It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
(Ini m0x tulis waktu m0x kuliahan, belum sempet ngrubah kata - katanya, kalau sudah sempet m0x rubah bakal m0x posting lsg di forum tanpa nunut)
=========================================
“Wah, rumit juga yah, dan ceritamu benar – benar panjang. Sampai habis tiga gelas teh.”
“Aku khan udah bilang mas. Kita pulang aja yuk mas.” Aku lemas. Tenaga ku habis, bukan karena lelah bercerita, tapi aku lelah mengingat kenangan itu.
“Tapi, mamamu hebat yah. Jadi, inget – inget mamaku juga nih.”
“Emang mama mas udah tau ?”
“Iya, bahkan kedua orangtuaku. Mereka bisa menerima kekuranganku itu.
Papaku baru aja meninggal setahun yang lalu karena diabetes, dan beliau dirawat di rumah sakit yang sama, tempat kamu mengaku itu lho. Jangan – jangan waktu kamu kesana, aku juga ada disana. Kenapa kita dulu gak ketemu ya?”
“Brarti kita sama – sama gak punya ayah donk mas. Tapi masih lamaan aku lho, sepuluh tahun. Untungnya saat itu aku masih SD, jadi gak terlalu merasa kehilangan karena hanya sebentar mengenal beliau. Tapi, mas nih aneh – aneh, di rumah sakit, papanya sakit, masih aja nyari cowok”
Kita berdua tertawa. Ino memeluk pundakku. Ia meletakkan tangan kanannya di atas kepalaku dan mengacak – acak rambutku. Tampaknya dia senang mengacak – acak rambut orang. Tapi aku senang dia melakukan hal itu. Aku menganggap itu perhatiannya padaku.
Ino memanggil pelayan restoran dan meminta bill. Setelah membayar, Ino meletakkan kembalian transaksi di atas meja.
“Mas, mampir beli Takoyaki dulu yah, buat oleh – olehnya Sasha.”
“Waduh, mas lupa, kalau temenmu masih nungguin kamu di rumahnya. Ya udah cepetan aja, mana udah sore nih, takutnya macet.”
Jam memang cepat berlalu, tapi aku tak ingin ini cepat berlalu. Setelah dapat takoyakinya, kita harus berjalan balik ke parkiran. Cukup jauh. Tapi yang berbeda kali ini, suasana di antara kami berdua sudah mulai mencair.
Aku senang sudah bisa membagi sedikit rahasiaku pada Ino, begitu pula sebaliknya. Kita tertawa bersama, saling ledek. Aku semakin nyaman bersama dia. Apakah dia juga merasakan hal yang sama terhadapku?
Kita sampai di pelataran parkir. Pintu mobil dibuka. Mesin mobil dihidupkan. Ino memundurkan mobilnya untuk dapat keluar. Dia mengeluarkan kartu parkir dan memberikannya pada penjaga di pintu keluar. Mobil berjalan perlahan.
Di tengah jalan, kita kembali lagi dalam alam pikiran kami masing – masing. Lagu yang mengalun di radio seakan menambah indahnya lamunan kami.
“Dik, Ino sayang Ito.”
“Heh? Apa mas?” Aku tersadar, dan mencoba mencari pembenaran atas kalimat yang baru saja terucap dari bibir Ino.
“Ito sayang gak sama Ino?”
“Waduh, kok udah bilang sayang? Gak kecepetan?”
“Orang menyayangi khan gak harus nunggu lama atau nggak, rasa sayang bisa muncul kapan aja khan dik.” Ino berusaha mencari pembelaan
“Aku gak mau terlalu lama memendam rasa sayangku, hidup itu cuma sekali, aku gak mau menyia-nyiakannya dengan membohongi diriku, bahwa aku sayang sama Ito.”
“Kita khan baru kenal, mas.”
“Emang kita baru kenal, tapi itu tadi, rasa itu bisa muncul kapan saja, dan aku gak mau keduluan orang lain untuk mendapatkan Ito. Aku ngelihat cara Ito mandang Dion tadi. Aku ngerasa, kamu masih sayang sama dia.”
Aku terdiam. Karena memang seperti itu kenyatannya. Apakah aku begitu vulgarnya mengumbar ekspresi wajahku sehingga tak ada rahasia yang bisa kusembunyikan saat seseorang melihat rona mukaku.
“Aku ingin jadi bagian dalam hidup Ito, aku gak ingin hanya sekedar kakak atau adik, aku ingin lebih dari itu. Walaupun terkesan memaksa, tapi, memang itu perasaanku saat ini.”
