It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Suka banget sama cerita ini. Lanjut dong, Baaaang @rieyo626!
Maaf br koment , coz br selesai bc dr awal.
Makasih udh nari gw ke lapak ini. Asli ceritanya bagus pisan euy, semangat!!
- - - - -
[#6 – Positive]
“Fer! Fer! Lempar sini! Gue kosong!” teriakku pada Ferry yang sedang mendribble bola. Aku sudah menunggu di dekat ring untuk bersiap memasukkan bola setelah mendapat operan darinya.
Tapi temanku itu malah melepaskan dribble-nya ketika tiba-tiba Roby menunjuk ke arah luar lapangan, member tau sesuatu.
“Liat cuy, itu Leviandra”
Aku yang baru akan memprotes, tak melanjutkannya karena mendengar nama seseorang yang sudah membuatku berantakan beberapa hari ini. Aku cepat menoleh juga ke arah luar lapangan. Levi memang sedang berjalan melintas disana dari arah parkiran. Dia kembali. Finally.
Aku memang sengaja tak menghubunginya dulu sejak itu. Pertama, karena aku tak mau mengganggunya yang mungkin sedang fokus dengan Tante Mona. Dan kedua, aku akui kalau memang aku agak takut. Aku masih tak punya keberanian, aku masih khawatir kalau kali ini dia akan menolakku. Aku pasti akan semakin hancur.
Buk!
“Shit” kutuk ku begitu terasa hempasan bola ke sisi bahu ku. Tawa Roby dan yang lain terdengar disana.
“Bengong lu. Terpesona liat nona Leviandra ya…” ledek Roby pula.
Ah sumpah, makhluk satu ini memang yang paling menyebalkan diantara semua teman-temanku. Aku bisa paham perasaan Fery yang diledek olehnya. Tapi aku bukan kesal karena disebut sudah terpesona oleh Levi, aku lebih kesal karena dia menimpukkan bola padaku dengan sengaja.
“Sirik aja lu, Rob” gumam ku pula, datar saja sambil keluar dari lapangan. Roby menyahut dengan tawa menyebalkannya lagi. Aku mendekati tas ku dan minum dari botol air mineral ku. Rasanya aku sudah tak berselera untuk main lagi. Aku ingin bertemu dengan Levi.
“Kok udahan?!” teriak Erik.
Aku hanya melambaikan tangan menggunakan handuk kecil ku, beralasan kalau aku sudah cape. Padahal aku masih sanggup main untuk beberapa kali match lagi.
“Gue mau nyari bahan gossip ah, anter yuk Fer?!” ujar Roby yang ternyata ikut-ikutan berhenti main.
“Najis lu!” Fery menimpuk Roby dengan handuk yang dipegangnya.
“Alah lu sok-sokan bilang najis, padahal pengen tau kan gimana kelanjutan nasib Leviandra?!” goda Roby, seperti biasa sambil mencolek-colek temanku itu.
“Hahaha, lu udah belagak kayak emak-emak gossip, Rob” sela Erik, sambil ikut menimpuk Roby dengan handuk.
Seperti biasa, aku tak begitu mau terlibat dengan obrolan aneh mereka. Aku yang sudah selesai minum dan sedikit beristirahat, kemudian berdiri sambil memakai tas punggung ku.
“Gue duluan ya!” kata ku sambil melambaikan tangan pada semuanya. Mereka menyahut dengan meneriakiku, tapi aku tak begitu menggubrisnya.
Aku juga sebenarnya penasaran. Apa Harlan dan William benar sudah membereskan semuanya?
. . . . . .
“Eh Leviandra, masih berani dateng kesini?” sapa Dara, begitu Levi baru akan masuk ke ruang senat. Dara tersenyum, tapi lebih cenderung meledeknya.
“Gue mau ketemu Kak Harlan”
“Mau apa? Mau macem-macem kayak waktu lo macem-macem sama Kak Willi?” tanpa ragu, Dara langsung menyudutkan Levi. Beberapa orang mahasiswa senat yang ada disana, hanya diam memperhatikan mereka, dan Levi tau tampaknya orang-orang ini sudah terpengaruh semuanya. Tatapan mereka padanya memang lain dari sebelum-sebelumnya.
