It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tapi canda tawa Ai Can lama-lama mencairkanku. Aku pun segera larut dalam keceriaan yang dibawanya. Inilah yang selama ini membuat kami begitu akrab dalam berteman. Dia selalu mampu memberiku kegembiraan ketika aku dalam kesedihan, dia selalu membawakan keceriaan kalau aku dalam kekalutan. Kehadirannya membawakan kedamaian. Sebaliknya juga begitu, entah bagaimana dan dengan cara apa, aku selalu bisa membawa penghiburan di saat-saat beratnya. Entah dengan kata-kata dukungan, entah dengan canda dan cerita, kami sering bertukar dukungan di saat yang satu sedang berada dalam kesulitan. Bahkan, kadang kami hanya saling diam dalam kehadiran, itu pun sudah memberi rasa nyaman dan kedamaian.
Dua tahun hidup bersama di bawah satu atap di rumah kost dan belajar di satu kampus, menanamkan kedekatan rasa yang begitu dalam. Bukannya selalu mulus, tapi di tengah aneka persoalan dan juga benturan, persahabatan semakin teruji dan berdaya tahan. Dalam banyak hal, pendapat kami juga berbeda karena memang latar belakang kehidupan kami jauh berbeda. Aku anak dari keluarga sederhana di pinggiran Jogja; dia anak orang kaya di Jakarta. Aku hidup dalam lingkup kultur Jawa, dia dari keluarga Tionghwa. Kadang ada sikap atau bahkan prinsip yang tak hanya beda tapi bertentangan pula. Misalnya saja, kalau aku mengatakan , “Kalau bisa bikin sendiri, kenapa harus beli?” dia akan bilang, “Kalau bisa beli, ngapain pula repot-repot bikin sendiri?” Kami bisa berdebat dengan begitu seru dan semangat, tapi hati begitu dekat. Bahkan, candaan yang sebenarnya menusuk pun terasa enak-enak saja! Dia sering saja komentar, “Dasar wong Jowo!” dan aku pun menjawab, “Wow, pancen cino banget kok kamu itu!” Aku tahu, kata ‘cina’ sangat menghina dia. Dia pernah marah besar kepada seorang teman gara-gara mengucapkan kata itu. Tapi dia tak pernah marah kalau aku yang mengatakannya.
Yang sering mengganggu hatiku, jujur saja adalah kecemburuan. Dia senang berteman dan pergi bersama dengan beberapa teman yang dia rasa cocok, dan biasanya yang dicocokinya itu kalau tidak cakep ya pasti pintar atau menonjol di bidang tertentu. Aku kadang merasa, bahwa saat-saat dia paling dekat denganku adalah saat-saat pahit dalam hidupnya. Kalau dia sedang susah dan sedih, pasti larinya kepadaku. Tapi kalau sedang gembira dan pesta, lebih sering orang lain yang diajaknya. Kadang merasa kesal juga. Tapi kemudian aku sering menghibur diri dan justru merasa bangga, “Bukankah sahabat sejati adalah sahabat yang hadir di saat-saat sulit dalam kehidupan ini? Kalau dia dalam sukacita bersama dengan lainnya, tetapi dalam kesulitan datang padaku, berarti aku adalah sahabat yang paling diandalkannya.
“Hai, ngelamun aja...!” Tiba-tiba Ai Can mengagetkanku dengan menggelitik pinggangku. Ia tahu betul, aku gak tahan geli kalau digelitiki. Aku ketawa geli dibuatnya. Tapi, aku segera menyambar pergelangan tangannya, kukunci tubuhnya dalam pelukanku. Meski dia lebih tinggi dariku, badanku jauh lebih kekar dan kuat darinya. Dia pun tak berdaya melepaskan diri dari kuncianku. Wajahku yang nyaris menempel di tubuhnya segera menghirup aroma tubuhnya yang benar-benar kusuka.
“Aduh, lepasin dong, masa dipeluk gini? Kalau dikira orang lagi pacaran gimana?” dia berbisik memelas, tapi juga dengan senyuman menggoda.
“Aku gak malu kok pacaran sama kamu, biar aja orang mau omong apa!” aku menjawab dengan canda sekenanya.
“Kamunya gak malu, aku khan...!”
“Bangga..., ya khan?” aku memotong sebelum dia menyelesaikan kata-katanya. Aku pun segera melepas kuncian tangan dan pelukanku. Sempat sedetik kugenggam jemari tangannya di telapat tanganku, genggaman yang meski hanya sedetik tapi penuh energi meluapkan rasa cinta. Dia tak menolak, meski juga tak merespon secara nyata. Tapi senyum kecil di bibirnya menunjukkan rasa gembira yang tak tersembunyikan oleh diamnya.
“Pingin naik kereta kuda gak?” dia menawariku ketika melihatku sedang memperhatikan beberapa kereta kuda yang hilir mudik di dekat kami. Aku masih diam tak menjawabnya.
“Hayo, liatin apa?” Dia mengagetkanku. Aku memang sedang memperhatikan kuda jantan yang sedang ereksi dengan penis yang luar biasa besar dan panjang itu. Entahlah, kadang pikiran ini begitu joroknya, mesum, nakal dan liar. Aku kadang merutuki pikiranku sendiri, tapi semua begitu spontan dan tak terencana.
