It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@05nov1991 iya gpp, big thx anyway udh mw bantu promosi hehe, gratis kan ya?
well its not good enough, tp makasih udh pd mw baca & support. saya usahain update cepet. see ya
ingin berbagi apa yang aku rasain aja sama member2 laen. hehehe..
gemes sama adniel nya..
haha, ga usah buru-buru. mereka masi butuh waktu
makasih banyak. mohon feedback nya trus ya
thank u so much. sip, saya coba buat slalu update cepet
pasti tamat, hehe.
hehe, trims juga.
sip
hahaha, iya kah? pdhl ga ada apa2nya ini makasih banyak!
@05nov1991 hehehe, jadi seneng. makasih lagi ya! salam dari adniel
[#5 – Chaos]
Brak!
Bunyi pintu locker yang dihempaskan, membuat kami agak berhenti mengobrol, lalu nyaris bersamaan menoleh pada sumber suara. Barusan William yang sudah menutup pintu lockernya seperti itu, sebelum kemudian menatap tajam pada Harlan.
“Yang bener aja?!” serunya, tampak kesal.
Aku dan teman-temanku saling melirik, lalu kembali melanjutkan apa yang sedang kami lakukan, berpura-pura seolah kami tak sedang menguping.
“Sorry, Will” kata Harlan, tetap tenang mengganti kaos basket dengan kemejanya, ia tampak tak terpengaruh dengan kekesalan William.
“Tapi Lan, gua harus bersaing sama homo? Itu konyol!”
Aku menghentikan sebentar tanganku yang sedang melepas sepatu basket ku begitu mendengar sebuah kata yang disebut oleh William. Ok, itu pasti ada hubungannya dengan Levi, tapi masalah apa?
“Will, jangan kayak bocah, ok?” kata Harlan akhirnya sambil balas memandang teman nya itu.
“Pokoknya gua gak mau tau. Gua mending gak usah jadi calon ketua senat kalo harus saingan sama dia… tapi, dia juga gak boleh jadi ketua senat, never!” sahut William keras kepala. Dengan angkuhnya dia juga berkacak pinggang.
Well, sebenarnya dia kapten tim basket yang keren, dia juga orang yang cukup ramah karena dia mudah bergaul, tapi aku tak tau kalau dia bisa berubah jadi orang yang nampak arogan ketika dihadapkan dengan urusan senat.
Harlan mendecak pelan.
“Apa yang salah dengan Leviandra? Karena dia gay? Come on Will, dia juga manusia, dan semua orang tau kalo selama ini dia udah sering bikin bangga kampus kita, apa lagi?! He’s better”
William semakin mengernyitkan keningnya.
“Itu artinya, gua gak akan menang dari dia?!”
“Itu gimana voting dari anak-anak”
“Anjis” gerutu William, semakin kalut. “Gua gak mau, Lan, gua serius!”
Harlan menggelengkan kepalanya, masih tetap tenang.
“Lu yang optimis dong. Tenang aja, anak-anak di kelas udah pasti dukung lu” katanya pula sambil menepuk pundak William dan berjalan melewatinya.
William terus menatap temannya itu dengan tatapan keberatan.
“Nah, lu juga bisa minta dukungan dari anak-anak sini. Mereka pasti mau dukung kapten nya jadi ketua senat, iya kan?!” tambah Harlan, jadi bicara pada kami.
Kami melihat ke arahnya sambil mengiyakan saja, tapi William masih tampak tetap pada pendiriannya. Dia kembali mengikuti Harlan keluar dari ruang ganti sambil terus mengkonfrontasi nya.
Aku dan teman-temanku saling melirik lagi.
“William jadi ketua senat pasti gak susah, dia punya banyak fans” komentar Fery yang membuka suara lebih dulu.
“Iya sih, tapi saingannya tadi dia bilang, si homo?” sambung Roby, yang seperti biasa selalu memakai panggilan yang tidak mengenakkan ketika menyebut nama Levi, meski dia memelankan suaranya.
“Leviandra? Gak heran gue…” sahut Fery lagi.
“Ciye Fery…” goda Roby tiba-tiba sambil mencolek Fery yang langsung ditepis oleh temanku itu.
“Ciye – ciye jidat lu!” gerutu Fery pula, tapi Roby terus asik menggodainya sampai mereka agak terlibat perkelahian kecil.
