It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
btw .. thx 4 comment guyz .. bete gew ...
yang nge viewed udah sampe 5000-an, tapi commentnya dikit bgt
T___T
lanjutan akan dibuat nanti malem, besok pagi bisa dinikmati ^^
Dialog2 nya oke, feel nya dpt.. Overall mantabh..
Ga sabar gw nunggu pagi..
Btw, seneng bgt y coming out, salut gw ma ortu lo.. Gw boro2, bs d usir dr rmh.. N dkejar pake golok kali sm bapak gw. :-D
ada fans mu kok di sini , ayo lanjutin donk bro , penasaran cerita nya ,
dan ini gew ke warnet yang gak biasanya, bawa file untuk upload cerita .. dan ternyata oh ternyata ..
masih dalam bentuk *.docx
dan word disini 2003 .. wuakakakaka .. means, gak bisa dibuka, jahh ..
kayaknya malem ini gew selesain cerita 1 bab biar besok pagi langsung upload .. soalnya ceritanya masih 1/2, jadi nanggung, gew selesain deh 1 bagian lagi
sorry buat yang nungguin, maap, besok pagi janji di upload, soalnya m0x siangnya ujian. jadi gak mungkin molor. blon belajar jg, lom mood
===
wekekeke, ada juga toh yang baca, kirain nggak ada .. makasih udah intip and mampir ke warung m0x ^^
riddler : coming out nggak bikin kita makin bebas, hanya bikin kita lega. itu aja intinya, bukan makin bebas kita menunjukkan kita Gay, tapi malah bikin kita jadi sungkan kalau bawa cowok ke rumah. yang berarti, mereka tau. itu juga gay. secara gak langsung, walau sebenarnya gak selalu. thx dah mampir
===
cerita lanjutan juga seru makin seru kok, ada tambahan tokoh baru di dalam cerita ini. gak cuman Ino, Ito, dan Sasha.
penasaran? tungguin besok pagi.
btw, sapa mau bangunin gew buat upload ? :P
Gw aja deh yg bangunin..
BANGUN..! BANGUN..! BANGUN WOY..!
Btw, selamat ujian, gw doa-in deh lu b'hasil..
di tunggu ya bro , penasaran ama lanjutannya , i hope its happy ending
Sehari sebelum HUT RI ke 60, ornament merah putih tersebar di penjuru kompleks perumahanku. Aku dan Sasha sedang asyik chatting di Kumbang seperti biasa. Aku terpilih menjadi pembaca UUD 1945 pada upacara tujuhbelasan di sekolahku.
Aku memang anggota Paskibraka sekolahku, maklum saja mereka memilihku, alas an mereka tidak ada anggota lain yang memiliki suara lantang sepertiku saat membacakan UUD 1945 tanpa menggunakan bantuan microphone. Aku menerima tawaran tersebut, sebenarnya aku ingin menjadi pengibar bendera, tapi apa mau dikata, tidak ada yang mau menjadi pembaca UUD. Pengalaman, sekaligus keterpaksaan sih menurutku.
Hari ini, suasana Kumbang ramai. Anak – anak SLTP Negeri 35 baru saja pulang dari sekolah mereka, terlihat mereka menggunakan baju olahraga. Mungkin agenda yang sama tiap tahunnya masih saja terjadi, lomba – lomba memeriahkan tujuhbelasan seperti tarik tambang, pidato, dan lomba kecil lainnya masih dilakukan sekolah ini. Kenapa aku tahu? Karena aku juga alumnus sekolah tersebut.
Drrt. Hapeku bergetar. Aku mengangkatnya.
“Mas dimana?”
“Udah di depan nih. Kamu di komputer brapa? Biar aku samperin.”
“Aku di komputer 2 mas, di depan. Langsung ajah masuk.” Aku mengakhiri pembicaraan.
“Ino kesini tah ?”
“Iya, tuh udah di depan.” Aku melanjutkan kegiatan browsingku.
“Hayo, lagi ngapain?” Ino tersenyum ke arahku.
Sosok perempuan sebayaku berdiri di belakang Ino. Rambutnya panjang sebahu, hitam mengkilat. Sepasang mata cokelat yang indah menambah kecantikannya. Ia masih menggunakan seragam putih abu – abu sepertiku. Tingginya sekitar 170, cukup tinggi untuk perempuan kebanyakan. Tubuhnya tidak terlalu kurus tidak terlalu gemuk, proposional. Andai aku tidak mencintai lelaki, mungkin aku akan mengejarnya sebagai pacarku. Pertanyaannya, dia mau gak sama aku?