“Punyaku gak segede itu khan?” dia melanjutkan pertanyaannya dengan kata-kata yang lebih mengejutkanku.
Aku seolah merasa tertampar tiba-tiba oleh kata-katanya yang terakhir ini. Aku merasa wajahku menghangat; rasa malu dan resah pasti telah memerahkan wajahku. Aku tak menjawab, hanya diam menundukkan wajahku dalam malu yang membuatku bisu. Ai Can pun sepertinya segera sadar bahwa kata-katanya yang terakhir itu menusuk hatiku. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu, mungkin mau mengoreksi kata-katanya, tapi tak jadi mengatakannya.
Detik-detik kebisuan yang lengang, lalu kami pulang.
nice story nilai B
Kulanjutkan seperti skenario yang sampai terkirim lewat japri, moga sesuai maksudnya...
Jujur saja, aku masih sangat resah. Mengapa Ai Can seolah-olah tak mengalami apa-apa setelah apa yang kami lakukan malam dan siang tadi? Hatiku sendiri sangat goncang. Di satu sisi, ada kebahagiaan yang meluap-luap, apa yang selama ini terpendam dalam lamunan atau tersalur melulu hanya dalam impian, ternyata kini dapat sungguh menjadi kenyataan. Akan tetapi muncul juga semacam kesedihan dan ketakutan, karena ada rasa bahwa semua ini mestinya tak kulakukan. Hatiku begitu riuh dengan beragam adukan perasaan. Tapi mengapa Ai Can seolah tak mengalami apa-apa?
Apakah memang percumbuan kami itu tak membekaskan apa-apa di hatinya. Apakah memang bagi dia, pergumulan penuh nafsu dan gairah cinta itu hanya seperti acara pijat saja? Atau jangan-jangan hal ini memang sudah terlalu biasa bagi dia? Yang aku tahu, Ai Can memang sering pijat, ia bercerita soal itu. Apakah dia sudah sering pijat plus plus sehingga aku hanya dianggapnya salah satu di antara pemijat itu? Kalau begitu, aku sebenarnya merasa terhina juga. Ada rasa marah dan kecewa yang muncul tak terduga, tapi juga langsung menguap begitu saja; menguap dan tak tahan berlama-lama, mencair oleh kehangatan cinta yang memang begitu luar biasanya. Gila aku mencintainya.
Kenapa seolah ia tidak menganggap telah terjadi apa-apa? Apa memang semua itu tak ada artinya bagi dia? Atau mungkin sebenarnya dia juga menyembunyikan kegelisahan yang sama? Aku harus bicara dengannya... Aku harus bicara... Tapi aku mau bicara apa? Apakah yang harus kukatakan pada Ai Can? Bagaimana aku memulai untuk bicara? Bagaimana? Aku resah... Aku kehabisan kata... Aku kehabisan akal sehatku.
Usai makan malam, aku langsung menyendiri di kamar. Aku berbaring gelisah di tempat tidurku. Aku harus membicarakan semua ini pada Ai Can. Aku tak tahu harus bicara apa dan untuk apa aku bicara, tapi aku merasa harus bicara dengannya. Tapi aku takut, aku malu, aku ragu untuk memulai semua itu.
“Ai Can, maafkan aku... tapi kita harus bicara” aku memulai menulis kalimat di selembar kertas kosong yang kutemukan di almari kamar yang kutempati. Aku tahu, sulit mulai untuk bicara, tapi aku tak bisa diam saja. Menuliskan apa yang ingin kukatakan, mungkin dapat menjadi jalan.
“Pertama, aku minta maaf untuk semua yang telah kulakukan terhadapmu. Aku mencumbuimu, tapi mungkin juga dapat kau katakan aku memperkosamu! Terserahlah bagaimana kamu menilainya. Terserahlah mau bagaimana kamu mengatakannya. Mungkin aku akan kauanggap sebagai penjahat yang membuat hidupmu sesat. Mungkin di matamu aku seorang yang begitu kotor dan hina. Mungkin aku akan kaubilang berkhianat pada sahabat. Terserah Ai Can, aku tak mau membela diri! Aku salah dan minta maaf.
Asal kau tahu saja, Ai Can... kalau aku tak bisa menahan nafsuku, itu juga mengungkapkan betapa besar cintaku kepadamu. Gairah yang meluap-luap itu adalah nyala api dari bara cinta yang begitu panas. Seperti ada api yang membakar sumsum, tulang, daging, dan kulitku... yaitu dari bara cinta yang aku tak tahu bagaimana aku harus memadamkannya. Aku mencintaimu dengan nafas maupun nafsuku, dengan roh maupun darahku, dengan jiwa maupun badanku.
Ai Can, di sisi lain aku tak menyesali apa yang terjadi. Sebenarnya aku sangat menginginkan semuanya. Tapi sekian lama aku terus berjuang mengendalikannya. Aku tak mau menghancurkan persahabatan kita yang indah dengan pelampiasan nafsu dan gairah yang serakah. Aku terus menahan diri untuk mencintaimu melulu sebagai sahabat sejati, meski jujur sejak awal kita bersama di hatiku engkau ini lebih dari sahabat.
