It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Alunan lagu-lagu ini indah dari i-podku membuat suasana perjalanan ini semakin mengasikkan. Deretan pohon cemara gunung berganti pepohonan hutan, semak belukar, ilalang tinggi, kebun sayuran, kebun bawang, kebun buah-buahan, gubuk-gubuk kecil penduduk penjual sayur-mayur segar yang langsung sipetik dari kebun, Penjual jagung rebus. Penjual akar serabut yang dibentuk dengan berbagai berbentuk artistic sebagai tempat menanam bunga anggrek. Desa-desa kecil yang hanya memiliki beberapa rumah sederhana.
Anak-anak remaja tanggung berkain sarung tampak bercanda bersama teman-temannya. Mengganggu beberapa gadis desa cantik alami tanpa polesan makeup yang lewat. Mereka tertawa ceria. Renyah tanpa beban. Sang gadis tersipu-sipu malu dengan sedikit menundukkan kepalanya. Mencuri-curi pandang kepada para pemuda yang dia suka.
Para pria dewasa duduk-duduk di kedai kopi. Menghirup gelas kopinya yang entah sudah berapakali di tambah isinya oleh pemilik warung. Asik berdebat dengan gaya seorang tokoh politik profisinal tentang masalah yang dihadapi negara ini karena terlalu banyak menonton berita yang telah banyak diedit di televise swasta. Atau memperbincangkan betapa cepatnya christian ronaldo menggiring bola dan memberikan umpan lambung yang cantik kearah saha. Semuanya begitu sederhana. Ciri khas kehidupan di daerah pedesaan, yang tidak terlalu dalam tergores oleh arus globalisasi.
Kehidupan di daerah pedesaan begitu murni. Tak terlalu banyak riak untuk melewatinya. Tak ada sandiwara. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Tak seperti orang-orang yang tinggal di perkotaan yang penuh sandiwara. Saling menjatuhkan tuk mendapatkan keinginan pribadi. Menghalalkan segala cara. Semua penuh dengan kepura-puraan.
Plang besar nama sebuah perusahaan perkebunan berdiri kokoh di tepi jalan. Perumahan penduduk yang tadi banyak terdapat di pinggir jalan kini berganti dengan hamparan karpet hijau yang luas. Seluas mata memandang semua hujau seolah tak berujung. Karpet hijau dari bahan alami yang begitu indah buatannya. Tersusun rapi rajutannya. Para pengrajin karpet timur tengah yang sangat ahli sekali pun tak akan bisa menandingi membuat karpet seindah ini. Hamparan karpet hijau yang terbentuk dari ribuan bahkan mungkin jutaan pohon tea yang tumbuh rendah sepaha orang dewasa.
Wanita-wanita bertopi caping dengan bakul besar yang terkalung dipunggungnya tampak berkelopok-kelompok dibeberapa bagian kebun tea itu. Tengah asik memetik pucuk-pucuk daun tea yang hijau. Begitu lincah tangan-tangan trampil itu memindahkan helai-helai daun tea ke dalam bakul yang ada dipunggungnya. Tak terlalu banyak pembicaraan diantara mereka. Semua tanpak tekun dengan pekerjaannya. Sementara para pria tengah asik menyiangi rumput liar atau semak perdu yang tumbuh menghalangi pertumbuhan tanaman tea. Sebagian ada yang membawa sebuah tabung besar dipunggung yang berisi peptisida. Menyemprot beberapa bagian perkebunan.
Jalanan di sekitar perkebunan karet tidak terlalu rata. Agak bergelombang. Di beberapa bagian tampak berlubang. Ini terjadi karena jalan tersebut terlalu sering dilewati truk-truk besar bermuatan sayur-mayur atau hasil perkebunan tea itu sendiri. Tubuh ku dan nantan berguncang-guncang dipermainkan goyangan kuda besi saat melewati jalan tersebut. Sehingga kuda besi tak bisa berlari kencang. Kedua tanganku melingkar di pinggang natan dan masuk ke dalam kedua jaket kainnya ntuk mengusir dingin di telapak tanganku. Sekarang tak ada lagi rasa riskanku melakukan hal itu. Aku tak lagi perduli orang akan memandang aneh melihat dua pria berboncengan saling berpelukan.