“Nggak, gue ada perlu” jawab Levi, pendek dan tak mau memperpanjang. Rasanya akan sangat tidak keren kalau dia meladeni omongan pedas Dara.
“Hm. Lo kayaknya lebih suka yang tipe-tipe Kak Willi daripada Kak Harlan ya…” Dara masih saja memancing.
Levi menghela nafas dalam-dalam, menenangkan diri.
“Gue gak ada perlu sama lo, sori ya Ra” katanya sambil mencoba melewati cewek itu.
“Lo udah bukan anggota senat, Leviandra” sela seorang cewek yang dari tadi menyimak mereka. “Gak usah masuk-masuk ke kantor lagi, bisa kan?”
“Iya. Kita gak mau di senat ada homo mesum nya” sahut seorang cowok yang lain sambil memasang muka jijik.
Dara tersenyum puas dan makin meledek Levi dengan tatapannya.
“Lo denger sendiri? Mendingan lo gak usah keliaran lagi di sekitar sini. Gak ada lo kemaren itu, kampus kita jadi lebih indah, tau” kata Dara lagi, kekanakan.
Levi menarik nafas dan terus berusaha tenang. Dia tak mau terpancing emosi oleh hal yang tak perlu, macam ini - apalagi menghadapi seorang perempuan, sama sekali tak ada di dalam kamusnya.
“Terserah kalian, gue gak ada urusan sama kalian—“
Plak!
Dara tiba-tiba melayangkan tamparan ke pipi Levi, membuat semua orang disana terkejut. Terutama Levi tentu saja, dia tak menyangka Dara akan sampai berbuat seperti ini padanya.
“Gak usah sok manis lo. Sepinter apapun lo, lo itu tetep gay, gak normal” kata Dara, terdengar datar namun sebenarnya penuh kebencian. “Pergi lo dari sini, gak usah nunjukin lagi muka lo. Kita semua udah muak. Kita gak mau ada orang gak normal di lingkungan kita. Bawa sial, dan ngerusak”
Levi mengernyitkan keningnya. Ia menahan rasa panas di pipi kiri nya yang barusan di tampar Dara, bercampur dengan rasa sakit hati karena hinaan cewek itu. Satu hal yang rasanya semakin Levi pahami, Dara pasti membencinya karena dia dekat dengan Adniel. Cewek memang unpredictable. Mereka bisa saja tetap bersikap baik, walau kenyataannya mereka menyimpan dendam yang luar biasa.
Tanpa banyak bicara, Levi pun akhirnya memilih berbalik pergi. Dia tak mau memperpanjang urusan yang sebenarnya tak perlu ini. Dia lebih baik nanti bicara dengan Harlan atau William, biar mereka yang akan menjelaskan semua pembelaan yang dia punya pada orang-orang itu. Sekarang dia harus sedikit bersabar dengan semua pandangan miring dari orang-orang. Lagipula, sebenarnya dia sudah terbiasa.
Being a gay is not something easy. Tapi daripada dia hanya meratap, dia lebih baik membuktikan pada sekelilingnya, kalau dia bisa menjadi lebih baik daripada mereka.
~
Tubuhku seperti bergetar di dalam karena marah, tapi aku menahannya mati-matian. Kedua tanganku aku kepalkan disamping badanku.
Sial. Berani sekali Dara menampar Levi dan mempermalukannya di depan orang banyak. Aku sungguh tidak mengenali lagi teman dekat ku itu.
Aku segera menghampiri Levi yang sudah berbalik dan bermaksud untuk pergi. Aku menahan dengan memegang kedua bahunya. Dia yang sedang menundukkan kepala tampak terkejut, dan lebih terkejut lagi karena melihatku.