Aku masih terdiam. Berpikir. Ini terlalu cepat. Walaupun aku tak bisa membohongi diriku, bahwa aku menyukainya. Tapi, aku tak ingin cinta ini juga berakhir cepat nantinya. Perasaan sakit akan banyak kudapatkan jika aku sudah berhasil mencintainya dan akhirnya harus kehilangan dia terlalu cepat.
“Jangan ragukan perasaanku, karena hatiku memilihmu.”
“Jalani aja ya mas.”
Hanya itu yang bisa aku katakan. Aku tidak ingin salah langkah. Dia tersenyum padaku, aku tau senyumnya tertahan oleh perasaan tidak puas atas jawabanku. Aku berusaha meyakinkan dia, bahwa aku ingin semua berjalan baik – baik saja.
Aku mengelus rambutnya dan bersandar di bahunya. Hatiku bahagia, bahwa dia memang menyayangiku.
Langit mendung, tanda hujan.
Seperti itukah, hati dan rasamu.
Saat kau tatap mata ini.
Aku tahu, semua hati dan rasamu.
Saat pucuk tanganmu meraih
Ada rasa ingin tuk membalas
Namun semua tak akan mungkin
Semua itu tak boleh terjadi
Bagai bunga kuncup yang tak akan mekar
Itulah hati dan rasaku
Hati ini, rasa ini
Hampa terasa bagai tak berarti
Saat kau hadir dalam hidupku
Aku tahu betapa kau menyayangiku
maklum deh namanya juga laki laki special edition
lanjutin dik...
ceritanya di pending dulu .. lagi kehabisan ide juga T_____T
hahaha .. lupa mau ngarang apa
jadi maklum in yah
tapi janji gak bakal lama ..
Moga cepet sembuh ya...
abis itu lanjut lagi
“... Ito sayang gak sama Ino?”
Mungkin saja aku menyayanginya, tapi dia masih terlalu sempurna bagiku, seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi aku menyukai apa yang terjadi, perlakuannya padaku begitu special dan itu merupakan hal baru yang aku rasakan. Tidak dengan kebanyakan lelaki yang aku kenal.
Tapi aku masih ragu, aku tidak ingin perkenalan yang singkat ini juga berakhir dengan cepat. Aku masih belum ingin bangun dari sesuatu yang aku anggap ini mimpi indah, terlalu menyakitkan untuk melupakannya juga.
*Ino Gundul
Adikku sayang lagi apa ?
Aku tersenyum, kenapa dia selalu tepat waktu menghubungiku, saat aku memikirkannya, dia menghubungiku.
"Lg diem2 aja di kasur, ngantuk"
Aku kembali lagi pada lamunanku. Senyum - senyum sendiri membayangkan ciuman hangat dan menyenangkan tadi siang.
Drrt ..
*Ino Gundul memanggil ...
"Ya mas?" aku duduk dari tidurku, dan duduk di atas kursi belajarku.
"Muachh .." suara kecupan terdengar disana.
"Hee ?? Genit amat ?" aku kaget
"Hehehe, biarin, aku kangen sama Ito. Dik, besok ikut mas ya!"
"Kemana mas?"
"Udah pokoknya ikut aja, aku susul adik pulang sekolah"
"Hmm, oke deh, jadi besok aku minta jemput Sasha aja."
"Ya udah, met bobo yah adikku sayang, muach."
"Deh .. Iya, makasih. Mas met bobo juga, trus gak usah genit gitu."
"Biarin genit sama adik sendiri, ya wes. met malem"
Telepon pun ditutup. Aku pun beranjak ke atas kasurku. Tidur. Berharap masih banyak mimpi indah lainnya esok hari.
======
Siang hari setelah pulang sekolah.
Ino menjemputku naik mobilnya, motor bututnya belum mau menyala siang ini. Aku hanya tertawa mendengarnya.
"Mau kemana mas kita?"
"Udah ikut aja yah, gak usah banyak tanya. Aku khan sudah bilang sama Ito, bakal banyak kejutan lain kalau kamu kenal sama aku." Ino tersenyum penuh misteri.
"Ya udah, terserah mas aja."
Ino memegang tanganku, kali ini tanpa izin seperti sebelumnya. Aku tidak protes kali ini. Senang, tapi aku masih bertanya - tanya kemana Ino akan membawaku.
Mobil berjalan ke arah Rungkut, daerah rumahku.
"Mas mau nganter aku pulang tah?" aku tetap bertanya - tanya.