Kala terjadi guncangan-gunjangan secara tak sengaja kedua tanganku ikut tergunjang turun-naik. Seperti gerakan orang mengelus sesuatu benda. Sesuatu yang lembut terasa di telapak tanganku terbatas oleh kain jeket dan celana natan. Natan tanpak cuek dan tak perduli. Perlahan benda lembut itu mulai mengembang. Semakin lama relif benda lembut semakin nyata polanya di telapak tanganku. Agak miring kearah kiri. Terasa kenyal dan pejal. Fantasiku bermain. Benda lembut di celanaku pun ikut mengembang. Kurasa natan menyadari hal itu karena posisi tubuh kami yang rapat berboncengan seolah menjadi satu tubuh diatas kuda besi. Tapi nafsu tak lagi memperdulikan seandainya natan nanti marah karena hal ini.
Beberapa bangunan kecil dengan bentuk yang serupa seperti cendawan yang tumbuh di antara perkebunan-perkebunan tea yang luas. Bangunan-bangunan kecil itu adalah tempat tinggal para pekerja perkebunan tea. Pintu-pintu bangunan itu sebagian besar tertutup. Karena para penghuni bangunan itu tengah sibuk bekerja di perkebunan.
Cuaca yang tadi tak terlalu cerah di daerah perkebunan tea semakin lama semakin buruk. Awan hitam mulai menggelagut berat di langit kelabu. Tak ada lagi warna biru di atas sana. Udara pun semakin dingin mempermainkan kulit tubuh kami. Angin yang tadi bertiup sepoi-sepoi kini berhembus agak kencang membawa uap air. Semakin menambah dingin daerah yang dilaluinya.
"Wah gerimis nih dit" ujarnya melaporkan.
Titik-titik dingin menyentuh kulit wajahku. Natan menghentikan lari kuda besi di bagian pinggir jalan yang lega. Aku turun dari atas kuda besi. Natan juga. Dia meminta ranselnya yang ada di punggungku. Dibukanya ransel yang cukup padat dan cukup membuat pegal bahuku saat disandang. Dua buah jas hujan parasut tebal dikeluarkannya dari sana. Ternyata natan sudah siap dengan segala kemungkinan yang terburuk. Isi ransel itu lengkap sekali. Perlengkapan kerja, jas hujan, makanan kecil dan dua botol pocari sweet serta pernak-pernik kecil lainnya.
Diserahkannya jas hujan berwarna kuning yang cukup besar kepadaku. Sementara untuknya jas hujan berwarna merah gelap. Kedua jas hujan itu bentuknya seperti baju dan celana. Jas model ini sangat praktis untuk pengendara jarak jauh. Kupakai jas hujan itu setelah kembali kusandang ransel natan. Aku terlihat seperti seorang astronot yang tengah asik bermain-main di bulan. Di bagian punggungku terlihat gembung karena sumpalan ransel. Jika diperhatikan sekilas aku seperti memanggul sebuah tabung udara astronot dipunggungku.
Kami pun meninggalkan tempat itu. Tetesan-tetesan kecil yang jatuh dari langit yang tadi sedikit, semakin lama semakin banyak dan rapat. Titik-titik hujan itu seperti ditumpahkan oleh malaikat dari awan hitam di atas sana. Menghujam kebagian wajahku yang tak terlindungi. Agak terasa tajam menyentuh di permukaan kulit wajah. Seperti jarum-jarum akupuntur para tabit cina. Udara disekitar pun semakin menjadi. Benar-benar terasa menggigit sampai ke tulang.
Laju kuda besi tak bisa kencang. Jalan terasa licin dan berkilau bekas tumpahan minyak kendaraan terbawa air. Membuat jalan semakin licin. Aku mempererat pelukan ke tubuh natan. Tubuh kami benar-benar rapat. Seolah jadi satu.