“Niel…” desahnya, pelan. Aku menatap mata besarnya yang sangat aku sukai itu. Tidak menangis, tidak juga berkaca-kaca, namun aku tau rasa sakit yang teramat dalam ada disana. Wajahnya yang merah padam juga menunjukkan kalau dia sekuat hati menahan perasaannya. Perlahan, dia malah mencoba mengulas senyuman di bibirnya, sangat terlihat dipaksakan.
Aku mengulurkan tangan dan menyentuh pipi kirinya yang tadi ditampar Dara, mengusapnya lembut. Senyuman Levi memudar, sekarang dia terlihat agak panik. Dia pasti berharap kalau aku tidak melihat apa yang sudah terjadi.
“Adniel!” Dara memanggilku dari tempatnya, seolah memberi peringatan.
Aku melihat padanya, dan seperti yang aku duga, dia sedang menatapku tajam – ditambah dengan banyak tatapan aneh dari orang-orang di dekatnya. Aku mengalihkan pandanganku ke sisi yang lain. Ternyata lebih banyak lagi yang melihat. Disana juga ada teman-teman basket ku yang memandang tak percaya, melihat aku sedang mengusap pipi Levi.
“Kamu apa-apaan?” bisik Levi sambil menyingkirkan tanganku. Dia juga langsung bermaksud pergi, berpura-pura tak peduli kalau sudah terlanjur banyak orang yang melihat. Tapi aku jelas tak membiarkannya. Aku menarik tangan Levi dan merangkul badannya disampingku.
Levi memandangku jengah dan berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilnya tak pernah bisa berhasil melawanku. Aku membawa dia berjalan kembali ke arah Dara dan kawan-kawannya. Beruntung, ternyata disana sekarang sudah ada Harlan dan William – aku akan membongkar semua yang sudah aku dengar.
“Niel, lo ngapain—“ tangan Dara berusaha menarik lenganku agar tak merangkul Levi, tapi aku cepat menepisnya lebih dulu. Temanku itu tampak shock, aku hanya memberinya tatapan tajam.
“Will, sekarang bisa kan lo bilang sama semua orang disini, kalo apa yang lo sebarin soal Leviandra itu bohong besar” kata ku bicara pada William
Kapten tim basket itu tampak terkejut dan memucat. Harlan juga, tapi dia hanya diam memperhatikan.
“Lu—maksud lu apa?” William tampak mencoba untuk mengelak.
“Gue udah tau semua, kejadian yang sebenernya. Lu gak pernah dilecehin sama Levi kan? Ngaku sekarang Will” ujarku, tetap tenang.
Orang-orang makin mengerubungi kami, dan jadi menunggu kepastian yang sebenarnya. Mereka memandang aku dan William bergantian.
“Gu- gua gak ngerti…”
“Gak usah pura-pura bego!” bentakku akhirnya yang tak bisa menahan lagi kesabaranku. Suasana semakin hening dan mencekam. Aku memang orang yang jarang sekali marah secara frontal seperti ini, tapi jika situasinya sudah sangat membuatku muak, aku tak akan bisa terus diam.
“Sabar Niel…” Harlan pun angkat bicara.
“Kalo gitu lo yang cerita! Jelasin semuanya sama manusia-manusia sok suci yang ada disini. Atau gue harus bongkar semua tentang kebusukan yang udah Dara dan William rencanain?!”
Dengan sengaja aku melirik pada Dara yang sekarang jadi membelalakan matanya dan wajahnya pun memucat seperti William.
“Lo orang yang paling bisa dipercaya dan mau mereka dengerin, Lan. Lo juga gak suka keadaannya kayak gini, bukan? Levi selalu bilang lo itu orang baik, dan gue percaya dengan apa yang Levi bilang” kata ku lagi, kembali melihat pada Harlan.
Levi tampak menundukkan kepalanya di dalam rangkulanku. Entah apa yang dia pikirkan sekarang. Aku hanya ingin dia tau kalau aku masih peduli padanya, aku akan membelanya dengan terang-terangan sekarang, aku sudah tak akan menggubris apa kata orang, jika akhirnya mereka harus tau kami memiliki hubungan seperti ini.