"Emangnya kalau ke arah sini harus nganter kamu pulang ? Mentang - mentang rumahnya di daerah sini. Udah diem aja. Dilarang protes."
Daerah rumahku terlewati. Ino masih mengarahkan mobil berjalan lurus. Ke arah UPN. Jade Cafe.
"Mau ke Jade Cafe lagi, mas?"
Ino terdiam. Dia membelokkan mobilnya ke arah perumahan Puri Mas. Daerah perumahan mewah dengan konsep Bali. Ino menghentikan mobilnya di salah satu rumah mewah di sudut jalan. Berbentuk design minimalis berwarna hitam dan putih, tanpa pagar. Rumput jepang memenuhi halaman, dengan bunga kamboja yang cukup besar di depannya.
Lampu taman berbentuk unik menghiasi sudut halaman rumahnya.
Rumah tersebut tampak sepi. Tapi ada mobil terparkir di garasinya.
"Kita sampai. Turun yuk!" Ino mematikan AC mobilnya dan kemudian mesin mobilnya. Keylock terbuka otomatis. Dia membuka pintu mobilnya.
"Ini rumah sapa mas ?" aku bertanya - tanya. Takut. Walaupun daerah ini tidak asing karena aku juga tinggal dekat sini, tapi. dia baru saja kukenal, dan sekarang mengajak ke rumah orang yang tidak kukenal. Asing.
"Udah, masuk aja yuk!"
Ino membuka pintu depan rumah mewah ini dan meletakkan sandalnya di rak samping. Pintu kayu dari kayu Jati dengan ukiran di langit - langit pun dibukanya.
"Ma, aku pulang." Ino berteriak ke dalam rumah. Suaranya pun menggema, karena sepinya rumah ini.
"Masuk, To."
Aku hanya bisa terdiam. Dia memanggil seseorang disana dengan sebutan, Ma? Ini berarti rumahnya. Dan dia mengajakku kesini, ada mamanya di dalam sana.
Tak berapa lama keluar sosok wanita paruh baya dari dalam sebuah ruangan. Ino mengekor di belakangnya, tersenyum. Senyuman itu tampak penuh arti. Sementara aku, bengong.
"Ini toh yang sering diceritakan sama Ino?" perempuan itu tersenyum padaku.
"Iya ma, ini Ito. Ito ini mamaku."
Aku dengan terpaksa menjabat dan mencium tangan Mama Ino.
"Victo, tante." aku tersenyum ke arah Mama Ino, dengan bingung tentunya.
"Litha" Litha namanya, dan beliau membalas senyuman itu.
"Kok udah dateng jam segini, kata Ino masih agak lamaan. Tante belum sempet masak, takutnya dingin gak enak."
"Ahh, gak papa kok ma, khan Ito ntar yang mau masak."
Aku melirik Ino dan mencubit lengan Ino, yang dicubit cuman bisa meringis.
"Kok Ito ? Nggak usah lah, ya udah tante masakin dulu. Tante tinggal dulu ke dapur." Mama Ino beralih dari pandanganku. Aku menatap Ino seakan meminta penjelasan. Ino hanya tertawa cekikikan dan menarik lenganku.
"Suprise! Hahahaha. Yuk ikut ke kamarku." Ino menarik tanganku ke kamarnya yang terletak di lantai 2.
"Bingung aku mas."
"Hahaha, gak usah bingung lah dik, ini kejutanku yang lain buat kamu."
"Tapi ini khan tanpa persetujuanku, tiba - tiba aja mas ngajak kesini."
"Lho, khan mas kemarin udah tanya adik mau gak ikut mas, trus adik bilang mau."
"Iya sih ..."
Aku tidak berkata - kata lagi, emang sih aku kemarin setuju dengan ajakannya, tapi tidak kukira tujuannya adalah : dia mengenalkanku pada orangtuanya, yang notebene mereka tahu tentang orientasi Ino, dan itu berarti mereka tahu bahwa aku sedang dekat dengan Ino. Apa yang akan kalian lakukan jika berada pada posisiku saat ini? Hmm..
Ino membuka kamarnya. Rapi, jauh lebih rapi dari kamarku. Kumpulan CD tertata rapi di rak CD unik berbentuk ulir dari besi. Ranjangnya pun rapi tertutup bed cover bermotif hitam dan putih. Di depannya sebuah TV LCD 21", Di sudut samping kasurnya ada sebuah kulkas kecil. Sebuah meja belajar dengan tumpukan buku diktat dan sebuah lampu dengan ornamennya, indah sekali.