“Vinaaaaa !!” Sasha yang duduk di komputer sampingku berteriak setelah melihat siapa yang dibawa Ino.
“Lho, kamu ngapain disini?” Vina memeluk Sasha dan mereka berdua melakukan cipika cipiki.
“Kalian kok kenal?” Ino tampak kebingungan.
“Ya iyalah kenal, dia khan anaknya Tante Ira, sering tante ngajak Vina main ke rumah juga. Lho, mama mas Ino belum cerita kalau mamaku sama Tante Ira sahabatan?” Ino melihat kea rah Vina, yang dilihat cuman mengangguk dan tersenyum.
“O ya Vin, nih kenalin sahabatku, Victo. Victo ini Vina.”
“Victo.” Aku menjabat tangannya
“Vina.” Ia membalas dan tersenyum ke arahku.
“Vin, tunggu bentar yah, aku log out dulu Friendsterku, trus kita ngobrol di luar.” Sasha kembali ke komputernya, mengotak atik sebentar, memberesi barang bawannya, dan keluar sambil menggandeng Vina.
“Yuk Vin. Ndul, aku tunggu diluar yah, mau ngobrol – ngobrol sama Vina.”
“Ya udah, aku bentar lagi juga kelar, lagi nunggu upload selesai.”
“Aku nunggu disini aja.” Ino menolak ajakan Vina saat Ia menarik tangan Ino.
Sasha menutup pintu warnet dan berjalan ke kasir depan. Tinggal aku dan Ino disini. Ia tersenyum ke arahku dan duduk di sebelahku.
“Ngapain, dik?”
“Nggak ngapa – ngapain, cuman buka Friendster, sama browsing gak penting aja kok mas.”
“Menurut Ito, Sasha kira – kira cerita gak yah ke Vina, kalau kita pacaran? Vina belum tahu kalau mas gak suka cewe.” Aku yang ditanya mengangkat bahu, bukan bermaksud cuek, tapi aku benar – benar gak bisa berpikir.
“Hmm, coba mas telpon aja Sasha, bilang ama dia jangan bilang apa – apa. Dia suka keceplosan soalnya.”
“Bener juga yah.” Ino tampak mencari – cari nomor Sasha dari handphonenya.
Sementara di depan, Sasha dan Vina asyik dalam percakapan mereka.
“Eh, kamu sama Mas Ino pacaran yah?” Vina bertanya menyelidik ke Sasha.
Handphone Sasha berdering.
“Hallo? Kenapa mas?”
“Sha, coba kamu ngejauh dikit dari Vina, aku mau ngomong sesuatu.” Sasha beranjak dari duduknya.
“Bentar ya Vin, aku jawab telepon dulu. Kenapa mas?”
“Kamu jangan cerita macem – macem lho tentang hubungan aku sama Ito, dia belum tahu mengenai aku. Trus, kalau dia tanya kita kenal dimana, bilang aja dikenalin temen. Kamu belum cerita apa – apa khan ke dia?”
“Eh-h, udah sih mas. Tapi belum sampai ke bagian kalian berdua pacaran. Dia juga barusan tanya, aku sama mas Ino ini pacaran apa gak?”
“Hmm, bilang aja iya, bilang aja kita pacaran. Jawab gitu aja ya, plizzz. Bantuin aku.” Aku cuman melirik ke arah Ino dan geleng – geleng kepala sendiri, melihat tingkahnya yang kebingungan mencoba menutupi jati dirinya. Hahaha, lucu aja melihat ekspresinya saat itu.
“Ya udah, ntar aku karang deh sedemikian rupa, tapi kali ini aja yah aku boong, takutnya ntar dia cerita aneh – aneh ke Mamaku, tar pokoknya kalau dia cerita aneh – aneh ke mama, mas ikutan tanggung jawab.”
“Eh, iya deh iya. Makasih yah. Duh, jadi bingung kalau gak ada kamu. Lagian, ngapain juga aku ajak dia kesini.”
“Ya udah, gak papa lah mas. Nyantai aja sama aku.”
“Makasih yah, habis gini aku traktir makan deh. Pilih aja dimana, itung – itung ongkos sandiwara.”
“Bener yah? Aku milih yah? Traktir khan?”