Hujan benar-benar lebat sekali. Terombang-ambing diatas kuda besi. Jas hujan kami telah kuyup oleh air. Beberapa bagian tubuh yang tak terlindungi ikut basah. Sepatuku kini penuh oleh air. Kaos kakiku sudah tak kering lagi. Membuat suhu tubuhku menurun drastis. Sepertinya sia-sia saja kalau kami berkeras ntuk melanjutkan perjalanan ini. Natan menghentikan motornya di depan sebuah rumah mungil yang tak berpenghuni. Rumah itu tampak masih baru. Cat didindingnya masih mengeluarkan aroma yang khas. Bekas-bekas tumpahan cat di lantai keramik putih dan kaca bening jendela masih tampak bertebaran disana-sini.
Natan memarkirkan kuda besi di selasar samping rumah agar tidak basah terkena hujan. Kami turun mengibas-ngibaskan tubuh yang kuyup. Ku buka jas hujanku. Sebagian air yang menempel di jas itu mengenai baju. Ku kembangkan jas itu diatas motor agar air yang menempel di jas cepat kering. Natan melakukan hal yang sama. Kami bergerak menuju serambi rumah. Kubuka sepatuku. Banyak air yang keluar dari dalam sepatuku. Kaos kaki juga mengalami nasib yang sama. Saat kuperas kaos kaki itu mengeluarkan banyak air.
"Kayaknya kita tunggu hujannya reda dulu dit, kasian loe udah kedinginan gitu"
"Ah gue biasa aja, elo tuh yang kedinginan" ujarku biar nggak kelihatan lemah di depan Natan. Padahal tubuhku dengan telapak kaki telanjang ini benar-benar kedinginan. Kulihat ujung jemari kakiku tampak berkerut. Natan tak membalas celaanku. Dia berusaha membuka handel pintu depan rumah ini. Ternyata terbuka dengan mudah. Sepertinya para pekerja yang mengerjakan rumah ini lupa menguncinya.
"Terbuka dit, kita masuk aja biar nggak terlalu kedinginan" ujarnya
"hm..hm..."
Ada empat ruang dalam rumah kecil ini. Dua kamar, satu ruang tamu dan satunya lagi terletak dibagian belakang, yang sepertinya akan dipakai untuk ruang keluarga atau ruang makan. Ruangan-ruangan itu tampak kosong. Hanya ada beberapa kaleng cat yang sudah tak berisi dan peralatan mengecat teronggok di sudut ruang tamu. Kami bergerak lebih kedalam menuju ruang keluarga. Walau rumah ini kecil tapi sepertinya sang pemiliki cukup memiliki cita rasa seni yang tinggi. Dinding belakang ruang keluarga sebagian besar terdiri dari kaca yang lebar dan tinggi. Mengarah langsung ke halaman belakang berlatar belakang gunung yang tadi ku lihat saat makan di restoran Beras wangi. Veiw yang didapat bila berada diruangan keluarga ini begitu penuh.
"Kita istirahat disini aja dit"
Natan menurunkan tubuhnya ke lantai keramik putih duduk bersandar pada dinding yang menghadap kearah jendela kaca besar. Matanya memandang ke indahan pemandangan halaman belakang yang agak kelam. Gunung yang menjulang di belakang tidak terlalu penuh terlihat. Sebagian besar tertutupi oleh kabut gelap. Tetesan hujan yang jatuh dari ujung atap membentuk tirai air. Begitu indah menimbulkan suasana yang romantis. Aku pun duduk disampingnya. Ransel di punggung kulepas dan letakan disamping kanan. Tubuhku agak kurapatkan ke tubuh nantan berharap bisa sedikit mengusir dingin.
"Indah ya dit?" matanya masih memandang ke halaman belakang.
"Ya...indah banget" ujarku
"Andai aku bisa punya rumah kecil dengan suasana seperti ini" ujarnya lagi
"Angel pasti akan bahagia nat" jawabku. Natan menatap kearahku. Mata teduhnya memberiku resah.
"Enggak ah gue pingin tinggal dirumah itu ama loe aja"
ups....! ada apa ini? Apakah ini ungkapan persaaan natan padaku seperti perasaanku padanya. Ribuan pertanyaan muncul diotakku. Sebuah kata-kata sederhana dari bibir tipis nantan membuatku melayang. Pikiranku berkelana dalam fantasi. Tubuhku yang tadi menggigil kedinginan kini tak ku hiraukan. Aku terbawa suasana.