Sungguh, aku hanya ingin membuat orang yang aku sayang bahagia dan tidak disakiti lagi. Selain itu, aku juga baru ingat lagi kalau aku sudah berjanji pada Tante Mona untuk melindungi dan menjaga Levi. Ibunya sudah menitipkan Levi padaku.
“Lu gak ada bukti nuduh gua dan Dara—“ William masih mencoba untuk mendebatku, walau wajah ketakutannya sudah tak bisa ditutupi lagi. Dia pasti memikirkan reputasinya.
“Buktinya ada di kejujuran kalian” sahut ku, datar.
“Kenapa lo ngelibatin gue, Niel? Gue salah apa sama lo? Gue selama ini yang udah care sama lo dan gak mau lo terjerumus gara-gara deket sama dia…” Dara pun menyambung mengungkapkan keberatannya. Wajah cantiknya yang dulu bisa membuatku luluh, sekarang tidak lagi – dia pengkhianat, dan membuatku muak.
“Diem lo, Ra. Gue udah kecewa banget sama lo” cetus ku, berusaha untuk tidak meninggikan suaraku lagi.
Dara tampak semakin terpancing.
“Lo jadi aneh tau, gara-gara deket sama si homo ini!? Gue benci ngeliatnya, Niel. Lo udah gak peduliin gue lagi. Lo juga gak peduliin perasaan gue sama lo!” bekas teman baikku itu malah lebih dulu menaikkan suaranya. Kemarahan yang terus terang jarang sekali aku lihat dari Dara sebelumnya. “Sekarang lo jujur sama gue, siapa sebenarnya dia buat lo?! Kenapa dia jadi lebih penting daripada gue? Atau lo mau sekalian ngaku, lo udah digoda sama dia!? Lo diancam?!”
Perhatian langsung berpindah pada perdebatanku dengan Dara. Semuanya mungkin bisa paham sekarang, kalau Dara memang bermasalah pada Levi. William disini memang hanya orang yang bisa dibilang dimanfaatkan karena kebetulan sangat keberatan sudah disandingkan menjadi kandidat calon ketua senat bersama Levi.
“Levi pacar gue” tanpa banyak berpikir dulu, aku langsung menyahut Dara dengan telak.
Cewek itu terkejut, orang-orang di sekeliling kami dan tentu saja, Levi juga. Dia pasti tak menyangka aku akan mengungkapkan semuanya disini.
“Bohong!” seru Dara, tak mau terima.
Aku malah tersenyum kecut. Aku benar-benar sudah tak peduli. Biar saja teman-temanku sekarang mungkin sedang berkasak-kusuk di belakangku. Orang-orang disini juga mulai memandangku dengan tak percaya, sekaligus aneh.
“Niel, jangan bercanda…” kata Levi yang terlihat semakin tak nyaman, sambil berusaha melepaskan tanganku di pundaknya. Tapi aku malah menarik badannya dengan kedua tanganku, dan memeluknya tanpa ragu. Sebelum Levi sempat berontak lagi, aku cepat menyentuh dagunya agar menghadapku – dan aku… mencium bibirnya.
Suara terkejut di sekelilingku makin terdengar, beberapa kasak-kusuk mulai ramai. Aku tak mau tau bagaimana wajah Dara sekarang.
Go to f-ckin hell you all!
Aku sudah positif jatuh cinta pada Levi, dan aku tak mau kalian menggangguku.
- - - - -
Levi terlihat lebih kurus daripada terakhir aku lihat. Hanya berapa hari aku tidak bertemu dengannya, tapi terasa sudah sangat lama. Aku mengerti kenapa dia bisa seperti itu, keadaan ibunya pasti membuat dia stress – ditambah lagi oleh sikapku yang seperti orang brengsek waktu itu.
“Lo kurusan Lev…” aku membuka percakapan lebih dulu, setelah beberapa saat kami masih terdiam.
