It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
'Aku biasa kok klo cuma kerik. Ada balsem ato minyak angin gak? Kalau gak ada, aku juga punya. Mau pakai minyak tawon, minyak kayu putih, apa balsem?' aku menawarkan. Obat-obatan aku memang cukup lengkap, sejak dulu aku mengalami kebahagiaan tertentu kalau bisa menolong orang sakit. Ada kepuasan batin rasanya.
'Bener nih?'
Aku tak menjawab, tapi langsung masuk kamar, setengah teriak dari kamar memastikan mau dikerik pakai apa. Dia bilang pakai minyak tawon aja, gak panas
Dia masuk kamarku. Langsung saja dia buka kaos putihnya yg tipis, lalu tengkurap di kasurku. Kepalanya membenam di bantalku, tak tampak ada rasa risih dengan bau badan yg meski tak tajam tapi pasti tertinggal di sprei dan sarung bantal. Dia tampak enjoy saja membenamkan wajahnya
Punggungnya yg putih sudah penuh garis-garis merah, kontras yg indah.
'Kamu bisa mijit kan?' Dia setengah bertanya setengah meminta.
"Kliatan dech...!"
"Kliatan dari mana?" tanyaku penasaran.
"Ya tau aja!"
Aku pun segera memijatnya, mulai dari ujung-ujung kakinya. Jari-jari kakinya yang putih bersih itu tak bau, benar-benar bersih. Banyak lelaki tak pernah peduli pada bau kaki. Lagian orang memang bisa tak peka mencium aroma tubuhnya sendiri. Dia agak lain rupanya. Kakinya bersih, aku ingin memastikan dengan agak mendekatkan wajah ke kakinya yang mulai kutekan dengan ujung jariku. Betul, bersih dan tak bau! Aku tak suka dengan lelaki kotor dan bau. Dia mengaduh beberapa kali ketika pijatanku mengena di titik refleksi tertentu. Agak kesakitan, tapi ada kenikmatan...
"Biasa pijat ya?"
"He'eh!" dia mengiyakan sambil menggeliat-geliat merasakan sakit dan kenikmatan. Ekspresi yang aku suka kalau lagi mijat. Aku tak suka kalau yang dipijat terlalu mengaduh-aduh, tapi juga ada rasa kecewa, tak puas, kalau diam saja seolah tak merasa apa-apa. Indah di mataku, tubuh yang menggeliat, sakit tapi nikmat saat dipijat.
Aku beralih ke jari-jari tangannya, memijat titik-titik refleksi di sana. Ada yang lucu dengan bentuk kuku-kuku jarinya. Kuku-kukunya pendek, bagian ujung lebih lebar dari pangkalnya, mirip segitiga. Beda, kuku-kuku jariku agak ramping memanjang. Waktu kecil dulu pernah kupiara sampai panjang, bersih, dan rapi. Tapi aku lalu memotongnya karena ada teman dan guru yang komentar kaya jari anak perempuan. Sejak itu aku selalu memotong kuku pendek rapi. Apalagi setelah sering memijat, sejak aku masuk asrama saat SMU, kukuku tak pernah panjang lagi.
Beberapa kali dia mengaduh merasakan pijatanku. Aku menjawab dengan senyuman puas.
"Berapa tarifnya, Mas?" dia bertanya dengan suara dinakal-nakalkan menggodaku.
"Hhhhhh...!" Gemas kuremas pelan kedua kupingnya. Aku sendiri kaget dengan diriku, kok berani-beraninya aku memegang demas seperti itu, kulakukan pada teman yang baru saja mengenalku. Entahlah, aku seperti setengah tak mengenali diriku sendiri. Tiba-tiba saja seperti orang yang sudah lama kukenal, teman baruku ini.
Sebenarnya sessi pijatku sudah selesai, tapi aku belum mau mengakhirinya. Aku terus memijat badannya, dengan setengah energi saja karena memang sudah cukup sebenarnya. Pijatan akhir ini lebih seperti memanjakan daripada melakukan terapi penyembuhan. Tapi entah, apa aku memanjakan dirinya dengan pijatanku, atau sebaliknya aku memanjakan diri memijat tubuh yang ternyata aku suka memijatnya.