Labtop berwarna putih tergeletak di atas kasur. Di sudut yang lain terdapat lemari berwarna cokelat. Cukup besar. Nilai untuk kamar ini 8, dan sepertinya aku akan betah disini. Suasana hatiku sudah sedikit berubah, dari kekagetanku di awal aku sudah bisa lebih menguasai keadaan, ditambah lagi Ino menjadi semakin sempurna di mataku.
"Yuk, masuk. Mau minum apa?"
"Terserah mas aja lah. Aku masih shock."
Ino mengambil 2 kaleng coca cola dari dalam kulkas kecil di samping kasurnya. Aku berkeliling menyelidik ke dalam kamar Ino, melihat foto yang tergantung di tembok. Foto - foto Ino dari zaman baheula, waktu kecil dulu sampai jadi seperti sekarang. Aku yakin dari dulu ia sudah membuat banyak orang tergila - gila dengannya.
Aku duduk di pinggiran kasur, dan Ino memberikan sekaleng coca cola padaku. Aku membuka dan meneguk isinya. Ino menghampiriku dan duduk di sampingku. Dia memelukku. Erat. Ada perasaan aneh yang kurasakan. Pelukan ini seperti pelukan orang yang hendak berpisah.
"To, tolong temani aku yah..." Ino masih belum melepaskan pelukannya, dan aku semakin merasa janggal.
"Lha, ini khan juga udah ditemani."
"Bukan, maksudku, temani aku saja. Jangan pergi dari Ino."
"Mas kok jadi aneh gini sih? Jangan bilang ini juga bagian dari kejutan mas yang lain?"
"Ya, memang, dan belum waktunya sekarang."
Ino melepaskan pelukannya dan mencium keningku. Aku makin merasa makin ada kejanggalan dari sikapnya.
"To, kata Sasha kamu pinter masak ya?" Ino berusaha mengarahkan pembicaraan ke hal yang lainnya.
"Ha ?? gak kok, boong banget tuh dia!"
"Ahh, jangan pura - pura, aku lho dari kemarin itu telpon - telponan sama Sasha, itu salah satu alasan ngajak kamu kesini. Masakkin mas, ya. Please."
"Apaan sih mas. Norak!"
"Nggak, beneran nih, kali ini aja, mau yah masakkin mas, masa cuma Sasha yang dicobain masakanmu. Aku khan juga mau."
Ino memegang tanganku penuh harap. Aku memang suka membantu mamaku memasak, beberapa masakan yang mudah diolah sudah aku kuasai, seperti Oseng - oseng atau makanan olahan lainnya.
"Kali ini aja yah. Dan cukup bikin aku malu sekali saja."
"Kamu emang adik mas yang paling manis." Dia mengacak - acak rambutku.
"Udah gak usah gombal."
Aku dan Ino keluar dari kamar dan menuju ke dapur, Mama Ino sedang asyik memasak disana. Aku menghampirinya.
"Masak apa tante?"
"Eh, kamu. Nggak, ini cuma masak ayam goreng aja, habisnya bingung mau dibikin apa?"
"Hmm, boleh Ito bantuin tante?"
"Ah, gak usah lah. Kamu khan tamu disini. Udah santai aja."
"Disuruh Ino tuh tante masakin dia."
Tante Litha melirik ke arah Ino, yang dilirik cuman senyam senyum sambil mengambil ayam goreng yang sudah jadi dari piring.
"Maksudnya?" tante litha bertanya
"Gini lho, ma. Ito ini khan pinter masak. Jadinya dia aku bawa kesini tadi tujuannya bukan cuma mau aku kenalin ke mama, tapi juga aku suruh masak."
"Kok gitu, jahat ya kamu. Hahahaha."
"Ya udah sini, Ito bantuin tante, gak papa kok."
Ting tong. Bel depan rumah berbunyi.
"Mbak Yum, coba liat sapa yang ngebel?" Tante Litha berbicara dengan pembantunya yang ikut membantu tante memasak.
"Biar aku aja mbak Yum, mbak bantuin mama aja" Ino berlari ke arah pintu meninggalkanku dengan Tante Litha dan Mbak Yum.
Di halaman depan
"Wah, kamu udah dateng toh! Nggak susah khan cari rumahku"
"Nggak kok mas!"
"Yuk, masuk kalau gitu, motormu sini aku parkir di dalam garasi aja. Kuncinya mana?"
Di dapur
"Kamu kenal Ino dimana, To?"
Ini nih, pertanyaan yang semestinya aku hindari. Haduh, aku harus memutar otak cepat untuk menjawab pertanyaan ini.