"Jangan ge..er dulu dit. Gue mau tinggal dirumah kecil itu berdua elo biar elo bisa membersihkan rumah itu, memasak buat gua. Mengelap seluruh kaca jendela besar ini" ujarnya lagi. Ketawa renyah keluar dari mulutnya. Terbahak-bahak membuat ku sewot. Aku memandangnya dengan ekspresi pura-pura marah.
"Sial loe nat, emang loe pikir gue pembantu apa?" kutonjok dengan lembut pipi kanannya yang ada di sisi sebelahku. Tawanya semakin menjadi. Sampai berurai air mata. Kadang bagiku agak terasa aneh. Hal sekecil ini bisa membuatnya begitu bahagia dimataku.
Setelah tawanya mereda Nantan meminta rangsel yang ada di sebelahku. Dikeluarkannya dua botol pocari sweet dan roti. Diserahkannya sebuah botol dan roti itu kepadaku. Ransel itu kini berpindah tempat disebah natan. Aku membuka tutup botol pocari yang masih bersegel. Keteguk isinya. Memuaskan sedikit dahagaku. Kugigit roti berisi coklat kesukaanku. Terasa nikmat dilidahku. Tak sadar aku natan memperhatikan seluruh gerakan yang kulakukan.
"Ada apa nat?" tanyaku
"Ah....enggak, gue senang aja liat cara loe makan" ujarnya.
Hujan semakin lebat diluar sana. Cucuran tirai air di ujung atap seng depan jendela kaca besar seolah menari-nari. Memberi ritme konstan tapi memperindah warna alam yang terhampar di belakangnya. Gulungan awam hitam masih pekat diatas sana. Tak secercah pun cahaya mentari bisa menerobos ketebalnya, menimbulkan suasana temaram di dalam ruangan tempat kami berada. Kami terperangkap di dalam rumah kecil ini. Terkukung dalam suasana yang membuat hati menjadi melankolis. Guratan-guratan alam tambah memperdalam suasana hati. Terpuruk ke dasar lubuk terdalam.
Hembusan angin diantara kisi-kisi atas jendela menurunkan derajat suhu ruangan. Berusaha tuk mengalahkan hawa tubuh kami. Aku berusaha ntuk mengusir dingin yang mulai mengusup ke bawah pori-pori menuju seluruh tulang benulangku. Baju dan celanaku yang agak lembab semakin memperparah kondisi. Kaki ku yang dingin tanpa pelindung turut memberi konstribusi. Aku merapatkan tubuhku ke tubuh nantan berusaha mencari perlindungan. Secercah hawa panas mengalir ke tubuhku dari kulit yang bersentuhan.
"Kamu kedinginan dito?" kembali Natan menggunakan kata "kamu" pada kata-katanya. Terdengar sangat lembut di telingaku yang telah terbawa suasana melankolis alam. Pertanyaan sederhana ini memberi efek 100 kali lipat dari saat suasana biasa. Perhatian natan terasa sangat dalam bagiku.
"Iya nat.... suhunya dingin banget nih" kupandangi teduh mata natan. Aku berkata jujur tak lagi malu mengatakan tentang kelemahanku terhadap dingin kepada natan.
"Kalau gitu kamu ke sini duduk didepanku" ujarnya lagi dengan nada permintaan.
'Iya nat..." Dengan setengah ragu aku menggeser tubuh duduk didepannya. Tubuhku memunggungi tubuh Natan. Aku memberi jarak antara tubuhku dengan tubuh Natan.
"Agak ke belakang duduknya dit" pintanya lagi.
Kedua tangannya meraih pinggangku menarik ke balakang. Kugeser tubuhku. Kini bagian belakang tubuhku rapat dengan bagian depan tubuh Natan. Saling bersentuhan. Kedua tangan natan yang tadi ada di kedua sisi pinggangku kini memeluk tubuhku dari samping ke dadaku. Pelukannya semakin erat berusaha menarik tubuhku lebih lekat ketubuhnya. Kedua tubuh kami kini benar-benar menyatu. Hawa tubuh natan memberiku hangat. Seolah-olah tubuhku mengisap seluruh hawa tubuh natan dengan punggungku.
