A/N : Just wanna sharing. It's pure my imagination. Not good enough, but semoga ada yang suka. Trims
IF I LOVE YOU TOO?
By: Rieyo
= = = = = =
[#1 – Confession]
“Gue suka sama lo, Niel”
Tubuhku terasa membeku sesaat, setelah mendengar sebaris kalimat yang meluncur dari bibir Levi. Aku mengamatinya, melihat warna kemerahan yang menyemburat di kedua pipinya, membuat semakin manis wajahnya.
Oh shit. He must be serious.
But how come?
Tanpa sadar, aku malah jadi bertanya-tanya sendiri dalam benakku dan tak memberikan respon berarti pada temanku ini. Yea, Levi atau Leviandra Hakim, adalah teman sekelasku di kampus. Aku memang bukan terkejut kenapa dia yang seorang laki-laki menyatakan perasaan padaku yang juga seorang laki-laki, tapi aku terkejut karena – kenapa bisa dia suka padaku?!
Levi is gay. Semua orang di kelas sudah mengetahuinya, mungkin juga seluruh kampus. Tapi memang tak ada yang terlalu mempermasalahkannya, (walau kadang aku masih mendengar juga bisikan-bisikan di belakang).
Hal itu bisa dibilang sudah menjadi rahasia umum. Lagipula, Levi memang tak pernah berbuat sesuatu yang merugikan siapapun. Di kelas, dia malah menjadi salah satu mahasiswa paling pintar yang bisa diandalkan. Karena itu, mengenai orientasi seksualnya, tentu saja bukan sesuatu yang perlu dicampuri. Itu hak dia.
Dan kembali ke situasi sekarang, kenapa bisa dia suka padaku?
“Niel…”
“Hah?” cetus ku akhirnya, tak bisa menemukan kata-kata yang lebih baik. Aku mengerjapkan mataku, mengembalikan pikiranku pada kenyataan yang sedang berlangsung dan berhenti membuat monolog di dalam benakku.
“Kenapa?” Levi bertanya lagi.
Aku menggelengkan kepalaku pelan, lalu mengulas senyuman tipis yang masih terkesan ragu. Dengan gugup, aku juga mengusap-usapkan telapak tangan kananku ke belakang kepala.
Damn, kenapa aku grogi?!
“Lo denger kata-kata gue kan?” tanya Levi, agak hati-hati.
“Ya”
“Terus?”
“Terus apa?” aku bertanya balik dengan bodohnya.
Levi tampak mengerutkan keningnya. Aku rasa dia mulai menyadari kalau aku mendadak tidak berkonsentrasi atau mungkin dia baru sadar kalau ucapannya tadi bisa jadi tidak bagus dia ucapkan padaku.
Ok, he’s gay and everyone knows it. Tapi dia juga tak bisa sembarangan menyatakan suka pada siapapun, bukan? Apalagi dengan alasan kalau teman-temannya akan memahami itu. Namun terlebih lagi, kenapa aku? Apa aku tampak gay di matanya? Oh please.
“Sorry” gumam Levi setelah beberapa detik kita malah jadi saling memandang, canggung.
Dan tanpa menungguku berkata dulu, dia cepat berbalik, bermaksud meninggalkanku sendirian di taman belakang kampus ini. Tadi sekilas aku bisa melihat raut wajah manisnya yang berubah. Tidak lagi merah merona, tapi lebih terlihat seperti merah padam. Entah dia marah atau sangat malu.
“Tunggu Lev!” panggilku, setelah beberapa saat aku terpekur memperhatikan dia yang semakin menjauh.
Levi menghentikan langkahnya, kemudian berbalik perlahan. Aku sedikit bergerak maju, hingga jarak kami tidak begitu jauh dan aku bisa melihat lagi bagaimana raut wajah manisnya sekarang.
“Tadi lo bilang—“
“Oh nggak, lupain aja” potongnya, sebelum aku sempat berkata. Dia memaksakan sebuah senyuman di bibirnya.
Aku jadi merasa bersalah. Padahal terus terang, aku bukannya benci, hanya terkejut dan… yah aku bingung. Perasaanku diantara tak percaya karena ternyata seorang cowok manis dan pintar seperti Levi bisa suka padaku (that means, aku ternyata tidak hanya bisa menarik perhatian perempuan saja. lol) juga perasaan sebal karena… am I really looks like gay?
“Kenapa lo bisa suka sama gue?” tanyaku, tak mempedulikan elakkannya. Dia tampak terpaku beberapa detik, dan senyuman penuh paksaan di bibirnya memudar berganti jadi senyuman gugup.
“Lo baik” jawab Levi.
“Cuma itu?”
Levi agak mengernyitkan keningnya, dia seperti kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Mungkin ini yang biasa orang-orang bilang bahwa menyukai seseorang terkadang tak membutuhkan alasan. Tapi bagi ku rasanya ini absurd. Aku dan Levi memang berteman, tapi kami tidak bersahabat dan kami jarang sekali kemana-mana bersama. Hubungan kami hanya baik dengan seadanya, dan menurutku tidak begitu cukup untuk Levi sampai bisa berpikir bahwa dia menyukaiku.
Aku baik? Semua orang juga baik padanya. Ini kurang masuk akal untukku. Terlebih lagi, setahuku, mendengar dari gosip-gosip anak perempuan disini, Levi sudah banyak menjalin hubungan dengan cowok-cowok yang luar biasa. Beberapa dari temanku pernah memergoki Levi sedang bersama cowok-cowok tampan yang tampak sepadan dengannya (dan jelas sesama gay).
Come on, I’m so confused over here.
“Gue udah lama suka sama lo, Niel. Tapi gue baru berani bilang sekarang. Lo itu tipe gue banget”
Wajah merah merona itu lagi. Levi bahkan sampai tak bisa mengangkat wajahnya. Dia tidak mungkin berpura-pura mengatakan itu.
“Pokoknya gue suka sama lo, dan gue gak bisa menjelaskannya kenapa…”
That’s it.
“Maaf ya…” kata Levi lagi, dan sebelum aku sempat menyahut, dia kembali bersiap untuk pergi. Reflek, aku semakin maju, lalu mengulurkan tangan untuk menahannya. Tanganku memegang tangannya begitu saja.
“Terus? Tadi lo nanya ‘terus’ kan ke gue?” kata ku. Aku tak mau kalau pembicaraan ini hanya jadi menggantung dengan aku yang tahu tentang perasaannya, padahal aku tahu kalau dia menginginkan kelanjutan.
“Uhm…” Levi bergumam gugup, dan masih tak bisa mengangkat wajahnya.
“Lo mau gue jawab perasaan lo? Lo mau kita…” kataku lagi, sengaja menggantungkan kalimat ku.
Levi pun memandangku. Mata kami saling bertabrakan. Ada harapan yang terpancar di sepasang mata besarnya.
Astaga. Aku sendiri padahal tak tahu apa yang aku inginkan. Aku hanya merasa excited. Ini pertama kalinya bagiku mendapat pernyataan dari seorang cowok, apalagi Levi bukan cowok yang bisa diabaikan. Kalau saja dia tidak gay, aku yakin dia akan mendapat antrian panjang dari cewek-cewek sekampus dan pasti aku akan semakin iri mati-matian padanya.
Dan sekarang, cowok yang sudah pasti akan diinginkan semua orang cewek ini – menyatakan perasaan padaku, mengatakan menyukaiku dan mungkin ingin menjalin hubungan denganku, apa bisa aku menolaknya? Apa bisa aku mengacuhkannya? Lagi pula sudah hampir setengah tahun ini, aku memang tidak mendekatkan diri dengan cewek manapun. Aku bisa dibilang sedang berada dalam titik jenuh untuk berpacaran. Tapi yang satu ini rasanya unik, bisa memberi warna dalam hidupku. Who knows.
“Gue emang berharap lo mau jadi pacar gue” cetus Levi akhirnya setelah beberapa saat kami terdiam.
Aku mengedipkan kedua mataku, sekali.
“Ok” bibirku tiba-tiba seperti bergerak sendiri, mengikuti apa yang diperintah oleh otakku begitu saja, tanpa berpikir terlalu panjang.
“Hah?” Levi tercengang.
Aku mengangguk agak kaku.
“Gue mau jadi pacar lo” aku menegaskan.
Levi masih terlihat tak percaya, sampai beberapa detik – entah apa yang sudah dia temukan di mata ku, dia pun mengembangkan senyuman lagi di bibirnya dan kali ini ditambahi dengan gerakan tubuhnya.
Dia mendekat, memelukku – membenamkan wajahnya di bahu kiri ku. Tubuhnya yang lebih sedikit kecil dan pendek dari ku, terasa menggoda untuk aku peluk kembali. Belum lagi ada wewangian yang menyeruak dari tubuhnya ditambah harum shampoo di rambut halusnya.
Wanginya seperti bayi. Hangat, lembut, menenangkan pikiran dan jiwaku.
Tanpa sadar aku pun jadi memejamkan mata, dengan agak ragu, tanganku menyentuh kedua pinggang rampingnya.
Then we’re lovers since now, aren’t we?
- - - - -
Mataku mulai agak memberat ketika ku sadari sudah hampir satu jam aku duduk di sini dengan sebuah buku ensiklopedia terpampang di hadapanku. Aku pun menggerakkan tubuhku, sedikit menggeliat untuk menghilangkan pegal, kemudian seperti biasa tanganku mengacak-acak rambut spike ku. Itu pertanda kalau aku sudah mulai bosan.
“Niel?” sapaan seseorang yang cukup aku kenal membuat aku tak jadi menguap. Aku menoleh dan melihat Dara, temanku yang datang. Cewek cantik itu memandangku dengan tatapan takjub sekaligus mengejek. Aku tahu, dia pasti tak percaya melihat aku ada di perpustakaan disaat jam kuliah sudah usai seperti ini.
“Eh elo” ujarku sambil menutup buku ensiklopedia yang sebenarnya tadi memang hanya iseng aku baca untuk membunuh waktu.
“Gak salah, gue lihat lo disini?” ujar Dara. See? Like I thought. Dara duduk di depanku dan masih mengamatiku dengan aneh.
Aku memutarkan bola mataku.
“Kenapa dah? Gue juga kan mahasiswa disini, emang gak boleh gue maen di perpus?!” sahutku acuh.
Dara tertawa pelan. Dia mengulurkan tangannya dan merapikan rambut spike-ku yang agak berantakan.
“Lo pasti cuma numpang tidur” ledeknya.
Kami memang berteman cukup akrab. Aku mengenal Dara dari sejak kami ospek. Waktu itu kami satu kelompok di ospek universitas, tapi kemudian ternyata kami satu kelompok lagi di ospek fakultas – hingga ternyata kami juga satu kelas. Jodoh memang tak pernah ada yang tahu.
“Ngapain lo disini?” Dara bertanya pula, karena aku tak menggubris ledekannya.
“Baca” lagi-lagi aku menjawab pendek saja.
Dara mulai mengeluarkan buku catatan dan pulpen nya.
“Lo ngerjain apa?” aku balik bertanya, penasaran.
“Ini, nyalin tugasnya Levi” jawab Dara sambil tersenyum tanpa dosa, dia menunjukkan sebuah kertas fotokopian. Buku tugas Levi memang laku sekali di fotokopi oleh anak-anak sekelas, karena Levi biasa langsung mengerjakan tugas setelah mata kuliahnya selesai.
“Nyontek aja lo” aku balas meledek, padahal aku juga berencana untuk menyalin tugas dari pacarku itu nanti malam.