Entah terinspirasi dari mana, aku tiba-tiba jadi penasaran akan bau tubuhnya. Aku mendekatkan wajahku di dekat tengkuk dan belakang telinganya, tempat yang belum terlalu terpengaruh oleh aroma minyak tawon yang kupakai kerik dan pijat tadi. Bau yang lembut, nyaris tak terasa... tapi ada aroma khas yang aku suka. Aku hanya sebentar sekali mendekatkan wajahku ke tubuhnya, takut kalau-kalau dia tiba-tiba terbangun dan mengira aku mau apa.
Aku kembali melakukan pijatan-pijatan kecil. Tapi lagi-lagi rasa penasaran dan keinginan entah apa menarik wajahku untuk membungkuk mendekatkan hidungku ke tubuhnya. Kali ini lebih gila lagi, aku mendekatkan hidungku ke dekat ketiaknya. Ada terasa bau keringat, tapi tak menyengat, tercampur dengan aroma deodoran yang dipakainya. Aku kaget, terdiam. Heran aku dengan diriku, dengan apa yang kulakukan baru saja. Tapi ada rasa yang membuatku ingin mengulanginya... mengulanginya... dan mengulanginya.
Aku duduk di lantai berkarpet plastik di kamarku. Punggungku nyandar di tempat tidur. Aku ambil buku dan kubaca. Belum satu halaman, saat aku tergoda untuk menatap wajah teman baru yang tertidur di tempat tidurku itu. Entah mengapa, aku suka saja menatapnya. Aku kembali ke bukuku, baca sebentar, lalu aku tatap kembali tubuh itu, kembali ke buku sebentar, pindah ke wajahnya, baca sebentar, kembali ke jari-jari tangannya...dan begitu seterusnya. Lewat setengah jam, hampir dua halaman saja terbaca, tanpa sekalimat pun terekam di kepala.
"Trims ya..." dia berkata pelan, tangannya mampir di kepalaku, antara mengacak-acak rambut atau memberi sekilas belaian di kepalaku. Aku menengokkan wajahku padanya. Dia sudah bangun, tapi matanya yang sipit itu hanya setengah terbuka saja. Kembali tangannya mengelus kepalaku, lalu bangun, duduk di tempat tidur. Biasanya aku tak suka orang megang-megang kepalaku, apalagi orang yang tak kukenal. Tapi elusan tangannya di rambutku terasa lain. Aku tak merasa terhina, malahan seperti merasa dimanja.
"Eh, Adik Bayi dah bangun...!" aku menggodanya.
"Enak aja bayi..." mulutnya protes, tapi ekspresi wajahnya tampak geli-geli suka dengan caraku memanggilnya ini.
"Khan emang kaya bayi! Hehehehe..." Aku menjawab sekenanya dan dia tersenyum saja. Sejak itulah aku sering memanggilnya Adik Bayi, sebutan yang kemudian lebih sering aku ucapkan Ai Can.... bayi yang cantik.
critanya udah bgus.. tp temponya terlalu lambat...
jd agak bosen lama2 bacanya.... thx
“Makan siomay mau?” Dia keluar dari kamarnya, setelah cuci muka sebentar di kamar mandi. Sempat kulirik, dia pakai cream pembersih wajah yang mahal. Lima menit kemudian, ia sudah ganti pakai baju. Ada aroma parfum agak menyengat meski lembut, mungkin untuk menghilangkan bau minyak tawon di tubuhnya.
“Boleh...!” jawabku spontan. Jujur saja, aku sebenarnya jarang sekali makan siomay. Bukannya tak suka, tapi tak biasa saja, jadi tak begitu selera. Tapi aku bersemangat untuk diajaknya makan bersama. Bukan menunya, tapi kebersamaannya.
“Pakai motorku aja ya! Gak takut kubonceng khan?” katanya kemudian sambil cerita dia baru pegang motor dua bulan sebelum ke Jogja, masih setengah bisa. Aku juga bukan pengendara motor yang terampil, apalagi memori navigasiku juga kacau, tapi kehati-hatian toh selama ini menyelamatkan. Jadi aku tenang saja. Motornya meluncur, melewati ring road, lalu menyusur Jalan Kaliurang, dan akhirnya berhenti di Warung Siomay dekat gerbang Batalyon Infanteri 403, Kentungan.
