merasa terganggu dengan kehadiran Didi yang sangat mengejutkan. Lagi-lagi Didi mengganggu dirinya yang sedang bersedih karena kematian sang nenek. Dia baru satu hari di panti asuhan ini tetapi Didi sudah dua kali mengganggunya. Bisa dibayangkan betapa kesal dirinya melalui hari-hari ke depan.
“Mau ngajak kakak makan.” Didi menjawab dengan memperlihatkan wajah polosnya.
“Aku gak laper. Pergi sana! Jangan ganggu aku lagi!” Lexy sangat ketus. Tak lama terdengar suara dari perut Lexy yang menandakan sudah minta untuk diisi.
Didi terkekeh pelan saat mendengar suara itu. Ekspresinya sangat lucu terutama saat gigi ompongnya terekspos dengan jelas. “Kakak boong ya? Katanya gak lapel tapi pelut kakak bunyi.” Cengiran Didi semakin lebar.
“Gak lucu.” Lexy semakin kesal. Wajahnya memerah karena malu sekaligus marah. “Cepat pergi!”
“Ayo...” Didi menarik tangan Lexy. Bagaimana pun caranya dia harus bisa membawa Lexy ke ruang makan. Dia mau memenuhi janjinya pada bunda karena dia anak yang pintar.
“Aku gak mau makan.” Lexy menyentakkan tangan Didi. “Jangan ganggu aku lagi!”
Didi tak menyerah begitu saja. Dia kembali meraih tangan Lexy dan menariknya sekuat tenaga. “Ayo... Ental makanannya abis.”
Lexy mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menahan tarikan Didi. Tentu saja tenaga Didi kalah besar jika melawan Lexy yang lebih tua tiga tahun darinya. “Aku bilang gak mau.” Lexy meluapkan kekesalannya dengan mendorong tubuh Didi hingga terjatuh di lantai.
Didi terjatuh dengan posisi lengan kanan yang terlebih dahulu menyentuh lantai. Dia meringis saat merasakan perih akibat lengannya yang lecet. Lantai kamar mereka terbuat dari ubin yang jauh dari kata mewah. Permukaannya sedikit kasar hingga mampu melukai kulit bocah seperti Didi.
Lexy terlihat gusar saat melihat mata Didi mulai berair. Dia merasa bersalah karena dorongannya yang mengakibatkan Didi terluka. Rasa bersalahnya semakin besar ketika Didi menatapnya dengan tatapan kecewa, tak ada kesan marah yang terpancar dari matanya.
Didi berusaha menahan tangisannya. Sejak dulu bunda selalu mengatakan kalau anak lelaki tidak boleh cengeng. Anak lelaki harus kuat. Namun Didi tak mampu menahan tetesan air matanya, terlebih saat melihat darah di lengannya.
Didi bangkit dengan menggunakan tangan kiri sebagai penopang tubuhnya. Tak terdengar suara tangisannya. Hanya ada suara hidungnya menarik masuk ingus yang hampir menetes. Dia memperhatikan Lexy sebelum meninggalkannya sendiri. Perlahan Didi menjauh, berjalan dengan kepala tertunduk. Nampak pula dia sedang mengusap air mata dengan tangan kirinya.
Tatapan mata Lexy tak lepas dari punggung kecil Didi yang semakin menjauh hingga tubuh itu lenyap di balik pintu. Ingin mengucapkan maaf tetapi lidah seperti enggan mengikuti kata hatinya. Egonya terlalu besar, mengalahkan rasa bersalah yang ada.
Lexy kembali hanyut ke dalam kesedihannya. Satu-satunya orang yang disayang kini telah tiada. Dia harus kembali merasa kehilangan. Di dunia ini tak ada lagi orang yang menyayangi dirinya. “Tuhan terlalu kejam.” Begitulah yang ada di benaknya.
RENALDI
Akhirnya nyampe juga. Capek banget seharian mondar-mandir gak jelas harus nyariin dosen yang nyebelin. Untung aja gw orang yang sabar. Kalo nggak... Ya harus tetap sabar, demi masa depan.