Ah iya, aku sudah punya pacar lagi sejak seminggu yang lalu. Tapi tak ada yang tahu. Hanya aku dan Levi saja yang tahu. Aku jelas tak siap kalau sampai orang-orang tahu kalau sekarang pacar Levi adalah aku. Aku masih tak bisa membayangkan bagaimana mereka akan shock. Pasti tak ada yang menyangka kalau Adniel Prawira, yang selama ini mereka tahu biasa dekat dengan para gadis, sekarang berpacaran dengan seorang laki-laki. Sudah pasti mereka akan langsung men-judge kalau aku juga adalah gay… dan apakah sebenarnya aku ini gay atau bukan? Oh shit, whatever.
Jujur saja sejak hari itu ketika aku mengiyakan untuk mau menjadi pacar Levi – aku merasa menjalani hidupku seperti mimpi. Setiap hari Levi akan mengirimiku sms-sms yang penuh perhatian dan semangat, beberapa malam juga dia kadang meneleponku. Aku tidak risih, tapi masih ada perasaan aneh. Mungkin aku perlu bicara dengan seseorang yang juga sedang menjalani keadaan sepertiku, tapi siapa? Aku hanya punya beberapa orang teman dekat yang bisa aku share tentang apa yang aku alami (baca: teman curhat). Salah satunya cewek yang berada di depanku ini, tapi apa aku bisa bercerita pada Dara tentang hubunganku dengan Levi? Walau selama berteman aku memang tak pernah canggung menceritakan apapun padanya, tapi aku merasa yang sekarang ini terlalu beresiko.
“Heh, hape lo tuh!” sebuah sentilan kecil di kening, membuatku tersadar, aku memang jadi termangu dengan dagu di atas meja dan mata ku keasikan mengamati gerakan tangan Dara yang sedang menyalin.
Aku nyaris tak merasakan ada getaran dari ponsel yang aku simpan di atas meja. Dara sudah akan mengambilnya, tapi beruntung aku lebih cekatan. Dia langsung menekuk bibirnya karena aku sedikit menepis tangannya. Memang gawat, mulai sekarang temanku ini tak boleh sembarangan lagi memainkan handphone-ku.
Aku membaca ada sebuah sms, dari Levi tentu saja.
Sender: Levi
0856xxxxxxxx
Aku udh di parkiran, kmu nunggu dmn?
Cepat-cepat aku beranjak dari kursi sambil membawa tas ku. Dara berhenti menulis dan melihat ke arahku.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Pulang”
“Lho, kenapa gak nungguin gue? Gue mau nebeng”
“Ye, biasanya juga lo pulang sama si Zaki kan?”
“Nggak. Gue mau pulang sama lo sekarang, tungguin ya Niel, bentar lagi kok!” sahut Dara, terlihat risih begitu aku menyebut nama cowok yang aku tahu beberapa minggu ini sedang dekat dengannya. Dan aku belum tahu ada hal apa kalau memang sekarang Dara sudah tak mau dengan Zaki lagi.
“Aduh, gue buru-buru. Dadah!” ujarku, menahan diri untuk peduli dengan raut merajuk di wajah cantiknya. Aku mengacak poni di keningnya sebelum berlalu dari sana. Dia sepertinya ingin meneriaki ku, tapi karena ini di perpustakaan, Dara pun hanya melihat ke arahku dengan sebal.
Sorry Ra, now I’m not alone anymore.
+ + + + +
Gw kesitu skrg.
Send.
Delivered.
Aku menyimpan kembali handphone-ku ke dalam saku celana setelah mengirimkan balasan singkat pada Levi. Aku melangkahkan kaki ku ke arah parkiran fakultas yang berada sedikit ke samping dari gedung fakultas ku. Dari kejauhan, aku sudah bisa melihat Levi sedang menunggu disamping motorku. Beruntung, parkiran fakultas memang selalu sepi. Jarang ada anak-anak yang nongkrong disana karena tempatnya yang tak begitu luas.
“Hey” aku menyapanya setelah mendekat. “Udah beres?” tambahku, menanyakan tentang rapat yang tadi dia jalani. Benar, selama sejam aku berada di perpustakaan memang untuk menunggunya yang sedang rapat bersama para senat mahasiswa. Entah apa yang merasuki ku, tapi untuk pertama kalinya lagi aku mau berkorban untuk seseorang seperti itu. Menghabiskan waktu sejam di perpustakaan, sungguh itu bukan tipe ku – tapi aku mau melakukannya demi Levi. Lucu sekali.
“Aku keluar duluan” jawabnya. Wajah manisnya terlihat lelah dan tak nampak senyuman seperti biasanya.
“Lho, emang boleh?”
“Ah bodo amat lah. Pusing aku denger mereka ngedebatin hal yang gak perlu” ujar Levi. “Yuk, pulang yuk?” ajaknya pula, lalu memakai helm yang sejak tadi sudah dipegangnya.
Aku tak mau banyak bertanya lagi, tampaknya Levi sedang bad mood. Tapi itulah, kenapa aku juga tak mau terlibat dengan urusan senat mahasiswa. Mereka terlalu banyak bergaya dan malah mendebatkan hal yang tak penting. Aku cukup jadi mahasiswa biasa saja, paling aku hanya mengikuti unit kegiatan Basket untuk mengisi waktu luangku. Tapi aku juga paham kenapa Levi harus berada disana, bagaimanapun, dia salah satu mahasiswa yang cukup berpengaruh di kampus ku.
Baru aku menstarter mesin motor ku, tangan Levi sudah melingkar di pinggangku dan perlahan aku merasakan badannya yang merapat ke punggungku. Aku jadi mengedarkan pandanganku kesana-kemari, thanks God, tak ada siapapun. Aku pun segera memacu motorku, keluar dari area parkiran dan terus keluar menjauhi kampusku.
. . . . .
Kening Levi masih berkerut, dan tangannya memainkan kaleng minuman cola yang tadi sengaja aku belikan di mini market. Wajah manisnya benar-benar terlihat kusut. Aku mendekat dan berdiri di sampingnya, ikut menyandar pada pagar taman di belakang kami.
“Di minum dong” kata ku, setelah meneguk minumanku sendiri. Levi tak menyahut dan hanya melirikku sekilas. Aku pun menawarkan kaleng minuman ku yang sudah terbuka, Levi ternyata menerimanya dan minum dengan perlahan. Ciuman tak langsung. Itu memang bukan hal yang luar biasa, aku sudah biasa berbagi minuman atau makanan dengan teman-teman cowokku, tapi karena posisi kami sekarang bukanlah sekedar teman – rasanya jadi canggung juga. Aku jadi salah tingkah sendiri setelah Levi mengembalikan kaleng minuman ku.
“Maaf ya Niel, aku bikin suasana kita jadi gak enak gini” kata Levi akhirnya mau berbicara lagi.
“Hm, nggak kok. Kalo lo perlu cerita, cerita aja sama gue, meski ya gue gak begitu ngerti urusan organisasi” sahutku.
Levi memandangku beberapa detik sampai kemudian mengulas senyumannya yang sejak tadi belum aku lihat. Dia juga menggelengkan kepalanya, pelan.
“Aku mau cerita yang seneng-seneng aja sama kamu” katanya, manis. Aku balas tersenyum. Dalam hati sangat gugup, tapi mati-matian aku menutupinya. Aku mengalihkan perhatian dengan meminum minumanku lagi, menghabiskannya begitu saja.
“Eh, mau nonton gak?” tawarku setelah minum, mendadak terbersit ide untuk mengajaknya refreshing.
Levi agak melebarkan mata besarnya.
“Kamu ngajak aku kencan?” katanya, tampak gembira sekaligus tak percaya.
Dengan gugup, aku kembali berpura-pura minum padahal kalengnya sudah kosong. Aku sama sekali tak sadar kalau ajakanku bisa disebut kencan. Dan memang selama satu minggu ini kami belum pernah benar-benar pergi berdua, kalau bukan hanya karena pulang kuliah bersama.
“Aku mau. Sabtu besok ya?” tambah Levi cepat.
“Ok” sahutku setelah berhasil mengendalikan diri. Levi semakin mengembangkan senyumannya, ia kemudian melihat ke sekeliling – sebelum tiba-tiba melancarkan satu kecupan ke pipi kiri ku.
Aku terkejut lagi, dan disitu aku baru merasakan debaran aneh yang menyenangkan… namun agak menyesakkan.
Argh.
- - - - -
Comments
Pukul 7 hanya tinggal 15 menit lagi, tapi aku sama sekali belum bersiap. Aku masih dengan kaus oblong dan celana boxer ku. Aku berbaring di sofa di depan televisi, memainkan remote memindah-mindahkan channel, sementara pikiranku tidak ada disana. Aku jelas tidak lupa dengan janjiku pada Levi beberapa yang hari lalu tentang acara menonton (baca: kencan) kami malam ini, tapi masalahnya, mendadak saja aku seperti disadarkan. Aku seolah menolak untuk pergi, mengutuki diriku sendiri kenapa mau-mau nya membuat janji dengan seorang laki-laki untuk berkencan di malam minggu. Am I that desperate? Apa aku sangat menyedihkan sampai benar-benar harus keluar malam minggu dengan cowok walau secara sadar aku tahu kalau Levi bukan cowok biasa. Dia orang yang sudah aku akui sendiri sebagai pacar ku. Ini gila, tapi kenapa aku baru menyadarinya. Lalu yang kemarin-kemarin itu, di kampus – apa yang sudah aku lakukan?!
“Ck!” aku berdecak keras sambil melempar remote ke atas bantal besar di bawah. Aku kemudian mengambil bantal yang menyangga kepalaku dan menutupkannya ke wajahku. Aku bingung. Diantara ingin dan tak ingin.
“Kenapa sih lu?!” sebuah bantal terasa terlempar lagi ke wajahku. Aku cepat menyingkirkannya dan melihat senyum meledek dari wajah mbak Lidya.
Mbak Lidya adalah kakak sepupu ku, yang tinggal bersama ku di Bandung. Orang tua dan dua adik perempuanku memang tinggal di Jakarta, lalu karena kebetulan Mbak Lidya juga mendapat pekerjaan di Bandung, akhirnya kami disuruh tinggal bersama di sebuah rumah yang dulu pernah di beli oleh orang tua ku ini. Ibu ku bilang tidak bisa mempercayaiku kalau aku tinggal sendiri, padahal usia ku sudah menginjak 20 tahun dan aku juga seorang laki-laki – tapi bagi ibu ku, aku adalah manusia paling ceroboh sedunia dan selalu membuatnya khawatir. Kalau menurutku, ibu paling terlalu sayang pada putera satu-satunya yang super tampan ini.
“Apa sih mbak?!” gerutuku sambil membetulkan posisi ku dan duduk disana.
“Gue perhatiin, lu itu ribet sendiri tau dari tadi” ujar Mbak Lidya sambil tersenyum lucu. Dia mengambil remote yang tadi aku lempar ke atas bantal besar di bawah, lalu mulai memindah-mindahkan channel tivi juga.
“Mbak gak kemana-mana?” tanyaku, tak menggubris ucapannya barusan.
“Nggak” jawab Lidya, tanpa melepaskan matanya dari layar tivi.
“Emang gak akan jalan sama Mas Tyo?”
“Tyo sama anak-anak kantor mau kesini, kita mau barbeque-an. Lu gak kemana-mana kan?”
Mbak Lidya akhirnya menoleh ke arahku.
“Wah bakalan rame dong rumah…” komentar ku.
“Iya makanya, lu gak usah kemana-mana, ikutan makan-makan” Mbak Lidya tersenyum manis, tampak sekali berusaha membujukku – tapi aku cepat tersenyum kecut. Aku tahu dia punya maksud apa.
“Ah Mbak sih gak pengen gue pergi biar bisa disuruh jadi tukang manggang” cetusku.
Senyum Mbak Lidya jadi terlihat lebih malu.
“Eh tapi kan kita seneng-seneng bareng, Niel” katanya, ngeles.