Degup jantung natan yang bertalu-talu dengan ritme konstan terasa di punggungku, bagai irama syahdu lagu penyejuk jiwaku yang tengah goyang. Kepalaku rebah di sisi bahu kanan natan. Pipi kiriku bersentuhan dengan pipi kanan nantan. Kedua telinga kami juga demikian. Memberi getaran aneh ke dalam tubuhku. Membuat sesuatu yang terdalam dari diriku memberontak. Aku tak pernah sedekat dan serapat ini dengan natan. Kedua tanganku memeluk kedua tangan natan yang ada di dadaku. Tak ada kata yang terucap dari mulut kami. Hanya duduk diam dalam dekapan. Tapi semua penuh arti. Ada damai, senang, bahagia, rindu, dekat, terlindungi, kokoh, kuat dan seluruh perasaan positif lainnya muncul kepermukaan. Bercampur aduk jadi satu. Mengisi seluruh ruangan tempat kami berada. Berkilau ibarat bintang-bintang yang mengambang tepat di hadapanku. Seluruh ruangan seolah ditaburi awan-awan putih. Aku seolah duduk diatasnya bersama Natan. Selaksa warna-warni bermain dalam hayal. Menggugah mimpi yang terpendam. Dalam kukungan exstasi bahagia. Dipermainkan gelombang rasa perhatian yang begitu dalam. Aku begitu nyaman.
Walau tanpa kata yang terucap dari mulut Natan, kini ku yakin akan berartinya diriku bagi natan. Dan juga sangat berartinya dia bagi diriku. Walau seribu kata pujanga dimuntahkan dari mulut-mulut manis yang terucap dengan nada sendu tak akan seindah perbuatan dengan memberi rasa damai di hati. Rasa damai itu membuat ku bahagia dan melayang jauh terbang kelangit yang tiada batas. Aku terlelap dalam rangkulan sang dewa. Sinar terang terlihat di hadapanku. Sebuah rumah mungil ditengah padang savanna yang luas. Berpagar cemara gunung yang tumbuh rapat di ujung padang savana. Dilatar belakangi gunung tinggi yang berdiri angkuh. Disebelah kiri rumah kecil itu mengalir sebuah sungai yang berair bening sebening kaca. Sebuah pohon besar ada di samping kanan rumah. Seseorang tampak tengah asik duduk diatas sebuah ayunan yang terbuat dari papan yang ditalikan karet tebal ke salah satu dahan pohon besar itu. Dia tampak duduk termenung menunggu sesuatu. Kudekati sosok itu. Sebuah sosok yang sudah sangat kukenal.
Ya benar Natan tengah duduk diatas ayunan kayu itu. Sinar mata teduhnya seperti mengharapkan suatu penantian yang panjang. Aku terus berjalan mendekati. Seiring semakin dekat aku ke tempat natan berada semakin bersinar matanya yang teduh itu. Seburat senyuman mengambang di wajahnya ibarat pelangi melukis awan setelah hujan.
"Dit....dit...." Terdengar namaku disebut. Begitu dekat suara itu. Mataku terbuka. Sepertinya tadi aku sempat ketiduran karena kecapekan. Entah berapa lama aku tak tahu pasti. Aku bermimpi tentang rumah kecil itu bersama natan disana. Semuanya seolah nyata terjadi.
"Mmm.... gue ketiduran ya?"
"iya"
"Berapa lama gue ketiduran natan?" tanyaku
"Kurang lebih dua jam, loe tadi kelihatan pulas banget jadi gue agak ragu bangunin. Tapi karena hujannya udah reda maka gue paksain diri buat bangunin elo dit. Sori kalo gue mengganggu mimpi indahmu" Natan agak menggeser tubuhnya yang menjadi tumpuan ku. Wajahnya agak sedikit meringis.
"Kenapa loe nat?" ujarku agak kuatir.