Ternyata repot juga nyiapin skripsi kalo dapet pembimbing yang gak professional. Kalo bisa dibuat mudah kenapa harus dipersulit? Udah gitu lagaknya kayak orang yang paling sibuk sedunia. Gw telat semenit aja kagak boleh. Kalo dia telat satu jam, gw gak bisa protes. Nasib jadi mahasiswa yang tertindas.
Sekarang waktunya ngembaliin kunci motor bang Togar. Alhamdulillah banget punya temen kos yang berbaik hati minjemin gw motor. Bayangin kalo nggak, beuhh... Repot banget harus naik turun angkot. Jadi inget waktu awal-awal kuliah dulu.
Bakalan kena semprot gak ya? Gak enak banget udah kelamaan minjem motornya. Tapi tenang, gw dah nyiapin martabak special dengan cinta dan kasih. Dia pasti gak jadi marah kalo dah dapet sogokan martabak favoritnya. Haha...
“Masbro...” Yaoloh gak tau diri banget sih gw. Orang lagi asik-asik indehoy malah diganggu. “Sorry-sorry...” Gw cuma bisa nyengir dan langsung menutup pintu kamarnya. Bang Togar sih ceroboh banget gak pake ngunci pintu. Untung aja mereka belum bugil. Coba kalo dah bugil, bakalan gw rekam. Wkwkwkkk.
“Heh kunyuk!” Bang Togar memanggil waktu gw mau masuk kamar. Dia keluar dari kamarnya hanya menggunakan boxer dan bertelanjang dada.
“Sorry bang... Abang juga sih mau begituan tapi gak ngunci pintu. Siapa tu? Gebetan baru? Bohay badai...”
“Adoh.” Gw mengaduh ketika Bang Togar menjitak kepala gw. “Sadis amat om.” Gw nyengir sambil mengusap kepala.
“Bawa apa kau?” Bang Togar merebut bungkusan plastik yang berisi martabak. “Pas pulak awak lagi lapar.” Bang Togar langsung melahap martabak kesukaannya. (Awak = Aku, bahasa orang Medan).
“Bang... Bawa aja martabaknya ke kamar abang. Lumayan tuk tambahan tenaga sebelum__” Sial. Bantal sudah nemplok tepat di muka gw. Begini lah kalo berhadapan dengan bang Togar. Harus ekstra sabar. Kalo sama dia gak usah pake emosi. Wataknya memang seperti itu. Tapi sebenarnya dia orang yang sangat baik dan setia kawan.
“Tika pulang ya bang...” Cewek itu berada di depan pintu kamar. Dia nampak malu-malu melirik ke arahku.
“Hati-hati ya sayang... Nanti abang hubungi.” Bang Togar sok mesra tapi terdengar biasa saja. Lalu cewek itu pun pergi dengan tersipu malu.
“Kok dia pulang? Ehem-ehemnya gak dilanjut?” Gw mendekati bang Togar dan mengambil satu potong martabak.
“Capek abang ngentot terus. Dari semalam sampe pagi tadi udah tiga kali abang ngentot sama si Rani. Kasian kontol abang kalo dipaksa lembur lagi.” Katanya sambil memegang si junior.
“Kan asik bang.”
“Sok tau kau. Kalo sering-sering gak bagus juga. Tiap malam abang ngentot kalo gak jaga. Bisa abis tenaga abang kalo ngentot lagi sama si Tika. Kau tau kan nanti malam abang jaga jadi fisik abang harus oke. Mana rokok kau?”
Gw segera mengambil rokok dan korek gas yang ada di meja belajar. Gw bukan pecandu rokok. Hanya sekali-kali saja menghisapnya kalo sedang ngumpul-ngumpul. Tapi kalo cuma berdua dengan bang Togar, gw gak dikasi merokok. Katanya tuk apa merokok. Dia sebenarnya pengen berhenti merokok tapi susah banget. Makanya gw jangan sampe jadi pecandu rokok kayak dia. “Ni bang...”