Aku menghela nafas, dan terpaku begitu melihat jarum panjang jam dinding yang terpasang di tembok atas di belakang televisi, sudah menunjukkan angka 6. Pukul 7 lewat 30 menit. Aku sudah telat setengah jam dari waktu yang dijanjikan dengan Levi. Dadaku berdebar kencang, aku makin tak karuan. Apa aku lebih baik benar-benar tak pergi dan menjebak diriku bersama teman-teman kantor Mbak Lidya… lagi? Sudah beberapa bulan ini, malam minggu ku memang hanya di isi dengan acara barbeque bersama teman-teman kakak sepupu ku, bermain komputer sendiri di kamar, atau sekedar hang-out bersama anak-anak basket.
NO DATE ANYMORE YET.
Dan sekarang kesempatan itu baru datang lagi, walau bersama Levi. Astaga, kenapa aku jadi rumit begini, padahal seminggu yang lalu aku sendiri yang mau – aku sendiri yang sudah menyerahkan diri untuk mencoba menjalin hubungan dengan seorang cowok.
Aku pun berdiri dari duduk ku, dan melempar bantal ke atas sofa. Mbak Lidya memandangku bingung.
“Gue ada acara, Mbak” ucapku.
“Hah? Lu kan gak punya cewek, Niel?” sahut Mbak Lidya dengan kejamnya.
“Emangnya kalo gue ada acara harus sama cewek?!” kataku, sebal.
“Lha, jadi lu mau jalan sama cowok?!”
“Iya!” jawabku mendadak tegas.
Mbak Lidya mendecakkan lidah sambil menggelengkan kepalanya.
“Cepet cari cewek lagi deh, Niel. Lu jangan keseringan juga nongkrong sama anak-anak basket. Lu bisa-bisa jadi gak mempan sama cewek dan maunya sama cowok mulu, bisa jadi homo lu!” katanya tiba-tiba menasihati.
Aku agak tak mempedulikannya, meski kata-kata ‘homo’ cukup sedikit menusuk hatiku.
“Gue masih muda Mbak, jalan hidup gue masih panjang. Kapan-kapan aja gue cari cewek lagi…” sahutku.
Dengan acuhnya, aku berlalu meninggalkan ruang tengah menuju tangga ke lantai dua – dimana kamarku berada. Aku tak mau memperpanjang obrolan, sudah tak ada waktu.
+ + + + +
Aku cepat mencari-cari pakaian yang enak aku pakai untuk malam ini, setelah beberapa saat lalu mengecek handphone-ku sebentar. Ada sekitar 5 missed calls dan 3 sms, semuanya dari Levi – menanyakan apa kami jadi pergi. Sengaja aku tak membalasnya dulu dan lebih memilih bersiap-siap.
Baru saja aku memakai jaketku dan merapikan sedikit rambut spike-ku, suara Mbak Lidya terdengar memanggil namaku dari bawah. Dengan agak menggerutu, aku menyambar kunci motor dan dompetku – lalu segera turun.
“Kenapa sih Mbak? Gue buru-buru nih—“ kalimatku tercekat sendiri begitu ku lihat Mbak Lidya sedang bersama seseorang di ruang tengah.
Levi?
“Ini ada temen lu” sahut Mbak Lidya yang tak begitu peduli dengan keterkejutanku. Dia malah tersenyum-senyum aneh.
“Eh Lev, sorry… tadi gue…”
“Gak apa-apa, lo udah siap? yuk!” potong Levi sambil tersenyum. “Mbak, kita pergi dulu ya?” kata Levi pula bicara pada Mbak Lidya.
“Ok. Kalau bisa jangan pulang malem banget ya, gabung aja disini, mau ada pesta barbeque” sahut Mbak Lidya.
“Gak usah Lev, kita pulang malem banget aja, Mbak ini mau nyuruh-nyuruh” aku menyambar sambil menarik tangan Levi untuk pergi.
“Ye, awas lu ya!” kata Mbak Lidya sebal. Aku hanya mencibirnya. Tapi Levi malah tertawa dan cepat berpamitan dengan sopan.
“Lo bawa mobil?” aku tersadar begitu melihat sebuah Honda Jazz berwarna silver terparkir di depan pagar rumahku.
“Iya. Aku kan gak punya motor”
“Jadi, mau naik motor gue atau—“
“Kamu bisa nyetir?” potong Levi.
“Bisa sih”
“Ya udah, pake mobilku aja” kata Levi sambil melemparkan kunci mobilnya padaku. Aku yang masih agak tercengang, untuk bisa dengan sigap menangkap kunci mobilnya. Aku pun terpaksa kembali lagi ke dalam untuk menyimpan kunci motor ku.
“Ciye yang dijemput…” godaan Mbak Lidya berusaha tak aku pedulikan begitu aku sudah menyimpan lagi kunci motor ku di kamar. “Gue pikir lu bohongan mau jalan sama cowok. Lu beneran jadi homo, Niel?”
Aku menarik nafasku sebelum membuka pintu keluar, lalu berbalik sebentar dan tersenyum manis saja pada kakak sepupu ku.
+ + + + +
“Maaf ya, aku tiba-tiba dateng ke rumah kamu” Levi membuka percakapan, begitu aku menjalankan mobilnya keluar dari komplek perumahan tempat aku tinggal. Entah rasanya sudah berapa kali sejak kami – bisa dibilang pacaran seperti ini, Levi mengatakan maaf padaku. Rasanya semua kalimat yang mau dia ucapkan selalu diawali dengan kata maaf.
“Nggak apa Lev, santai aja… eh tapi kok lo bisa tau rumah gue?” sahut ku, aku memang cukup kaget melihat dia bisa berada di rumahku, karena sebelumnya aku tak pernah mengajak dia ke rumah.
“Maaf, sebenernya aku udah lama tau rumah kamu”
Aku melihat pada Levi sekilas, sebelum kembali memusatkan perhatian pada jalanan.
“Maksud lo…”
“Aku pernah ngikutin kamu pulang, cuma sekali, tapi aku masih inget. Rumah kamu gak susah buat aku hapalin” jelas Levi cepat.
Aku terpana dalam hati. Gila. Levi bahkan pernah menjadi stalker-ku? Aku benar-benar tak menyangka kalau ada seseorang (cowok pula) yang memendam perasaan padaku seperti ini.
“Kamu… gak marah, kan?” tanya Levi lagi setelah beberapa saat, aku belum juga berkomentar.
“Ah, nggak” aku melihat lagi padanya sebentar sambil tersenyum.
Dan aku kehilangan kata-kata yang lain. Aku kembali berpikir. Ini nyata, Niel. Ini bukan main-main. Tadi saja aku sudah dihadapkan pada satu pertanyaan penuh prasangka dari kakak sepupu ku, meski itu terkesan bercanda dan tidak penuh keyakinan – namun tetap saja, suatu hari nanti pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan semakin banyak menghampiriku. Bukan saja yang bertanya, mungkin akan menjadi gunjingan. Apa aku siap?
Ketika mobil melewati sebuah jalanan yang cukup ramai dan banyak mobil terparkir di pinggirnya, aku ikut menepikan mobil milik Levi disana.
“Lho, kok berhenti disini? Kita mau nonton dimana?” tanya Levi bingung, ia melihat ke sekeliling, dan jelas-jelas kita masih jauh dari salah satu mall terkenal di Bandung yang akan kami datangi.
“Kita makan dulu” kata ku singkat.
“Hah? Bukannya nonton dulu, baru makan?”
“Nggak ah, gue mau makan dulu. Seafood disini enak, Lev”
“Terus kita mau nonton yang jam berapa?”
“Jam berapa aja bisa kan? Midnight juga gak masalah” jawabku santai.
“Midnight? Gak mungkin Niel, aku harus pulang sebelum jam 11”
Aku menghentikan tanganku yang baru akan membuka pintu mobil, lalu memandang ke arahnya.
“Jadi lo gak bisa jalan sampe pagi sama gue?”
Levi menggelengkan kepalanya, pelan.
“Kenapa lo gak bisa?” aku bertanya lagi, sedikit menekan.
“Aku emang gak bisa—“
“Kalo lo gak bisa jalan sampe pagi sama gue, kenapa lo bisa dengan gampangnya nyatain perasaan ke gue? Kenapa lo bisa dengan mudahnya bilang kalo lo suka sama gue? Lo bahkan belom tau gimana gue sebenernya. Cuma karena lo pernah nge-stalk gue pulang sekali, itu bukan berarti lo udah ngerti banyak soal gue” potong ku tiba-tiba dan panjang lebar.
Entah kenapa, pikiranku kembali kalut seperti beberapa waktu lalu. Aku lupa dengan maksudku sendiri yang seminggu lalu sudah menerima perasaan Levi dan bersedia pacaran dengannya.
Ok, sebut aku labil atau apapun. Tapi ini memang tidak semudah yang kita lihat, kita ucap dan kita bayangkan. Perasaanku terombang-ambing.
Levi memandangku, tampak shock.
“Kenapa? Lo berubah pikiran? Gue gak sebaik yang lo pikir, bukan? Gue gak sama kayak cowok-cowok laen yang pernah jalan sama lo, yang bisa ngertiin pikiran dan perasaan lo. Gue biasa ngertiin perasaan cewek, dan bagi gue, lo yang rewel sekarang ini, gak bisa gue tolerir. Cowok gak seharusnya ribet kayak lo” mulutku seperti meracau, mengeluarkan unek-unek dalam benakku dengan sendirinya. Ini adalah kalimat demi kalimat yang tak seharusnya aku ucapkan dengan frontal pada Levi.
Benar, kami memang sesama laki-laki. Kami sudah seharusnya menjadi makhluk yang tidak ribet seperti perempuan, tapi laki-laki juga punya perasaan. Dan sedetik kemudian, aku baru saja tersadar, kalau aku mungkin sudah menyinggung perasaan Levi. Crap.
“Ok, maaf. Kalau gitu, kita makan aja dulu” kata Levi akhirnya dengan suara yang agak pelan. Dia mengalah. Dia pasti masih shock, aku jadi tak enak, tapi aku gengsi untuk menarik lagi semua kata-kata ku.
“Gue gak ngerti” cetusku lagi. Levi berhenti untuk membuka pintu setelah melepas safe-belt nya.
“Apa?”
“Kenapa lo bisa suka sama gue?”
“Aku juga gak ngerti…”
“Hah?”
“Kenapa kamu mau pacaran sama aku?”
Jleb.
Levi memandangku langsung di mata dengan pertanyaannya yang seperti menohok ku. Sial. Aku bermaksud membuatnya sulit, tapi malah diriku sendiri yang dipersulit olehnya. Tidak, sebenarnya aku sendiri yang membuat sulit keadaanku. Bodoh.
“Kalau dari awal kamu emang ragu dan cuma kepaksa, kenapa kamu terusin? Kenapa kamu seolah ngasih aku harapan, hm?” Levi berbicara lagi. “Ini baru seminggu dan ini kencan pertama kita, kalau kamu baru kepikiran ini salah dan kamu gak mau, sebaiknya kita udahin aja”
Kami terus saling memandang beberapa saat, aku kehilangan kata-kata di otak ku. Sungguh. Dan disini aku malah baru menyadari, betapa dia sangat tampan sekarang. Rambut halusnya yang selalu rapi, tampak jatuh menutupi sebagian keningnya. Dia memakai pakaian kasual yang tak pernah aku lihat ketika dia ke kampus. Dia memakai sebuah kaus polo berwarna hijau dipadukan dengan sebuah vest berwarna hitam di luar, sangat cocok di tubuh mungilnya. Ini gaya darinya yang tak pernah aku tahu. Selama di kampus, aku hanya melihatnya dengan kemeja.
Dan wangi seperti wangi bayi itu, menghampiri hidungku lagi lalu menggodaku – menenangkanku.