Mata ku kembali meliar, memperhatikannya. Dia memang jadi agak kurus, tapi sama sekali tak mengurangi ketampanannya. Dia tetap manis dan membuatku berdebar.
“Oh ya, gimana kabar Tante Mona?” aku bertanya lagi, sebelum dia sempat menyahutku. Aku baru ingat belum menanyakan tentang keadaan ibunya.
“Ibu udah sadar dan baikan” jawab Levi pendek. Dia memainkan jemarinya di atas setir, dan tampak tak mau melihat padaku.
“Oh syukurlah…” gumamku, kemudian mendadak jadi semakin canggung. Aku ingin meminta maaf atas perlakuanku padanya waktu itu. Aku yang sudah memakinya dan tak mau mendengarkannya dulu, sungguh seperti manusia tak beradab.
“Kok kamu bisa tau kalo ibu abis sakit?” Levi memecahkan keheningan, setelah kami malah kembali terdiam.
Aku bergumam lega dalam hati karena ternyata Levi masih mau bicara denganku.
“Iya, gue dikasih tau Bi Mar…” jawabku.
Levi pun akhirnya mau menoleh padaku, untuk pertama kali lagi setelah hampir bermenit-menit kami duduk bersebelahan di dalam mobilnya. Tadi, masalah di senat sudah diselesaikan oleh Harlan yang langsung mengambil inisiatif untuk mengadakan meeting dadakan. Disana Dara dan William pun harus mengakui kebusukan mereka. Daripada mendengarkan lagi semua pembahasan yang sudah membuatku muak itu, aku lebih baik mengajak Levi untuk menyepi disini, membereskan masalah kami berdua.
“Kamu… ke rumah?” pertanyaan Levi, membuyarkan pikiranku.
Aku cepat mengangguk pelan.
“Abis gue marah-marah sama lo, gue malah jadi gak nyenyak tidur, jadi gue nyoba ngecek lo ke rumah dan ternyata kata Bi Mar, lo lagi di Kalimantan karena nyokap lo kecelakaan…” jelasku. “Lo, kenapa gak bilang sama gue sih?!” tanyaku pula.
“Gimana aku mau bilang sama kamu yang udah emosi banget dan terus mojokin aku!?” kata Levi, mengingat lagi kelakuan ku waktu itu.
Aku langsung diam, tak bisa membantah. Aku memang benar-benar brengsek waktu itu, dan aku menyesalinya. Aku jadi ingat nasihat dari Mbak Lidya. Aku harus meminta maaf dan mengungkapkan juga perasaanku. Ini mungkin saatnya.
“Maafin gue, Lev” kata ku, setelah beberapa detik meyakinkan diriku dulu. “Gue udah jahat sama lo. Gue bener-bener brengsek. Gue… gue gak bisa nepatin omongan gue sendiri buat jadi pacar yang baik. Lo emang punya hak buat gak maafin gue Lev, tapi… gue gak mau lo jadi benci sama gue. Lo boleh bales gue dengan cara apapun… but please, jangan benci sama gue”
Untuk pertama kalinya di sepanjang 20 tahun umur hidupku, aku memohon-mohon seperti ini pada seseorang (yang bukan orangtua ku). Orang yang awalnya tidak begitu aku kenal baik dan tak pernah aku duga akan menjadi penting bagiku. Bahkan cewek-cewek yang pernah aku suka di masa lalu pun, tak pernah ada yang sampai membuatku ingin memohon pada mereka. Hanya cowok manis di hadapanku ini yang pertama dan satu-satunya. Hanya Leviandra Hakim.
“Aku gak mungkin benci sama kamu, Niel” kata Levi setelah beberapa saat kami terdiam lagi. Aku baru berharap agar ada sesuatu yang menelanku saja, daripada Levi tak mau menanggapi permintaan maafku.
“Lo maafin gue?”
Levi tersenyum.