“Heh udah deh, lu berdua, disini tuh ada hal yang lebih penting yang harus kita analisa” sela Erik, sambil duduk diantara Fery dan Roby, untuk menghentikan dua anak itu berhenti saling menonjok.
“Apaan Rik?” aku yang bertanya lebih dulu.
“Kalian denger baik-baik, kenapa Harlan bersikeras banget pengen jadiin Levi calon kandidat ketua senat, dan kenapa gak langsung nunjuk William aja yang jelas-jelas temen deketnya…?” kata Erik, sambil agak berbisik-bisik.
“Yah aturannya kan gak bisa gitu, Rik. Harus melalui voting dari mahasiswa lain” sambar Fery.
“Iya, tapi lu pada liat gak gimana tadi Harlan ngebelain banget Leviandra?!”
“Maksud lo apa deh?” sela ku, nyaris tak sabar.
“Gue rasa, Harlan ada apa-apa sama Leviandra…”
“Hah? Maksud lu, Harlan juga homo?!” cetus Roby, tanpa banyak berpikir panjang.
Erik menggelengkan kepalanya.
“Belum tentu. Tapi maksud gue, dia mungkin sama Leviandra… ehm… ngertilah lu pada” dengan agak ragu Erik menjelaskan. Analisanya jadi lebih terdengar seperti gossip menurutku. Beruntung sudah tak begitu banyak orang di ruang ganti ini.
“Hah? Masa sih?!” sahut Fery, nyaris berseru.
“Ah masuk akal… homo dimana-mana kan emang gitu, bebas…” sambung Roby.
Aku langsung menarik alisku dan mulai mendapatkan sinyal tak nyaman dengan obrolan mereka.
“Iya kan? Itu maksud gue…” kata Erik.
“Tapi, Leviandra kan pinter, anak baik-baik, masa iya dia bisa sampe kayak gitu cuma demi dapet jabatan di senat…” Fery masih tampak tak mau cepat percaya.
“Yah elu. Gay is gay. Naluri nya pasti gak akan bisa di tahan” Roby mencoba mempengaruhinya.
“Iya sih, tapi—“
“Alah, gue tau. Lu kan demen sama Leviandra, iya kan?!” Roby kembali menggoda Fery, yang dibalas dengan jitakan di kepalanya.
Erik hanya tertawa melihatnya. Sedangkan aku terdiam, memikirkan lagi pembicaraan mereka barusan yang memang tidak enak di dengar tapi nyaris tak aku pikirkan sebelumnya.
Pendapat mengenai gay kebanyakan memang tidak menyenangkan. Lalu tentang kebebasannya yang konon katanya lebih bebas dibanding pasangan hetero, sudah terlanjur dicap seperti itu oleh semua orang.
Padahal, benar kata Fery tadi; Levi itu anak pinter, dari keluarga baik-baik juga – sudah pasti tak akan mudah terjerumus pada urusan yang tak perlu. Jadi harusnya sebuah perilaku memang tak bisa disama ratakan, karena semua itu tergantung pada pribadi manusianya masing-masing.
Tapi ya, seperti yang Roby bilang juga; Gay is gay. Naluri, nafsu, dan logika, bisa aja ada kalanya tidak seimbang. Lalu aku pun jadi terpikir, apa saja yang sudah dilakukan Levi ketika dia masih berpacaran dengan laki-laki lain sebelum aku? Aku sungguh nyaris tak pernah memikirkannya, apalagi berniat menanyakannya.
Levi sangat manis dan baik, dia tak mungkin sudah pernah sebebas itu, bukan? Geez, aku mendadak jadi gelisah begini.
Teman-temanku rupanya masih dengan pembicaraan tadi, malah aku dengar mereka mulai menjadikannya sebagai bahan lelucon. Aku mulai gerah, hingga setelah selesai membereskan semua barang-barangku, aku pun berlalu pergi sambil berpamitan sekenanya pada mereka.
. . . . .
“Ya?” sapaan Levi di telepon baru terdengar setelah 2 kali aku mencoba menghubungi handphone nya. Ini pertama kalinya lagi aku menelepon dia setelah hampir selama 3 hari kami tidak mengobrol, tidak sms-an, bahkan nyaris tak sempat untuk bertatap muka juga. Levi hanya ke kelas untuk mengumpulkan tugas dari dosen, dan setelah itu dia akan izin untuk mengikuti rapat senat.
“Dimana lo?” tanya ku tanpa banyak basa-basi.