“Iyaa, bener, udah sana. Duh, aku makin cinta sama kamu, Sha.”
“Udaah, gak usah ngegombal.”
Telepon pun ditutup. Aku tertawa cekikikan melihat Ino. Dia meminta maaf padaku karena harus mengarang cerita untuk menutupi hubungan kami. Aku hanya tertawa. Ya, aku memang pernah merasakan ada di posisi Ino, dan aku memakluminya. Dia berterima kasih padaku. Aku masih tertawa melihat tingkah laku Ino saat itu.
“Sapa sih yang telepon, mesra banget?”
“Ada deh, mau tau aja.”
“Eh iya, pertanyaanku belum dijawab. Kamu ama mas Ino pacaran ya?”
Sasha hanya tersipu malu. Dia tidak mengiyakan, tidak juga mengelak. Vina hanya tertawa kecil, sepertinya dia merasa ada sesuatu diantara Sasha dan Ino.
“Cieee … kapan jadiannya?? Gak traktir – traktir, rek! Mama udah tau kalian berdua pacaran? Duh, aku bakal punya kakak ipar. Eh, tapi males amat punya kakak iparnya kamu. Kita khan seumuran!”
“Hahaha, traktiran yah? Habis ini aja deh. Tar aku yang bilang ke mas Ino. Tapi, jangan bilang – bilang ke mama yah, biar dia tahu sendiri.”
“Ah, beres kalau itu, asal traktirannya beneran nih?” Sasha mengangguk.
Mungkin dia melakukan itu agar Vina tidak bertanya terlalu jauh. Tapi, pikirannya salah.
“Sha, Victo itu sahabat kamu ya? Udah berapa lama temenan?”
“Hmm, sejak masuk SMA dulu. Emangnya kenapa?”
“Anaknya manis, masih available gak?” Sasha tertawa mendengar pertanyaan itu.
“Hahahaha, ceritanya kamu naksir Ito?”
“Hush, jangan ketawa gitu donk. Gak naksir kok, cuman tertarik aja. Jangan bilang – bilang dia yah! Pliizzzz.” Sasha masih setengah percaya dengan pernyataan Vina, tapi dia segera berkata cepat.
“Aku bantuin deh sama dia.” Sasha berbisik pada Vina
“Apaan sih, Sha. Gak usah, tar aku usaha sendiri!” Mereka berdua tertawa terbahak – bahak.
Aku dan Ino keluar dari dalam warnet, aku menuju rak mengambil sepatuku kemudian memakainya. Ino menghampiri Sasha dan Vina yang masih asyik tertawa.
“Ngomongin apa sih? Kok sampai ngakak gitu.”
“Ini lho yank, Vina tuh ternyata.” Spontan Vina mencubit tangan Sasha, melirik sambil memberi tanda agar dia tidak berkata apa – apa.
“Aduh, sakit!” Sasha tertawa terbahak – bahak. Dia menggelayut mesra di tangan Ino. Aku yang melihat di kejauhan hanya bisa geleng – geleng kepala. Ya, sandiwara dimulai!
“Kenapa sih emangnya?” Ino bertanya
“Ah, gak jadi deh. Kapan – kapan yank aja aku ceritain.”
“Eh, Sha. Jangan dong, itu khan rahasia kita berdua!” Vina berusaha sekuat tenaga meyakinkan Ino bahwa tidak terjadi apa – apa.
“Duh, gak tau lah. Makan yuk. Laper. Mau makan dimana, sha?” Ino mengelus – elus rambut Sasha.
“Dimana yah enaknya? Tempatnya agak jauh sih yank, tapi kamu khan udah janji sama aku.”
“Iya iya, emang dimana sih?”
“Aku mau makan ayam bakar di LA. Legok Asri, di daerah Sepanjang!”
“Waduh, Sepanjang? Gak ada yang lebih jauh lagi? Keburu laper tau.” Vina menimpali.
“Udah, yang di traktir gak boleh protes, makanya berangkat sekarang.”
Aku menghampiri mereka bertiga setelah selesai membayar pada kasir.
“Mau kemana sekarang?”
“Udah, kamu ikut aja, yuk!” Sasha mengerlingkan matanya padaku. Aku berjalan di depan, Sasha dan Vina masih tampak asyik berbincang. Ino membuka pintu mobilnya. Aku membuka pintu bagian depan.