“Hm, dari mana kau tahu tempat ini?” aku memang tak begitu kenal warung-warung makan. Aku lebih banyak masak di kost daripada jajan. Jadi agak heran, dia yang baru berapa hari di Jogja sudah langsung punya tujuan pasti begitu mau makan.
“Siapa dulu…!” dia lalu melenggang saja, mengambil tempat duduk di salah satu sudut. Waktu memesan pun dia tidak melihat menu yang disodorkan. Sementara aku masih memandangi daftar menu di depanku.
“Yang ini enak, ini juga enak… ini gak begitu enak… ini gak usah…! Ini juga enak,” katanya sambil jarinya yang kukunya lucu menunjuk di daftar menu. Heran, ini anak dari mana tahu semua itu!
Kami makan sambil ngobrol. Asyik rasanya, seolah kami sudah jadi teman lama. Sama sekali tak terasa kalau kami baru saja berjumpa.
"Dulu pernah ketemu kali, di zaman reinkarnasi sebelumnya... Waktu aku jadi Si Buta dari Gua Hantu dan kamu jadi Si Kliwon, huahahaha..." Di meledekku dengan cara yang menggemaskan ketika aku mengatakan rasa aneh karena langsung akrab sejak ketemu ini.
"Hm... kayanya kebalik dech, tanganku khan lebih kekar dari tanganmu, masa sih Si Buta kalah gede ama Si Kliwon?" Aku meraih pergelangan tangannya dan langsung membandingkan dengan tanganku. Ada rasa yang bergetar saat di dalam hati, saat aku menggenggam tangannya. Aku merasa aneh aja.
"Siapa bilang gedean punya kamu, ini khan cuma yang keliatan aja... Yang gak keliatan... wouw jangan tanya...!"
"Dasar anak nakal!" Kupukul lembut lengannya. Dia tersenyum saja.
"Tapi kayanya bener dech, kita pernah kenal di reinkarnasi sebelumnya! Heheheh..."
Aku diam saja. Soal reinkarnasi memang pertanyaan yang tak terjawab dalam iman Katolik yang kuhayati. Dia juga Katolik, tapi keluarga dan leluhurnya banyak yang Buddha, pemikiran tentang reinkarnasi masih dekat dengan dunianya. Sejujurnya, kadang aku juga berpikir, jangan-jangan memang reinkarnasi ini benar-benar ada, entahlah. Ada banyak hal yang tak terjawab dalam kehidupan ini.
Sejak itu, aku dan Ai Can menjadi akrab. Kuliah kami sering duduk bersebelahan. Pergi sering berduaan. Kalau dia capek atau suntuk, dia sering ke kamarku, entah untuk cerita-cerita, atau sering juga ia minta pijat dan aku dengan senang hati pula memijatnya. Ada satu hal yang tak pernah kulakukan dalam sessi pemijatan, yaitu pijat paha. Sebenarnya aku punya teknik pijatan paha yang luar biasa. Aku belajar itu secara tak sengaja dari seorang Mbok Pijet di pegunungan Menoreh, desa yang sepi di ujung gunung. Suatu ketika aku sedang ada acara di sana. Waktu itu aku lagi batuk berat, penyakit bawaan dari masa kecil dulu yang setiap kali kambuh memang sangat menyiksa. Waktu aku pulang ke rumah yang kuinapi, ibu pemilik rumah sedang mengundang Simbok tukang pijat itu. Mendengar suara batukku yang menyiksa itu, langsung ditawari untuk pijat sekalian. Sebenarnya aku tak minat, apalagi pemijatnya ibu-ibu tua begitu. Tetapi tak enak untuk menolak, aku pun menerima tawarannya. Ternyata, ibu itu mempunyai teknik pijat paha yang luar biasa. Pijatan di paha itu membuat seluruh kelelahan hilang dan badan serta pikiran terasa ringan. Seluruh tubuh terasa nyaman. Dari situ aku belajar pijatan pada paha, teknik yang baru bagiku dan kurang dibahas di buku-buku yang pernah kupelajari. Aku biasa mempraktikkan pijat paha itu pula kalau ada teman minta pijat. Pijat penghilang lelah yang luar biasa!