Bang Togar mulai menghisap rokok dan menyembulkan asapnya. “Goyangan si Tika hot banget, buat abang kewalahan. Abang kau ni bisa jebol duluan kalo gak jago ngentot. Nafsunya besar banget. Maklum lah janda muda. Memeknya udah ketagihan kontol abang. Seminggu aja gak dapat jatah pasti langsung nyariin abang.” Katanya bangga.
“Untung aja tadi kau datang. Kalo nggak, alamak... Pasti ngentot lagi lah awak. Dari tadi dia mancing-mancing terus. Mana mungkin abang gak tergoda. Tapi kontol abang langsung lemas lagi gara-gara kau datang. Terselamatkanlah abang kau ini dari goyangan janda muda.”
Gw tertawa saat mendengar kata-kata bang Togar. Biar pun wajahnya agak sangar dan kasar tetapi dia bisa melucu juga.
Yang gw tau selama ini bang Togar memang pejantan tangguh. Entah berapa banyak cewek yang berhasil digagahinya. Bukan hanya gadis, janda dan istri orang pun diembat juga. Kalo diliat-liat tampangnya gak terlalu keren, masih lebih keren gw. Kalo body, gw akui bang Togar punya badan yang bagus. Pokoknya gw kalah tinggi dan kekar.
“Bang... Gw mandi dulu ya. Udah jam empat.” Gw membuka seluruh pakaian, hanya menyisakan celana dalam. Gw pake handuk dan segera meluncur ke kamar mandi.
“Ngapain kau buru-buru? Pengen cepat-cepat ngocok kau ya?” Suara bang Togar terdengar padahal gw udah cukup hampir sampe kamar mandi yang berada di dekat dapur.
***
“Makasih bang.” Gw menepuk pundak bang Togar setelah turun dari motor. Saat ini gw berada di depan café tempat gw kerja. Bang Togar berbaik hati mengantar gw. Katanya sekalian dia mau keluar juga.
“Kerja yang bener. Jangan keseringan merhatiin pantat cewek cantik.”
“Mata abang kale yang suka jelalatan. Kalo gw mah setia. Setiap tikungan ada. Hehe...” Gw dan bang Togar sama-sama tertawa.
“Abang cabut dulu.” Kata bang Togar sambil menggas motornya.
“Hati-hati bang. Awas! Jangan nabrak janda bohay.” Aku agak berteriak.
“Kampret.” Umpatnya sambil menoleh sebentar ke arahku.
Gw terus tersenyum melihat kepergiannya. Gw merasa beruntung bisa punya teman sebaik bang Togar. Dia sudah gw anggap abang gw sendiri. Setidaknya bang Togar mampu mengobati kerinduanku akan sosok seorang kakak.
Perhatian gw beralih saat mendengar ponsel berdering. Gw tersenyum ketika melihat nama yang muncul di layar. “Halo Yang...” Gw menerima telpon dari Cindy.
“Sayang dah di café? Gimana masalah skripsinya? Udah beres?” Beberapa pertanyaan dari Cindy.
“Baru aja nyampe café. Tadi diantar bang Togar. Alhamdulillah skripsi dah beres. Cuma ada sedikit perbaikan. Insya Allah kalo gak ada halangan awal bulan depan bisa ikut sidang. Sayang masih di kantor?”
“Alhamdulillah bentar lagi Sayangku jadi sarjana. Iya Yang... Aku lagi siap-siap mau pulang. Semua kerjaan udah selesai.”
“Udah dulu ya Yang. Hampir jam lima. Aku mau ganti pakaian. Sayang hati-hati di jalan ya...” Gw sudah berada di depan pintu khusus pegawai café.
“Met kerja Yang... I love u.”
“I love u too. Muuuachhh.”
Gw melangkah cepat menuju ruang ganti. Hari ini gw harus cepat, sebelum jam lima harus sudah stand by. Gw semakin terburu-buru saat melihat beberapa teman sudah selesai mengganti pakaian mereka dengan seragam.
Café ini selalu ramai sejak sore hingga malam hari. Seperti biasa, setiap malam Sabtu pasti sangat ramai. Apalagi kalo malam Minggu. Beuh... Bisa gempor ni kaki gak da istirahatnya.