Ai Can, aku berharap engkau sebenarnya tahu apa yang kurasa padamu selama kebersamaan engkau dan aku. Ketika aku membaca sajak yang kautulis di buku harian, aku merasa engkau sedang bicara padaku tentang semua itu. Aku masih menyimpan sajak itu:
Teman,
berhentilah menjadikan aku
sebagai objek cinta masa lalulu
berhentilah menjadikan aku
sebagai pemuas imajinasi liar di masa datangmu
aku adalah aku yang sekarang ini
dengan segala sisi historis hidupku
AKU sini dan kini
Cintailah aku sebagai aku
Bencilah aku sebagai aku
Makilah aku sebagai aku
Kasihilah aku sebagai aku
Karena aku tahu kasihmu tulus padaku.
Mungkin kau lupa sajak itu, tapi aku menghapalnya sejak membaca pertama dulu. Sebab, aku merasa, aku tahu, aku yakin, sajak itu berbicara tentang diriku. Dari sajak itulah kemudian aku melukis Yin-Yang yang terobek, lukisan yang dulu kaubilang, “Serem ya... eh, kasihan lho!”
Ai Can, selama ini aku sembunyi dan tak berani mengakui perasaan ini. Aku berusaha menyangkalnya, dan bahkan menghapusnya. Tetapi cinta terlalu perkasa dan aku tak mampu melawan arusnya. Ai Can, maafkan aku kalau kata-kataku akan menakutkanmu, sesungguhnya dan sejujurnya, aku mencintaimu Ai Can, bukan hanya sebatas sahabat. Semua teman pasti setuju mengatakan engkau ini sahabatku. Tapi hatiku diam-diam bilang engkau bukan sahabatku tapi kau adalah kekasih hatiku.
Maafkan aku Ai Can, kalau kamu semakin takut padaku, aku memang gay. Ada unsur biseksualitas kuat di dalam diriku dan aku tahu mencintaimu jauh lebih besar dari siapa pun perempuan yang pernah singgah di hatiku. Sebenarnya sejak kecil aku menyadarinya, tapi aku selalu menyangkalinya. Apalagi nyatanya pada wanita aku juga masih dapat jatuh cinta. Tapi sejak mengenalmu, aku merasa harus jujur mengakui seperti apakah diriku. Jatuh cinta kepadamu membuatku yakin akan jatidiriku, seperti apakah sesungguhnya aku.
Ai Can, tentu kamu sering mendengar aku bernyanyi, “Maafkan bila diriku, terlalu mencintaimu, jangan tanyakan mengapa, karna ku tak tahu...!” Sesungguhnya aku tidak sedang bernyanyi saja, aku sedang mengungkapkan apa yang kurasa. Tapi memang aku menyamarkannya, sengaja membuatnya tidak kentara tapi juga ingin kau tanggap getarnya. Karena cintaku memang tidak biasa. Aku seorang lelaki, dan mencintaimu yang juga seorang lelaki. Orang akan bilang ini cinta terlarang.
Kamu ingat khan Ai Can, saat kita berdebat tentang lagunya Siti Nurhaliza “Bukan Cinta Biasa”? Kamu mengatakan bahwa itu tentang kisah orang yang sudah punya pasangan tapi kemudian ia jatuh cinta lagi. Aku mengatakan ada tafsiran lain, bahwa lagu itu bicara tentang kisah cinta sejenis. Aku tahu, kau benar dan aku memang ngawur, menafsirkan bukan menurut penulis lagu tetapi menurut suara hatiku. Aku berdebat denganmu bukan membela keyakinan kebenaranku karena aku tahu interpretasiku itu keliru. Aku sedang ingin berkata saat itu, bahwa cinta sejenis itu ada dan muncul begitu saja bukan sebagai pilihan merdeka. Dan sebenarnya itu adalah cerita tentang diriku yang jatuh cinta padamu.