“Di kantor senat”
Aku mendecak pelan.
“Sibuk?”
“Lumayan”
“Udah makan?”
“Udah barusan, kamu?”
“Nggak”
“Kenapa?”
“Gue tadinya mau ngajak lo makan bareng, tapi ya udah, gue pulang aja”
“Oh, iya maaf, urusan senat nih lagi ribet-ribetnya. Kamu mending pulang aja duluan, makan di rumah lebih bagus” ujar Levi.
“Iya” jawabku pendek, agak sebal di dalam hati.
“Kalo gitu, aku tutup ya Niel, udah mulai rapat lagi”
“Eh—“
“Dah”
Klik.
Dan nada telepon yang diputus pun terdengar. Aku menghela nafas, juga menggerutu sambil memasukkan handphone ke dalam saku celana ku. Punya pacar yang sibuk itu sangat menjengkelkan. Aku pun terpaksa menuju parkiran, pulang sendirian lagi hari ini.
- - - - -
Sebenarnya, berada diantara para mahasiswa senat, bukan sesuatu yang nyaman bagi Levi. Tapi karena dia merasa sudah dipilih untuk berada disana, dia jadi bisa mencoba untuk menikmatinya saja.
Semua orang disana memang baik padanya, namun, kadang suka ada terbersit sedikit pikiran kalau mereka tidak sebaik itu. Levi sadar kalau dia tak boleh berpikiran negatif, jadi dia pun mati-matian meredamnya, dan tak mau tahu jika pun memang di belakangnya orang-orang ini bertingkah sebaliknya. Dia disana hanya untuk membuktikan bahwa dirinya memang tidak salah sudah dipilih, dia ingin menunjukkan rasa tanggung jawab yang dimilikinya, dan dia adalah yang terbaik.
“Leviandra, gue percaya sama lu, kalo lu bisa bawa senat mahasiswa kita jadi lebih baik” Harlan mengungkapkannya lagi pada Levi ketika tak sengaja mereka duduk berdekatan, setelah rapat selesai.
“Makasih Kak” sahut Levi. “Tapi gue yakin masih ada yang lebih bagus, kayak Kak William”
Levi melirik pada William yang duduk agak di seberang ditemani oleh Dara. Di senat, setau Levi, mereka memang berteman baik. Mungkin karena Dara juga berteman baik dengan Adniel yang adalah anak buahnya William di tim.
“Ya, lu sama dia kandidatnya”
Levi segera melihat pada Harlan.
“Wah, gue jelas bakal kalah telak”
“Di coba aja dulu, Lev. Yang gue tau, pendukung lu juga banyak. Kalian harus fair-play, lu gak usah minder duluan” kata Harlan sambil menepuk pundak Levi dan mengusapnya pelan.
Levi kembali melihat pada kakak tingkatnya itu, dan mata mereka bertemu. Ada yang aneh. Levi tak mau cepat yakin, tapi perhatian dan tatapan semacam ini – menurut pengalamannya selama bertahun-tahun yang sudah menjadi seorang gay, jelas Harlan bukan laki-laki ‘straight’ biasa. Dia sungguh baru menyadarinya.
“O- ok Kak, gue coba” kata Levi akhirnya sambil tersenyum dan agak menggerakkan badannya dengan wajar untuk melepas tangan Harlan di pundaknya.
“Good” Harlan membalasa senyumannya dengan lembut. Levi mengalihkan wajahnya, ada perasaan tak nyaman yang mengganggunya – mungkin karena dia sedang tidak single, jadi dia tak bisa menikmati perhatian semacam ini dari orang lain dan terlebih dia juga kaget, tak menyangka salah satu orang penting di kampusnya, ternyata ada kemungkinan sama dengan dirinya. Selama ini dia juga memang menemukan beberapa orang mahasiswa yang berpotensi, atau juga sudah gay (namun tak come out) di kampusnya ini, tapi dari salah satu orang penting seperti Harlan – dia tak pernah menyangkanya.
Mata Levi bertubrukan dengan mata William yang ternyata sedang mengamati mereka. Astaga. Tatapannya membuat tubuh Levi merinding. Bukan karena itu tatapan dari seorang cowok ganteng, tapi Levi bisa merasakan – aura negatif dari William. Levi cepat menundukkan kepalanya. Dia tak mau berpikiran yang buruk, namun tampaknya William jelas ingin menunjukkan rasa tak sukanya.