“Kamu mungkin emang udah salah, Niel. Tapi kamu gak perlu minta maaf sama aku”
Aku tertegun, dadaku berdebar kencang dengan tidak menyenangkan. Kalimat Levi itu sangat dingin. Ok, ini memang resiko yang harus aku ambil – seperti yang dibilang Mbak Lidya. Aku mungkin tak akan bisa dengan mudah mendapatkan maaf darinya. Wajar, karena aku sudah sangat keterlaluan.
“Terus, apa yang harus gue—“
“Makasih kamu udah bantuin aku tadi” potongnya, sebelum aku ingin bertanya apa yang harus aku lakukan, agar kesalahanku itu bisa aku tebus.
“Itu tugas gue, Lev. Gue udah janji sama Tante Mona mau jagain lo”
Levi tertawa pelan, akhirnya setelah sejak tadi dia hanya berekspresi datar. Senyumannya yang manis itu ternyata masih bisa aku nikmati.
“Ke- kenapa ngetawain gue?” tanyaku pula, tetap gugup meski sudah agak lega.
“Aku gak ngetawain kamu, cuma… yang tadi itu gila, Niel” katanya, sambil menggelengkan kepala.
“Yang mana? Pas gue cium lo depan orang-orang?”
Levi masih tertawa kecil sambil mengusap-usap rambut halusnya.
“Kamu nekat, Niel” ujarnya lagi. “Aku gak pernah nyangka…”
“Gue sendiri juga gak nyangka kalo gue bakal jadi kayak gini, Lev”
Levi berhenti tertawa dan kali ini memandangku dengan serius, karena aku sudah lebih dulu menggunakan nada serius di suara ku. Aku balas memandangnya, mencoba meyakinkannya kalau perkataanku bukanlah sekedar kata-kata saja. Aku akan mengatakannya dari hati ku yang sudah aku gabungkan dengan logika ku serta berdasarkan kesadaranku yang penuh.
Aku sudah positif, jatuh cinta dan menginginkannya. Aku tak mau kehilangan dia.
“Gue sayang sama lo, Lev”
1 detik
2 detik
3 detik
Dan seterusnya…
Selama beberapa detik, kami hanya terus saling memandang. Dia tampak terpana, mungkin masih tak bisa percaya dengan apa yang di dengarnya.
“Gue gak mau kehilangan lo” aku pun menambahi, meski dengan debaran yang semakin tak karuan di dada ku. Cemas setengah mati.
Oh shit, come on Lev, say something! Jangan buat aku merasa jadi orang idiot disini.
Levi mengerjapkan mata, lalu malah memalingkan wajahnya lebih dulu. Dia memandang ke depan, dan jadi memegang setir cukup erat dengan jemari tangannya. Kalau aku tak salah mengartikan, dia sepertinya sedang gugup juga. Apa pernyataanku terlalu luar biasa? Terlalu mengejutkan? Terlalu konyol?
“Lev…”
“Kamu serius, Niel?” tanyanya tiba-tiba, sambil kembali melihat padaku.
“Gue gak pernah seserius ini sebelumnya” sahutku cepat.
Perlahan, senyuman kembali terulas di bibirnya. Senyuman yang selamanya ingin aku lihat dan kalau boleh, ingin aku miliki.
“Aku gak lagi mimpi, kan?” tanyanya lagi.
Daripada menjawabnya, aku pun memilih untuk menarik dia ke dalam dekapanku. Biar dia merasakan langsung, kalau ini nyata, bukan mimpi. Dia terkejut, tapi tak mengelak – lagipula dia memang tak akan pernah menang adu kekuatan denganku. Diam-diam, aku menyentuh pipinya dengan tanganku, untuk mencubitnya.
“Aw!” seru Levi kaget dan berusaha melepaskan dekapanku, tapi tidak aku lepaskan.
Aku tertawa.
“Sakit?” tanyaku pula dengan jailnya, sambil agak merenggangkan dekapanku agar bisa melihat wajahnya.