Hingga sebuah pikiran pun melintas di benakku…
I don’t wanna lose him… yet.
“Lo jangan ngomong sembarangan” gumamku, sambil lebih dulu mengalihkan pandanganku dari wajah manisnya.
“Gue gak ngomong sembarangan. Gue serius. Gue gak mau maksa lo”
Aku tersadar. Ini sepertinya pertama kali lagi aku mendengar dia dengan panggilan ‘Elo-Gue’ ketika sedang berduaan denganku. Sejak seminggu lalu, setahu ku, dia sudah mengganti panggilan denganku menjadi ‘Kamu-Aku’ meski aku sendiri tetap dengan panggilan yang biasa.
Dan entah kenapa, sekarang mendengarnya berkata seperti itu lagi, malah membuatku jadi tak nyaman. Itu artinya aku sudah tak special lagi baginya, bukan? Ayolah, baru seminggu semuanya dimulai dan ini kencan pertama kami. What the hell happened with me?
“Lo gak pernah maksa gue. Enough. Gue kayak gini bukan berarti gue mau putus. Gue cuma masih ngerasa bingung, gue gak pernah pacaran sama cowok sebelumnya…” sahutku akhirnya, penuh elakan.
Levi menghela nafas dan menyandarkan punggungnya di kursi.
“Iya, gue tau lo belum pernah—“
“Ah udahlah!” potong gue sambil menjambak rambut spike ku dan sedikit membenturkan kepalaku ke sandaran kursi. Aku menyimpan lengan diatas mataku. Hell yeah, kepalaku mendadak pusing.
“Maaf, aku—“ Levi kembali mencoba meminta maaf, suaranya sudah berbeda dengan sebelumnya yang seperti sedang mempertahankan diri. Kali ini aku mendengar suara Levi-ku lagi.
Levi-ku? Sejak kapan aku sudah begitu posesif padanya?
“Gak usah minta maaf terus!” sentakku lagi sambil kembali memandangnya, agak tajam.
“Terus, kamu mau aku gimana?”
“Gue mau lo gak ngomong sembarangan lagi. Gue gak kepaksa, ok?”
“Tapi kamu keliatannya gak nyaman dengan semua ini. Mumpung baru seminggu, sebelum harapan aku makin banyak sama kamu, kita bisa—“
“Emang lo ngarep apa dari gue? Lo pikir dengan kita pacaran kayak gini, suatu hari kita bisa married? Gitu?” sergahku, sinis lagi.
Levi menarik nafas, lalu mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. Dia mungkin tak mau terpancing dengan emosiku yang tak jelas. Tapi tiba-tiba dia tertawa pelan, sambil menutupi bibirnya.
Perlahan, aku jadi memudarkan wajah masam ku juga.
“Kenapa lo? Ngetawain gue?” sambung ku lagi.
“Sumpah ya Niel, kenapa aku harus suka sama cowok kayak kamu? Asal kamu tau, cowok-cowok yang suka sama aku dan yang pernah jadi mantanku, gak ada yang se-kurang ajar kamu” kata Levi, masih sambil tertawa pelan. “Ok, aku paham karena mungkin ini masih baru buat kamu, tapi sikap kamu yang labil dan cepet berubah itu… bener-bener ngeselin”
Aku terdiam saja. Levi berhenti tertawa, tapi senyuman masih terulas di bibir tipisnya.
“Kamu bilang mau, tapi kamu bertingkah kayak kamu gak mau. Ya, karena kamu bilang, kamu gak mau putus, aku mau nyoba ngertiin kelakuan aneh kamu ini…”
“Gue straight, Lev” sahutku akhirnya dengan nada datar. “Jelas aja ini masih aneh dan gak bisa gue terima begitu aja”
“Ok, yea, you were straight”
Dia menekankan kata were di kalimatnya. That means, dulu aku straight dan sekarang sudah tidak lagi. How annoying, but somehow it’s hard to deny.
Aku tak tahu bagaimana harus membantahnya, karena aku sendiri yang sudah mengiyakan. Itu akan seperti aku menjilati lagi ludahku sendiri.
Levi tiba-tiba bergerak mendekat ke arahku, setelah sebelumnya menyentuh sedikit rambutku. Aku cepat mengantisipasi dengan melihat padanya, dan agak memundurkan wajahku. Dia pasti mencoba mencuri-curi kesempatan untuk menciumku lagi seperti waktu itu.
Kami memang berada di dalam mobilnya yang tak akan terlihat orang lain dari luar, tapi rasanya tidak boleh… hanya…
“Aww!” aku yang tanpa sadar barusan malah jadi memejamkan mata, mendapatkan cubitan yang tak aku duga di pahaku. Aku membuka mata dan melihat wajah puas Levi. “Ngapain sih lo? Sakit tau!” protesku, sambil mengusap-usap paha ku yang tadi dia cubit.
“Rasain” kata Levi cuek, dan malah tertawa mengejek. “Jadi, mau langsung nonton apa mau makan dulu?” tanya nya pula. Seketika suasana serius dan menegangkan tadi jadi semakin mencair. Dia bisa mengendalikan keadaan dimana tadi aku sedang berkata dengan sinis dan tak menyenangkan padanya. Apa itu artinya dia bisa mengendalikan aku juga? How come?
“Ya udah, kita langsung nonton aja” jawab ku.
“Kenapa? Bukan nya kamu mau ngajak aku pulang pagi?”
“Lo bilang tadi, lo harus udah pulang sebelum jam 11”
“Aku pikir kamu gak mau ngerti”
Aku menatapnya sebelum menyalakan mesin mobil. Dia sudah berusaha mencoba mengerti tentang aku yang labil seperti ini, kenapa aku tak mau mengerti tentang dirinya?
Walaupun dia laki-laki juga sepertiku, walaupun aku ragu dengan apa yang sedang aku coba-coba, walaupun aku masih takut membayangkan bagaimana reaksi orang begitu mengetahui ini, walaupun aku mungkin hanya ingin memanfaatkan nya… relationship’s still relationship.
“Gue mau jadi pacar yang baik. Meski gue kayak gini, tapi gue gak pernah menyia-nyiakan siapapun yang lagi jadi pasangan gue” kata ku, mantap.
Levi tersenyum.
“I keep your words” katanya.
Well.
- - - - -
Di bioskop, as expected, di malam minggu seperti ini jelas banyak sekali yang berpasang-pasangan. Beberapa diantaranya berpegangan tangan. Tak ada yang salah dan tampak risih ketika melihatnya karena mereka pasangan cowok dan cewek, yah itu juga hal yang biasa aku lakukan dulu ketika sedang punya pacar – cewek tentunya.
Sedangkan sekarang, aku berdua dengan Levi hanya seperti tak lebih sepasang teman – yang mungkin di mata orang-orang adalah dua orang cowok tampan muda yang tidak punya pacar untuk diajak ke bioskop di malam minggu ini. How pathetic.
“Lo sering nonton sama mantan lo?” tanya ku begitu kami sedang duduk di depan studio, menunggu pintunya di buka. Memang masih ada sekitar 30 menit lagi.
“Sering. Kamu juga kan?”
“Iya. Tapi, kalo nonton sama temen cowok, gue gak pernah berduaan gini, pasti rame-rame”
Levi mengangguk.
“Kalo nonton sama cewek kamu, pasti berduaan kan?”
“Iyalah!”
“Jadi ini pertama kalinya kamu nonton sama temen cowok, berdua doang?”
“Exactly!”
Levi memandangku lekat. Aku balas memandangnya, bingung.
“Aku cuma temen ya?” bisiknya tiba-tiba.
Aku merasakan wajahku menghangat. Di sekeliling kami banyak orang, dan aku harap tak ada seorang pun yang mencuri dengar. Ah, aku nyaris lupa kalau aku berada disini berduaan dengan seorang cowok untuk menonton film, justru karena cowok itu bukanlah cowok biasa. Bukan hanya sekedar temanku – tak seharusnya aku membandingkan dengan keadaan dulu.
“Lo… siapa ya?” goda ku.
Sebuah tonjokan kecil Levi lancarkan ke bahuku, dia juga tersenyum gemas. Aku membalas dengan mengacak rambut halusnya. Kami jadi asik bercanda sampai pintu theater nya dibuka.
. . . . .
Jangan tanya kapan terakhir aku pergi menonton dengan pacarku ke bioskop. Sejak kuliahku memasuki tahun ketiga, aku mulai benar-benar tak memikirkan cewek. Aku putus dengan cewek terakhirku dengan baik-baik, karena waktu itu dia akan pergi mengambil kuliah di luar negeri, jadi kami memilih untuk putus. Hubungan jarak jauh tidak begitu meyakinkan.
Jadilah sekarang aku bagaikan seorang cowok amatir yang seperti baru pertama kali berkencan lagi. Aku dan Levi mendapat tempat yang agak memojok di barisan yang cukup ke atas, dan masalahnya, di sebelahku, juga di belakang kami semuanya adalah pasangan yang berdua-duaan.
Aku mulai merasa jengah, seharusnya kita memilih tempat di paling depan saja, tanpa harus peduli dengan pasangan-pasangan yang mungkin berencana untuk berbuat mesum disana.
“Kamu kenapa Niel?” bisikan lembut Levi menyentakkan aku yang masih melirikkan kepalaku kesana kemari setelah lampu theater dimatikan karena filmnya sudah akan dimulai.
“Oh nggak” jawabku, balas berbisik. Tangan Levi masih tersimpan di atas tanganku, hingga tanpa sadar aku jadi merasa kaku sendiri, tak bisa menggerakkan tanganku. Aku hanya memakai tangan kananku untuk minum dan minum.
Beberapa menit saja, begitu film diputar (kami memilih film yang agak thriller hingga nyaris tak ada adegan yang membuat tertawa). Suasana yang awalnya cukup hening di sekitarku, mulai berulah. Pasangan di sebelahku asik berbisik-bisik dan mengeluarkan suara aneh, begitu juga dengan yang dibelakang. Kalau saja aku sedang bersama dengan pacar ku yang dulu, aku nyaris tak pernah peduli dengan keadaan seperti ini dan asik bercengkrama juga dengan pacar ku. Tapi sekarang situasinya lain, aku tak tahu, apakah ide bagus kalau aku harus macam-macam dengan Levi.
Kepalaku pun menoleh ke arahnya. Dalam gelap, dan sedikit cahaya dari screen, aku bisa melihat Levi sedang meminum minumannya. Aku juga bisa melihat wajah tampannya dari samping dengan agak jelas, bibirnya yang tipis, lekuk hidungnya yang bangir dan pipinya yang mulus.
Aku menggerakkan tanganku yang berada dibawah tangannya, berpindah ke atas. Perlahan aku menyelusupkan jemariku diantara jemarinya. Dia bereaksi dengan melihat ke arah tangan kami yang jadi bertautan. Samar, aku bisa melihat dia tersenyum, lalu mengembalikan pandangannya kea rah screen.
Aku makin mendekatkan duduk ku, jadi lebih condong ke sebelahnya, hingga hidungku bisa mencium wangi khasnya yang lembut seperti bayi. Wajahku perlahan agak menurun hingga sejajar dengan lehernya, wangi itu semakin memabukanku.
Aku sedang menenangkan diri dengan memejamkan mata sambil mengirup wangi dari tubuhnya, ketika Levi tiba-tiba menoleh hingga ujung hidungnya mengenai hidungku. Kami berpandangan beberapa detik dalam gelap.
“Kamu ngantuk?” tanya Levi lagi, berbisik.
Aku membetulkan dudukku, hingga kepalaku tak lagi sejajar dengannya.
“Nggak” jawabku, balas berbisik.
“Kirain…”
“Kalo gue ngantuk, gue boleh tiduran di pundak lo?” tanyaku, sok manis.