Apa itu karena mereka bersaing sekarang?
- - - - -
Sebuah Honda Jazz berwarna silver berhenti agak sedikit di depanku yang sedang bersandar pada salah satu tembok di pinggir pagar rumah Levi.
Levi keluar dari mobil, bermaksud membuka pagar, tapi langsung terkejut begitu melihatku.
“Astaga, Niel!?” katanya nyaris berseru. Rupanya dia memang tidak menyadari ada aku, aku rasa dia pasti sedang banyak berpikir.
Aku hanya mengangkat salah satu tanganku sebagai sapaan.
“Kok di sini? Gak masuk? Kan ada Bi Mar di dalem” kata Levi lagi.
“Ngga apa, gue baru nyampe kok” ujarku, yang padahal sudah menunggu disana hampir setengah jam yang lalu. Aku memang sengaja. Jujur saja, di rumah aku malah tidak tenang. Daripada menjadi bulan-bulanan ke-sok tauan Mbak Lidya, aku mending cepat-cepat ke rumah Levi.
“Oh, ya udah, masuk yuk!” ajak Levi pula sambil membuka pagar rumahnya dengan lebih lebar untuk memasukkan mobil ke dalam garasi.
~
Levi membawakan dua buah gelas dan sebotol air jus ke dalam kamar, setelah aku lebih dulu berada disana. Aku sedang asik mengamati piala-piala dan piagam yang berjejalan di lemari belajarnya.
“Minum, Niel?” tawarnya sambil menuangkan jus jeruk ke dalam masing-masing gelas. "Oh ya kok gak bilang dulu, kalo mau kesini?” katanya lagi begitu menyerahkan satu buah gelas untuk ku.
“Gak boleh?” aku malah balik bertanya.
“Bukan. Siapa tau, aku malah nginep di kampus”
Aku mengernyitkan kening, antara menahan asam dari minuman dan juga mendengar ucapannya.
“Emang rapat kayak gitu doang bisa sampe nginep?”
Levi mengangguk sambil menghabiskan jus di dalam gelasnya.
“Mau ada pergantian ketua senat” kata dia akhirnya setelah menyimpan gelas kosongnya di lantai.
Aku menghela nafas, jadi teringat dengan pembicaraan di ruang ganti tadi siang. Aku ikut duduk di lantai dengannya dan menyimpan juga gelasku yang masih tersisa jus setengahnya.
“Lo… jadi kandidat calon ya?” tanyaku dengan agak hati-hati.
Levi tampak membinarkan mata besarnya.
“Kamu tau?”
Aku mengangguk pelan.
“Tadi denger obrolan William sama Harlan” ungkapku jujur, namun tentu saja tak akan menjelaskan semua yang aku dengar.
“Oh iya… Kak Harlan yang minta aku supaya maju” sahut Levi. Dia menyandarkan punggungnya ke sisi tempat tidur sambil mendesah pelan. Tangannya menyingkirkan ke pinggir rambut yang berjatuhan di keningnya.
“Lo males ya?” tebakku.
“Jujur iya, Niel” jawabnya sambil melihat ke arahku dan tersenyum. “Aku sebenernya pengen fokus aja ngejalanin kuliahku tanpa terganggu urusan laen, tapi ternyata gak bisa gitu juga”
“Lo bisa keluar dari senat, kan?”
“Bisa, tapi aku bakal dianggap orang yang gak mampu dan gak bisa dikasih tanggung jawab”
Aku menaikkan sebelah alisku, lalu tersenyum kecut.
“Tapi itu kan hak lo buat nolak dan hak mereka juga buat berpikiran apapun, yang penting lo sukses beresin kuliah lo, iya kan?!”
Levi menggelengkan kepalanya.
“Aku harap aku bisa mikir kayak gitu” desahnya.
“Kenapa mesti lo bikin ribet?!”
“Gak semudah yang kamu lihat, Niel…”
Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, lalu ikut menyandar ke sisi tempat tidurnya. Kita memandang lurus ke arah televise Levi yang tersimpan di depan sana namun tidak dinyalakan.
“Mereka udah percaya sama aku, mereka udah nyimpen keyakinan sama aku, gimana bisa aku gak bertanggung jawab buat semua keyakinan yang mereka kasih?” kata Levi lagi, panjang lebar.