Begitu banyak cerita
Ada suka ada duka
Cinta yang ingin kutulis
Bukanlah cinta biasa
Dua keyakinan pisah
Masaalah pun tak sama
Ku tak ingin dia ragu
Mengapa mreka slalu bertanya
Cintaku bukan di atas kertas
Cintaku getaran yang sama
Tak perlu di paksa
Tak perlu dicari
Karna ku yakin ada jawabnya
Andai ku bisa merubah semua
Hingga tiada orang terluka
Tapi tak mungkin
Ku tak berdaya
Hanya yakin menunggu jawaban
Janji terikat setia
Masa merubah segala
Mungkin dia kan berlalu
Ku tak mau mereka tertawa
Diriku hanya insan biasa
Miliki naluri yang sama
Tak ingin berpaling,
Tak ingin berganti
Jiwaku sering saja berkata
Andai ku mampu ulang semula
Ku pasti tiada yang curiga
Kasih kau hadir
Tiada terduga
Hanya yakin menunggu jawaban
Aku bukan bicara soal lagu itu, Ai Can, tapi aku sedang mengungkapkan perasaanku. Memang cintaku kepadamu ini bukan cinta yang biasa. Orang lain akan bilang ini tak lumrah atau bahkan salah. Mereka mungkin mengecam atau mentertawakan; mempertanyakan dan mempersalahkan. Tapi cintaku ini getaran yang sama dengan yang dirasa oleh siapa pun yang jatuh cinta. Aku tak memaksa atau pun mencarinya. Kalau aku bisa memilih, aku tidak memilih cinta yang seperti ini, tapi aku tak bisa mengubah semua, aku tak berdaya. Aku hanya menunggu jawaban keadilan sang kala. Mungkin cinta ini aneh, lelaki mencintai lelaki. Tapi aku hanya menjalaninya. Diriku ini pun insan biasa, punya naluri yang sama, diriku ingin mencintai dengan setulusnya dan sepenuhnya, aku pun ingin mencintaimu dengan setia, meski aku tak bisa membayangkan masa depan cinta kita. Andai aku bisa mengubah dan mengulang kenyataan, aku ingin melakukannya, agar orang bisa memandang semua ini lumrah adanya. Kau hadir tiada terduga di hidupku, dan aku tak pernah merencanakan untuk mencintaimu. Tapi semua itu terjadi pada diriku. Aku terlalu mencintaimu, Ai Can.”
Tok, tok, tok... ada suara mengetuk pintu kamarku
“Hai, Bocah Tua, dah tidur ya?” suara Ai Can memanggil di balik pintu kamarku. Gugup kesembunyikan kertas tulisanku...
Kayanya inspirasiku dah mulai ereksi lagi nih, hehehehehe... Makasih, membuka lubang kebuntuan, menegakkan kelesuan. Tolong lanjutkan satu bagian yang kupesan, selanjutnya akan kurampungkan.
GBU
“Hmmmh... belum sih, ada apa?” aku membuka pintu setelah sebelumnya mengacak-acak rambutku dan memasang wajah ngantuk. Belajar teater banyak membantuku untuk berekspresi menyembunyikan apa yang ada di benak dan hatiku.
“Sori dech, klo dah bobok! Gak papa kok, mo ngobrol aja. Gak penting, besok aja...!” Dia buru-buru membalikkan badan, hendak meninggalkan kamarku. Aku terdiam, di satu sisi aku ingin ngobrol juga dengannya, bahkan aku punya satu masalah besar yang ingin kukatakan. Tapi, di sisi yang lain aku merasa belum siap untuk bicara dengannya.
“Besok berangkat jam 8 pagi ya, ntar bawa peralatan mandi dan baju ganti sekalian, kita pulang malam,” katanya sambil membalikkan wajah ke arahku. Kulihat dari ekspresi wajahnya, dia agak kecewa melihatku sudah mengantuk sekali. Atau jangan-jangan dia tahu bahwa ekspresi wajahku itu sesungguhnya ngantuk dalam kepura-puraan untuk mengungkapkan keengganan bicara.
Aku kembali duduk di depan meja. Lampu kamar kumatikan, hanya lampu meja saja kubiarkan menyala. Halaman kertas hampir habis, aku mencari lagi beberapa lembar kertas bekas yang sebaliknya sudah dipakai. Sangat tidak romantis untuk menulis surat. Tapi teserah, yang penting maksudku tercapai. Aku mencenungi kembali apa yang telah kutulis, lalu melanjutkan kalimat-kalimatku.
“Ai Can, sebenarnya aku takut menuliskan semua perasaanku padamu. Aku selalu ingin menyembunyikan apa yang sesungguhnya ada di hatiku. Tapi aku tak bisa menahannya. Aku tak bisa menguburnya. Akhirnya semua meledak, tumpah ruah dan membuncah. Aku menyesali semua itu, tapi juga bersyukur untuk semua itu. Aku menyesal karena mungkin —dan itu yang sangat kutakutkan— setelah engkau mengerti semua ini, engkau akan meninggalkan aku. Mungkin engkau akan menilai jelek diriku dan tak mau bersahabat denganku lagi. Bahkan mungkin engkau akan menjadi takut kepadaku. Tapi semua sudah terjadi!
Aku akui, aku memang mencintaimu... aku seorang gay, dan aku sebenarnya jatuh cinta padamu sejak awal kita bertemu... Apakah kamu kaget Ai Can? Memang aneh, aku ingin menyembunyikan rasa cintaku padamu selama ini, tetapi juga di lubuk hati terdalam aku ingin engkau sesungguhnya mengerti apa yang tersembunyi.
Ketika aku pada ulangtahunmu membelikanmu kaset lagu mandarin, dan kamu tahu ada lagu cinta yang aku hafal meski aku tak memahami bahasa mandarin. Harusnya kamu tahu, saat itu aku ingin mengatakan aku mencintaimu. Semoga kamu masih sudi melanjutkan membaca tulisanku ini Ai Can!
Maaf, gagasanku tak teratur. Perasaan ini melompat-lompat dari ujung ke ujung. Aku ingin mengungkapkan semua perasaanku. Tapi aku juga takut dan ingin menyembunyikan perasaanku. Maaf Ai Can, semoga engkau bisa memahami maksudku, meski kacau gagasanku terurai di tulisanku.