“Eiitss, mo kemana ndul?? Kamu duduk di belakang sama Vina, aku duduk di depan ama Yayank Ino, enak aja! Hush hush, san asana. Temenin Vina.”
Aku dengan terpaksa mundur teratur dan membuka pintu belakang. Aku melihat ke arah Vina, dia tersenyum. Aku mulai cemburu dengan apa yang dilakukan Sasha, terlalu berlebihan menurutku. Tapi, bukannya aku sudah setuju dengan rencana ini. Gosh! Dengan terpaksa aku harus sabar melihat mereka mesra – mesraan, pura – pura lagi! Dan aku harus dengan terpaksa menikmati perjalanan ini.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, bingung juga harus memulai obrolan apa. Sasha sudah mulai berkoar – koar gak jelas. Sesekali bergelayut mesra dengan Ino. Aku hanya terdiam, sebal. Ino sesekali melirikku dari kaca spion. Aku tersenyum dengan sedikit paksaan padanya. Ino juga terdiam selama perjalanan, kadang menjawab sekenanya saat Sasha melontarkan pertanyaan. Kemudian dia terdiam lagi. Hanya Sasha dan Vina yang asyik berbincang.
“ … Kenapa mereka tidak duduk di belakang saja berdua. Biar aku bisa duduk dengan Ino, tentu aku akan mengobrol dengan dia, gak diem – dieman seperti ini. Duh…”
“Nyet, masih jauh tah tempatnya ? Laper nih !!” aku mulai protes.
“Nggak kok, sebentar lagi nyampai, tar lurus mentok, belok kiri, gak jauh disana tempatnya.”
Aku masih terdiam sepanjang perjalanan, Vina dari tadi melirik ke arahku, sepertinya dia ingin mengajak berbicara, tapi urung melihat tampangku yang jutek. Berkali – kali ia berusaha memulai pembicaraan tapi tak jadi, entah kenapa. Padahal mungkin aku bisa sedikit terhibur, kalau ia sedikit berani. Tapi biarkan sajalah.
Mobil pun berbelok ke arah kiri, terlihat papan sedang di pinggir jalan bertuliskan “Ayam Bakar LA 1km”. Aku bisa tersenyum lega, perutku sudah mulai melancarkan aksi demo. Lapar. Bete. Komplit lah penderitaanku sudah.
Akhirnya kami sampai di depan rumah makan ini, wah, suasananya benar – benar asri. Dibuat dengan konsep pedesaan. Kolam ikan besar di halaman depan. Tempat duduk dibuat lesehan, berbentuk seperti rumah – rumah beratap jerami. Rumput jepang memenuhi segala sudut. Tanaman hias ada di sana sini. Segar. Bisa dijadikan tempat melepas penat setelah berlama – lama di kota panas dan penuh polusi, Surabaya.
“Wah, tempatnya bagus ya!” Vina menggoyang – goyang bahuku.
“Iya neh, bagus banget, tumben si Sasha punya tempat bagus kayak gini. Yuk, cepetan. Aku udah laper.”
Aku berjalan meninggalkan Sasha dan Ino, aku menggandeng Vina sedikit berlari. Entah kenapa aku menariknya. Spontan saja. Tanpa maksud apa – apa.
“Uhhuuyy, kok udah gandeng – gandengan sih?” Sasha tiba – tiba berteriak di kejauhan.
“Eh, biarin, aku udah laper, nungguin kalian berdua lama jalannya kayak ulet.”
Aku memilih meja nomor 5, aku segera melepas sepatuku dan naik ke atas rumah untuk duduk. Sasha dan Ino datang, seorang pelayan pun muncul di belakang mereka memberikan daftar menu padaku. Aku dengan cepat mengambilnya, melihat apa saja yang ditawarkan disini. Ayam bakar menjadi menu utama, dengan cara masak yang berbeda. Ayam bakar madu. Aku memilih itu. Kata Sasha memang itu yang paling enak disini. Lainnya pun setuju, aku memesan satu ekor. Kemudian, Ino memesan Ikan Gurame goreng asam manis, tumis kangkung dan nasi sebagai pelengkap. Untuk minumnya, kami memesan es teh manis.
“Mas, gak pake lama, udah laper.” Aku mengembalikan daftar menu kepada pelayan tersebut.
“Udah itu saja pesanannya?” Pelayan itu mengulang kembali apa yang kami pesan, kemudian meninggalkan kami.