Anehnya, untuk Ai Can aku tak berani melakukan pijatan ini. Aku tak berani berlama-lama menatap pahanya yang ramping dan putih mulus itu, apa lagi untuk memijatnya. Kalau aku sedang memijat Ai Can, aku selalu menghindarkan pandanganku dari bagian-bagian tubuh tertentu Ai Can. Aku heran dan tak mengerti mengapa begini. Aku malu dengan diriku. Aku suka mencuri pandang ke pahanya yang mulus itu, tapi aku segera takut dan membuang mukaku. Lebih memalukan lagi, karena aku sering mencuri-curi pandang pula, tak hanya di paha, tapi juga di tonjolan di pangkal pahanya. Aku malu mengakuinya, tapi aku suka!
Gila... Aku sering merutuki diriku dengan hal yang tak kumengerti ini...
Dua tahun bersama, hidup di bawah atap yang sama, kuliah di bangku yang sama... Ada banyak gejolak yang membuatku akhirnya menerima diri dan menyimpulkan bahwa aku memang mencintai Ai Can, bukan sekedar sebagai sahabat. Dalam relasi, dia adalah sahabat terbaikku; di dalam hati, dia adalah kekasihku. Tapi aku tetap berkomitmen, aku tak boleh lebih jauh. Biarlah dia menjadi sahabatku, dan tetap sahabatku saja.
“Hati-hati ya, jkt beda ama jogja. Klo gak tau jalan jangan naik taxi”
“Naik kreta aja, ntar aku jemput stasiun. Gimana?”
“Jam brp brgkt? Hati-2 ya... cU”
“Jadinya naik apa?”
“Janji lho, nginep di rumahku aja. Awas klo gak, aku sunatin ntar!”
Hari menjelang keberangkatanku ke Jakarta, Ai Can terus memberondongku dengan sms-sms menanyakan atau memberitahu ini dan itu. Dia tahu betul, aku memang buta Jakarta. Dia pun mengerti, memori navigasiku kacau. Aku mengerti dia mengkhawatirkan perjalananku. Ada merasa malu juga sih, diperlakukan seperti itu. Seolah-olah aku ini seorang anak kecil yang belum bisa menjaga diri. Tapi aku merasa nyaman juga, merasakan kasih dan perhatiannya. Dan aku tahu, ia melakukan itu bukan untuk mempermalukanku, tapi karena ia sungguh memahamiku.
Satu tahun aku tak bertemu Ai Can sejak kami selesai kuliah. Dia kembali ke Jakarta, kerja di LSM sambil ikut ngurus bisnis ayahnya, sebuah toko perkakas rumah tangga impor dari China yang tampak kecil saja tapi pelanggannya luar biasa. Aku tetap di Jogja, belum ada pekerjaan yang mapan, tetapi juga bukan pengangguran. Aku mengajar di beberapa tempat, asistensi di sebuah lembaga konsultasi, dan beberapa kerjaan serabutan lain. Tentu saja, pekerjaan itu bukan pekerjaan yang membuat kaya. Tapi toh dengan begitu pun aku sedikit-sedikit bisa bantu keuangan keluarga kakakku. Duit itu kaya jenggot saja, kalau dicukur tumbuh lagi, malah lebih banyak. Aku tak terlalu peduli pada duit. Bekerja dan merasa hidup berguna, itu jauh lebih bermakna daripada menjadi kaya. Mungkin naif banget, tapi aku menikmatinya. Anehnya, meski gaji mengajar bisa dibilang kecil, dari biro konsultasi pendapatan tak menentu kadang cukup besar kadang juga hanya pas-pasan, toh aku tak pernah kekurangan. Lebih hebat lagi, setiap aku butuh uang, pasti ada jalan. Bapakku juga bilang, rejeki kita itu diurus Tuhan kok, gaji bapak itu hitungan di atas kertas tak mungkin cukup, tapi nyatanya tak pernah kekurangan dan bisa hidup tanpa utang.
“Jadi berangkat hari ini khan? Jam brp? Naik apa?”