Teman-teman gw banyak yang mengeluh karena kelelahan. Tugas kami sangat berat malam ini karena ada dua orang teman kami yang tiba-tiba minta izin. Atau mungkin sudah saatnya ada penambahan waiter.
Gw ngeliat mas Tama datang sekitar pukul sembilan. Gw agak heran kenapa akhir-akhir ini mas Tama hampir setiap hari datang ke café. Biasanya dia datang hanya satu atau dua kali seminggu. Kalau datang pun jarang sendiri.
Gak da salahnya juga mas Tama datang tiap hari. Toh café ini juga miliknya. Jadi kalau dipikir-pikir wajar dia sering datang tuk ngawasi café ini.
Tapi kenapa ya temannya yang satu itu gak pernah nongol lagi? Kayaknya udah dua bulan dia gak pernah keliatan. Entah kenapa gw suka aja liat gayanya. Dia terlihat cool, berkelas dan keren pake banget. Kalo gaya gw kayak dia kira-kira cocok gak ya?
Kenapa Gw malah mikirin teman mas Tama? Edan. Ngapain juga gw mengkhayal yang aneh-aneh. Gila aja kalo gw sampe jadi orang yang angkuh kayak orang itu. Amit-amit...
Akhirnya selesai juga tugas kami malam ini. Saatnya pulang dan beristirahat. Rasanya capek banget. Badan gw pegel-pegel semua. Pengen banget bisa cepat-cepat pingsan di atas kasur.
“Lu beneran gak mau bareng gua?” Tanya Deni saat kami berjalan keluar.
“Gak usah bro. Gw naik taksi aja. Keliatannya lo capek banget. Gak tega gw minta lo anter.”
“Lu kan bisa nginap di kosan gua. Besok pagi sekalian lu gua anterin ke bengkel. Gimana?” Tawaran menggiurkan dari Deni.
Ide bagus tu. Jadi besok gw ke bengkel gak perlu repot-repot naik angkot atau ojek. Lagian kalo malam ini gw pulang naik taksi pasti berat diongkos. Lebih baik uangnya dihabiskan tuk traktir Deni makan.
Baru aja gw mau mengiyakan tawaran Deni tapi batal karena suara klakson mobil yang mendekat. Mobil siapa lagi kalo bukan mas Tama. Dia menurunkan kaca jendela sebelah kiri. “Re... Kamu gak bawa motor kan? Ayo biar saya antar.”
Lagi-lagi mas Tama mau mengantar gw pulang. Tujuan kami memang searah dan apartemennya lebih jauh dari tempat kos gw. Tapi aneh aja kenapa dia terlalu baik ke gw sedangkan ke teman-teman yang lain sikapnya biasa aja. Tapi bodo amat. Tuk apa gw mikir yang nggak-nggak. Seharusnya gw bersyukur masih ada orang yang peduli sama gw.
Deni menyenggolku. “Ikut aja. Kalo lu deket sama bos kan gua bisa kecipratan enaknya.” Dia cengengesan. Sialan ni anak. Cepet banget berubah pikiran.
“Ayo... Tunggu apa lagi?” Mas Tama tersenyum.
“Gw duluan ya... Hati-hati lo. Jangan ngebut.” Gw menepuk pundak Deni dan segera masuk ke mobil mas Tama.
“Oke bro.” Deni mengangkat tangan kanannya.
Mas Tama membunyikan klakson kemudian mobil segera meluncur membelah jalanan. Dari raut wajahnya nampak jelas dirinya sedang bahagia.
“Saya jadi gak enak udah dua malam ini selalu ngerepotin mas.”
“Siapa yang repot? Malah saya senang ada teman ngobrol. Dari pada sepanjang jalan saya cuma bengong.” Ucapannya nampak tulus. Gw yakin dia benar-benar ikhlas.
“Bisa gak kita jangan pake ‘saya’ lagi? Kesannya terlalu formal. Biar kita bisa lebih akrab. Gak da salahnya kan kalo kita berteman?” Mas Tama kembali tersenyum padaku.