Ai Can, kalau ada hal yang kutakutkan sekarang ini, satu-satunya ketakutan itu adalah takut kalau sesudah ini aku akan kehilangan seorang sahabat yang sangat kucintai. Bahwa aku seoranag lelaki dan juga mencintai seorang lelaki, aku telah menerimanya meski juga lewat pergulatan yang panjang seolah tiada ujungnya.
Dulu aku menyangkal kenyataan bahwa aku tertarik kepada sesama jenis. Aku mengubur dalam-dalam setiap kali perasaan itu datang dan menganggapnya tidak ada. Tetapi alam bawah sadarku memaksaku mengakui kenyataan diriku. Apa yang muncul dalam mimpi-mimpiku adalah relasi seksual dengan sesama lelaki. Aku tak bisa menyangkal kenyataan ini. Aku tak bisa tidak harus membantah konsep-konsep diri yang kupandang sejati.
Dulu aku takut dan merasa berdosa karena jatuh cinta. Aku menyalahkan diri sendiri sejadi-jadinya. Tapi semua tak memberi jawaban yang membahagiakan. Aku tak bisa hidup beriman dengan menjadikan diriku seolah makhluk kutukan. Aku hanya mau beriman kepada Allah yang punya cinta, bukan melulu Allah yang punya kuasa. Dan aku hanya bisa mengimani Allah yang seperti itu tanpa merasa diriku pun layak dicintai. Maka, meski diriku ini pecinta lelaki, mestilah Allah tetap mencintai dan tak menuntut aku berbuat lebih dari yang kumampu dan kupunyai.
Ai Can, terimakasih aku boleh mencintaimu selama ini. Mencintaimu membuat aku mengerti bahwa hasratku pada lelaku bukan sekedar nafsu tapi soal hati. Aku tidak sedang merayumu, aku memang sungguh mencintaimu. Pengalaman mencintaimu membuat aku mengerti bahwa Allah pasti bisa juga mencintaiku.
Memang, aku sejak kecil terdidik dalam keluarga Katolik yang ketat. Dan kita tahu, sejarah telah mewariskan dalam kristianitas suatu rasa dosa besar ketika dosa itu berhubungan dengan dosa seksual. Sekian zaman dan sekian guru moral mengajarkan seolah-olah dosa itu masih biasa asal bukan dosa seksual. Bayangkan saja, masturbasi pun dipandang dosa berat karena menggunakan seksualitas tidak pada kodratnya, yaitu untuk prokreasi. Besar manakah dosa masturbasi yang hanya berurusan dengan diri sendiri dengan kebohongan yang merugikan orang lain. Masturbasi memang tidak menempatkan seksualitas dalam prokreasi, jadi kalau benar prokreasi dan seksualitas itu menyatu pada dirinya, memang berarti masturbasi tidak menempatkan seksualitas pada fungsi kodratinya. Okeylah kalau itu mau dipandang dosa. Tapi bukankah menggunakan lidah dan mulut untuk kebohongan, untuk memaki-maki orang, untuk menjatuhkan dan memfitnah juga menyalahgunakan fungsi kodrati. Jelas, mulut bukan untuk bicara dusta tapi untuk menyatakan kebenaran. Tapi bohong bahkan tak pernah dianggap dosa besar ketika merugikan orang lain. Aku berkembang dalam ajaran moral yang membebaniku dengan soal dosa berat terkait dengan dosa seksual.
Tapi aku tak bisa, Ai Can, inilah pergulatan imanku. Agama mestinya bukan untuk memberi hukum dan pedoman yang memberatkan. Iman mestinya membawa kepada cinta yang membebaskan. Di masa purbanya Gereja pun, Paulus sudah menegaskan dengan kata-kata yang tegas dan frontal, kita selamat bukan oleh Taurat tapi oleh karena iman, hidup dalam Kristus, tinggal di dalam cinta kasihNya.
Kalau mundur ke kisah penciptaan, bukankah Allah pertama-tama menciptakan manusia dengan pasangannya itu adalah karena ‘tidak baik kalau manusia itu sendiri saja’. Keprihatinan Allah yang pertama dan terutama adalah membebaskan manusia dari kesendirian, dari kesepian, bukan memberikan norma dasar kehidupan yang mengatur perkawinan. Dalam pokok keprihatinan Allah untuk membebaskan manusia dari kesepian kesendirian itulah harusnya seksualitas ditempatkan karena itulah hakikat cinta.
Menjadi gay, lama-lama kuterima sebagai kenyataan kehidupan yang memang demikian diciptakan. Pengalaman mencintaimu membuatku tahu bahwa gay bisa hidup di dalam cinta. Memang, aku sadar cintaku belum sempurna. Sering aku dilanda kecemburuan yang menyesakkan (apakah kau bisa merasakan itu Ai Can, bahwa aku kadang cemburu dalam mencintaimu?), kadang aku takut kehilangan, kadang aku kecewa dan marah. Mungkin seperti Santo Agustinus yang menuliskan dalam Pengakuannya, “Saya ingin sekali dicintai dan menikmati cinta itu. Tetapi sayang, karena keinginan yang begitu kuat saya justru terikat oleh belitan kesedihan, bara api cemburu, curiga, ketakutan, kemarahan, dan pertengkaran.”