"Dari chatting yaa?" Tante Litha tertawa kecil. Sementara aku hanya bengong, lagi. Sebegitu terbukanya Ino dengan orangtuanya ini. Aku hanya tersenyum kecut mendengar apa yang dikatakan tante Litha.
"Kamu anggep aja Tante ini Mama kamu sendiri ya? Ino cerita banyak lho tentang kamu, dan kayaknya dia senang banget kenal kamu. Makasih ya, To?"
"Makasih untuk apa Tante?"
"Ya, makasih karena mau kenal sama Ino."
"Ehmm .. iya lah tante, no big deal."
"Hayo, ngomongin aku ya."
"Ma, ini kenalin." Ino mengagetkan kami. Dia menggandeng seseorang di belakangnya. Aku terbengong lagi.
"Sasha.."
"Wah, tangan tante kotor. gak usah salaman yah!"
Ino berjalan ke arahku dan berbisik ke telingaku.
"Surprise ..."
Sasha berjalan ke arahku sambil tertawa - tawa. Aku merasa dikerjai hari ini. Sial. Aku terbengong dan menertawai diriku sendiri.
"Udah tante, nggak usah repot - repot masak, tuh Victo bisa masak sendiri kok. Masakannya enak lho!"
"Ehh .. Iya, tante ngobrol sama Sasha aja, biar Ino yang ngebantuin Ito disini."
"Yakin gak papa neh tante tinggal sama Sasha?"
"Udah tante, yuk." Sasha menggandeng tangan tante Litha.
"Tante cuci tangan dulu deh." Tante Litha kemudian mencuci tangan dan mengajak Sasha ke halaman belakang.
"Mbak Yum, bikinin teh yah buat kita."
Aku memasang tampang kesal ke arah Ino, menekuk wajahku, cemberut.
"Marah yah?" Ino mencolek daguku. Aku pura - pura menghindar.
"Gak" Aku pura - pura menyibukkan diri memotong bawang bombay dan bawang lainnya untuk masakanku.
"Jangan marah dong, Ino berusaha merayuku."
"Lho, kok kamu nangis? Waduh .."
"Sapa yang nangisin situ, ini pedes mataku motongin bawang tauk!!" Aku menyeka air mata yang keluar dari mataku. Pedas rasanya. Ino tertawa puas. Mbak Yum yang melihat kami hanya tertawa - tawa kecil sambil mengaduk teh yang dibuatnya.
"Masih ada kejutan apa lagi sih mas buat aku?"
"Kamu tunggu tanggal mainnya yah, makanya jangan jauh - jauh dari aku." Ino mengacak - acak rambutku.
Akhirnya semua masakanku jadi, Aku memasak ayam goreng saos mentega, kemudian brokoli cah jamur, dan aku membuat squash dengan float sebagai penutup. walaupun sedikit gak nyambung, tapi biarin aja, lagian tanpa persiapan aku harus masak apa, bahan yang ada di kulkas saja aku masak.
Baunya sih harum, tapi aku ragu dengan rasanya, karena gak ada orang lain yang biasa aku suruh mencicipi kecuali Sasha, dan dia pemakan segala. Huh. Ino memanggil Mamanya dan Sasha. Tapi mereka putuskan untuk membawa masakan itu di halaman belakang saja. Katanya sudah PeWe di belakang ngobrolnya.
"Wahh, kayaknya enak nih." tante Litha menepuk kedua tangannya.
"Pasti enak tante, Ito kalau masak jempol deh!!"
"Hmm, gak segitunya kok, tante. Jangan percaya sama Sasha."
"Haha, nggak kok. tante percaya aja, dia udah cerita banyak sama Tante tentang pengalaman masak kamu dari yang gagal sampe yang super enak, dan masakan ini yang paling kamu kuasai."
"Hehhee, iya, ini yang paling sukses tante."
"udah ma, ayo makan, laper udahan." Ino mengambil nasi dengan rakusnya. Aku hanya terdiam.
"Victo gak makan ??" Tante Litha menawariku
"Ntar dulu deh tante, takut."
"Takut kenapa? Enak kok ini, bener deh." Tante Litha menyuapkan masakanku ke dalam mulutnya, dan menikmatinya.
"Ho oh, beneran kok enak. Nih akk. Ino menyuapkan sendok ke arahku."
"Ih, udah ahh .. jangan norak!!"
"Hahahah" Ino tertawa.
"Halah halah, gitu aja malu. Makan cepet nyet, ntar aku abisin lho." Sasha ikut menimpali. Bikin aku makin salah tingkah.