“Eh, aku jalan – jalan dulu yah liat sekeliling.” Aku berkata pada Sasha, kemudian menggunakan kembali sepatuku.
“Aku nemenin Ito ya!” Ino tiba – tiba mengikuti di belakangku. Aku diam saja.
Aku berjalan kea rah belakang rumah makan ini. Ternyata, di belakang ada kolam ikan yang cukup besar. Hmm.. bisa dibilang tambak, mungkin. Aku berdiri di pinggiran kolam tersebut, mengangkat tanganku dan menghirup udara sedalam – dalamnya. Segar.
“Kamu daritadi diem aja kenapa?” Aku tidak menjawab pertanyaan Ino
“Kok diem aja sih, jangan ngambek dong.” Aku masih asyik menikmati suasana disini, tak menghiraukan Ino, dia masih mencoba merayuku.
===
“Vina gimana sih, kamu udah aku kasih kesempatan duduk di belakang kok malah nggak ngapa – ngapain ama Ito ?” Sasha mulai menginterogasi Vina.
“Duh, Sha. Aku takut sama dia, habisnya tiap aku mau ngajak ngomong, tampangnya jutek gitu.”
“Hahaha, dia emang gitu kali, suka sok jutek sama orang baru. Padahal aslinya gak kok. Dia aja masuk daftar kakak OSIS paling dibenci waktu Ospek, dan dia bangga lho dengan predikat itu.”
“Masa sih, Sha?”
“Serius, kamu coba ajak ngomong dia waktu makan ntar. Kalau dijutekin, maklum aja. Coba terus, ntar kalau kamu udah kenal sama dia. Dia pribadi yang menyenangkan kok.”
“Gitu ya? Tapi ntar aku dikira cewe agresif lagi?”
“Nggak lah, tenang aja. Victo bisa lebih agresif dari itu.” Sasha berkata sambil memicingkan kedua matanya.
Aku berjalan kembali ke meja kami. Ino berjalan di belakangku, dia tetap tidak aku hiraukan. Dia putus asa. Aku hanya sekedar protes padanya, semestinya bukan dia yang salah, tapi Sasha. Hmm, biarkan saja lah dia juga ikut merasa bersalah.
Aku melihat seorang pelayan membawa nampan berisi makanan yang kami pesan. Aku mempercepat langkahku, protes yang dilancarkan perutku sudah semakin gencar.
===
sorry baru update, gew bener - bener ketiduran, wekeke, seperti biasa, trus berangkat ujian .. parah deh .. lanjutannya tar malem yah
“Makasih ya Vin.”
“Iya sama – sama, habisnya kamu kayak kelaparan banget sih. Aku jadi gak tega.”
“Iya, laper banget, nih gara – gara mahluk satu ini milih tempat kok kayak jin buang anak, jauh banget!” aku memuluk nasi yang ada di atas piringku dan memakannya. Enak. Rasanya manis madunya meresap ke dalam ayamnya. Kalian kalau kesini harus mencobanya.
“Untung aja enak, coba kalau gak enak, bisa tak kucek – kucek dia ntar.”
Vina tertawa kecil
“Eh, tuh di pipimu ada tamunya.” Sambil menunjuk bagian bawah pipi sebelah kiri, ada nasi yang tertinggal disana. Aku mengambil nasi tamu itu dan memakannya.
“To, mau nyobain Ikannya ?” Ino menawari Ikan yang dipesannya padaku.
“Ntar aja, ngambil sendiri.” Aku masih pura – pura jutek sama Ino, jahat nggak sih?
Aku melanjutkan makanku dan berbincang dengan Vina, cukup menyenangkan, apa yang kita bicarakan nyambung, dan aku menyukai kepintarannya. Wawasan nya luas, setidaknya dia tahu yang aku maksud dibandingkan kedua mahluk yang ada di depanku. Hahaha, bukan mau sombong, tapi Sasha dan Ino hanya bisa melongo saat kami membahas sesuatu yang mereka berdua tidak mengerti.
Aku mengambil potongan ikan gurame yang tersisa di piring dan memakannya. Rasa asam manisnya terasa. Mak Nyuz kalau Pak Bondan bilang. Benar – benar padanan yang serasi. Tumis kangkungnya sih nggak jauh beda dari yang biasa aku dan mamaku bikin. Standart. Tapi aku akui, ayam dan ikannya benar – benar mantap.
