BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Setelah Limit itu Kuterobos...

124

Comments

  • 05.25 travel sampai di Gereja St. Yoseph. Aku turun dan celingukan mencari kalau Ai Can sudah menjemputku. Seorang pemuda yang sedang ngobrol dengan satpam Gereja mendekatiku.

    “Mas, temannya Ko Ferdy dari Jogja ya?”
    “Ya, benar!”
    “Dah ditunggu dari jam 4 tadi. Sekarang Ko Ferdynya lagi ikut misa pagi, mari saya antar!”
    Pemuda itu langsung membantuku membawa tas bawaanku yang tak terlalu besar. Tak begitu ramah orangnya, tapi menampakkan rasa hormat, mungkin karena aku teman bosnya. Mungkin begini tipikal wajah orang Jakarta, entahlah.

    Tak sampai 10 menit, kami sudah sampai. Pemuda itu menunjukkan kamar yang sudah disediakan bagiku. Kamar itu bersebelahan dengan kamar Ai Can. Aku segera mandi, aku tak ingin ketemu Ai Can dengan tubuh yang masih lecek begini. Harus cepat-cepat, sebelum Ai Can pulang. Seperti apa ya, Ai Can sekarang?

    Aku selesai mandi, berganti pakaian, dan tak lupa memakai deodoran... deodoran yang sama dengan yang sering dipakai Ai Can. Sejak aku berpisah dengannya setahun lalu, aku memakai deodoran yang sama dengannya... membangkitkan memori penciumanku tentang kehadiran sahabat yang amat kukasihi itu. Sentimentil banget, kaya abg, ikut-ikutan saja... tapi begitulah dan aku menikmatinya. Tak ada paksaan untuk meninggalkan sebagian kekanakan kita bukan?

    Kudengar suara langkah kecil agak tergesa menaiki tangga... begitu mendengarnya aku langsung mengenali itu adalah langkah Ai Can, langkah yang setengahnya selalu kubayangkan mirip dengan langkah lelaki dalam lagu Ebiet berjudul ‘Zaman’. Ada rasa gembira meluap, tapi juga deg-degan menegangkan dalam detik ketika kutahu pasti Ai Can berdiri di muka pintu kamarku!

    “Petong... Petong... Hai, Bocah Tua Nakal, ayo bangun!!!” aku tahu dia bercanda, pasti dia ngerti aku tidak tidur. Ai Can sering memanggilku Bocah Tua Nakal, Cu Pe Tong dalam serial Return of the Condor Hero yang sama-sama kami suka. Kebetulan pula, selain aku suka usil dan iseng seperti Si Bocah Tua Nakal, namaku Pita kalau dipelesetkan a la ledekan anak-anak juga bisa diucapkan Petong! Rupanya dia mengikutiku memanggil dengan nama khas semacam itu, membalasku yang memberinya nama baru Ai Can, si bayi cantik. Ternyata, persahabatan sering menularkan kebiasaan, dan pastinya, juga menyetalakan bahasa!

    Kubuka pintu! Senyumnya indah dan ramah menyapaku. Aku menggenggam erat tangannya saat dia menyalamiku. Kurangkulkan tanganku sekelebat saja. Aku ingin sebenarnya memeluk dia, tapi aku tak berani. Aku teringat sepotong kata yang dulu sempat terucap, entah serius entah bercanda tapi aku menduga itu kata-kata serius yang disamarkan dalam canda. Ai Can pernah berkata, “Kalau saja tidak di depan umum, aku sudah memelukmu!” Ia mengatakan begitu sambil tertawa seperti orang kegirangan tapi juga seperti bermain ledek-ledekan, saat aku diumumkan sebagai lulusan dengan IPK terbaik tahun lalu.

    “Yuk, sarapan...!” ucapnya sambil mengajakku ke meja makan. Rasanya ada begitu banyak perasaan yang melimpah ingin kukatakan; tetapi serasa mampat mau berkata. Aku jadi kehilangan kata-kata, tapi hati begitu gembira. Aku sekilas sempat mencuri kesempatan mencium bau tubuhnya dengan mendekatkan hidungku ke bahunya saat dia menarikkan kursi untukku... aroma tubuh yang begitu kurindu selama setahun tak bertemu.

    “Sori ya, di sini kalau pagi tak ada nasi!” katanya sambil mengeluarkan box roti tawar dan kelengkapannya dari dalam almari dan kulkas di ruang makan itu. Sigap dan lincah ia menyalakan pemanggang listrik, memanaskan roti, dan kemudian menyiapkannya. Kulihat dia mengoleskan mentega tipis sekali, kemudian menuangkan madu membentuk lintasan bersambung di diagonalnya, dan pada tangkupan lainnya dia mengoleskan selai orange dan strawberi dalam paruh diagonal. Itu adalah caraku meramu roti tawar, aku selalu memakai lebih dari satu rasa selai, mengoles dua macam selai dipisahkan oleh garis diagonal, dan menteganya tipis saja... Seingatku aku hanya sekali saja pernah sarapan roti tawar bersama dia; mungkinkah dia memperhatikan cara makan rotiku sedetail itu? Tapi aku yakin, sepertinya dia membuatkan untukku, bukan buat dirinya! Kalau melihatnya sedang menyiapkan makanan begini, aku yang merasa rada-rada feminin ternyata masih satu grade lebih maskulin dari Ai Can.