“Boleh”
Tanpa banyak bertanya lagi, aku cepat menyandarkan kepalaku di pundaknya, walau harus sedikit merendahkan posisi duduk ku. Aku mendengar Levi tertawa pelan.
“Jadi kamu ngantuk?” bisiknya.
“Dikit” elakku. Memang sekedar alasan, karena aku hanya ingin menyandarkan kepala di pundaknya, menciumi wangi tubuhnya sepuasku.
Namun aku memang tidak puas, setelah beberapa saat aku menyandarkan kepalaku di pundaknya, dan Levi kembali serius menonton – aku malah terus memandanginya. Memperhatikan lekuk rahangnya yang tampak manis dilihat di kegelapan seperti ini.
Aku makin mendekatkan wajahku, mengecupkan bibirku di rahangnya, di dagunya, naik ke bibirnya – dan saat itu Levi pun menoleh padaku. Mata kami bertemu beberapa detik, sebelum kemudian terpejam.
Aku menciumnya… di bibir.
- - - - -
To Be Continued~
lanjut2
Lanjuutt...:)
suka ma karakter levi dan lucu
>_<
aaaahhh serasa jadi niel nya.. hahaha
semoga cerita ini gak mandet d pertengahan kayak cerita yang udah2.
hehehe
suka suka suka
[#3 – Jealousy]
“Kamu udah ngerjain tugas?” pertanyaan Levi menyentakkan aku yang sedang agak melamun sambil melihat keluar dari jendela di sampingku. Aku sungguh nyaris tak sadar, kalau dia sudah duduk di sebelahku.
Aku biasa memilih kursi di jajaran paling belakang, dan Levi selalu di jajaran depan – jelas saja melihat dia di sebelahku sekarang, membuatku terkejut. Beberapa orang teman yang biasa duduk denganku memang belum datang, aku jadi jengah sendiri di dekati Levi seperti ini – apalagi kejadian malam minggu kemarin masih saja menghantuiku.
“Emang ada tugas?” kata ku, seperti biasa nampak bodoh.
Levi tersenyum sambil mengeluarkan salah satu buku catatannya.
“Nih kerjain!” katanya sambil menyimpan buku itu di hadapanku. Dia menyuruhku mengerjakan, tentu saja maksudnya mencontek tugasnya yang sudah selesai.
Aku mengambil buku miliknya, membuka dan mengamatinya beberapa saat. Hingga ingatanku kembali. Memang ada tugas membuat jurnal dari beberapa soal yang pernah diberikan dosenku kemarin. Aku pun mengeluarkan buku tugas milikku, untuk mulai menyalin tugas Levi.
“Niel” kata Levi sambil menangkupkan kedua tangannya diatas meja, menyandarkan kepalanya disana dan menengokkan wajahnya ke arahku, memperhatikan aku yang sedang serius menyalin.
“Apa?” sahutku pendek.
“Kenapa gak bales sms ku dari kemarin-kemarin?”
Tanganku berhenti menulis, dan perlahan aku menoleh pada Levi. Sepasang mata besarnya yang terlihat sendu, sedang memandangku – aku cepat mengalihkan lagi pandangan pada buku di hadapanku. Meski sebenarnya konsentrasiku mulai buyar.
Aku memang tidak menggubris setiap sms dan teleponnya dari sejak kami pulang menonton di malam minggu kemarin. Geez, bagaimana aku menjelaskannya, pokoknya aku sedang ingin menghindar, kalau perlu aku ingin menghilang saja. Kalau tidak ingat jatah membolosku sudah banyak yang terpakai, aku sebenarnya ingin tidak masuk kuliah saja hari ini. Aku masih perlu menenangkan diri dan pikiranku.
Mencium seorang cowok, bagi cowok labil sepertiku sungguh bukan hal sepele. Aku masih perlu meyakinkan diriku, mempertanyakannya lagi, kenapa waktu itu aku sampai mencium Levi… terbawa suasana? Ya, itu jawaban yang sudah aku siapkan karena terdengar paling masuk akal.
“Pulsa gue abis” jawabku sekenanya.
“Terus kenapa gak jawab telpon aku?”
“Uhm.. lo nelpon, pas gue lagi gak deket-deket hape”
“Oh… aku pikir, kamu ngehindarin aku”
Deg.
Aku tidak mungkin mengiyakan, bukan?
“Nggak kok” ujar ku singkat, seolah memang tak ada apa-apa padahal aku jelas tak menemukan kalimat lain yang bagus.
“Tapi kamu baca semua sms ku, kan?” tanya Levi lagi.
“Iyalah…” aku lagi-lagi berusaha menjawab seolah tak ada sesuatu yang menyesaki benakku dan mendebarkan dada ku dengan tak karuan. Aku terus mencoba memfokuskan perhatianku pada deretan angka yang sedang aku salin dari tulisan Levi, namun… gagal.
Aku malah teringat pada setiap sms yang dikirimkan Levi waktu itu. Terus terang aku membacanya sampai berkali-kali hingga beberapa ada yang masih melekat di benakku.
//makasih buat malem ini. aku janji mau lebih ngertiin kamu. makasih buat ciumannya, that’s explain everything. let’s give it more try. i love u//
Mendadak, aku merasakan wajahku sedikit memanas. Oh shit, mengingat salah satu sms Levi, pasti sudah membuat wajahku memerah. Aku pura-pura menolehkan wajahku keluar jendela, menghindari tatapan Levi yang bisa aku rasakan masih melekat padaku. Jangan sampai dia melihat wajahku yang sedang memerah.
“Niel…”
“Hai pagi!”
Suara lembut Levi tertimpa oleh suara seorang perempuan yang aku hapal. Aku menoleh cepat dan melihat Dara sudah berada di hadapan kami.
“Pagi Dara” sahut Levi, yang sekarang sudah duduk dengan normal di kursinya.
“Lev, gue pinjem tugas lo ya? Gue udah ngerjain kok, tapi gue pengen nyamain lagi” pinta Dara, tanpa banyak basa-basi. Dia juga langsung mencoba mengambil buku Levi yang sedang aku salin.
“Heh, gue udah pinjem duluan!” protesku sambil berusaha balik merebutnya.
“Gue bentar doang kok”
“Alah, lo pasti mau nyalin semua juga” ejek ku.
Dara menatapku tajam, tak biasanya dia memandangku seperti itu, walaupun dia sedang kesal karena ledekanku sekalipun. Aku mengernyitkan keningku padanya, dia tidak melunak dan malah merebut buku Levi dari tanganku. Aku yang tak siap, jadi melepaskannya begitu saja.
“Kita kerjain di perpus” perintahnya tiba-tiba. Tanpa menunggu aku memprotes lagi, dia pun berlalu dari sana, keluar kelas.
Levi yang sejak tadi hanya memperhatikan, tampak bingung sendiri.
“Gue ke perpus dulu ya” kata ku akhirnya sambil beranjak dari kursiku, membawa buku tugas dan alat tulis ku. Sebenarnya, aku sudah tak begitu peduli dengan tugas ini, tapi tatapan tajam dan nada suara Dara yang memerintah tadi, membuatku jadi penasaran. Pasti ada apa-apa.
Levi hanya mengangguk. Rasanya aku juga jadi agak lega, karena bisa menghindarinya lagi. Aku memang belum siap kalau harus membahas soal waktu itu. Aku masih… malu.
. . . . .
Dara berhenti di ujung koridor, dimana disana ada sebuah tempat duduk dari tembok. Biasanya di sana ramai kalau sudah siang, karena sekarang masih pagi – suasananya jadi masih agak sepi. Dan yang pasti, jalan ke perpustakaan sangat berlawanan arah dengan tempat ini.
“Sejak kapan ya perpus pindah di mari?” komentarku sambil duduk di samping Dara.
“Lo kan gak biasa ke perpus” sahutnya, meledek. “Waktu itu lo di perpus, nungguin orang, iya kan?”
Aku berhenti memainkan pulpen yang ujungnya sedang aku gigiti, lalu memandang teman baik ku itu. Dara menatapku lagi dengan tajam dan mendadak membuat tubuhku agak merinding. Damn, apa yang dia tau?
“Ng- nggak kok” jawabku, agak terbata.
Dara tersenyum kecut.
“Gak usah ngelak, Niel. Gue liat semuanya; dan gue pikir, gue harus bahas ini sama lo”
“Apa an?” aku terus berpura-pura, dan mencoba tenang sambil kembali menggigiti ujung pulpenku, meski rasanya sekarang tanganku agak gemetar.
“Ini” Dara menunjukkan buku tugas milik Levi.
“Kenapa itu?” aku tetap berpura-pura bodoh.
“Tadi dia duduk di sebelah lo”
“Terus? Emang gak boleh si Levi duduk di sebelah gue? Wah parah lo kenapa jadi diskriminasi gini…”
“Niel, gue lagi ngomong serius sama lo!” Dara menyergah perkataanku, sambil agak memukulkan buku Levi yang sedang dia pegang ke bahuku.
“Gue juga gak lagi bercanda” bantahku.
Dara mendecak pelan, sebelum kemudian kembali menatapku dengan tajam.
“Gue gak pernah tau lo segitu akrabnya sama Leviandra” kata Dara dengan suara yang sedikit di pelankan.
“Apa maksud lo…” aku mengerutkan kening, tetap bertingkah santai, walau sebenarnya jantungku sudah seperti akan melompat keluar. Ini jelas ada yang tidak beres.
“Gue bilang gak usah ngelak. Gue liat kalian berduaan keluar dari mall malem minggu kemaren”
Dara pun mengatakannya, menyempurnakan ketakutanku. Yes, she knew something. Big damn.
“Gue liat dengan mata kepala gue sendiri, jadi percuma kalo lo mau nyangkal” tambahnya, dengan suara yang makin terdengar mendesis.
Matanya terus menatapku dengan tajam, memaksaku untuk tidak mengelak. Mau tak mau, sikap santai ku memang harus memudar. Aku jadi balas memandangnya dengan agak tegang.
“Ya, gue emang jalan sama dia malem minggu kemaren” aku terpaksa mengakuinya, daripada Dara akan perlahan membunuhku dengan tatapannya. Aku pikir, jika memang saatnya aku harus menceritakan semua, baiklah aku akan bercerita. Lagipula, aku masih beruntung karena ini Dara yang melihat semuanya. Setidaknya, dia adalah seseorang yang biasa aku jadikan tempat berbagi. Walau sebenarnya aku masih tak yakin.
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Adniel come on, he is gay” Dara mendesis lagi dan agak menekan kalimatnya, sambil melirikkan matanya ke samping, memastikan tak ada siapapun yang mendengar pembicaraan kami.
“Gue tau, Ra… so what?” aku jadi ikut-ikutan mendesis sepertinya. Kalau ada orang yang tak sengaja memperhatikan kami, pasti mendengar kami seperti sedang berkasak-kusuk.
“Gue mau tau apa rencana lo”
“Rencana yang mana?”
“Lo gak mungkin deketin dia kalo bukan karena punya rencana”
Aku mengernyitkan keningku, tak menyangka kalau Dara malah mengira aku memiliki sebuah rencana. Aku pun jadi berpikir sepertinya tidak perlu menceritakan apapun pada Dara.
“Gak ada…”
“Bohong. Lo pasti cuma mau manfaatin dia kan? Gue tau nilai lo jeblok terus semester ini. Tapi… aduh, gue takut banget kalo lo sampe ketularan” Dara memotong begitu saja ucapanku, dan dia mendesah risau sendiri.
Aku terdiam. Bingung. Apa perlu aku mengiyakan, atau aku jelaskan saja semuanya. Kalau aku juga masih labil dan terombang-ambing dengan perasaanku sendiri. Tapi, menceritakan padanya kalau aku seperti mulai tertarik pada Levi… hingga kemarin aku bisa menciumnya… ah itu bukan ide bagus. Jujur saja, aku takut Dara malah akan jadi membenciku.