"Iya, ayo to, makan. Kita gak keracunan kok dan ini benar - benar enak, nanti tante habiskan lho!" Dengan terpaksa aku mengambil nasi dan meletakkan nya ke dalam piring.
Kami berempat pun melanjutkan obrolan, Sasha semakin dekat dengan Tante Litha. Ino pun terlihat sangat senang dengan kehadiranku bersamanya disana. Kami pun mengakhiri makan siang kami. Aku memberesi piring - piring bekas kami makan.
"Nggak usah diberesi to, biar mbak yum aja."
Tante Litha memanggil Mbak Yum dan menyuruhnya memberesi piring - piring kami. Ino mengajak aku kembali ke kamarnya. Tante Litha mengajak Sasha mengobrol di gazebo belakang sambil menikmati squash yang aku buat tadi.
"Sha, Tante, aku tinggal ke kamar Ino dulu yah?"
"Oh, iya silahkan, lagian tante masih asyik sama Sasha."
"Ya udah sana ndul. Aku juga lagi asyik sama tante."
Ino menggandeng tanganku saat kami naik ke lantai dua. Kami pun masuk ke dalam kamarnya.
“Makasih yah masakannya.” Ino mengecup keningku. Lama. Kemudian mengecup bibirku.
Ino berbalik menuju tempat tidur. Aku mengikutinya. Dan, aku memeluknya dari belakang, seakan memeluk tiang. Memang untuk ukuran tinggi badan, dia terlihat lebih tinggi. Tapi, aku juga tinggi tetap saja kalah dengannya, dia terlihat menjulang. Tapi aku menikmati memeluk tubuhnya, pas, dan aku memeluknya erat banget.
Ino memegang tanganku, mungkin pelukanku terlalu erat, aku merasa bahwa aku sangat erat memeluknya, tapi ia tidak melepas pelukanku, malah semakin melingkarkan di perutnya. Dia kemudian berbalik.
“Ito kenapa?”
“Nggak papa, aku Cuma ngerasa ada yang aneh aja sejak ketemu sama mas, dan aku gak tau sepertinya ada sesuatu yang mas sembunyikan dari aku, tapi aku gak tahu itu apa.”
“Udah, gak usah mikir yang macem – macem. Ito minta jalani aja khan? Jadi, Ito gak usah mikir yang aneh – aneh, emang masih banyak sesuatu yang belum Ito tau.” Ino mengacak – acak rambutku, kemudian memelukku, erat.
Jangan lepaskan pelukanmu, Ino …
Have a nice saturday night!
Tante Litha dan Sasha semakin asyik berbincang – bincang, tertawa kecil jika ada sesuatu yang mereka anggap lucu. Akrab. Seperti sahabat yang sudah tidak bertemu bertahun – tahun. Memang harus diakui, meskipun Sasha terlihat tomboy, tapi dia adalah seseorang yang mudah bergaul dengan siapapun. Tak heran, Tante Litha yang umurnya jauh lebih tua pun mampu ditaklukkannya.
“Nih Sha, Tante lihatin foto – foto Ino waktu kecil dulu” Tante Litha menunjukkan album foto yang baru saja diambil dari ruang tengah.
“Wah, Ino lucu juga yah tante! Montok, dan memang dari kecil udah cakep gini.” Sasha melihat lembar demi lembar foto yang ada di album, membolak baliknya.
“Hahaha, kamu bisa aja. Tapi, emang anak tante satu – satunya itu cakep yah!” Tante Litha tampak bangga dengan Ino.
“Ini papanya Ino ya tante?” Sasha melihat ke salah satu sosok di dalam foto yang mirip sekali dengan Ino.
“Iya, itu papanya Ino. Beliau baru saja meninggal dua tahun yang lalu.” Raut wajah Tante Litha berubah sedih.
“Ehh, maaf tante, bukan maksud Sasha bikin tante ingat sama Om.” Sasha berucap tulus dan memegang tangan Tante Litha.
“Ah, gak papa kok Sha, khan kamu belum tahu. Tante juga sudah mulai terbiasa kok.”
“Kenapa tante gak nikah lagi sih? Bukan maksud Sasha lancang, tapi tante masih muda dan cantik lho.” Sasha berusaha menghibur Tante Litha, mencoba menebus kesalahannya .
Tante Litha tertawa terbahak – bahak.
“Hahahaha, kamu itu ada – ada aja yah, sapa yang mau sama tante?