Aku membenarkan dalam hati, mungkin memang tidak semudah yang aku lihat dan aku pikirkan. Mendapat kepercayaan dari beberapa orang yang akhirnya menjadi sebuah harapan, tentu bukan hal mudah untuk mengabaikannya begitu saja.
“Ya udah, gue pasti dukung lo” kata ku, agak pelan.
Levi melirikku, aku balas melihat ke arahnya – dia tersenyum lebih lembut daripada sebelumnya. Aku tak membalas senyuman itu, hanya terus memandangi wajahnya.
“Thanks ya. Kak Harlan bilang, dia sama temen-temennya pasti dukung, tapi buat aku dukungan dari kamu yang paling penting”
Aku jadi agak terpaku begitu dia menyebut nama wakil kapten tim ku. Aku malah teringat obrolan bodoh dengan teman-temanku tadi siang. Tentang Harlan dan Levi… apa mungkin?
“Lo akrab ya sama Harlan?” tanya ku akhirnya, tak bisa menahan rasa penasaran yang tak jelas ini.
“Hm, dari sejak masuk senat aja”
“Dia baik banget sama lo?”
Levi mengangguk dengan agak bersemangat.
“Baiiik banget. Dia selalu ngajarin aku apapun yang misalnya aku gak ngerti”
Anjrit, mulai nih hawa-hawa panas yang tidak menyenangkan bermunculan di sekitar badanku. Belakangan, aku memang sering seperti ini, apalagi kalau mendengar Levi menceritakan tentang orang lain dengan cara bercerita yang menurutku terlalu berlebihan.
Fine! I admit it. Aku cemburu, puas?!
Aku menarik dan menghembuskan nafasku untuk menenangkan diri.
“Dia… gak suka sama lo, kan?”
“Hah?!” Levi tampak terkejut dengan pertanyaanku yang menembaknya dengan tiba-tiba. Dan terus terang, aku agak tak suka melihat wajah paniknya sekarang, seolah-olah aku baru menangkap basah sesuatu.
“Kalo kamu maksud suka yang lain…. Aku rasa gak mungkin. Dia straight kan? Kamu pasti lebih paham gimana dia” kata Levi seperti ingin cepat mengklarifikasi.
“Heh, gue juga straight… dulu” kata ku cuek sambil meminum lagi sisa jus di dalam gelas ku. “Jadi, gak tertutup kemungkinan kalo Harlan juga bisa ngerubah orientasi dia karena suka sama lo, iya kan?” aku membuat analisa seenaknya.
Levi tampak masih agak tegang sampai kemudian dia mengulas senyuman, lalu mendekatkan duduknya denganku. Dengan sengaja, dia menyandarkan kepalanya ke bahuku, tapi masih sambil menatapku.
“So, kamu juga sekarang udah mulai suka sama aku, Niel?”
Aku merasakan hembusan nafasnya mengenai sebagian rahang dan leherku. Hangat, sehangat wajah ku yang pasti sudah memerah. Shit. Ini anak malah mengalihkan pembicaraan!
“Gue gak ngomongin kita, ok?” sahutku, dingin sambil balas menatapnya tajam kemudian cepat mengalihkan lagi mata ku kemanapun, asal jangan ke mata besar yang sedang memandangku dengan imut itu.
“Aku kangen sama kamu, Niel” bisik Levi tiba-tiba sambil mengulurkan tangannya dan memelukku. Dia semakin membenamkan wajahnya dipundakku, sampai mengenai leherku. “Kayaknya udah lama ya aku gak peluk kamu…”
F-ck.
F-ck.
F-ck.
Kata-kata kasar malah memenuhi benakku sekarang, sementara tubuhku seperti membeku dengan norak nya. It’s not our first intimate body contact, for godsake!
Tapi aku lagi-lagi bagaikan seorang amatiran, mungkin aku lebih baik jika otakku sedang error ketika seperti di malam Minggu kemarin.
Sekarang aku tergugah sekali dengan kata-kata ‘kangen’ nya. Kalau saja dia tau bagaimana aku sangat ingin pulang bersama lagi dan makan bersama lagi dengannya dari sejak beberapa hari yang lalu. Screw his senat activity things!
“Niel…” bisik Levi lagi, seperti memanggilku, tapi aku malah tak bisa menengokkan wajahku, apalagi perlahan aku merasakan sentuhan bibir Levi di sekitar rahang kananku. Mampus gue.