Memang cintaku padamu ini bukan cinta yang murni dan sempurna. Tapi dari cinta yang tak murni dan tak sempurna ini pun, aku sudah bisa mengintip cinta mahaagung itu, aku bisa mencicipi betapa nikmatnya mengecap Sang Mahacinta. Terimakasih untuk pengalaman luar biasa, boleh mencintaimu Ai Can.
Mungkin kamu masih ingat Ai Can, ketika aku minta memintamu mencatatkan lagu Ingin Kumiliki dari Uthe itu... Aneh khan, aku lebih hafal lagu itu sebenarnya, tapi aku minta kamu carikan teksnya... Karena aku sebenarnya ingin kamu memperhatikan syair lagu itu dan mengerti bahwa seperti itulah harapanku kepadamu
Ingin kumiliki seluruh cintamu
Kusadari semua itu anganku
Kuingin katakan, hanyalah dirimu
Yang melukis warna mimpi hatiku
Ingin kumiliki dengan sepenuh hati
Walau ku harus setengah terluka mengharap cintamu
Ingin kusayangi tanpa terbagi lagi
Apakah mungkin menjalin kasih
Bila aku tak tahu bagaimana kau mencintai diriku
Ku ingin katakan
Hanyalah dirimu yang melukis warna mimpi hatiku
Ingin kumiliki dengan sepenuh hati
Walau ku harus setengah terluka mengharap cintamu
Ingin kusayangi tanpa terbagi lagi
Apakah mungkin menjalin kasih
Bila aku tak tahu bagaimana kau mencintai diriku
Ingin kumiliki, ingin kusayangi
Ingin kumiliki
Itu adalah lagu yang juga mengungkapkan pengharapan kasihku, sekitar satu tahun lalu. Sekarang aku mengatakan dan mengakuinya bahwa itu bukan sekedar aku ingin meminta teks syair lagu saja, tapi aku sedang mengungkapkan lagu cinta.
Tapi aku harus menyempurnakan cintaku. Aku ingin belajar mencintaimu tanpa syarat. Mencintaimu entah kau mencintaiku atau tidak, mencintaimu andai kau tak peduli cintaku, bahkan juga andai kau membenci dan melukaiku. Hampir saja aku bangga merasa bisa mencitaimu seperti itu. Tapi aku keliru. Ternyata begitu rapuhnya cintaku digerogoti nafsu. Maafkan aku Ai Can andai kau merasa menjadi korbanku.
Aku kadang bertanya, bukan kadang tapi sering, bertanya pada Tuhan mengapa aku tak bisa hanya mencintaimu tapi juga harus bernafsu padamu. Tuhan tak pernah menjawabnya selain dengan menyajikan fakta bahwa cinta dan nafsu itu bersama-sama ada, aku mengalaminya, dan aku merasainya. Aku pernah meminta agar aku bisa mencintaimu dengan melepaskan nafsuku akan dirimu, tapi jawaban nuraniku mengatakan mengapa harus memisahkan cinta dari nafsu. Tuhan tak mungkin keliru mencipta adanya nafsu. Nafsu itu ciptaan Tuhan dan bukan bikinan setan, kenapa harus dipersalahkan. Akhirnya, aku hanya merumuskan, bahwa nafsu yang diumbar memang bisa mengotori jiwa dengan kedosaan, tapi nafsu yang ditempatkan akan membimbing pula kepada kesucian.
Bagi sebuah keluarga, seks dengan segala keintiman dan gairahnya juga menjadi bahasa cinta Tuhan yang paling purba untuk menyatakan cinta. Dan gairah cinta itu menjadi pintu gerbang atau sekurang-kurangnya lubang intipan kepada cinta paling agung dan baka. Mengapa kalau gay tidak bisa mengarahkan gairah nafsu dalam cinta yang membawa kepada kekudusan pula?
Dalam konsep, aku menjawab bahwa semua itu pasti bisa. Seks pun menguduskan kaum gay kalau ditempatkan di dalam cinta yang sesungguhnya. Aku seolah sudah mantap dengan keyakinanku itu. Tapi, ketika aku baru saja bercinta denganmu dalam gairah yang begitu pekat membiru, aku seperti kehilangan semua itu. Ketakutan akan kedosaan ternyata tidak hilang oleh konsep yang kubanggakan. Tapi di sisi lain, aku merasa bahagia luar biasa karena mengalami engkau yang menerimaku apa adanya membuatku yakin akan cintaNya. Kalau engkau yang tak sempurna pun bisa menerima kenyataan diriku karena kasihmu, betapa Dia lebih akan mampu memahami dan mencintai diriku.