Dia menatapku sebal sambil mengusapkan pipinya ke pundakku. Aku pun kembali menyentuh pipinya, mengelus pelan tempat yang tadi aku cubit. Kami jadi saling menatap dengan jarak yang lebih dekat. Suasananya mendadak romantis. Kangen yang aku tahan selama beberapa hari ini, sudah tak bisa aku abaikan lagi.
Dengan menggenapkan keberanian, aku mulai mendekatkan lagi wajahku dengannya. Levi ternyata langsung memejamkan matanya, dan itu semakin membuatku tak ragu untuk menciumnya.
Lama kami berciuman, menyalurkan rasa rindu yang sudah kami tahan berhari-hari. Sekaligus menyatukan perasaan kami yang sudah sepenuhnya sama. Dia menyukaiku dan aku juga menyukainya. Tak ada pikiranku untuk sekedar mencoba-coba lagi, tak ada pula rasa penasaran yang ingin aku penuhi.
We’re in love each other… It’s positive.
- - - - -
“Bentar dong, Yang…” aku menarik tangan Levi begitu dia sudah memberikan helm pada ku dan bermaksud pergi lebih dulu.
“Sssh... manggil apa kamu?” Levi langsung memelototiku dengan suara yang mendesis penuh peringatan. Kami sedang di parkiran kampus pagi ini untuk masuk kuliah sekitar satu jam lagi. Tadi, aku memang menjemput Levi di rumahnya agar dia tak usah bawa mobil. Mulai sekarang, tepatnya dari sejak aku sudah menyatakan perasaanku padanya dan sudah tak mau peduli lagi dengan pandangan aneh orang-orang di kampus, aku memutuskan supaya aku dan dia selalu membiasakan untuk berangkat dan pulang kuliah bersama.
“Kenapa sih? Suka-suka gue ah mau manggil apa…” aku malah balik protes dengan cueknya.
“Ini tempat umum, Niel” Levi mendesis lagi sambil menengokkan kepalanya kesana-kemari. Beberapa orang tampak tertangkap sedang memperhatikan kami, tapi begitu aku melihat balik pada mereka, semuanya langsung berpura-pura bego. Huh.
“So what!?” sekali lagi aku menyahut dengan cuek. Aku memegang tangan Levi, menyatukan jemari kita dalam satu genggaman. Dia mencoba melepaskan diri, tapi aku tak membiarkannya. Jadinya, sepanjang perjalanan dari tempat parkir menuju fakultas, kami berpegangan tangan seperti pasangan kekasih yang tak boleh dipisahkan. Well, like I care
“Niel!”
Sebuah suara familiar yang memanggilku, harus membuatku menoleh. Rupanya teman-teman tim ku yang sedang berkumpul di depan ruang ganti. Tanpa meminta persetujuan Levi dulu, aku langsung menariknya menuju teman-temanku.
Lagi-lagi, Levi berusaha melepaskan pegangan tanganku, tapi aku tak mempedulikannya.
“Udah pada disini aja pagi-pagi” aku menyapa teman-temanku.
Mereka tampak kikuk karena aku masih berpegangan tangan di depan mereka. Ini memang pertama kalinya aku menunjukkan kemesraan sejauh ini dengan Levi di hadapan mereka, walau sebenarnya mereka sudah mulai terbiasa dengan keadaanku dan Levi yang berpacaran – tapi mungkin gestur seperti ini masih belum bisa mereka terima secara cepat. Karena itu, demi menghormati situasi, aku pun dengan berat hati melepaskan tangan Levi.
“Kita ada match tadi, tapi bentar” jawab Erik.
“Ah parah, pada gak ajak gue” kata ku berpura-pura ngambek.
“Lu kan biasa jemput Leviandra kalo pagi-pagi ada kuliah, mana sempet maen dulu sama kita” sahut Fery sambil tersenyum-senyum jail.