Sms dari Ai Can masuk lagi, aku senyum-senyum saja, geli membayangkan wajahnya yang imut itu mencemaskanku. Aku jadi kangen banget, pingin cepat-cepat ketemu dia... Ai Can, Ai Can... Aku jadi semakin merindukan sahabatku itu.
Aneh, yang paling kurindukan dari Ai Can adalah bau tubuhnya. Ketika aku satu kost lalu, setiap kali aku merasa capek atu suntuk, aku masuk ke kamarnya dan tiduran di tempat tidurnya. Ada yang membuatku merasa nyaman dan rileks kalau tidur sambil merasai aroma tubuhnya yang tercium di kasur dan bantalnya. Aku tak tahu, apakah dia merasa hal yang sama, tapi dia pun kalau lagi capek dan pusing dengan masalahnya sering masuk kamarku hanya untuk tiduran saja. Aku sempat menduga, mungkin yang dirasakannya sama. Tapi aku tak berani bertanya, takut menyinggung perasaannya. Aneh memang persahabatan kami. Kami sangat akrab, kalau ada masalah kami bisa saling cerita. Tetapi rahasia di antara kami sangat besar. Ada banyak hal yang kurahasiakan dari dirinya, dan aku pun tahu dia menyimpan banyak rahasia pula.
“Kok gak bls? Dah brgkt?” smsnya sudah masuk lagi, baru 10 menit dan aku juga baru mau balas..
“Tar lagi, masih nunggu travel. Jadwalnya jam 5, tapi dah hmpr ½-6 kok blom dtg”
“Lho, kok naik travel? Mahal lho!”
“Tenang... aku pulang gak akan utang, ini travelnya gratis kok, hehehe... ada orang berbaik hati!”
Memang, ada yang berbaik hati membelikanku tiket naik travel, seorang Suster tua yang kubantu beberapa waktu yang lalu. Suster itu mengelola sebuah panti asuhan, ada beberapa problem yang kubantu menyelesaikannya tanpa minta bayaran. Tidak semua pekerjaan harus dibayar khan? Tapi ternyata Suster itu tak kehilangan cara setelah gagal memaksaku menerima bayarannya. Mengetahui bahwa aku akan ke Jakarta, dia langsung telepon ke agen travel langganannya.
Sebenarnya aku sudah berencana naik kereta. Bahkan aku sudah menyempatkan diri mengutip teks lagu Juwita Malam, supaya hapal syairnya, dan hari-hari itu aku asyik mendendangkan lagu itu... ‘kereta kita segera tiba, di Jatinegara kita kan berpisah. Berikan nama, alamat serta, esok lusa kita boleh jumpa pula...’. Entah kapan lagu itu populernya, aku mengenal dari rilis ulang saja, dinyanyikan oleh Broerry, penyanyi favoritku selain Ebiet G Ade. Soal lagu, seleraku memang rada aneh, aku suka lagu-lagu kenangan yang bahkan aku tak pernah tahu saat populernya lagu itu. Asyik saja! Lagian, kalau aku nyanyi tembang kenangan begitu, teman-teman banyak yang suka. Jiwa romantis libra ditambah rasa seni orang angka 4 dalam eneagram, memang menjadikanku mampu selalu membuat nyanyian begitu hidup dalam penghayatan.
18.13 aku baru berangkat. Sampai Purwokerto, hanya dua orang di travel kami. Akhirnya kami berdua dioper ke travel lain. Beruntung, travelnya malahan lebih bagus, ada tv kecil di depan dan tempat duduk yang lebih nyaman. Aku ingin tidur, supaya besok bisa segar. Tapi ternyata aku tak dapat tidur. Ada rasa gembira yang meluap-luap di hatiku, yang membuatku tak bisa tidur. Rasanya begitu menyenangkan akan ketemu Ai Can setelah hampir genap satu tahun tak ketemu. Ternyata, aku amat merindukannya.
“Aku dah masuk jkt, tapi kayanya yang trakhir diantar! Apa ancer2 rumahmu yang bisa dikenali driver travelku!”
“Kamu turun aja di Gereja St Yoseph. Kutunggu. Tp klo jam 5.30 blom dtg tar yang nunggu karyawanku. Titi DJ, ati2 di jln”
“Gak usah tunggu, tar aku telp klo dah smp!”
“Ga pa2, aku tunggu aja!”