    “Yup! Ini untukmu...!” dia langsung menaruhnya di depanku, tepat seperti yang kubayangkan.
    “Kok tahu aku kalau makan roti tawar sukanya begini!”
    “Ya tau dong, cinta itu khan memperhatikan sampai detail, hwueeek...!” dia melanjutkan kata-kata yang seolah serius itu dengan ledekan kanak-kanak, seperti biasa kami sering ledek... “Aku khan orang yang baik hati, penuh kasih, pengertian, tidak sombong, bersikap adil, suka menolong, gemar menabung...hehehehe...” dia melanjutkan candanya. Ah, kenapa dia tidak bilang, “Aku khan sayang kamu...” rutuk hatiku... Ah, tapi itu tak mungkin! Atau kalau itu ternyata mungkin, aku malah takut menghadapi kenyataan itu.

    “Apa acara hari ini? Gak boleh cuman tidur lho... masa jauh-jauh ke Jakarta tiga hari cuman buat tidur aja! Tar jalan-jalan ya...”
    “Okey!”

    Seharian kami jalan-jalan, keliling-keliling kota, lihat keramaian Jakarta. Tak banyak yang kami bicarakan selama berjalan. Aku duduk di boncengan motornya, tanpa banyak kata-kata. Aku tak ingin moment kebersamaan yang tak akan lama ini hilang begitu saja karena ribut dengan kata-kata. Aku ingin menikmatinya dengan diam. Diam sering lebih membuat hati peka untuk merasa. Diam sering lebih kaya makna. Dan aku menikmatinya. Entah apa yang dia pikir dan dia rasa.

    Malamnya, usai makan malam, dia masuk ke kamarku!
    “Tidur di kamarku aja yuk, sambil cerita-cerita!” dan ia tidak memberiku kesempatan untuk menjawab. Dia mengambil bantal dan guling di tempat tidurku dan menaruh di pangkuanku.
    “Ayo bawa!” katanya sambil mengangkat kasur ukuran single dan memindahnya ke kamarnya. Aku mengikutinya dari belakang. Dia menaruh kasur itu di lantai kamar, bersebelahan di bawah tempat tidurnya. Ada rasa harap-harap cemas yang tak kumengerti, bergolak di hatiku saat aku masuk ke kamarnya. Rasa harap-harap cemas yang aku tak berani menyebutnya itu perasaan apa.
  • aduh tidur bareng
    lanjut ah :wink:
  • Rencana, kami mau ngobrol... tapi belum 20 menit aku sudah terkantuk-kantuk. Semalam susah tidur di travel, siang tadi tak sempat tidur!

    “Dah ngantuk, ya? Ya udah bobok aja! Kasihan ya, semalam pasti gak bisa tidur, kebayang-bayang mau ketemu cowok ganteng, hehehehe... Iya khan?” dia meledekku. Dalam hati aku bilang, memang benar sih. Tapi mulutku malu mengakuinya.

    “Ini tanya apa cerita? Kamu khan yang pagi-pagi buta sudah bangun dan standby di depan Gereja? Yeeee... berarti kamu yang kangen banget ama aku? Udah dech gak usah malu, ngaku aja...!” aku membalas ledekannya.

    Aku tiba-tiba saja merasa kaget dan malu, kenapa kami jadi ledek-ledekan seperti dua orang yang saling naksir tapi sama-sama saling gengsi gini. Rasa malu diramu dengan kantuk dan kelelahan, membuatku berhenti dari candaan itu dan segera memejamkan mataku.

    Aku sudah memejamkan mata, tapi belum tidur sebenarnya. Ai Can turun dari tempat tidurnya, berjingkat melewatiku. Kuintip dari pelupuk mataku yang setengah terpejam. Dia mengambil buku agenda kecilnya, membuat catatan kecil. Kemudian dia melepaskan kaosnya dan menggantungkan di gantungan pakaian di balik pintu. Tubuhnya yang putih halus memikat mataku untuk tak sungguh-sungguh terpejam. Aku menunggu, apakah dia juga akan melepas celananya? Aku tahu kebiasaannya di kost dulu, kalau tidur malam dia hanya pakai celana dalam saja. Memang hanya dua kali aku melihatnya, itu pun hanya sekilas saja; tapi dia sering cerita begitu padaku. Dia cerita enak saja kalau dia tidur hanya pakai celana dalam, tak sadar kalau ceritanya itu menyiksaku dengan rasa penasaran.

    Ternyata Ai Can tidak melepasnya! Dia masih memakai celana pendek, hanya kaosnya saja yang dia lepas. Dia berjingkat melewatiku, dengan telanjang baju. Selintas aroma tubuhnya lewat, mendesirkan perasaan yang sekilas mengusir kantukku. Tapi kelelahan memaksaku segera melayang ke negeri impian, lelap dalam diam, bahkan impian pun tak terekam. Lelap sudah...

    ***
    Tiba-tiba aku terjaga. Aku tebarkan pandangan sekeliling. O, iya aku di kamar Ai Can. Kenapa ya aku tiba-tiba saja terbangun? Tak biasanya aku terbangun di tengah malam. Kalau tidur, biasanya aku lelap tanpa terjaga, baru pagi harinya pasti terbangun menjelang jam 4 pagi. Aku memiringkan badan ke arah Ai Can. Dia tidur tengkurap di bagian tepi tempat tidurnya, tangannya terjuntai ke bawah ke arah kasurku yang digelar di samping bawah tempat tidurnya.

    Entah mengapa, dan entah untuk apa... spontan saja aku menggeser tubuhku mendekati tangannya yang terjuntai itu. Aku ingin tangan itu menyentuh tubuhku. Sempat selintas terpikir, apakah aku tadi terbangun karena tangan itu mengenaiku? Atau entahlah. Aku tak bisa berpikir lagi, tangannya yang kini menyentuh perutku seperti mengalirkan energi yang menghilangkan seluruh rasa kantukku. Kulirik Ai Can yang tidur tengkurap tapi wajahnya agak miring ke arahku. Ada pesona yang memaksa wajahku lekat memandang wajahnya.