“Ketularan? Lo pikir dia punya penyakit cacar!?” sahutku akhirnya, memilih untuk mencairkan suasana saja.
“Ck! Mereka bilang gay itu menular, Niel”
Aku tertawa mendengar ucapan Dara. Itu memang statement paling lucu yang pernah aku tahu. Sejak kapan di dunia ini ada penyakit bernama gay?
“Ah udah deh Ra, inget, be respect!” kata ku, sebelum Dara mencoba untuk mempertahankan pendapat aneh yang entah di dapatnya dari mana itu.
“Gue bukannya gak respect, tapi gue takut kalo lo gaul lebih deket dengan dia, nanti lo ke-judge sama seperti dia. Atau jangan-jangan lo beneran bisa berubah juga kayak dia”
Aku tertawa lagi, tapi lebih datar. Soal aku akan ke-judge sama dengan Levi, memang aku khawatirkan, tapi anehnya aku tak khawatir kalau memang ternyata aku juga akan menjadi seorang gay.
Well, bagaimanapun aku pernah mencium Levi. Aku memang tetap tak suka melirik laki-laki lain dan aku tetap suka pada perempuan. So, fine, make it clear… mungkin aku seorang biseksual.
“Niel, gue seriusan takut” cetus Dara lagi sambil lebih merapatkan duduknya denganku. Kali ini dia tak memandangku dengan tajam, matanya yang agak sipit menatapku dengan khawatir. Perlahan, aku merasakan tangannya menyentuh lenganku, mengusapnya lembut.
Aku sudah terbiasa dengan segala skinship diantara kami. Dara sering mengunyel-unyel wajahku, mengusap kepalaku, menepuk bahu ku. Begitu juga dengan aku yang tak pernah ragu menyentuh kepalanya, mengacak rambut lurusnya, atau juga mencubit pipinya. Tapi entah kenapa, usapan tangan Dara di bahu ku sekarang terasa tak nyaman buatku, membuat bulu kuduk ku meremang. I feel something different.
“Gue bakal baik-baik aja, Ra” kata ku, cepat mengantisipasi tangannya yang mulai akan menggenggam tanganku, dengan memegangnya lebih dulu. Aku balas memandangnya yang sekarang semakin dekat denganku. Dia menunjukkan wajah sendunya yang tetap terlihat cantik.
“Lo tau Niel, semua cowok yang deket sama gue, gak ada yang bisa menggeser posisi lo…” ujar Dara tiba-tiba.
“Hm?” aku mengangkat kedua alis ku, agak bingung.
“Ya, gue gak bisa pacaran sama cowok manapun, karena gak ada yang sebanding sama lo. Gue cuma nyaman sama lo. Kalo aja gue bisa ketemu sama cowok yang mirip sama lo, gue baru mau pacaran sama dia”
Selesai dengan kata-kata panjang lebarnya, Dara kemudian menjatuhkan kepalanya ke bahu ku. Dia pun berhasil menggenggam tanganku, membuat jemari kami bertautan (seperti yang aku lakukan dengan Levi waktu itu di bioskop). Aku tak bisa melakukan apapun, dan malah sibuk mencerna kata-kata Dara barusan.
Dari yang aku tangkap, sepertinya dia memang sedang gelisah, bukan karena aku yang sedang dekat dengan Levi saja – tapi mungkin ada hubungannya dengan Zaki atau cowok manapun yang dekat dengannya, namun lagi-lagi tak ada hasil. Aku tak mau cepat berbesar kepala, mengira Dara suka padaku hingga dia tak pernah bisa pacaran dengan cowok yang dekat dengannya. She wants someone like me or to be exact, she wants me.
Aku jadi tersenyum sendiri, tak pernah menduga kalau teman baik ku ini menyimpan perasaan padaku. Selama ini aku memang tak berani menjadikan Dara sebagai pilihan untuk aku dekati, dia sudah menjadi sahabatku, sudah seperti adik sendiri. Dalam kamus ku, rasanya tidak mungkin sahabat atau teman baik bisa menjadi kekasih. Terlalu aneh.
Pandangan ku bergerak lurus ke samping. Aku melihat dari balik kepala Dara yang masih bersandar di bahuku, dan senyumanku juga belum lepas dari bibirku – jujur, aku hanya merasa lucu. Tapi sedetik kemudian, aku harus memudarkannya ketika aku melihat seseorang yang sedang lewat diujung sana, melihat ke arah kami. Itu Levi yang kebetulan melintas.
F-ck.
- - - - -
Sengaja, aku cepat-cepat membereskan buku ku ke dalam tas setelah jam kuliah usai. Tadi di tengah sesi kuliah, aku mendapat sms dari teman basket ku, mengingatkan untuk latihan sore ini.
Ok, aku mau melupakan kejadian hari kemarin-kemarin dan hari ini dengan bermain basket. Kembali menjadi diriku yang selalu menikmati hari sendirian. Lupakan Levi, lupakan Dara.
Tanpa melihat pada mereka dulu, juga pada teman-temanku yang lain, aku langsung melesat keluar dari kelas begitu saja. Tapi mendadak, aku ingat kalau sekarang ada Levi yang pasti ingin pulang denganku. Aku tak mau membiarkan dia menunggu ku. Begitu sampai di lapangan, dan menyimpan tas ku di salah satu bangku, aku pun mengeluarkan handphone untuk mengirim sms pada Levi. Beberapa detik kemudian saja, aku sudah mendapatkan balasan darinya.
Sender: Levi
0856xxxxxxxx
ok. take care ya niel.
Aku menyimpan kembali handphone-ku ke dalam tas, tak merasa perlu untuk membalas lagi. Aku cepat bergabung dengan teman-temanku setelah tadi mengganti dulu pakaianku dengan baju basket yang sudah aku rangkap.
. . . . .
“Liat deh, dia disana lagi” kata Fery sambil menunjuk ke arah luar lapang dengan botol air mineral yang dipegangnya. Kami baru menyelesaikan match pertama.
“Wah iya!” sambut teman-teman ku yang lain.
“Gue makin penasaran, sebenarnya siapa sih yang dia taksir diantara kita?” sambung Erik. Dia melihat ke arah kami dengan senyuman jailnya.
Aku yang tadi masih memainkan bola basket ku dengan mencoba-coba melempar three-point ke ring, tak begitu paham dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Aku pun mendekat sambil memantul-mantulkan bola ku, lalu ikut melihat pada arah yang sedang anak-anak asik bicarakan.
Seseorang yang konon katanya selalu ada di luar lapang, duduk di atas rumput yang ada disana, dengan buku di tangannya.
Siapa sih?
Mataku membelalak dan aku kehilangan konsentrasi untuk memantulkan bola, hingga bola ku menggelinding entah kemana. Aku memang terlalu kaget. Ternyata teman-temanku sedang membicarakan Levi. Dia yang berada disana!
“Niel, lo sekelas sama dia kan?” tepukan di pundak, membuatku tersadar.
“Hmm iya…” jawabku agak gugup, sambil melihat pada Roby yang barusan menepuk pundakku.
“Kita mau taruhan nih siapa yang dia taksir disini, sampe hampir tiap kali kita latihan, dia pasti muncul disana” jelas Roby pula.
“Yang menang harus ditraktir mie ayam Mang Kosim ya?!” sambut Erik, bersemangat.
“Sip, pokoknya traktir semua yang lu pengen” sambung anak-anak yang lain.
“Gue taruhan buat William” kata Fery tiba-tiba.
“Eh? Curang, gue juga taruhan buat dia. Pasti deh, pasti si homo disini emang buat ngeliatin William. Gak ada makhluk di kampus ini yang gak tertarik sama dia” sahut Roby, yakin sekali dengan pilihannya.
Memang, William yang kakak tingkat kami itu adalah kapten tim basket kampus. Dia cowok paling populer se-kampus. Ganteng, tinggi, sungguh tipe ideal cewek-cewek dan totally bikin iri semua cowok (termasuk aku).
Jelas masuk akal kalau misalnya Levi ada disana untuk memperhatikan William, eh tapi…. kok?!
“Kalo gue Harlan aja” kata Erik. Dia menyebut nama sang wakil kapten yang memang tak kalah keren dengan William, tapi setahuku, Harlan bukan tipe cowok yang senang tebar pesona seperti William. Harlan terlalu tampak alim, jadi cewek-cewek pun cuma bisa diam-diam menyukainya. Tak bisa menunjukkan kehisterisan seperti ketika berhadapan dengan William.
“Kok Harlan sih? Dia cupu ah dibanding William” sambar Roby sambil lebih memelankan suaranya.
“Ye, suka-suka gue dong. Lagian, menurut gue, justru tipe-tipe cowok kayak gitu yang pasti diincer sama si Leviandra, iya kan Niel?” Erik dengan yakinnya malah meminta pendapatku, dan aku hanya bisa menggelengkan kepalaku reflek dengan banyak sekali pikiran yang beterbaran di benakku.
Jujur, aku juga jadi penasaran siapa yang Levi sedang perhatikan disini? Mereka bilang, setiap kali kita sedang latihan, Levi pasti ada disana. Hey, aku benar-benar tak menyadari itu. Kalau sudah berada di lapangan, semua panca indera dan pikiranku hanya terfokus pada bola dan permainan.
“Ok, daripada lo pada sok tau, mending kita suruh Adniel buat membuktikan semuanya” sela Fery, menghentikan perdebatan Erik dan Roby.
“Hah? Gue?” aku tercengang sambil menunjuk muka ku sendiri.
“Ya, siapa lagi… lo kan pasti kenal sama dia, Niel”
“Iya, gue udah penasaran banget dari dulu…” desak Erik pula.
“Kenapa gak kalian aja yang nanya? Gue kan gak ikutan taruhan” kata ku cepat, mencoba untuk mengelak. Gila saja kalau aku memang harus menghampiri Levi sekarang dan menanyakan siapa yang sedang dia perhatikan disini. Konyol. Aku kan sedang membutuhkan waktu untuk agak menjauhinya. Dan kalau pun aku penasaran soal itu, aku bisa menanyakan langsung padanya nanti – begitu kami hanya berdua.
“Ah elu. Gue geli kalo deket-deket dia, apalagi ngobrol” ujar Fery.
“Hahaha, kenapa dah Fer? Kesannya dia penyakitan amat, gatel-gatel lu?!” sahut Roby, sambil tertawa-tawa dan temanku yang lain ikut tertawa juga.
Well, thats really ain’t funny.
Ini yang aku maksud di belakang, aku tetap mendengar pembicaraan miring tentang Levi, meski di depan mereka memang terlihat baik, dan tak mengganggunya. Tapi kenyataan bahwa gay masih di pandang sebelah mata dan malah dijadikan bahan cemoohan, tetap belum bisa dihilangkan.
“Nggak, gue cuma geli. Dia wangi, rapi, muka nya mulus-mulus gitu… beneran bikin gue geli” kata Fery meralat perkataan Roby yang memang tadi terkesan agak kasar.
“Takut demen lu ya?” sambar Erik yang membuat anak-anak lain kembali tertawa. Kali ini Fery tak meralat dan malah ikut tertawa malu.
Aku menghela nafas, rasanya ingin ke tempat Levi sekarang lalu mengajaknya pergi dari sana.
“Ayo Niel, buruan dong!” pinta Fery lagi.
“Nggak ah… gak enak gue nanya nya” aku terus mengelak.
“Ah lama deh, ya udah gue aja. Liatin ya lo pada, pulang nanti siapin duit buat traktir gue” sela Roby tiba-tiba sambil beranjak dan tersenyum penuh percaya diri pada kami semua. Dia pun berjalan menuju luar lapangan, ke tempat Levi berada.