Udah tua gini. Lagian nggak lah sha, tante masih nyaman dengan kehidupan tante saat ini, ada Ino yang masih bisa nemani tante disini, ada kamu juga, makanya kamu sering – sering kesini yah temenin tante ngobrol, ajak Victo juga. Tante seneng Ino bisa kenal sama kalian, kalian anak – anak yang menyenangkan.”
“Hmm, maksud tante Ino masih bisa nemani tante apa ?”
“Oh, itu. Gak papa kok Sha. Sebentar lagi khan Ino mau pergi jauh. Tapi tante udah siap kok kalau Ino akan pergi.” Rona wajah Tante Litha memerah, tampak kesedihan disana.
“Pergi? Kemana tante?”
“Ah, udahlah Sha, gak usah dibahas, yang jelas, tante senang kenal kamu, kenal Victo, tante udah anggep kalian seperti anak sendiri, jangan sungkan kalau mau kesini. Anggap ini rumah kalian juga.”
“Dengan senang hati tante! Sasha betah banget disini, nyaman!” Sasha tersenyum pada tante Litha.
“Lho, ini Tante Ira kok ada disini?” Sasha menunjuk sosok wanita muda di salah satu halaman foto.
“Iya, itu Ira, adik tante. Kamu kenal?” Tante Litha melirik foto yang ditunjuk Sasha.
“Ya kenal lah tante, Tante Ira khan sahabat karibnya mama, malah sekarang mereka kerjasama bisnis kalung dari manik – manik.”
“Mama kamu, hmm .. Risa?”
“Iya, Mama Risa. Tante kenal sama Mama”
“Astaga, jadi Risa itu mama kamu? Sempit sekali ya dunia ini? Ya jelas kenal lah, mama kamu juga pasti kenal sama tante, dari zaman SMA dulu mama kamu khan sering main ke rumah orangtua tante, dan sering ketemu juga sama tante. Gimana kabarnya mama kamu. Salam ya buat mama kamu.”
“Haha, ternyata oh ternyata. Mama kabarnya baik kok tante. Tapi, mama kok gak pernah cerita yah sama aku?”
“Ya, mungkin mama kamu cuman cerita tentang adik tante saja. Lucu ya, kok mbulet gitu ternyata. Jauh – jauh eh ketemu juga yang kenal.”
Mereka berdua tertawa – tawa. Tante Litha tampaknya sudah tidak lagi memikirkan suaminya dan apa yang baru saja dia katakan pada Sasha. Mereka semakin akrab, tenggelam dalam percakapan yang seru.
Di kamar Ino.
Aku duduk di bawah, menyandar pada pinggiran kasur. Ino membaringkan tubuhnya di kasur sambil membelai – belai rambutku. Aku menyukai dia membelaiku. Ino menyalakan Labtopnya, ia merubah posisinya menjadi tengkurap, menghadap labtop. Tak berapa lama lantunan lagu pun terdengar dari labtopnya. Aku mengubah posisi dudukku, menghadap ke Ino tapi masih tetap bersandar pada pinggiran kasur. Aku mencubit pipinya. Dia tersenyum ke arahku. Aku bangkit dari dudukku dan naik ke atas kasur. Aku duduk di atas pantat Ino dan melihat ke arah labtop, tertarik dengan apa yang sedang ia lakukan sambil mengusap kepalanya yang gundul.
Dia menoleh ke arahku dan tersenyum. Lesung pipitnya membuat dia semakin manis. Aku mencubit pipinya lagi. Dia protes. Aku tak melepaskan cubitanku. Gemas. Akhirnya aku melepaskan cubitanku. Pipinya memerah. Aku tertawa kecil. Ino hanya bisa meringis menahan sakit.
Aku menyandarkan tubuhku di atas punggungnya dan meletakkan
kepalaku di antara leher dan bahu kanannya.
“Ito sayang sama Ino.” Aku berbisik perlahan di telinganya. Entah angin apa yang menyebabkan aku berani berbicara seperti itu. Tapi memang sepertinya, aku menyayangi Ino. Dia berbeda. Aku tidak ingin kehilangannya, dan aku seperti terhipnotis olehnya, dia seakan mau pergi jauh, dan aku tidak ingin dia pergi sebelum aku mendapatkan jawaban dari segala misteri yang disembunyikannya. Aku mulai takut kehilangannya, walau aku baru saja mengenalnya.
Ino membalik tubuhnya tiba – tiba. Aku hampir saja terjatuh ke samping saat dia melakukan itu. Dia memegangi tubuhku agar aku tidak terjatuh. Dia memperbaiki posisi nya menjadi telentang, dengan bersandar pada bantal membentuk sudut 135 derajat dan mendudukkan aku di perut bagian bawah. Dia memegang tanganku dan meletakkan di dadanya.