    Aku merasakan ada ketegangan yang menyiksa tubuhku. Aliran darahku tak lagi normal. Pikiranku pun semakin berlompatan tak karuan. Tatapanku semakin lekat ke tubuhnya.

    Aku menggeser badanku, menarik tubuhku ke atas. Tangan Ai Can yang semula menempel di perut bagian atas, kini menyentuh di perut bagian bawah. Kulirik matanya, tetap terpejam juga. Aku hanya beberapa menit bertahan dalam posisi begitu. Aku menggeser kembali badanku lebih ke atas beberapa centi. Kini aku yang tegang, tepat di tangannya terpegang.

    Ouh! Aku terkaget, seolah berhenti bernafas. Tangan itu memberikan remasan kecil di thithitku yang sudah tegang dari tadi. Tapi hanya dua detikan dia meremas, kemudian melepaskan dan tangannya pindah posisi. Tetap terjuntai tapi tak mengenai tubuhku. Aku dengan tetap memejamkan mata melirik ke arah matanya. Jangan-jangan dia sedang melirikku juga diam-diam.

    Beberapa detik berlalu. Aku tak bisa mengendalikan diriku. Aku meraih tangannya yang terjuntai dari atas tempat tidurnya itu dan menempatkan telapak tangannya persis di pusat selangkanganku. Aku seolah kehilangan rasa maluku.

    Ouh! Kembali aku tersentak. Ia kembali meremasku... lebih lama dari yang tadi...

    Hups! Serasa jantungku berhenti... Dia turun dari tempat tidurnya... Mendekati saklar lampu kamar di dekat pintu. Kamar gelap! Dia kembali naik ke tempat tidurnya dengan cepat.

    “Ayo, naik sini!”
    Aku seperti tak percaya mendengar suara bisikan itu.

    Aku lebih tak percaya lagi dengan kenyataan, saat tangannya meraih tanganku dan menempelkannya di dadanya.

    “Ayo naik!” kembali kudengar bisikannya.

    Tapi aku tak naik, tanganku yang sudah ditariknya ke atas dan ditempelkan di dadanya itu malahan kupakai merengkuh tubuhnya turun ke bawah. Lewat sebuah tarikan lembut namun bertenaga, kutarik badannya.

    Ia jatuh, tepat di atasku, menindih tubuhku. Aku memeluknya erat-erat. Kamar tetap gelap. Mimpi ataukah kenyataan ini? Aku tak berani membuka mataku. Tubuh yang terjatuh menimpaku itu kupeluk erat. Harum aroma tubuhnya memabukkan seluruh kesadaranku.
  • waduh udah tindih tindihan :shock:
    lanjut
  • Tubuhku serasa tersengat energi yang tak termengerti
    Menghilangkan seluruh kesadaran diri
    Mematikan nalar dan kendali
    Menghanguskan jiwa dalam bara api

    Aku mabok, kekasihku
    Harum aroma tubuhmu mencanduiku
    Gelora tubuh menghanyutkanku di arusmu
    Aku hilang, kekasih! lenyap dalam rimba nafsu

    Mampat pepat pikirku seperti tersumbat
    Kendaliku tak lagi kudapat
    Nuraniku diam seolah tlah sekarat
    Jiwaku melesak ke rimba sesat

    Jemari kekasihku melepas jendela
    Tempat si kecil burung gereja sembunyi malu di sarangnya
    Mengamuk marah kini bagai garuda yaksa
    Mematuk-matuk tanganmu yang membelitku seperti sanca

    Hatiku tak kalah amuknya, sayang
    Ingin menelanmu sedapat rangsang
    Mulutku rakus menghisap garang
    Saat kudengar bibirmu mendesiskan erang

    Kamar masih gelap
    Amukku dan amukmu semakin kalap
    Dengusku dengusmu berpacu dalam megap
    Hilang peduli, ini nyata atau lamunan sulap

    Kaujepit aku di pahamu, meraung nafsuku
    Kausekap gairahku di pelukmu, melambung sukmaku
    Jangan biarkan kesadaran mengganggu
    Kalau pun ini mimpi,aku pilih bersamamu

    Aku mengasihimu kekasih
    Dengan nafsu maupun nafas yang masih
    Dengan canda ceria maupuh keluh dan letih
    Dengan merahnya gairah maupun jiwa yang suci putih

    Oh, malam jangan kau bergerak lagi
    Berhentilah di detik ini
    Sampai seribu tahun nanti
    Janganlah aku terbangun andai ini mimpi

    Mulutmu lirih membisikkan kendali
    Tangan dan tubuhku cekat tanggap sepatuh abdi
    Kau bawa jiwaku terbang tinggi ke alam tak termengerti
    Kau benam tubuhku ke relung misteri yang selalu takut kuselami

    Aku perkosa tubuhmu, kekasihku
    Tapi kaulah yang merudapaksa nalarku
    Aku mencintaimu tapi juga menafsuimu
    Entah apa yang ada di rasa hatimu

    Tubuh dan tubuh berziarah dalam kepurbaan
    Seolah terjumpa harta karun pengetahuan
    Dari apa yang tak pernah diketahui dan diajarkan
    Seolah badan punya kehendak dan pengertian sendiri untuk diungkapkan

    Ouh, bibir cantikmu pelan mengaduh
    Nafasku melenguh-lenguh semakin gaduh
    Ini riak nafsu sajakah yang meriuh
    Ataukah cinta yang semakin penuh

    Tumpah sudah seluruh gairah
    Seluruh sari hidup serasa membuncah
    Seluruh rasa lepas tertumpah
    Dan tubuh kita berakhir dalam geletak pasrah
  • ada yang butuh tissue? :oops:
  • ada yang butuh tissue? :oops:

    yang non perfumed mbok satu !
  • ***
    Lunglai lemah tubuhku dan tubuhnya. Ada rasa lepas yang luar biasa, tapi sekaligu resah gelisah mendera. Ada kepuasan dan kenikmatan, tapi juga ada rasa kehilangan dan kehancuran. Seperti melambung ke atas dan lalu jatuh terbantun ke jurang dalam. Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi sekaligus takut mengungkapkan apa yang ada di pikirku. Aku yakin aku tak mimpi. Tapi aku tak berani mengakui bahwa ini kenyataan yang telah terjadi. Aku menjadi pengecut menghadapi kenyataan. Seolah aku ingin bilang permisi pada dunia, maaf ini tak nyata... kalau nyata, aku tak menyadari sepenuhnya... Ya Allah, aku dan Ai Can telah usai bercinta.