Terus terang, aku sebenarnya ingin menyusul, tapi pasti akan jadi aneh sekali. Benak ku pun tak bisa berhenti mengutuki anak itu, kenapa harus ada disana sih!?
Beberapa menit, kami lihat Roby mengobrol dengan Levi disana, mereka tampak akrab karena terlihat tertawa-tawa. Roby memang orang yang mudah bergaul, begitu juga dengan Levi yang selalu baik pada semua orang.
Kami jadi harap-harap cemas, apalagi begitu Roby sudah berjalan kembali ke arah kami. Aku yang tidak ikut taruhan pun jadi ikut gelisah. Senyuman Roby sudah terlihat dari kejauhan dan makin mengembang penuh kemenangan begitu mendekat.
“Gimana Rob? Gimana?” anak-anak jadi merubunginya.
“Bener kan apa kata gue? Dia naksir William! Gue menang! Hayo pada traktir gue!” kata Roby dengan puas nya.
“Eh? Seriusan lo? Berarti gue juga menang dong!” sambar Fery.
“Ah yakin lo!?” Erik yang merasa kalah, jadi tak begitu terima.
“Gak percaya? Lo tanya sendiri gih! Hahaha”
Teman-temanku ribut, sementara aku malah terpaku sendiri disana. What? Levi naksir sama William? Huh?!!!!
Dengan rasa kesal yang entah dari mana datangnya, aku cepat mengambil tas ku dan berjalan menuju kumpulan kakak-kakak tingkat untuk berpamitan.
“Lha, Niel, mau kemana lo?!” tanya Fery yang melihat aku sudah akan pergi.
“Pulang, gue baru inget ada urusan” jawabku, beralasan.
“Ah, kan masih ada satu match lagi, Niel!”
Aku hanya melambaikan tanganku pada mereka tanpa berbalik lagi.
Mata ku menatap tajam ke arah Levi ketika aku berjalan melintasi lapangan. Dan ternyata Levi sedang melihat ke arahku juga, tapi aku tak bisa membaca dengan jelas bagaimana raut wajahnya.
Huh, whatever!
Aku benar-benar semakin butuh waktu untuk menjauh darinya.
. . . . .
Aku sedang menjalankan motorku dijalanan ketika sebuah mobil memepet ku dengan sengaja, terpaksa, aku jadi menepikan motorku. Emosiku yang sejak meninggalkan kampus sudah agak tak bagus, jadi naik dengan mudah. Aku turun dari motor ku, membuka kaca helm dan langsung mendekati mobil yang tadi sudah memepetku. Aku baru akan memuntahkan kemarahan, ketika aku sadar kalau aku mengenali mobil Honda Jazz berwarna silver itu – dan seseorang yang keluar dari sana memang orang yang sudah aku duga.
Siapa lagi kalau bukan Levi.
“Apa-apaan sih lo? Mau bikin gue celaka?!” semburku.
“Maaf Niel, aku cuma mau bicara sama kamu…”
“Ngomong apa? Besok juga kita ketemu di kelas”
“Aku mau berdua aja”
“Ya udah kapan-kapan!” aku terus menyahutnya dengan ketus, dan malah ingin segera pergi saja dari sana. Aku masih sebal dengan kejadian beberapa saat lalu di lapangan.
“Kamu marah sama aku?” Levi menahanku dengan menghalangi motorku.
“Nggak, kenapa gue harus marah!?” aku masih mengelak, padahal jelas-jelas nada suara ku tinggi seperti orang yang sedang marah.
“Kamu pasti gak suka aku ada disana pas kamu lagi latihan… aku emang gak bilang sama kamu—“
“Nggak kok. Gue gak peduli. Siapapun yang lagi lo perhatiin disana, gue gak peduli dan gak mau tau!” aku memotong kalimatnya dan menyingkirkan badannya yang lebih kecil dari ku agar tak menghalangi motorku.
“Niel… kalo kamu gak suka aku ada disana, aku janji kalo nanti ada latihan lagi, aku gak akan ada disana” Levi masih berusaha, dia memandangku dengan tatapan seperti memohon. “Tapi jangan cuekin aku kayak gini…”
“Gue gak ngerti lo ngomong apa. Gue mau balik, minggir!” kata ku yang masih belum bisa menghilangkan kekesalanku. Aku butuh cepat sampai dirumah, untuk mandi, menghilangkan pikiran kacau ku.
“Niel, please…” Levi kali ini memegang tanganku yang sudah berada di atas stang motor. Tapi aku menepisnya, lalu menutupkan kaca helm ku, sebelum kemudian menjalankan motor, tanpa mempedulikan apapun yang masih ingin Levi jelaskan.
Terserah! terserah!
- - - - -
Aku tak peduli. Tak membalas sms juga tak mengangkat telepon yang masuk. Sekarang malah asik tiduran di lantai berkarpet di depan tivi, menunggu Mbak Lidya selesai masak.
“Siapa tau penting, Niel…” kata Mbak Lidya lagi begitu membawa semangkuk besar sphagetti ke depan tivi, di dekatku.
“Nggak mbak, biarin aja”
“Lu lagi marahan sama… siapa waktu itu namanya, ehm Levi?” tebak Mbak Lidya pula, sok tahu – meski memang tidak salah.
“Hmm” aku hanya menggumam, tanpa ada maksud apa-apa. Aku lebih tertarik untuk mulai memakan sphagetti buatannya.
“Cowok lu itu…” tambahnya lagi sambil cekikikan sendiri. Aku tak menggubrisnya. “Dia manis, Niel. Cakep, dan kayaknya tajir ya?”
“Dia temen gue doang, Mbak” ujarku singkat, tak mau kalau sampai Mbak Lidya malah jadi membahas kemana-mana. Selain aku sedang malas membicarakan Levi, aku juga tetap tak mau memperpanjang obrolan tentang ini.
“Niel, kalo lu beneran homo… gue juga gak akan ikut campur kok” kata Mbak Lidya tiba-tiba dengan nada suara dan raut wajah serius, dia tersenyum penuh pengertian padaku, sebelum kemudian sibuk lagi dengan makannya.
Aku membeku beberapa detik.
Argh.
Aku pun menusuk-nusukkan garpuku ke atas sphagetti dengan bernapsu.
. . . . .
Sender: neng Dara
0878xxxxxxxx
jahat lo ga bls2 sms gw, ga angkat telpon gw
Aku melemparkan handphone-ku lagi setelah membaca satu sms terakhir yang tak sengaja aku buka. Ternyata dari Dara. Temanku itu entah sedang ada masalah apa, sampai jadi begini lebih manja padaku. Sebenarnya aku mau menjadi pendengar dia seperti biasa, tapi untuk sekarang, suasana hatiku saja sedang tidak begitu bagus. Aku masih saja memikirkan Levi.
Ah, anak itu. Apa dia benar tak menghubungi ku setelah tadi sore aku bertingkah ngambek dan meninggalkannya begitu saja?!
Agak ragu, aku mengambil kembali handphone-ku dan mulai mengeceknya. 3 sms dari Dara dan 1 sms dari Levi. Cuma satu, tapi rasanya aku lega, belum lagi ada 2x missed calls. Sedangkan 5 lainnya, missed calls dari Dara.
Ternyata Dara yang sudah membuat handphone-ku tak berhenti bunyi sejak tadi, untung aku tidak menggubrisnya. I'm sorry, tapi aku sedang tidak tertarik untuk menyimak drama dari permasalahan perempuan.
Klik.
Aku menyentuh layar handphone-ku tepat diatas tombol call. Aku menelepon balik Levi. Entahlah, aku mungkin rindu padanya setelah tadi aku malah memarahi dan meninggalkannya. WTF.
“Hallo, Niel?” terdengar suara Levi di ujung telepon, terdengar sekali dari nada nya, kalau dia sangat menunggu aku menghubunginya.
“Kenapa nelpon-nelpon gue?!” sahutku tetap berusaha ketus. Aku memang cukup gengsian.
“Itu… kamu masih marah?”
“Gue gak marah. Kalo gue marah, gue gak akan telpon balik lo dan gak mau ngomong sama lo lagi”
“Maafin aku…”
Aku terdiam beberapa detik. Rasanya aku memang kejam sudah membuat Levi jadi terus-terusan meminta maaf. Tapi, ah dia kan memang salah!
“Gak usah minta maaf terus, udah ya, gue mau tidur”
“Ini belum jam 9, Niel, kok kamu udah mau tidur?”
“Terserah gue lah gue mau tidur jam berapa”
“Kamu udah ngerjain tugas?” pertanyaan Levi membuatku tak jadi mematikan handphone-ku. Aku melihat pada jadwal kuliahku yang tertempel di dinding dekat meja belajarku, disana tertulis kalau ada tugas yang harus aku kumpulkan besok.
Sial.
“Belum” jawab ku akhirnya.
“Mau aku anterin buku tugas ku kesitu sekarang? Aku udah selesai” tawarnya tiba-tiba, membuatku jadi harus memudarkan kekesalanku.
“Eh? Gak usah, gue kerjain besok pagi aja”
“Tugasnya di kumpulin di jam pertama, kamu lupa?”
Shit.
Aku menghela nafasku panjang.
“Ya udah, gue ke rumah lo sekarang” putusku akhirnya.
“Padahal aku aja yang nganterin kesana…”
“Gak usah, gue aja yang kesana!”
Klik
Aku mematikan lebih dulu handphone-ku, lalu cepat bersiap-siap mengambil jaket ku untuk menuju rumah Levi. Ok, demi tugas… mungkin.
. . . . .
Levi sedang menungguku di depan pagar rumahnya begitu aku tiba. Dia memakai kaos putih tipis lengan panjang dan celana piyama panjang yang tampak nyaman di badannya. Sekali lagi aku dibuat terpana, melihat sesuatu yang berbeda dari seorang Leviandra. Satu hal yang paling aku tangkap, dia tetap terlihat segar meski di malam hari seperti ini. Rambutnya yang selalu rapi itu sungguh membuatku iri.
Aku menghentikan motorku, lalu cepat meminta dia memberikan buku tugasnya.
“Ada di dalem” jawab Levi enteng. “Kenapa kamu gak masuk dulu?”
“Gak usah lah Lev, udah malem ini, gak enak sama keluarga lo…”
“Ibu ku lagi pergi keluar kota. Cuma ada Bi Mar aja” terangnya. “Masuk aja dulu, ok?”
Aku pun berhenti membantah. Aku ikut masuk dulu ke dalam rumahnya yang besar dan cukup mewah, tapi sepi itu. Sangat sepi. Setahuku, Levi hanya anak satu-satunya, dia tinggal bersama ibunya dan seorang pembantu. Ibunya adalah wanita karier yang jarang berada di rumah. Bisa aku bayangkan bagaimana kesepiannya dia. Dan itu juga membuatku tak heran kenapa Levi bisa menjadi seorang gay, dia pasti sangat merindukan kasih sayang dari sosok seorang ayah. He needs a man just like his Mom, I guess.
Levi menyimpan sebuah kertas folio di depanku, begitu aku duduk di salah satu sofa di ruang tengah rumahnya.
“Kerjain disini aja” katanya, begitu aku sudah akan membawa tugasnya itu pergi. Levi mengeluarkan lembaran kertas folio yang lain untukku, beserta alat tulis miliknya.
Aku antara ingin menolak, tapi tak yakin.
“Biar kamu tenang udah sampe rumah, dan tinggal tidur. Takutnya, nyampe rumah kamu malah nggak ngerjain” tambah Levi, seolah dia sudah sangat hapal dengan kebiasaan buruk ku, yang teramat pemalas untuk mengerjakan tugas.
Karena bujukan itu, aku pun setuju untuk mengerjakan tugasku disana. Dan dengan catatan, aku pura-pura tak mempedulikan dia yang duduk di depanku, terserah dia mau terus berpikir aku marah atau apa, tapi aku memang masih tak berselera untuk bicara dengannya, mengingat kejadian tadi sore.