Levi menyentuh pipi kiri ku dan membuatku menengok ke arahnya. Dia langsung membuat bibir kami bertemu. Dia menciumku lembut. Aku masih membuka mata sementara dia sudah terpejam dan mulai melumat bibirku.
Aku tak bisa bertahan lama-lama, aku pun jadi memejamkan mata dan membalas ciumannya. Ciuman kami yang ke… ah aku lupa.
Drrrtt
Drrrtt
Sebuah getaran yang mengganggu, terasa samar mengenai selangkanganku. Sial, bisa fatal ini. Reflek, aku pun melepaskan ciuman kami, padahal aku baru menemukan angle yang pas ketika tadi lidahku sedikit bergulat dengan lidahnya.
“Apaan sih!?” tanya ku dengan nafas yang agak terengah. Aku nyaris berpikir kalau jangan-jangan getaran itu hanya halusinasi yang aku rasa gara-gara ciuman kami yang lebih memanas.
“Oh hape ku…” jawab Levi sambil menormalkan nafasnya juga. Ia mengeluarkan handphone-nya dari dalam saku celananya. Pantas saja tadi getarannya mengenai ku, karena paha Levi agak naik ke paha ku begitu kami mulai merapat.
“Hallo? Kak Harlan?” sapa Levi begitu dia menyimpan handphone di telinganya.
Cih, ternyata Harlan yang sudah mengganggu!
Tanpa melihat padaku dulu, Levi segera berdiri dan berjalan ke arah jendela kamarnya yang agak di pojok ruangan, seolah tak mau aku menguping pembicaraannya. Aku mengamati dia diam-diam dari tempatku. Dia tersenyum dan tertawa-tawa seperti itu, membuatku penasaran apa yang sedang mereka bicarakan. Apa membahas tentang senat bisa begitu lucu?
Aku mengerjapkan mata, lalu membalik badanku, kembali bersandar pada ujung tempat tidur Levi. Aku menuang jus dari botol dan meminumnya dengan agak brutal, lalu menarik nafas ku dalam-dalam. Aku harus tenang, meski rasanya aku malah jadi semakin ingin curiga – dan obrolan tadi siang di ruang ganti pun menghantuiku.
- - - - -
Blam.
Suara pintu yang dibuka dan ditutup lagi membuat Levi agak tersentak dari kantuknya. Cowok manis itu terpaksa membuka matanya lagi, dan cepat melihat ke arah pintu. Ada William disana, masih dengan pakaian basketnya juga sedikit peluh di wajah dan badannya. Basah dan seksi.
Levi duduk dengan benar di kursinya sambil mengucek sebentar kedua matanya yang memang sudah terasa berat. Cowok ganteng yang berbadan tinggi besar itu menghampiri Levi dengan senyuman lelah di wajahnya.
“Sori, gua bangunin lu?” sapa William sambil menarik salah satu kursi disana dan duduk disamping Levi. Dia mengambil handuk di salah satu bahunya dan mengusapkan ke wajah juga lehernya. Wangi maskulin menyebar, membuat Levi jadi tak enak duduk disana.
Levi melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, pukul 10 tepat. Dia lalu mengedarkan pandangannya juga ke sekeliling ruang kantor senat yang masih sepi sejak tadi sore. Harlan bilang, semua anggota senat memang akan lembur malam ini, tapi ternyata Levi masih sendirian dan malah William yang lebih dulu muncul. Aduh, Levi bukannya tak mau, hanya saja sejak dia menangkap tatapan William waktu itu, dia merasa tak akan bisa berbasa-basi dengan kakak tingkatnya yang satu ini.
“Yang laen mana?” tanya William lagi, masih sambil mengusapkan handuk ke rambut ikalnya yang agak basah karena keringat.
“Belum dateng” jawab Levi singkat sambil melirik cowok itu sekilas. Dia mencium lagi wangi-wangian maskulin bercampur keringat. Seksi. Dan rasanya wangi ini lebih dewasa dari wangi Adniel. Astaga, kenapa dia jadi membandingkan William dengan pacarnya?
“Oh. Jadi lu sendirian dari tadi?” William masih bertanya dan sudah berhenti mengelapi keringat di kepalanya. Dia sekarang jadi lebih memandang Levi.
“Iya”
“Gak takut?”
“Takut apa?”
William tertawa kecil. Levi jadi memberanikan diri untuk lebih lama melihat pada cowok ganteng itu. Rasanya baru kali ini dia melihat wajah tersenyum William dari jarak begini dekat.