    Aku diam, seolah tertidur, walau senyatanya pikirku jauh ngelantur. Ai Can bangkit, menyeka perutnya yang basah oleh cairan yang memabukkanku saat tercium aromanya. Ia menarik kembali celanaku ke atas dan sejenak merapikannya. Dan begitu pengecutnya, aku pura-pura telah tenggelam di alam mimpi malam. Ia kembali naik ke tempat tidurnya. Kuraba tubuhku, untuk meyakinkan benarkah semua ini sungguh telah terjadi antara dirinya dan diriku. Jemariku yang meraba ke bawah terasa licin membasah. Aku ingin memaksa nalarku untuk percaya bahwa ini mimpi belaka, tapi usaha sia-sia, tak bisalah pikiran menyangkal apa yang nyata. Tapi aku tetap memaksa tubuhku untuk berpura-pura, sampai endorphin yang deras mengalir sukses mendiamkan pikir. Kembali aku lelap dalam gelap, setelah pergulatan yang begitu kalap.

    Pagi, mataku terbangun oleh lampu yang menyala.
    “Bangun, Pit! Ke Gereja yuk, dah setengah lima, cepetan mandi!” Ai Can menyapaku. Aku berusaha menyelidik di balik ekspresi wajahnya, tapi tak ketemu apa-apa.
    “Ekaristi pagi jam berapa?” aku bertanya seolah juga tak memikirkan apa-apa/
    “Setengah enam, sana kamu mandi duluan!”
    Aku tak berani berlama-lama menatapnya. Aku merasa begitu takut karena telah membawanya pada pengalaman yang tak semestinya. Tapi sekaligus aku dibingungkan oleh kenyataan yang terjadi baru saja, dan lebih bingung karena tak menemukan ekspresi apa-apa di wajahnya.

    Buru-buru aku masuk kamar mandi. Yang langsung kulakukan adalah memeriksa celana dalamku. Ah, ada yang setengah mengering, setengah basah... ah, benarkah? Aku masih ingin tak percaya bahwa sisa-sisa sperma tertinggal di sana. Aku meyakinkan diri dengan menciumnya. Tak teragukan... aku semakin didera oleh hunjaman demi hunjaman kebingungan.

    Ah...., tapi aroma yang kucium ini benar-benar memabokkanku! Aku menghisap aromanya, dan serasa sumbatlah seluruh nadi di kepala. Aku terbang, melayang anganku ke ranah tak bertepian...

    Terbayang di kepalaku saat aku menghirup aroma celana dalam Ai Can, lewat tahun yang lalu, waktu dia masih kulian dan kost bersamaku. Saat itu aku mau mandi. Sampai di kamar mandi, ketika aku hendak menggantungkan pakaian dan handuk di cantelan baju di pintu, aku melihat celana dalam biru tertinggal di situ. Itu milik Ai Can, aku yakin dan tak ragu. Memang, belum lama Ai Can keluar dari kamar mandi itu. Aku siap mandi, sudah kulepas seluruh pakaianku... tapi sebelum sempat kuguyur tubuhku, mataku kembali terpaut di celana dalam biru itu. Entah spontan, entah gagasan dari setan, atau mungkin dorongan kerinduan yang terpendam, aku meraih kain biru di depanku... mendekatkannya di hidungku... dan menghirupnya dalam-dalam seolah menghisap candu. Aroma yang mempesona, bau menusuk yang membuat mabuk. Seluruh gairah tiba-tiba menyala... aku terbakar olehnya. Tangan kiriku menyumpalkan candu biru di hidung dan mulutku, tangan kananku bergerak mundur dan maju, badanku meronta namun tak mau lepas dari regaman tanganku. Fantasi melayang, angan bertabur bintang, tangan sibuk menggerayang, hingga seluruh rasa dan jiwa seolah bersatu tumpah di selangkang.

    Ah, bayangan peristiwa lewat setahun lalu itu telah memacu gairahku. Celana dalamku sendiri di tanganku; tapi seolah milik Ai Can dalam bayanganku. Tanganku liar seolah punya jiwa sendiri dan tak mau kekendali. Tubuhku seolah punya kerinduan yang menuntut jawaban dan tak mau abai pada pikir dan rasaku yang sedang dalam kegalauan. Fantasi pun lalu mengalir pada peristiwa malam tadi, beberapa jam tadi... sementara jemari sibuk masturbasi.

    Ah...., bersama mani yang tumpah, tertumpah pula seluruh resah gelisah... ada ketenangan untuk sementara. Tapi ada kegundahan pula yang segera makin kejam mendera lebih lama.


    Kunyalakan shower, deras airnya menerpa wajahku... kepalaku..., tanganku..., dan seluruh tubuhku... Hawa dingin, air segar... aku merasa bersih dan bugar!