"Ah engak....Cuma bahuku agak sedikit pegel aja"
Oh no, ternyata bahu natan kram karena tadi terlalu lama menyangga tubuhku yang bersandar ke tubuhnya. Aku benar-benar tak tahu diri. Aku menjadi merasa bersalah dibuatnya. Natan menahan semua sakit di tubuhnya untuk membuat ku nyaman dalam dalam dekapannya. Natan mengorbankan bahunya sebagai kasur empuk aku yang tak tahu diri ini. Pasti tadi dia tak tidur karena menahan sakit di bahunya. Aku benar-benar egois. Ku tumpukan seluruh beban tubuhku ke tubuhnya.
"Gue pijit deh nat" ujarku berusaha membayar rasa bersalahku.
"Ah nggak usah, ntar juga hilang sendiri"
"Ayolah nat"
"Gua nggak apa-apa, yok cabut ntar keburu malam" ujarnya.
Kami pun membereskan seluruh perlengkapan kami. Menggumpulkan plastic tempat roti yang kami makan tadi. Membuang ketempat sampah.
Kuda besi mulai meringkik kembali. Seolah berteriak ingin kembali berlari membawa kami secepatnya sampai di tempat tujuan. Kakinya yang lebar menapaki jalan aspal yang basah. Tubuhku dan natan mulai kembali terguncang-guncang di atas punggung kuda besi. Aku mendekap erat tubuh natan walau lari kuda besi tak berlari begitu kencang.
"Awas Nat" ujarku setengah berteriak saat sebuah truk muncul mengambil jalan kami ketika melewati sebuah tikungan yang lumayan tajam.
"Kampret loe" Natan mengumpat pada supir truk itu. Dengan lincah dia mengendalikan kuda besi menghindari tabrakan. Hanya berjarak sejengkal dari kami. Tak tahu aku yang bakal terjadi kalo natan tidak sigap.
"Dasar supir truk sialan, pasti ngambil simnya nggak pake test tuh" umpatnya lagi.
"Udah-udah" aku berusaha menenangkan.
Dibalik tikungan itu terhampar pemandangan yang sangat indah. Sebuah danau yang sangat luas sekali. Air danau itu begitu bening sehingga memantulkan semua bayangan yang ada diatasnya. Berlatar belakang jejeran bukit cemara gunung. Puluhan bangunan kecil dengan bentuk yang hampir sama seperti seperti rumah kurcaci di sebagian tepian danau. Vila. Ya itu vila-vila peristirahatan. Tempat orang-orang kota melepas lelahnya setelah seminggu bergelut dengan rutinitas pekerjaan. Kebun-kebun srawberi mulai memerah karena di penuhi buah-buahnya yang berasa asam manis. Sayur kol bulat seperti bunga hujau yang tumbuh berjejer rapi di tanah. Beberapa orang tampak melakukan aktifitas di sana.
"Wa...pemandangannya indah banget ya nat?"
Natan tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya sedikit menoleh dan mengurangi laju kuda besi. Berhenti di dekat sebuah bagian yang agak lapang di tepian jalan. Didepan bagian itu tertutupi semak perdu.
"Kita berhenti dulu dit, kebelet nih"
"Pas banget nih gua juga kebelet nat" ujarku karena dari tadi aku juga udah berusaha menahan kencing.
Kami berdiri sejajar di depan semak perdu pinggir jalan agar saat nanti saat melaksanakan hajat buang air kecil tidak terlihat oleh orang diatas kendaraan yang lewat. Natan mulai menurunkan resleting celananya. Aku pun melakukan hal yang sama.
Cuuur...
Suara urine mengucur mengenai semak perdu dihapapan kami. Benar-benar besar nikmat yang diberikan tuhan kepada kita. Hanya buang air kecil aja terasa nikmat. Aku jadi terbayang dengan omku yang mengalami penyakit kanker prostat yang selalu melolong kesakitan saat dia mau buang air kecil. Mudah-mudahan seperti itu tak terjadi padaku. Saat sedang asik aku buang air kecil tiba-tiba..
"Apa-apaan sih loe nat" aku berteriak
Saat natan dengan usilnya mengarahkan mr-pnya yang sedang mengeluarkan urine kearah kakiku. Aku bergerak menghindari cipratan urine natan, sehingga kencingku meluber kemana-mana. Untuknya tak ada yang mengenai kakiku.
"Wakakaka" dia tertawa terbahak-bahak.