“Gua pikir lu anaknya penakut” komentar William masih sambil tersenyum. Perlahan dia merentangkan kedua tangannya, untuk sedikit melakukan stretching dan satu tangannya dengan sengaja dia simpan di belakang punggung Levi, pura-pura memegang sandaran kursi yang di duduki Levi.
“Lo baru selesai latihan, Kak?” tanya Levi berusaha menutupi kegugupannya dengan bertingkah sok akrab saja. Biasanya juga dia memang bisa cepat kenal dengan siapapun, entah kenapa dia harus takut pada cowok satu ini.
“Iya. Gua sengaja maen agak malem, biar bisa langsung kesini”
“Satu tim?” Levi jadi teringat Adniel yang memang belum berkomunikasi lagi dengannya dari sejak terakhir kali pacarnya datang ke rumah. Levi memang merasa tak enak, tapi bagaimana lagi, urusannya sedang padat sekarang. Dia hanya bisa membalas sms dan menelepon Adniel seperlunya untuk sementara.
“Nggak, cuma sebagian anak-anak aja. Si Harlan kan malah balik”
Levi mengangguk pelan. Dia ingin sekali menanyakan soal Adniel, tapi takut jadi aneh. Lebih baik nanti saja dia sms pacarnya itu.
“Lu tau kan kalo kita jadi kandidat calon ketua?” tanya William.
“Iya, Kak”
“Kita fair-play ya? Tapi mungkin anak-anak bakal lebih milih lu”
Levi melihat pada cowok itu lagi sambil menggelengkan kepalanya.
“Gak mungkin. Pendukung Kakak tuh jauh lebih banyak”
William tertawa.
“Gua mungkin populer karena gua kapten tim basket, tapi gua masih kalah pinter dibanding elu, Lev” katanya, terdengar tulus. Mata seksinya memandang Levi dengan lembut. Levi kembali merasakan merinding, namun lebih baik daripada yang waktu itu. Jujur saja, sekarang dia merasa… ge-er.
“Ah nggak lah Kak…” gumam Levi sambil cepat mengalihkan pandangannya atau dia akan meleleh disana. Dia berkali-kali mengingatkan dirinya untuk lebih tenang, jangan sampai nalurinya yang berpikir sekarang. Dia harus terus menjalankan akal sehatnya. Ingat Adniel. Ingat Adniel.
“Lu udah punya pacar, Lev?”
Deg. Pikiran Levi pun perlahan membuyar gara-gara pertanyaan William.
“A- ada” jawab Levi agak ragu, tapi dia memang tak mau berbohong.
“Oh… cowok kan?”
Levi melihat pada William lagi hingga mata mereka bertabrakan.
“Eh sori, gua gak maksud—“
“Nggak apa-apa, Kak. Iya, Kakak kan pasti udah tau kalo gue gay” potong Levi berusaha tetap sopan.
William mengangguk saja.
“Kalo gua, menurut lu… gua bisa jadi gay?” pertanyaan William yang lain kembali mengejutkan Levi.
Crap. Jangan bilang William adalah tipe cowok straight yang curious. Levi jadi teringat Adniel, cowok yang sekarang sudah jadi pacarnya dan yang dia tau persis dari awal sebenarnya Adniel juga adalah straight yang curious. Levi memang sudah lama memendam perasaan pada Adniel, dengan sedikit keyakinan yang dia punya itu, Levi pun nekat untuk menyatakan perasaan dan mengajak Adniel pacaran. Hasilnya memang berbuah manis.
Tapi, coba saja kalau dia menyadari dari awal bahwa William juga tipe cowok yang sama dengan Adniel? Ah, cowok-cowok keren memang penuh kejutan.
“Gimana?”
“Uhm… gue gak tau” jawab Levi sambil tertawa pelan. “Lo gay atau nggak, gak bisa dinilai menurut orang lain. Tapi lo yang ngerasainnya sendiri, Kak” tambahnya mencoba menjelaskan.
“Oh…” William mengangguk-anggukkan kepalanya. “Gua cuma jadi pengen tau...”
“Pengen tau apa?”
William melihat pada Levi dan agak mendekatkan duduknya dengan cowok manis itu. Levi reflek sedikit memundurkan badan dan wajahnya, dengan gugup. Dia semakin yakin kalau William pasti ingin memenuhi rasa penasarannya.