    Keluar dari kamar mandi, ketika aku masuk kamar, kulihat kasur yang semula dibawa ke kamar Ai Can telah ada kembali di situ. Ai Can telah mengembalikannya dan merapikannya. Setelah berpakaian rapi, aku ke kamar Ai Can... hendak bersama pergi ke Gereja. Ai Can belum keluar dari kamar mandi. Aku tiba-tiba saja tertarik untuk membuka keranjang tempat Ai Can menaruh pakaian kotornya... Celana pendek yang dipakainya semalam ada di dalamnya! Aku cepat-cepat memeriksanya, ada bagian yang kaku oleh cairan kental yang telah mengering namun masih lembab. Tanpa mencium dekat-dekat pun aku langsung tahu itu apa dan punya siapa. Kudengar Ai Can membuka pintu kamar mandi, aku buru-buru mengembalikannya. Segera aku duduk di kursi, mengambil buku di atas mejanya, dan seolah asyik membaca.

    Ai Can masuk, melepas handuk yang melilit di pinggangnya, dan segera memakai celana panjangnya. Aku tahu, tapi aku tak berani menatapnya, mencuri pandang pun aku tak berani melakukannya.

    “Yuk, cabut! Misa 15 menit lagi, kita jalan 10 menit sampai di Gereja!”
    “Yuk”

    Kami pun berjalan kaki di pagi yang setengah terang setengah temaram. Pagi-pagi begini, Jakarta belum bangun sepenuhnya, masih terasa sedikit lengangnya sebelum sebentar lagi geliat hiruk pikuk kembali akan menampilkan wajah kesehariannya. Aku teringat pupuh-pupuh kidung dalam Serat Centhini, ketika dikisahkan dua lelaki mandi bersama usai bersama saling menuntaskan birahi; mandi junub, lalu shalat bersama. Aku dan Ai Can baru saja bercinta —aku masih bertanya, tadi itu mimpi ataukah nyata?— kini usai mandi berjalan bersama ke Gereja. Apakah memang antara seks dan doa tak harus terpisah dunianya, atau aku yang ngawur dan tak santun mencampuradukkannya.

    Setengah jam mengikuti ekaristi harian, anganku entah ke mana saja beterbangan. Ah Tuhan, aku tak dapat mempersembahkan diriku padamu; tubuhku tidak, nalar dan budiku tidak, perasaan dan hatiku tidak... memang kubawa kepadaMu, tetapi berlarian semua tak menentu meninggalkanMu... Hanya waktuku Tuhanku, kubawa utuh padaMu. Setengah jam ini nyaris tak sedetik pun aku bisa berdoa; tapi waktu setengah jam ini tetap kubawa padaMu, tanpa aku menguranginya. Tuhanku, hanya waktuku yang kupersembahkan utuh padaMu, tanpa aku mampu mempersembahkan keutuhan jiwa, budi, dan kekuatanku. Berartikah persembahanku, Tuhanku! Ataukah kesia-siaan melulu. Semoga kasihMu menyempurnakan seluruh hina, rapuh, dan sesatku.

    Dalam perjalanan pulang, Ai Can bercerita banyak hal tentang kegiatannya di Gereja sekarang ini. Ai Can begitu bersemangat dalam menuturkan pengalamannya satu tahun berkecimpung kembali di Gerejanya setelah dua tahun meninggalkannya ke Jogja... Ada yang ingin kudengar, tapi tak sepatah kata pun mengungkapkan, bahkan tak juga yang sekedar tersiratkan... yaitu tentang apa yang terjadi di antara kami, aku dan Ai Can malam tadi. Ai Can bercerita dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa...

    Aku sebenarnya takut kalau tiba-tiba Ai Can mengajakku membicarakan apa yang telah terjadi semalam. Tapi dia tak mengatakan apa-apa, tak menunjukkan sikap apa-apa, ternyata membuat nalar dan rasaku kacau sekacau-kacaunya... Mengapa dia tak mengatakannya... mengapa tak ada sikap yang berbeda... mengapa seolah tak pernah terjadi apa-apa?
  • emang semalem ada kejadian apa sih :?:
  • Waktu makan pagi, aku tak banyak bicara... aku masih bingung dengan diriku sendiri. Tadi malam itu terasa begitu nyata, tapi juga seolah mimpi saja. Kalau mimpi, kok begitu nyata kurasa. Tapi, kalau itu sungguh nyata, mengapa Ai Can seolah begitu biasa saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa? Tak ada sepatah kata pun yang menyiratkan tentang kejadian semalam. Tak ada sikap atau gerak-gerik menunjukkan sikap lain. Aneh... aku tak mengerti dengan diriku sendiri, apalagi tentang Ai Can. Atau mungkin dia semalam hanya ngelindur saja ketika bercinta denganku sehingga kini dia tidak menyadarinya? Semoga begitu! Ya... semoga dia ngelindur sehingga sekarang sungguh tak ingat apa-apa! Tapi, masa iya sih? Masakan ngelindur begitu lama?

    Usai makan pagi, Ai Can meninggalkanku sendiri di rumah, dia ada urusan pekerjaan yang harus selesai siang ini. Kesendirian semakin membuatku terpenjara dalam kebingungan nalar dan kegalauan hati. Lamunanku tak lepas dari apa yang semalam terjadi antara Ai Can dan diriku. Tak aneh kalau aku begitu bernafsu terhadap Ai Can semalam. Aku memang mencintainya. Aku pun sering bermimpi bercinta dengannya pula. Dan aku sering berfantasi tentang dia saat masturbasiku.

    Tapi, bagaimana mungkin Ai Can juga begitu bergairah malam tadi. Memang, aku yang lebih banyak aktif dalam kemesraan semalam. Tapi, dialah yang justru banyak menuntunku. Dia beberapa kali membisikkan apa yang harus kulakukan padanya, dia yang menuntuk gerak tubuhku harus ke mana dan bagaimana.... Aku yang bertarung di garda depan peperangan, tetapi dialah panglima perang yang mengarahkan bagaimana aku harus berperang. Kurasakan pula genggaman tangan yang begitu semangat dan bergairah untuk memberiku kenikmatan... Aku tak memperkosa dia, semalam itu kami bercinta.