Pengalaman hari-hari ini, membuatku terbantun ke dunia luas yang tepinya tak pernah sanggup kujajaki. Konsepku bahwa tak ada dosa dalam seks gay hancur, tapi sekaligus ketakutan kalau karena gay akan ditolak Tuhan, saat ini juga luntur. Aku seperti memasuki perspektif seluas laut setelah selama ini berkutat di dalam lorong. Cinta yang besar itu lebih luas daripada sekedar urusan salah dan dosa, sedih atau bahagia. Ternyata cinta mahaagung itu bukan urusan salah, dosa, atau pun pahala. Cinta itu merangkum semuanya, menenggelamkan semuanya, menyinari semuanya dengan terangnya. Tapi aku tak sanggup menampung keluasan itu. Aku seperti silau di tengah terang yang teramat terang. Cinta ilahi ini begitu luar biasa, aku tak bisa menjajaki, bahkan tak bisa menduga luasnya. Aku tenggelam dalam keluasan yang tak bisa terkatakan, Ai Can!
Aku ingin minta maaf kalau apa yang terjadi di hari-hari ini mengguncang hatimu. Aku pun merasa terguncang dan terombang-ambing seolang melompat-lompat antara mimpi dan kenyataan. Tapi aku berterimakasih untuk semuanya. Andai ini dosa, maka ini adalah dosaku yang paling dalam; andai ini keagungan cinta, inilah keagungan yang paling besar pernah kurasakan. Aku tak tahu, ini dosa atau cinta, tapi aku telah diyakinkan bahwa samudera cintaNya mampu menampung dan membenamkan di dalam cinta yang jauh lebih luar biasa!”
Aku mendengar alarm dari kamar sebelah berbunyi...kutengok jam dinding, sudah jam 4 pagi!
Syalom!
CERITA KULANJUTKAN!
Suara air, Ai Can yang mandi, membangkitkan fantasi liarku... membawaku pada ingatan yang memalukan dan dan sekaligus mengesan kalau kuingat... mengintip Ai Can saat mandi sewaktu kami masih bersama kost dulu. Benar-benar liar dan memalukan, aku mengintipnya lewat celah kunci, ketika ia sedang mandi.
Awalnya, aku sebenarnya tak bermaksud mengintip saat itu. Bangun pagi jam lima kurang sedikit, aku olahraga sebentar, meregangkan otot dan pemanasan di halaman samping rumah kost. Ketika aku menengok ke belakang, salah satu kamar mandi di situ, aku melihat sandal Ai Can di depan pintu kamar mandi itu. Aku terkejut, karena sudah seminggu Ai Can ke Jakarta. Sebelum pergi dia meninggalkan surat di pintu kamarku, sepotong surat yang ditulis pendek tergesa-gesa, ditaruh dalam amplop seadanya yang pernah dipakai pula, diselipkan di bawah pintu kamarku begitu saja.
Teman baikku,
Maafkan bila diamku membuatmu luka,
Sebenarnya sekarang ini aku
Sangat takut pergi ke Jakarta
Takut kalau di sana aku membuat
Keputusan-2 spontan dan menyakitkan
Aku takut akan ada banyak
Kekecewaan dan kengerian yang aku akan
Hadapi di Jakarta
Yah, didoain aja deh,
kamu juga pasti bingung mau bantu apa
Mudah-mudahan segalanya lancar.
Rencananya aku gak akan balik ke sini,
karena pasti itu lebih menyakitkan lagi
Yah, dipamitin aja sama teman-2
Kalau itu terjadi
JFS
Aku tak bisa tak menangis saat membaca surat Ai Can itu. Aku merasa dunia ini gelap dan hati ini senyap membayaangkan akan kehilangan dia secara tiba-tiba. Memang, Ai Can hari-hari itu sedang ada masalah. Masalahnya menumpuk, datang tiba-tiba dan bersama-sama. Sebuah pembatalan promosi di lembaga yang mengirimnya studi, ibunya jatuh sakit, masalah dengan rekan seperjuangan yang seolah ‘tiba-tiba berkhianat’ meski itu di luar sebuah kehendak jahat, dan masih ada masalah-masalah lain yang tersembunyi dan tak kumengerti. Seperti kebiasaannya, dia hanya cerita sepotong-sepotong tentang masalahnya. Nanti kalau sudah selesai semua, baru dia mau cerita selengkapnya. Begitu sikapnya.
Kediamannya selama beberapa hari dan cerita sepenggal tentang masalah-masalahnya itu telah melarutkanku dalam kesedihan. Entahlah, inikah yang namanya cinta, ataukah karena memang belahan jiwa. Apapun alasannya, juga ketika tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku pun, ketika melihat Ai Can bersedih, hatiku ikut larut dalam kesedihan. Ketika dia gembira, aku pun ikut merasakan kegembiraan. Hari-hari diam Ai Can yang tenggelam dalam kesedihan, telah membuatku ikut bingung dengan kediaman dan kesedihannya. Apalagi ketika surat itu kubaca, aku sungguh hanya membisu dalam kelu, seolah kemekaran jiwaku sepenuhnya layu.
Aku ingin sekali menelepon Ai Can, tetapi aku juga tahu dia sedang butuh sendirian. Aku berpikir, mungkin kalau sudah lewat satu minggu aku baru akan akan mencoba menghubunginya. Memang aneh diriku ini. Aku sangat mempedulikan apa pun yang terjadi pada dirinya. Aku selalu terlibat dalam hati apa pun kenyataan yang dihadapinya. Di satu sisi aku ingin dia mengerti betapa aku peduli. Di sisi lain aku ingin menyembunyikan diri, jangan sampai dia menyadari aku mencintainya dengan cara seperti ini. Maka aku memang harus pintar-pintar menjaga dir, tak boleh berlebihan, dan tak boleh terlalu mengungkapkan cinta yang kusembunyikan.