Aku menyelesaikan makanku, menyeruput sisa es teh ku, dan mencuci tanganku di baskom yang disediakan. Bersendawa karena kenyang.
“Vin, ayo ikut aku.” Aku menarik tangan Vina
“Kemana?”
“Udah ayo ikut aja, daripada disini liat orang pacaran, males.”
Aku kembali memakai sepatuku lagi. Ribet memang kalau jalan – jalan ke tempat jauh menggunakan sepatu. Mestinya aku tadi mampir ke rumah dan menggantinya dengan sandal.
“Ayo Vin, jangan lama – lama.” Vina beranjak dari duduknya dan mengikutiku.
“Sabar donk, To.”
Aku mengajaknya ke kolam belakang, mumpung ada di tempat yang sejuk dan asri seperti ini. Jadi, jangan buang kesempatan. Dimana bisa merasakan suasana seperti ini kalau sudah ada di Surabaya?
“Tempatnya enak khan?” aku melirik ke arah Vina
“Iya, enak banget. Aku kapan – kapan mau kesini ah sama orang rumahku.”
“Wah, kalau kesini lagi ajak – ajak yah.” Tentu aku bercanda.
“Eh, bener mau kesini bareng aku lagi? Bisa diatur lah!” Entah apa maksud pertanyaan Vina barusan.
Aku dan Vina terdiam, sama – sama menikmati suasana yang nyaman ini.
==
“Ito kenapa sih, Sha? Aku dari tadi dijutekin.”
“Wah, nggak tahu yah mas. Aku juga bingung.” Mereka berdua bertanya – tanya kenapa aku jutek pada mereka.
Aku dan Vina memutuskan untuk kembali. Hari juga sudah sore. Aku ingin sampai rumah tak lebih dari Maghrib. Lagipula, aku besok ada upacara, tak mau terlalu lelah hari ini.
“Pulang yuk, capek, besok khan aku ngisi upacara.” Aku berkata pada Ino
“Ya udah, aku bayar dulu yah. Bayarnya dimana Sha?”
“Tuh, di dekat pintu masuk, sekalian pulang aja, jadi orangnya gak usah dipanggil kesini.”
“Oke lah.”
Aku mengekor di belakang Ino dan mencubit pinggangnya, yang aku cubit hanya berteriak kesakitan. Kemudian aku berlari meninggalkannya menuju parkiran mobil. Setidaknya, puas lah aku walau sedikit. Huh!
Dua lembar uang lima puluh ribuan dikeluarkan dari dalam dompet Ino, kami menghabiskan sekitar tujuhpuluh ribu. Harga yang murah untuk seekor ayam dan ikan. Kapan – kapan aku harus kembali lagi kesini. Ino membuka mobilnya. Aku segera masuk dan duduk di kursi belakang. Mobil pun dinyalakan, perjalanan kembali ke Surabaya, kota panas dan penuh polusi, lagi.
Aku melanjutkan obrolanku dengan Vina sepanjang perjalanan. Seru. Aku tidak memperdulikan Ino dan Sasha. Aku sedang asyik dengan kenalan baruku ini. Ditengah obrolan kami, Sasha ingin ikut gabung.
“Tetangga tuh, nggak boleh ikut – ikutan ngobrol. Gak ada Bluetooth gak usah ikutan nyambung.” Aku sewot dan membentuk gerakan seolah menarik korden dari sisi kiri ke kanan, seperti menutup.
“Yeee.. kalau nggak boleh ikutan yah udah.” Ino hanya tersenyum melihat tingkahku. Aku cuek, dan melanjutkan obrolan kami berdua. Hampir satu jam perjalanan kami kembali ke Surabaya
“Vin, kamu dianter ke rumah khan ?”
“Eh, iya mas. Anter ke rumah aja.”
Mobil kami berjalan ke arah Mulyosari, dan masuk di salah satu kompleks perumahan disana. Mobil pun berhenti di salah satu rumah. Berpagar hitam dan berlantai dua. Vina membuka pintu mobil dan bersiap – siap turun.
“Makasih yah semuanya, buat traktirannya. To, makasih juga ngobrol – ngobrolnya.”
“Aku anterin kamu deh, Vin.” Aku turun dari atas mobil dan mengantar Vina ke depan pagar rumahnya.
“Kapan – kapan main kesini yah, to.”