    Ada kekhawatiran menyusup, kecemburuan yang entah beralasan entah tidak, jangan-jangan hal seperti ini adalah hal yang sudah biasa bagi Ai Can. Ini hal yang begitu biasa dan tak meninggalkan kesan apa-apa selain orgasme yang nikmat sesaat saja, sehingga tak ada yang perlu dibicarakan dan tak ada sesuatu yang perlu dipersoalkan. Tapi mungkinkah Ai Can orang yang seperti itu? Rasanya tidak... Tapi kalau ternyata iya, bagaimana? Bagiku, pengalaman ini adalah pengalaman pertama dan pengalaman yang begitu luar biasa. Bahkan sulit kumengerti bahwa hal seluarbiasa ini bisa sungguh terjadi di alam nyata. Masakan bagi dia hal ini sesuatu yang terjadi tanpa kesan apa-apa?

    Oh, Ai Can, apakah engkau juga mencintaiku seperti aku mencintaimu? Aku sangat berharap begitu, tapi aku tak berani mengharapkan semua itu. Oh, Ai Can, aku semakin mencintaimu, tapi aku jadi begitu takut akan kenyataan itu.

    Siang, setelah pulang dari urusannya, Ai Can mengajakku makan di luar. Aku deg-degan... Pasti dia akan mengajakku membicarakan apa yang telah terjadi tadi malam. Jangan-jangan dia akan menolakku dan tak mau bersahabat lagi denganku untuk selama-lamanya. Ia akan berpikiran buruk tentangku, memandang kalau kebaikanku selama ini kepadanya berpamrih nafsu. Oh... Ai Can, jangan kau berpikir begitu Ai Can. Aku telah keliru terseret arus nafsuku, tapi aku sungguh mencintaimu Ai Can. Bahkan karena cintaku yang begitu dalam, aku berharap tak pernah bercinta denganmu walau dalam hati aku sangat menginginkan itu. Aku ingin kau tetap sahabatku dan tetap hanya sebagai sahabatku. Tak boleh lebih dari itu. Inilah yang kupikir selama ini, Ai Can. Semalam itu begitu spontan, tak kurencanakan... bahkan tak sempat kupikirkan. Aku larut oleh suasana malam itu, mungkin karena aku teramat rindu padamu dan begitu tak bisa menahan diri saat bersamamu. Maafkan aku, Ai Can... Aku telah keliru, maafkan aku!

    Aku diam dalam kelu dan malu. Aku tak berani menatap wajah Ai Can. Aku tak berani memulai pembicaraan. Aku tak berani memberikan sedikit pun sentuhan. Angan beterbangan di lorong-lorong pelosok hutan lamunan.

    Apa yang kutakuti namun kunanti, tak juga terjadi. Ai Can malahan sibuk bercerita tentang kepergiannya baru saja dan urusan yang baru saja diselesaikannya pagi hingga siang ini. Ada rasa tenang dan aman karena tidak dipersoalkan. Tapi juga ada rasa was-was tentang apa yang nanti akan dia katakan atau dia lakukan.

    Bahkan, setelah lama duduk dan makan bersama... ada rasa gundah mendera, terbersit senukil rasa, seperti rasa terhina. Aku begitu memikirkan, bahkan dengan kegelisahan yang amat mendalam, tentang apa yang terjadi di antara kami semalam. Tapi seolah apa yang telah terjadi itu bukan apa-apa baginya. Apakah baginya hal itu hanya seperti orang tidur digigit nyamuk saja, ada gatal dan bekas sedikit tapi tak meninggalkan kesan apa-apa dan tak perlu membicarakannya. Apakah aku yang mencintai dan menafsuinya ini tidak punya arti apa-apa baginya, tak meninggalkan kesan apa-apa? Sungguh memalukan diriku ini... Bercampur aduk perasaan di hatiku. Ada sedikit kebahagiaan, kecil tetapi begitu dalam menyusup jantung kesan. Ada pula kegundahan, kekhawatiran, dan bahkan seulas keterhinaan dan kemarahan yang tertahan.

    Aku ingin memutar waktu, dan membatalkan kejadian itu. Aku sejujurnya memang sangat mengharapkannya. Aku harus bertarung dengan hasratku berkali-kali, ketika gairahku bergolak saat aku sedang bersama-sama dengan Ai Can. Tapi aku ingin bahwa di antara kami cukuplah di batas hubungan persahabatan. Aku tak ingin menerobos garis limit dari persahabatan menuju ruang cinta, justru karena aku teramat mencintainya.

    “Habis ini kamu kerik aku ya... Kayaknya masuk angin nih!” pinta Ai Can ketika kami beranjak meninggalkan rumah makan.
    “Okey dech...!” aku kaget dengan jawaban spontanku yang ringan gembira menanggapi permintaannya. Harusnya aku bilang tidak... Ini terlalu berbahaya... Ini terlalu mengandung risiko bagi relasi kami... Aku takut apa yang terjadi semalam akan terulang. Aku takut persahabatan ini hilang karena nafsu yang tak terkendalikan. Tapi aku pun sangat menginginkannya. Aku bergulat dalam pikir, aku takut sesat akan yang nanti terbuat, tapi aku tak ingin moment yang mungkin hanya sesaat akan lewat.