Roby yang biasanya menjadi biang gossip, blak-blakan dan yang paling bawel diantara kami, entah kenapa kalau ada Levi dan aku disini – pasti mendadak alim. Dia akan pura-pura sibuk sendiri, memainkan handphone dan sebagainya. Aku tidak tau, apa dia malas melihatku dan Levi atau dia takut salah bicara kalau terlalu bawel seperti biasanya. Aku bisa menduga, diantara teman-temanku ini, dia pasti yang paling kaget waktu dulu aku membongkar semuanya. Karena kadang, walau dia agak kasar, aku tetap tau, dia adalah tipe orang yang setia kawan. Dia pasti tak mau menyakiti hati temannya dengan sengaja.
“Gue ke kelas duluan ya, Niel. Janji mau bagi tugas sama anak-anak” Levi tiba-tiba menyela obrolanku dengan teman-temanku.
“Hah? Mau pada nyontek ya? Kamu bilang dong sama mereka, jangan terlalu sering nyontek gitu, gak bagus” ujarku, songong. “Nanti gue kasih tau mereka deh”
“Halah, kayak lu sendiri gak raja nyontek aja!” serang Erik, menyahut kata-kataku.
“Iya nih, sendirinya juga nyontek sama gue” sambut Levi.
“Lha Yang, kamu belain gue napa!?” protesku pada pacarku itu. Panggilan ‘sayang’ yang belakangan ini suka sekali aku pakai, meluncur begitu saja dari mulutku, membuat Levi kembali melotot – dan teman-temanku, langsung terlihat salah tingkah.
“Udah ah, gue mau ke kelas!” Levi menyudahi, dia berpamitan sekenanya pada teman-temanku, sebelum melihat lagi padaku dan memberi isyarat dengan kedipan matanya untuk berpamitan.
Iseng, aku membalas dengan membuat ekspresi mencium dari jarak jauh. Levi langsung tak menggubris dan cepat-cepat berlalu.
“Anjis, najong lu ah!” Fery langsung menimpuk perutku dengan bola basket yang sejak tadi dipegangnya. Dia melihat apa yang aku lakukan barusan. Aku dengan tenangnya tertawa dan mengambil bola basket yang tadi agak menggelinding.
“Ehem, Fery cemburu nih!” sambung Roby tiba-tiba yang mendapat celah untuk meledek Fery.
“Hahahaha” Erik tertawa saja melihat Roby yang dijitak habis-habisan oleh Fery.
“Parah lu, gue kan gak enak sama Niel” ujar Fery, yang tumben meladeni ledekannya Roby.
“Ciye. Niel hati-hati nih kutu satu, ntar ngerebut cowok lu!” kata Roby.
“Berani? Sini hadepin gue dulu!” ujarku sambil menggulung lengan kemeja yang aku pakai, berpura-pura serius ingin membuat perhitungan.
“Aduh, ampun bang…” Fery langsung berakting seolah menyerah padaku.
Tawa teman-temanku yang lain pun semakin ramai… dan kali ini aku ikut tertawa lagi dengan mereka.
Rasanya beruntung sekali karena teman-temanku ini tak ada yang berubah padaku. Aku mungkin tak akan pernah tau dengan apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentang aku sekarang. Tapi aku cukup melihat dari luar dengan positif. Mereka tak berubah, cara mereka berteman denganku, masih sama. Aku mau mempercayai satu hal saja mulai sekarang, jika aku tak berpikir yang tidak-tidak pada mereka – maka mereka juga tak memiliki niat yang tidak-tidak padaku.
Think positive then you’ll get positive thing.
= = = = =
V
V
Aku pengen punya sahabat.
panggil para penonton
@dirpra @eunsu @revian97 @Andri123 @4ndh0 zea.mays rulli arto @FendyAdjie_ @Adam08 @andreaboyz @jakasembung @05nov1991
suka kalimat ini.
btw, adniel nekad juga, come out langsung di depan senat kampus. @rieyo626 emang lo udah came out yah?
keren dh klo misal bisa secuek itu dilingkungan kita
seru adnielnya jd lbh brani terang2an drpd levi..as always levinya cute
@bi_ngung thanks udh manggil dr td nungguin ni..
lanjut2
pengen tahu cerita herlan-william-gilang