Aku tak membayangkan Ai Can akan pulang Jogja, bahkan secepat itu dia pulang. Maka melihat sandal Ai Can di depan kamar mandi membuatku yakin dan berharap dia telah kembali, tetapi sekaligus ragu-ragu sungguhkah Ai Can yang sedang mandi. Atau ada teman kost lain yang memakai sandalnya karena beberapa hari Ai Can tidak ada dan sandal itu ditinggal begitu saja di depan kamarnya.
Rasa penasaran dan harapan yang tak tertahan-tahan mendorongku begitu saja untuk mengintip kamar mandi itu lewat lubang kunci yang memang bisa untuk mengintip, kunci model lama yang ada lobangnya. Aku membungkuk, tergesa tapi hati-hati. Aku tak langsung melihat wajahnya, hanya tangannya yang langsung aku kenali dari jari-jari yang memegang gayung itu: jelas itu Ai Can.
Tapi mataku yang nakal ditambah nafsu yang binal tak berhenti di situ. Kalau semula aku hanya ingin mengetahui apa benar itu Ai Can, kini hasratku berkembang, ingin melihat ketelanjangan Ai Can. Dan meski terbatas, hanya lewat lubang kecil, apalagi dilakukan dengan hati yang was-was kalau tiba-tiba ada teman datang dan melihat yang kulakukan, juga sedikit kekhawatiran kalau-kalau Ai Can sadar ada yang sedang mengintip dan memperhatikan... toh aku dapat melihat jelas ketelanjangannya. Ai Can dalam wajah telanjangnya ada di depan mataku. Dan mataku terjerat nafsu untuk menatap sesuatu yang selalu tertutup itu.
Memang, begitu kompleks diri ini. Terbedakan tapi tak pernah dapat kupisahkan, antara cinta yang penuh keagungan dengan nafsu yang penuh kekotoran dan keliaran. Aku mencintainya dan ingin menjaganya di dalam cinta. Tapi aku juga menafsuinya dengan segala keliaran fantasi dan keinginannya yang penuh gejolak dan gelora.
Sejak itu, aku sering mencuri-curi kesempatan untuk dapat mengintip Ai Can mandi telanjang. Hanya sekilas-sekilas saja aku dapat mengintip, tapi aku seperti kecanduan. Makin lama makin sering aku menginginkannya. Dan makin lama pula makin lebih aku menginginkannya. Sebenarnya ada rasa salah yang mendera, karena aku seolah mencuri memandanginya dan aku melanggar ruang privasinya. Ini tidak benar. Tetapi hati terus bertengkar tanpa kesepakatan. Sejak kecil aku dididik untuk merasa salah oleh dosa. Maka rasa bersalah itu memang terasa dalam sungguh hunjamannya. Tapi aku tak bisa mengendalikannya.
Apakah cinta dan nafsu itu memang sesuatu yang harus dipisahkan. Apakah cinta itu tak murni lagi ketika nafsu menyertai. Ataukah sebaliknya nafsu itu berguna untuk memekarkan dan menguatkan daya ikat cinta. Kalau Tuhan mencipta nafsu, pasti itu juga baik adanya. Dan kalau nafsu itu menggelorakan cinta, tentu tak sembarang nafsu harus langsung diadili sebagai dosa yang menghancurkan atau menodai cinta.
Banyak yang berpikir, bahkan aku pun sering berpikir, nafsu itu menodai cinta. Tapi mungkin sebenarnya di sisi yang lain nafsu itu akan menjadi salah satu tiang penyangga cinta. Nafsu tak selalu dosa; dalam sebuah keluarga adanya nafsu adalah juga awal hidup baru tercipta. Nafsu itu menopang cinta, asal bukan nafsu yang ditonjolkan dan diagungkan dalam cinta. Tiang penyangga pun bukannya menopang tapi malahan merobohkan, andai terpasang terlalu tinggi dibandingkan lainnya. Nafsu hanya menodai bahkan menghancurkan cinta kalau melewati batas proporsi yang semestinya. Tetapi justru akan menjadi penopang dan pengembang cinta, kalau tepat saat dan tempatnya. Aku ingin mengamini keyakinan seperti itu.
Aku terhenyak. Aku mendengar suara mengebaskan handuk. Lamunanku terhenti. Ai Can pasti selesai mandi. Aku bersijingkat agak menjauh dari kamar mandi, berpura-pura masih agak jauh menuju kamar mandi. Aku dengar suara membuka kunci, aku berjalan menuju kamar mandi, masih beberapa meter jaraknya. Ai Can keluar kamar mandi, menyunggingkan senyuman manis di bibirnya. Keluar dari kamar mandi menuju kamarnya, hanya terbalut handuk di pinggangnya; tangannya menenteng pakaian yang tak dikenakannya... Mataku tersihir oleh pesona tubuh setengah telanjangnya.
8) 8) 8)