    “Gak usah kerik ah, pijit aja ya...!” pintanya setelah dia melepas baju di kamarnya. Aku merasa silau oleh tubuh telanjangnya, tubuh yang putih bersih dan begitu mempesona dan mengaduk gairah rasa. Aku tak berani memandangnya, takut tergoda, tetapi aku tak bisa mengendalikan hasratku untuk mengaguminya.

    Aku memulai dengan pijatan di kaki, betis, paha, punggung, bahu dan lengannya... berjalan seperti biasa kalau aku memijitnya. Hanya saja, nyaris tanpa kata-kata... Selesai di bagian belakang, dia membalik badan untuk pijitan bagian depan. Pikiranku semakin kacau, hati semakan galau. Antara ketakutan dan hasrat tak tertahankan saling bertarikan dan berbenturan. Aku merasa begitu tersiksa... tapi juga suka...! Gila!!!

    Tiba-tiba saja, ketika aku hendak memulai pijatan di bahu sebelah depan dan lengan, Ai Can bangun, berdiri, kemudian ke arah pintu, menguncinya. Ada beragam pikiran berkelebatan. Aku seperti berhenti bernafas rasanya. Kemudian, dia naik ke tempat tidurnya dan berbarik terlentang.

    “Yuk...!” tangannya memegang tanganku dan meletakkan telapak tanganku di dadanya. Nyaris aku membelai dadanya yang halus itu, tapi aku urung dan langsung melanjutkan pijatanku. Jujur saja, aku khawatir namun berharap, bahwa kata ‘yuk’ yang diucapkannya dan gerak tangannya yang menaruh tanganku di dadanya itu bukan ajakan untukku melanjutkan pijatan, tetapi ajakan lain. Ah, tapi aku tak berani.

    “Ah, silau, mata pas jendela!” katanya sambil menarik merapatkan tirai jendela kamarnya. Kamar sudah tertutup rapat. Darahku terasa semakin hangat. Ada hasrata yang semakin keras bergulat. Dia menarik kain sarung, dan menutup kedua matanya dengan kain itu; tak seluruh wajah tertutup, hanya pada matanya saja. Aku gemetaran melanjutkan pijatanku. Nafasku seolah saling memburu.
  • ya kok ilang....
    lanjut.....
    :( :( :(
  • Kok gak lanjut......?
    Natal ini ada sms dari Ai Can lagi gak?
  • Aku berjuang
    Seperti melawan arus aku berenang
    Ngap-ngap nafasku terkejar rangsang
    Tak hanya aurat, seluruh hayat kian menegang

    Seluruh kendali dan gelora bertaruh
    Badan pun bermandi peluh
    Menahan olak nafsu yang kian tangguh
    Kendali jiwa pun semakin merapuh

    Jangan, kekasihku
    Jangan kaurudapaksa nafsuku
    Oleh pesona jiwa dan indah tubuhmu
    Yang menjerat dan mencekikku

    Ingin berlari, ingin kutinggalkan semua ini
    Tapi rantai hasrat mengikat kaki
    Belenggu cinta menambat hati
    Aku jatuh, aku mati dalam nafas ini....

    Aku tak bisa mengendalikan diriku, tanganku liar meremas dadanya, bertukar belaian pelan penuh kelembutan dan remas gemas yang mengeras. Terpagut di bibirku, ranum putingnya yang menegang merayu. Tanganku seperti punya nyawa sendiri, bergerak menyusup dan merayap, tak menyisakan jengkal kulit yang mulus itu dari rabaanku.

    Ia diam, bibirnya mendesiskan bunyi pelan, yang seolah mengatakan ini sungguh suatu kenikmatan. Tangannya memeluk tengkukku, mengusap dan membelai rambut-rambutku. Seolah dalam diammu kudengar bisik, belailah aku kekasihku. Ujung kakinya bergerak, membelai lembut paha dan pangkalku. Aku melenguh antara malu dan nafsu.

    Aku ragu
    apakah melulu aku mencumbui tubuhmu
    ataukah kita ini sedang bercinta, kekasihku.
    Diammu membuatku malu, seolah aku memperkosamu
    Tapi gerak tubuhmu seolah tak hanya membiarkanku
    Tapi mengajak dan memintaku

    Aku hilang nalar
    Ingatan tak lagi sadar
    Dan badan kian menggelepar
    Dalam nafsu yang kian membakar
    Aku ingin waktu ini mau berhenti berputar
    Memenjaraku dalam gairah yang semakin liar

    Mengapa kau diam kekasih
    Hanya segumam lirih kudengar rintih
    Yang bahkan aku ganggam itu nikmat atau pedih


    “Kamu suka thithitku, ya?” bisiknya saat aku memaksa menggenggam dan mengulumnya.
    “Aku gak tahu, aku hanya melakukan apa yang sering muncul dalam mimpiku!” aku menjawab dalam bisikan di antara nafas yang berdesahan.
    “Badanku khan jelek, aku bukan cowok yang gagah, aku tidak kekar, bodyku gak bagus, kenapa kamu suka tubuhku...”
    “Aku tak tahu, mungkin aku terlalu mencintaimu”

    “Jangan masukkan mulut, jorok ah...!”
    “Tapi aku menginginkannya, boleh ya...!”
    “Kamu suka thithitku, ya?”
    “Ah, aku gak tahu, aku hanya melakukan mimpi-mimpiku...”
    “Ya sudah, lakukan aja apa yang menjadi mimpi-mimpimu...!”

    “Ai Can, ini mimpi apa nyata sih? Rasanya begitu nyata, tapi aku seperti di dunia mimpi saja... Ai Can, kamu tau gak, aku sering memimpikan semua ini. Aku terlalu mencintaimu, Ai Can”
    “Sudahlah, gak usah dipikir, anggaplah ini mimpi saja, lakukan semua yang ada dalam mimpi dan hasratmu... lakukan semua keinginanmu”
    “Ai Can...!”
    “Yah...., he eh”
    “Ai Can, oughh... Ai Can...”
    “He’eh, yah... oh...!”