“Gua pengen tau, kenapa gua deg-degan ngeliat lu dari jarak sedeket ini”
Jantung Levi seperti berhenti berdetak, padahal berdebar lebih kencang daripada sebelumnya. Apa maksudnya itu? Apa maksudnya itu?!! Tidak mungkin William—
“Kak?” Levi yang barusan sudah melebarkan mata nya karena terkejut, perlahan mencoba mengendalikan situasi.
William malah tersenyum, kemudian menarik tubuh kecil Levi ke dalam pelukannya. Dia menghirup dalam-dalam aroma wangi dari tubuh Levi. Dalam benaknya, diam-diam dia mengutuk, kenapa laki-laki ini begitu lembut!? Tapi dia tak boleh terkecoh.
“Lev, bantu gua please…” bisiknya di dekat rambut Levi.
“Ba-bantu apa Kak?” Levi mencoba menjawab dengan wajah yang sudah terbenam di dada bidang William. Memang masih ada sedikit keringat, agak lengket, namun rasanya begitu aman. Tubuh besar dan wangi maskulin ini, malah membuat Levi merasa nyaman. Gila.
Levi tak mendapatkan jawaban dan malah dia merasakan kecupan kecil di kepalanya, sebelum kemudian tangannya di pegang William dengan lembut, disentuhkan ke dadanya… terus turun hingga ke perutnya dan kebawah lagi…
Mata Levi agak membelalak, dadanya berdegup kencang.
Mati gue, mati! kutuknya dalam hati.
Levi mulai lupa dengan akal sehatnya. Blank. Dia hanya bisa memejamkan mata sambil semakin membenamkan wajah ke pundak William. Kecupan di kepala hingga ke tengkuknya, membuat Levi merinding. Ini tak boleh dibiarkan. Bagaimana kalau ada yang melihat mereka?! Lagipula, dia sudah punya pacar, bukan?! Rasanya Levi jadi ingin berteriak, dia butuh sesuatu yang bisa menghentikannya, membuat dia jangan sampai tergoda dan terjerumus.
Ibu… Adniel…
Tolong!
. . . . .
Mata ku mendadak terbuka dengan terpaksa begitu barusan melihat visual sebuah mimpi yang mengerikan. Aku menarik nafas panjang dan mengusap keringat yang ternyata agak menetes di pelipisku. Tumben sekali Bandung terasa begini panas.
Aku bangun dan menyalakan kipas angin yang tersimpan di pojok ruangan, sebelum kemudian melepas piyama yang aku pakai hingga hanya memakai kaos singlet. Aku membuka jendela kamarku dan melihat keluar. Langitnya tampak gelap tak ada bintang, seperti akan turun hujan. Pantas hawanya gerah, pikirku.
Beberapa saat aku melamun disitu, mengingat lagi mimpi aneh ku barusan. Ada Levi di mimpi ku. Dia memanggil nama ku yang tadi seperti akan terjatuh ketika sudah melakukan slam-dunk.
Geez. Aku kesal sekali. Bisa-bisanya di mimpi slam-dunk ku gagal. Sungguh mimpi mengerikan yang tidak masuk akal.
Levi. Sudah hampir seminggu aku belum berkomunikasi lagi dengannya, kalau memang bukan untuk hal yang penting. Mungkin gara-gara itu jadinya Levi masuk ke mimpiku. Aku kangen dia. Aku harap dia juga kangen padaku.
Sedang apa ya dia sekarang?
Aku pun mengambil handphone-ku yang tersimpan di meja. Menyentuh-nyentuh layarnya untuk mencari nama Levi, lalu langsung meneleponnya. Aku tak mau tau apa dia sudah tidur, setidaknya mendengar suara dia walau cuma sebentar saja.
Nada sambung yang terdengar, tak kunjung berhenti. Tak ada yang menjawab. Aku mendecak setelah 3x mencoba dan Levi tak juga menjawabnya. Apa handphone-nya di getarkan lagi? Apa dia sudah tidur? Apa dia sedang sibuk?
Argh.
Aku harap perasaan tak enak ini bukan apa-apa.
- - - - -
@rieyo626 dilanjut lagi dong ceritanya
>_<
kasian niel nya, ah sedih...
makasih udh d lanjut..
I find it cute that Adniel act like that. Mengingatkan pada seseorang. Bedanya si seseorang ini ngga mau ngaku kaya Adniel.