“Duh, gak janji yah Vin, rumah elo jauh juga kalau diitung – itung. Tapi boleh deh, kalau aku lewat sini. By the way, makasih yah udah nemenin.”
“Aku yang makasih udah diajak jalan bareng kalian.”
“Ya udah, sana masuk. Aku balik dulu yah.”
Vina pun membuka pagar rumahnya. Aku kembali ke dalam mobil.
Jendela samping Ino dibuka.
“Balik dulu yah” Ino melambaikan tangan kea rah Vina, Sasha pun melakukan hal yang sama.
“Ati – ati yah kalian!” Vina membalas lambaian tangan kami. Mobil pun berjalan meninggalkan rumah Vina.
Aku masih duduk di kursi belakang. Diam.
“Dik, kamu kenapa kok dari tadi diem aja?” Aku tidak menjawab.
“Eh, bentar berhenti berhenti!” tiba – tiba aku berkata, hal ini mengagetkan Ino yang dengan cepat menginjak rem mobilnya. Mobil pun berhenti.
“Kenapa, ada yang ketinggalan.”
“Nggak ada yang ketinggalan kok.Cuma. Nyet, elo turun, tuker tempat duduk sama aku.” Aku membuka pintu belakang dan turun. Sasha pun melakukan hal yang sama. Aku pindah duduk di kursi depan dan Sasha duduk sendiri di kursi belakang.
“Ealah. Kirain kenapa dik?” Mobil pun kembali berjalan.
“Nah, sekarang saatnya pembalasan dendam.”
Aku merubah posisi dudukku menghadap belakang, mencubit pipi dan hidung Sasha, dia cuma megap – megap kaget. Kemudian aku merubah posisiku menghadap samping.
“Sekarang giliran kamu. Uhhhhhhhhhhhhhhh.” Aku menggelitik pinggang Ino dan mencubiti pipinya. Puas setelah melihat korbanku kegelian dan menghentikan mobilnya, takut menubruk.
“Dik, udah dik.”
“Iya nih, sakit tau!” Sasha melancarkan aksi protes.
“Eh, biarin. Habisnya sebel, kamu juga nyet, berlebihan. Huh. Bikin sandiwara jangan gini dong ah, malah bikin bête orang lain.”
“Ceritanya jealous nih ama sahabat sendiri?” Ino menggodaku. Aku mencium pipinya. Spontan
“Iya, dikit.”
“Hahahahahaha.” Sasha dan Ino tertawa terbahak – bahak.
“Iya deh, besok – besok gak gitu lagi. Lagian tadi itu kepepet, biar dikira beneran pacaran. Daripada kalian berdua ketahuan, khan berabe. Ino mengelus – elus rambutku. Aku bersandar manja padanya.
“Lagian, aku belum cerita yah? Kalau Vina tuh naksir kamu lho, ndul.” Sepertinya Sasha benar – benar keceplosan, memang susah menitipkan rahasia pada orang satu ini. Benar – benar tidak bisa jaga rahasia.
“Ha ?? Serius?” Aku menoleh ke arah Sasha, ragu.
“Cieeee, pacarku ditaksir cewe, reek!! Ntar, aku godain ah si Vina” Ino memanas – manasi.
“Eh, keceplosan. Jangan Mas, Aku bisa dibantai sama dia. Tapi beneran kok. Tadi dia tanya – tanya tentang Victo ke aku. Rahasia yaa, plizz jangan ngomong ke Vina, biasa aja kalau ketemu dia lagi.” Sasha mengatupkan kedua tangannya tanda
“Waduh, jangan – jangan dia mikir macem – macem waktu aku ajak ngobrol tadi. Duh, semoga nggak deh, aku tadi gak berlebihan khan sama dia, Nyet?” Sasha hanya tersenyum dan mengangkat bahunya. Ino hanya menahan senyum.
Aku pun bingung, semoga dia tidak berpikiran macam – macam atas perlakuanku ke dia tadi. Semestinya Sasha bilang dari awal, biar aku bisa jaga jarak. Hmm sudah terlanjur, lagipula dia juga orang yang menyenangkan. Tapi, aku khan pacar Ino, gak mungkin juga aku terlalu dekat dengan Vina. Huh, bingung. Ya, udah lah seperti biasa. Jalani saja apa adanya. Yang jelas, aku masih punya nilai lebih di mata cewe.
===========
end of this part .. cerita selanjutnya .. Pesta Ultah Neneng ..
comment donk ...