“Kamu masih marah ya?” tanya Levi untuk kesekian kali, begitu aku mulai menyalin.
“Nggak”
“Aku minta maaf karena gak bilang kalo aku mau ke lapangan…”
Aku menyimpan pulpen yang ku pegang, kemudian memandang Levi datar sekaligus memberinya tatapan terganggu.
“Heh, kalo lo belom tau, William itu udah punya cewek. Percuma lo tiap sore mantengin dia pas latihan, dia gak akan pernah ngelirik lo” cetusku menyela perkataannya. Lama-lama aku memang tak tahan untuk mengkonfrontasi dia soal itu.
Levi mengernyitkan keningnya. “Apa?”
“Lo denger yang gue omongin” kata ku acuh sambil kembali menulis.
“William?” katanya lagi, tapi aku tak menyahut. “Terus, gimana dengan kamu dan Dara?”
Aku mengangkat lagi wajahku melihat padanya.
“Kenapa jadi bawa-bawa Dara?” ujarku ketus.
“Kamu juga kenapa bawa-bawa William?!”
Kita saling menatap dengan agak tajam mencoba mencerna apa yang sebenarnya yang sedang kita bahas disini. Ok, jadi hari ini, ada dua kejadian. Pertama, tadi pagi Levi melihatku yang sedang setengah dipeluk oleh Dara dan kedua, aku mendapatkan informasi kalau ternyata setiap sore Levi mendatangi lapangan, saat tim basket latihan, untuk melihat William.
Apa kita sedang sama-sama mengungkapkan rasa keberatan… cemburu?
No shit, aku tidak mungkin cemburu!
“Lo tau sendiri gue udah lama akrab sama Dara, dia sobat gue, udah kayak ade gue sendiri!” kata ku, cepat memecahkan keheningan diantara kami.
“Oh ya? Tapi kenyataannya kalian tetap orang lain, suatu hari kamu dan dia bisa saling jatuh cinta…”
“Terus masalahnya apa? Bukannya lo juga tiap sore ke lapangan cuma buat liat William?!”
“Siapa yang bilang?!” Levi agak meninggikan suaranya. Dia seperti mulai terpancing oleh sikap ketus ku.
“Roby. Tadi sore dia nyamperin lo kan? Dia mau tau siapa yang lo taksir di tim. Asal lo tau, anak-anak tuh jadiin lo bahan taruhan!” jelasku, yang juga tak mau kalah.
“Aku tau! Roby bilang sama aku kalo dia sama temen-temennya lagi taruhan”
Aku agak terkejut.
“Nah… terus lo bilang sama dia kalo lo sengaja selalu ada disana buat liatin William…” aku masih bersikeras.
“Aku gak bilang gitu! Aku bilang, aku cuma suka liatin kalian lagi latihan” sergah Levi. “Aku juga gak bawa-bawa nama kamu, tenang aja”
Aku yang sudah membuka mulutku untuk menyahut, jadi mengatupkannya lagi. Terpana, dan kehilangan kata-kata.
“Sialan” kutuk ku akhirnya, pelan. Aku baru sadar kalau sepertinya ada salah paham. Teman-temanku mungkin sudah ditipu oleh Roby agar dia menang taruhan, tapi yang lebih fatal tertipu tentu saja aku karena sudah terlanjur memusuhi Levi sejak tadi, tanpa alasan yang pasti.
“Tiap sore kalo anak basket ada latihan, aku emang sengaja dateng ke lapang, sekedar buat baca buku. Karena disana, aku juga bisa sekalian merhatiin kamu” kata Levi tiba-tiba dengan suara yang sudah kembali melunak. Sadar dan tidak barusan kami memang jadi beradu mulut.
Deg.
Jantungku berdegup aneh (lagi). Tubuhku memanas, aliran darahku semuanya seperti mengalir ke wajah. I’m blushing like hell, damn.
Aku sengaja tak melihat ke arah Levi dan lebih memilih memandang kertas tugas di hadapanku yang baru setengahnya aku isi. Aku tak terpikir kesana. Bukankah Levi pernah bilang kalau dia sudah lama suka padaku, bahkan dia sampai pernah men-stalk ku saat pulang. Tapi sungguh aku memang tidak menyadarinya. Aku selalu terlalu fokus pada permainan setiap kali berada di lapangan. Argh gara-gara si Roby dodol! Besok aku harus memberi tahu semua temanku yang sudah di tipunya.
“Kamu selalu keliatan serius kalo di lapang. Niel. Keren. Coba kamu bisa serius kayak gitu juga kalo lagi kuliah” tambah Levi, agak menyindirku yang memang malah lebih terlihat malas-malasan atau banyak bercanda disaat jam-jam kuliah.
Aku tersenyum kecut menutupi gugup ku.
“Gue kan bukan anak pinter kayak lo” komentarku, agak sinis.
“Emang aku pinter?”
“Iyalah!” sahutku cepat sambil melihat ke arahnya. Dia ternyata sedang memandangku dengan senyuman tipis yang lembut di bibirnya.
Parah, matanya yang besar dan berbinar itu kenapa bagus sekali!? Jujur, aku tak pernah memuji fisik seseorang dengan detil seperti ini. Tapi sejak dekat dengan Levi, aku bisa melihat semua bagian tubuhnya begitu sayang untuk tidak di puji. Meski aku hanya bisa melakukannya di dalam hati.
Ayolah, pasti awkward sekali kalau aku sampai mengatakan dengan frontal padanya, bahwa matanya bagus – senyumnya manis – rambutnya indah...
Gila.
“Kalo gitu, aku gak lebih payah dari Dara dong?” tanyanya pula.
“Kenapa jadi Dara lagi!?” protesku.
“Aku cemburu Niel, liat kamu berduaan sama dia”
Huh?
Debaran di dada ku makin tak karuan. Levi malah dengan tenangnya mengatakan kalau dia cemburu pada Dara. Oh God…
“Ce- cemburu?”
“Iya. Aku tau kalian temen akrab sejak lama, tapi aku mulai ngeliat ada yang beda diantara kalian…” jelas Levi.
“Beda gimana maksud lo? Kita emang dari dulu kayak gitu…” aku mengelak, menutupi gugup ku yang makin menjadi.
“Kamu kan cowok, kamu juga udah beberapa kali pacaran, masa kamu ga bisa peka kalo ada cewek yang suka sama kamu!?”
“Lho? Jadi maksud lo, Dara suka sama gue?”
“Iya!”
Aku menarik nafas dan mengangkat kedua bahu ku.
“Jelas aja… gue kan ganteng, wajar dong!?” sahutku dengan cuek dan pede nya. “Lagian, pasti bukan Dara doang…”
“Aku serius, Niel”
“Aku juga serius, Lev”
Bruk.
Levi menahan tanganku yang sejak tadi malah jadi memainkan pulpen yang sedang aku pegang dengan memutar-mutarkannya di jari. Actually, aku gugup dan begitulah kalau aku sedang menutupi gugup ku.
“Aku punya hak buat ngelarang kamu, kan?” katanya, lebih serius.
“Ngelarang apa?”
“Ngelarang kamu berduaan sama Dara”
“Menurut lo, lo ada hak?” aku menaikkan kedua alis mata ku.
“Ya, karena aku pacar kamu”
“Apa karena lo pacar gue, jadi lo bebas buat ngatur hidup gue? Gak ngebolehin gue bareng-bareng sama temen gue?”
Levi merubah raut muka nya yang tadi sedang menekanku, jadi lebih melunak. Dia juga melepaskan tanganku yang barusan di tahannya diatas meja.
“Maksudku…”
“Cukup. Gue tau maksud lo. Gue jamin seratus persen, gue gak ada apa-apa sama Dara. Gue gak ada feeling sama dia. Dia cuma temen deket gue” aku memotong ucapannya, dan balas menepuk-nepuk tangan Levi untuk meyakinkan dia.
“Tapi kalo dia yang ada feeling sama kamu?”
“So what? Itu hak dia”
“Dia cantik, Niel. Dan aku tau persis kamu masih tertarik sama perempuan, belum lagi kamu masih labil…”
Aku mendecakkan lidahku.
“Gue gak nyangka kalo lo cemburuan” ujarku.
“Aku cemburu karena ada alesan dan bukti yang kuat” sahutnya yakin.
Aku memutarkan bola mata ku.
“Terserah deh. Gue belom ngerjain nih…” aku cepat mengalihkan perhatian lagi pada tugas ku yang belum selesai.
“Nih” Levi tiba-tiba mengeluarkan kertas folio lain yang sudah penuh dan di bagian atasnya sudah diberi nama dengan namaku juga nomer absenku.
Aku memandangnya bingung sambil menerima kertas itu.
“Aku udah bikinin punya kamu” kata Levi datar.
“Hah? Seriusan lo?!” sahutku, kaget.
Levi mengangguk. “Tadi aku masih ngerasa bersalah banget sama kamu, jadi mau minta maaf pake ini, soalnya aku tau kamu pasti males ngerjain tugas” jelasnya.
Mataku berbinar, senang, tapi sekaligus jadi tak enak juga. Levi sampai segitunya memikirkan aku.
“Hm, lo baik banget.Thanks ya” kata ku akhirnya, mencoba tersenyum padanya, malu-malu.
“Thanks aja?” katanya, masih datar.
“Lo mau apa lagi?”
Levi tak menjawab dan malah memandangku lekat. Aku mengernyitkan kening, sampai melihat ke arah bibir tipisnya yang selalu kemerahan dan tampak segar itu. Aku jadi penasaran, apa seumur hidupnya dia belum pernah mencoba menghisap rokok? Ah, tidak penting.
“Aku ngerti…” cetusnya tiba-tiba.
“Hah?”
“Kamu kayaknya cuma berani di tempat gelap”
Anjrit.
. . . . .
“Hati-hati” pesan Levi begitu aku menstarter motor ku.
Aku mengangkat salah satu tanganku sebagai sahutan.
“Makasih ya Lev” kata ku pula, tak lupa berterima kasih lagi untuk tugas ku yang sudah dibuatkan oleh nya.
Levi hanya mengangguk. Aku tak langsung menjalankan motor ku, dan malah jadi terpaku beberapa detik disana. Aku melihat padanya yang masih berdiri di dekat pagar sambil melipatkan kedua tangannya di depan dada.
“Sini” panggilku tiba-tiba. Dia tampak bingung, tapi kemudian mendekat padaku.
“Apa?”
Aku tak menggubris ucapannya dan malah menarik belakang kepalanya agar lebih mendekat – memudahkan aku untuk mengecup keningnya, kilat. Aku cepat memegang lagi stang motorku, meraungkan mesinnya sekali, bertingkah seolah yang barusan itu bukan apa-apa.
“Met malem” kata ku, sebelum membiarkan dia mengatakan apapun. Levi tampak terpana, mata besarnya jadi lebih melebar dengan menggemaskan.
Aku pun segera melajukan motor ku. Dari kaca spion, aku bisa melihat Levi masih berdiri disana, dengan kedua tangannya yang sudah terkulai di samping. Dia tampak shock.
Aku tersenyum sendiri, puas. Rasanya memang menyenangkan memiliki orang yang perhatian pada kita, lalu kita membagi perhatian juga padanya.
~
Sender: Levi
0856xxxxxxxx
td lumayan, tp tetep aja tmpatnya agak gelap. lol.
nice dream
Argh.
Aku masih menggenggam handphone-ku sambil membenamkan wajahku pada bantal. Tak ada yang tahu, kalau senyumanku yang sejak tadi belum hilang, jadi semakin lebar sekarang.
- - - - -
To Be Continued~
feelnya mantap, galau galau galau
mau tapi galau tu si niel
lanjut