    “Aku malu, aku tak pernah telanjang di depan orang seperti ini!”
    “Aku juga baru sekali ini, Ai Can... Ini terlalu indah, ini seperti mimpi...!”
    “Gak usah dipikir, jangan tanya itu lagi, lakukan aja semua keinginan dan mimpimu!”
    “Boleh kuisep ya, Can ya...!”
    “Ya..., lakukan aja!”
    “Ai Can, maafkan aku... Aku terlalu mencintaimu Can, aku sering bermimpi tentang hal ini!”
    “Anggaplah ini di dalam mimpi, lakukan saja... aku juga menikmati apa yang kau lakukan, eh..., apa yang kita lakukan ini!”
    “Trimakasih Ai Can...! I love you so much...!”

    Antara kancah cinta dan nafsu
    Atau beradu ataukah berpadu

    Aku larut, kekasihku
    Terseret dan hanyut dalam laut pesonamu

    Aku tak bisa berpikir waras
    Tubuhku terbawa terbang bagai kapas
    Tak bisa tak kendaliku lepas
    Haus akanmu seperti haus nafas

    Seperti tak ada gerbang antara cinta dan nista
    Roboh sudah pemisah tembok mimpi dan nyata

    Tubuhmu meronta
    Desiskan berulang satu kata, “Ough..., gila!”
    Makian atau jeritdesis kenikmatan entah maknanya
    Tapi aku benar-benar merasa gila

    Gila aku oleh tubuhmu
    Gila aku oleh jerit desismu
    Gila aku oleh candu aromamu
    Gila aku oleh cintamu


    “Sorry, Pit, aku gak bisa... Sorry ya...!” dia berbisik lembut ketika aku membimbing tangannya ke tubuhku, di detik-detik setelah lampias seluruh nafsunya, detik-detik setelah rampung orgasmenya.
    “Sorry ya... sudah, kamu pakai lagi saja pakaianmu...! Aku tak bisa melakukan apa yang kaulakukan padaku. Maaf ya...” dia berbisik sambil menyerahkan pakaianku yang terserak itu, lalu dia sendiri mengenakan kembali pakaiannya.

    Aku seperti tersentak dalam kesadaran yang membantingku ke jurang malu. Aku malu telah melakukan semua itu. Gairahku yang sebenarnya belum lepas lampias pun tiba-tiba membeku.

    “Ai Can... maafkan aku! Aku seharusnya tak melakukan semua ini padamu... Maafkan aku, Ai Can, aku telah membawamu dalam dosa seperti ini. Ini melulu karena nafsuku... aku tak bisa mengendalikan diriku! Maafkan aku Ai Can!”

    Air mataku meleleh. Aku merasa teramat bersalah. Ai Can adalah sahabatku. Di hatiku dia adalah kekasihku. Harusnya dia tak kuperlakukan seperti itu. Harusnya aku tak membawanya pada dosa itu. Harusnya aku bisa mengendalikan diriku. Aku malu! Aku merasa salah telah membawanya ke dosa dan tabu. Aku menodai cintaku pada kekasihku dengan nafsuku.

    “Maafkan aku, Ai Can... Aku telah membawamu pada dosa ini! Maafkan aku Ai Can... Sorry, semua ini telah terjadi!”
    “Sudahlah, ini bukan salahmu saja. Aku juga salah!”
    “Tapi akulah yang memulainya!”
    “Mungkin tidak juga!”
    “Ai Can, maafkan aku ya...!”
    “Kamu jangan terlalu merasa bersalah gitu dong... Sudahlah!”
    “Aku telah membuatmu melakukan dosa ini Can!”
    “Ya, ini salah kita bersama... Aku tahu, kamu benar-benar mencintaiku!”
    “Aku memang mencintaimu, Ai Can, tapi harusnya justru karena cinta hal ini tak kita lakukan. Aku mencintaimu, tapi harusnya tak begini caraku mencintaimu!”
    “Kadang memang cinta dan nafsu itu susah dibedakan dan dipisahkan! Sudahlah, kamu jangan merasa terlalu salah gitu.”
    “Tapi aku merasa seolah seperti pemerkosa yang menodaimu!”
    “Tidak, kau tak perlu merasa begitu!”
    “Aku keliru, aku yang keliru....”
    “Sudahlah...”
    “Tapi aku benar-benar merasa bersalah...!”
    “Anggap saja tak ada masalah!”
    “Kamu gak marah, Ai Can!”
    “Tidak, aku gak marah...”
    “Oh, Ai Can... harusnya aku bisa mengendalikan diri. Harusnya semua ini tak terjadi. Harusnya mimpi kubiarkan tetap menjadi mimpi. Dosaku padamu terlalu besar Ai Can!”

    “Kamu jangan merasa terlalu salah padaku seperti itu dong! Ini salah kita, salah kita...!”
    “Kalau aku tidak memulainya, semua ini tidak terjadi Ai Can...!”
    “Sudahlah, semua sudah terjadi. Aku tidak menyalahkanmu.”
    “Tapi aku merasa bersalah padamu!”

    “Sudahlah.... Gak usah dibicarakan lagi. Yuk, cepetan mandi! Kita jalan-jalan sore ini!”
    Ai Can meninggalkanku, bergegas mengambil peralatan mandi dan pakaian ganti, lalu masuk ke kamar mandinya. Aku masih tertegun... seolah tak mengerti dengan apa yang telah terjadi.
  • ....Duh... gimana lagi lanjutannya neh? :?
  • oh ai can, i love u
    he he he
    lanjut bro cerbungnya
    cia you
Sign In or Register to comment.