Sebenarnya gw juga gak betah pake ‘saya’. Lebih enak pake ‘gw’ ato ‘aku’. Tapi mau gimana lagi. Mas Tama kan sepupunya mbak Marsya. Lagi pula dia juga pemilik saham café walaupun gw gak tau seberapa besar persentasenya. “Gak enak mas kalo didengar mbak Marsya sama temen-temen.”
“Emang ada yang salah kalo kita berteman?”
“Nggak sih mas. Gak da salahnya berteman dengan siapa pun. Saya juga gak pernah pilih-pilih teman selama orang itu gak mengusik ketenangan saya. Maksud saya bukan gak boleh minta bantuan dari saya, tapi mas tau lah ada orang-orang yang suka cari masalah dan suka mengganggu orang lain.”
“Kalo gitu mulai sekarang kita gak pake ‘saya’ lagi. Pake ‘aku kamu’ ato ‘lo gue’ juga bisa. Terserah kamu mau pake yang mana.”
Kalo pake ‘aku kamu’ kayaknya terlalu dekat. Tapi kalo pake ‘lo gue’ kesannya kok gak enak banget ngomong begitu sama bos sendiri. Kalo didengar orang-orang di café bisa berabe. “Gini aja mas... Saya kalo manggil mas tetap seperti biasa. Sebutan ‘saya’ diganti dengan ‘aku’ aja gimana?”
“Pilihan bagus.” Mas Tama nampak senang. Dia senyam-senyum gak jelas. Aneh banget ngeliatnya. “Aku laper ni. Kamu tau gak tempat makan yang enak?”
“Kalo tengah malam begini, aku cuma tau tempat makan sederhana. Tempat mangkal PKL mas. Tapi dijamin makanannya gak kalah dari restoran mahal. Udah gitu murah meriah euy...”
“Tempat gak masalah. Yang penting makanannya enak.”
“Mas suka sate gak?”
“Boleh. Kebeneran aku dah lama gak makan sate.”
“Kalo gitu kita ke tempat langgananku. Pasti mas bakal ketagihan makan sate mang Man. Nanti kalo jumpa perempatan, kita belok ke kanan. Dari situ jaraknya cuma sekitar 100 meter.”
“Aku jadi gak sabaran pengen makan sate mang Man.” Mas Tama mengelus-elus perutnya.
Hanya butuh waktu kurang dari lima menit kami tiba di tempat mangkal gerobak pedagang kaki lima. Sebenarnya banyak pilihan makanan dan hampir semuanya pernah gw coba. Sate mang Man alias Legiman lah yang menurut gw paling top markotop.
Tempat mangkal para PKL ini cukup ramai walaupun sudah tengah malam. Gw lihat mang Man pun sedang melayani beberapa orang pembeli.
“Mang...” Aku merangkul pundak Mang Man.
“Kamu Di... Tumben baru keliatan. Ke mana aja dah seminggu gak pernah muncul?” Mang Man nampak sumringah.
“Maklumlah mang, kalo tanggal tua pasti lagi bokek. Tapi tenang... Sekarang persediaan udah banyak lagi.”
“Kamu kalau pengen makan sate datang aja kemari. Bayarnya kapan-kapan kalau kamu udah gajian. Kamu tu ya dari dulu susah banget dibilangin.” Mang Man ngedumel sambil mengipas-ngipas tusukan sate.
“Hehe... Gak enak mang kalo ngutang. Gimana kalo tiba-tiba modar? Bisa gak tenang di sono.”
“Huss... Sembarangan kalau ngomong. Udah sana duduk! Makan di sini kan?”
“Iya mang. Dua porsi gak pake lama.” Seperti biasa aku selalu memamerkan lesung pipit yang paling gw banggakan. “Ayo mas...” Gw mengajak mas Tama duduk. Gw yakin mas Tama tak terbiasa makan di tempat seperti ini. Tapi gw senang saat melihatnya tetap enjoy.
“Kamu akrab banget sama mang Man. Terus kenapa dia manggil kamu ‘Di’?” Mas Tama nampak serius menunggu jawaban gw.