"Sial loe" Aku mengupat, sekarang giliran aku yang mengarahkan urine kearahnya untuk membalas. Natan jadi blingsatan menghindari diri dari serangan urineku. Kini aku yang tertawa lepas.
"Makanya jadi orang jangan usil"
Beberapa saat kemudian kami menyelesaikan hajatan kami. Tapi natan tidak langsung menstarter kuda besinya. Matanya asik menikmati pemandangan danau. Aku punya ide. Kukeluarkan hape kamera 5 megapixelku. Kuarahkan lensanya ke tubuh natan.
Kecrek...
Kilatan bliz dari lampu hape itu mengiringi cetakan tubuh natan yang berlatar pemandangan danau di layer hape. Iya tampak tersenyum kearahku. Beberapa kali jepretan ku lakukan dengan berbagai macam angel.
"Fotoin gue dong nat?" ku sodorkan hapeku kearahnya
"Dasar narsiz loe" ujarnya,
Tapi dia tetap meraih hape kamera yang kusororkan padanya. Beberapa jepretan mengarah kepada ku. Kemudian kami juga mengabadikan foto kami berdua.
"Yok cabut! Ntar keburu sore"
"oke"
"Masih jauh nat?" Tanya ku
"Itu tuh... Menara yang berwarna merah putih diujung jalan sana" telunjuk natan mengarah ke sebuah menara diujung jalan.
"ohh..."
Tak berapa lama kami pun sampai di depan menara itu. Beberapa pekerja tengah asik melakukan pekerjaannya. Seseorang pria yang berumur sekitar 40an datang menghampiri kami.
"Kok sore betul datangnya pak Natan" ujar pria itu sambil menjabat tangan natan dan tangan ku.
"Iya tadi hujan di jalan, jadinya kami nggak bisa cepet"
"Oh gitu"
"Udah sampai mana pengerjaannya pak amir?" Tanya natan.
"Udah hampir 80 % kelar pak, memang sih agak terlambat dari schedule yang direncanakan"
"Tapi bahan-bahannya udah semuakan"
"Kalau bahan udah dari dua minggu yang lalu datang pak, tapi kami nggak bisa bekerja dengan effisien disini karena cuacanya nggak mendukung benar pak. Kayak kemaren kami nggak bisa bekerja seharian karena kabut turun tebal sekali dan hujan" jelas pak amir.
"Diusahakan semampunya aja pak amir, saya mengerti kok dengan kondisi ini" jawab Natan.
Cukup lama kami berada di proyek tower itu. Natan meneliti seluruh hasil pekerjaan. Memotret beberapa item yang dirasanya perlu untuk membuat laporan kegiatan pembangunan tower tersebut.
"Sepertinya gitu nat, udah terlalu sore masalahnya. Jadi gimana baeknya?" tanyaku
"Kita cari penginapan aja"
"Oke deh"
Disebuah penginapan yang cukup asri, natan memarkirkan kuda besinya. Kami pun memasuki lobi penginapan tersebut.
"Maaf pak kamar yang kasurnya twin bed nggak ada lagi, yang ada dengan kasur double bed?" ujar resepsionis penginapan.
"Gimana dit?" Tanya natan meminta usulku.
"Ngapapa lah nat, cuma semalam ini" ujarku
"Oke mas kami ambil"
Kamar yang cukup lumayan untuk sebuah kota kecil. Sebuah kasur double bad, Meja rias, Sofa, televise 21 inci dan kamar mandi bathtube. Tapi yang ku suka dari kamar hotel ini adalah viewnya. Pemandangan dari jendela besar kamar itu langsung kearah gunung yang angkuh itu.
"Kita cari makan dulu ngimana dit?"
"Kayaknya agak terlalu sore buat makan nat, lagian gue masih belum lapar tuh"
"Trus sekarang enaknya ngapain?"
"Kita pergi mandi air panas aja gimana? Katanya dekat sini ada pemandian air panasnya nat"
"Boleh juga tuh usulnya, biar bisa ngilangin capek-capek dibadan gue nih"
"Elo emang tahu tempatnya?"
"Tahuuu...gue udah beberapa kali kesitu" jawab Natan.