“Kakak ipar mang Man itu tetanggaku. Kami udah kayak saudara. Kalo kami kesusahan pasti mereka membantu semampu mereka. Begitu juga sebaliknya. Aku baru tau sekitar dua tahun lalu pas mang Man sekeluarga main ke sana. Kebetulan aku lagi pulang ke rumah. Waktu itu senang banget. Aku kan dah lama kenal mang Man, sering makan di sini.”
“Panggilan itu?”
“Mas masih ingat kan nama asliku?” Pertanyaanku dijawab dengan anggukan. “Sejak kecil aku biasa dipanggil Didi. Waktu kecil dulu aku gak bisa bilang ‘r’ makanya aku nyebut diri sendiri ‘Di’. Akhirnya jadi kebiasaan. Keluarga, tetangga n temen-temen deket mayoritas manggil Didi. Waktu kuliah aja lebih banyak yang manggil Re. Bagus juga sih. Jadi kedengeran lebih keren.” Kami tertawa bersama.
“Kalo aku manggil ‘Didi’ boleh gak?”
“Ngapain mas manggil aku ‘Didi’? Re aja lah. Aku lebih suka dipanggil Re.”
“Oh... Re aja ya.”
“Ini Di satenya. Kalau mau nambah tinggal bilang saja. Silahkan mas...” Mang Man tersenyum pada mas Tama.
“Iya pak. Makasih.” Jawab mas Tama.
“Rebes mang. Nanti Didi nambah sekalian sama gerobak-gerobaknya.” Gw nyengir dan mereka pun tersenyum.
“Yo wes. Buruan dimakan.” Mang Man meninggalkan kami berdua.
Gw dan mas Tama sangat lahap seperti orang yang sedang lomba memakan sate. Kami makan diselingi dengan obrolan seadanya. Mas Tama berkali-kali memuji kelezatan rasa sate buatan mang Man. Gw jamin besok-besok dia pasti sering datang kemari. Alhamdulillah ya nambah lagi langganan mang Man. Hihi...
Kami pamit pada mang Man setelah selesai menyantap masing-masing dua porsi dan sudah pasti tidak lupa membayarnya. Tadi mang Man sempat bingung waktu gw dan mas Tama sama-sama menyodorkan uang. Namun mas Tama menahan tangan gw dan memaksa mang Man mengambil uang darinya.
Sungkan juga sih udah ditraktir dua porsi sate. Mas Tama kan udah berbaik hati mengantar gw pulang terus bayari makan lagi. Baik bener dah tu orang. Kalo bisa sering-sering aja ya mas. *eh
“Re... Lain kali kita makan di sana lagi ya... Satenya enak banget. Sate yang paling enak yang pernah aku makan.” Ucap mas Tama saat kami sudah berada di perjalanan.
“Boleh mas. Tapi ada syaratnya...”
“Kok pake syarat? Emang apa syaratnya?” Mas Tama mengerutkan dahinya.
“Lain kali aku yang traktir. Deal?”
Senyum mas Tama mengembang. “Deal.”
Hari ini sungguh sangat menyenangkan. Gw sangat beruntung mendapat teman sebaik mas Tama. Gw juga menambah pelanggan baru untuk mang Man. Alhamdulillah Allah masih memberikan nikmat untuk hambaNya ini.
***
Bersambung
Udah jelas kan siapa Didi sebenarnya.
Tolong komen ya... Biar aku tambah semangat.
Kalo ada yang mau dimention, bilang ya... Bukannya gak mau mention karena sombong. Bisa aja sih aku mention semua teman-teman yang udah pernah dimention di cerita-ceritaku sebelumnya. Tapi kan belum tentu kalian semua suka ceritaku yang lain.
Mampir juga di RAINBOW KINGDOM ya... Mungkin ada yang belum tau cerita itu. Padahal sebelumnya udah ku umumkan. Awas kalo ada yang protes lagi karena gak ku mention di sono. :P
aduh ngomen apa ya... bingung.. saya hanya penikmat sih... kalo saya suka ya saya lanjutin bac dan setia nunggu.. udah gitu aja...