“Ito mau jadi teman special Ino?” aku hanya mengangguk sambil tersenyum padanya. Dia membalas senyumanku. Ya, baiklah. Mungkin sekarang aku adalah teman special nya. Belum genap seminggu kami bertemu, tapi hal itu sudah terdeklarasi. Cepat sekali, dan tanpa pikir panjang. Tapi biarlah, tidak ada gunanya aku berpikir terlalu lama, toh aku juga tidak ingin kehilangan dia. Aku menerimanya sebagai kekasihku.
“Bentar, kok ada yang keras?” aku mengarahkan tanganku ke belakang, dan ada sesuatu yang sedang membesar disana. Ino hanya bisa tertawa cekikikan.
“Iya, berdiri adikku liat kamu, plus posisimu kayak gini sekarang.” Senyum Ino makin lebar
“Ihh mesum !!!” aku menutup muka Ino dengan bantal yang ada disebelahku. Lalu aku remas pinggangnya, dia kegelian.
“Dik, udah dik.”
“Biarin, makanya jangan mesum.” Aku tidak menghentikan gelitikanku. Sampai mukanya memerah, Ino teriak – teriak kegelian.
“Sayang, udah!! Geli!!” aku menghentikan gelitikanku dan melihat ke arah Ino.
“Sayang sayang .. Sandal melayang.” aku melanjutkan gelitikanku. Ino berteriak semakin kencang.
Brak !! Pintu kamar Ino dibuka oleh seseorang. Aku kaget dan terguling kesamping. Ino yang kegelian tak sempat memegangiku. Aku terguling dari tempat tidur, dan jatuh ke bawah. Terdengar suara cekikikan dari daun pintu. Aku mengaduh dan segera melongok siapa gerangan yang ada disana.
“Ya ampun, kalian ini. Udah pada gede guyonannya gak ketulungan. Victo gak papa tuh?”
“Eh, iya tante. Sakit ini jatuh. Huhuhu. Ini nih tante, Ino mesum, makanya Victo gelitikin, eh sekarang Victo nya yang jadi korban.” Aku meringis menahan sakit.
Ino mencoba menolongku sambil tertawa.
“Nggak ma, boong kok. Mesum apaan, tadi cuma godain Ito aja.”
“Duh, ndul, jangan mesum disini, tar aku pengen.” Sasha tertawa terbahak – bahak. Tante Litha menyenggol tangan Sasha dan ikut tertawa.
“Ya udah, tante tinggal ke kamar yah. Kalian udah ah, jangan kayak anak kecil guyonannya.” Tante Litha pamit pada kami. Sasha menghampiri kami berdua.
“Wah, kamarnya bersih banget. Kalah bersih sama kamarku.” Sasha memperhatikan sekeliling kamar dengan seksama.
Aku mencoba berdiri, pantatku sakit jatuh dari atas kasur. Ino masih tertawa cekikikan melihat ekspresiku. Aku mencubit pipinya.
“Sakiiitt taaauuu.” Aku mencubit kedua pipinya. Keras. Ino berusaha melepaskan cubitanku.
“Iya iya. Maaf maaf. Sayang udah, sakit.”
“Sayang sayang sandal melayang!” aku ganti mencubit hidungnya. Puas aku rasanya.
“Eh, eh. Kok udah pake sayang – sayangan neh sekarang?” Sasha menoleh ke arah kami. Aku melepaskan cubitanku.
“Hheheh.” Aku dan Ino tertawa. Sepertinya Sasha udah mengerti maksud kami, dan dia hanya manggut – manggut tanda mengerti.
“Ya udah, kita pulang dulu yah, mas. Udah sore juga.”
“Kok udahan sih, to. Masih kangen ama kamu.”
“Ih, gak usah genit gitu.”
“Iya nih mas Ino, lagian rumah kalian deket aja. Bisa ketemu kapan aja toh?” Sasha menambahi.
“Ya udah deh kalau gitu.”
Ino menarikku dan mencium keningku, kemudian mengecup bibirku.
“Ohhh God !! Jangan disini woooyyy, ntar aku pengen gimana???” Sasha yang melihat apa yang kami lakukan Cuma bisa geleng – geleng kepala.
“Ngiri ya nyet? Makanya cari pacar sana.” Aku mencoba menyindir Sasha.
“Gimana bisa cari pacar, kalau semua lelaki yang aku temui kamu bilang gak suka sama cewe!”
“Ya udah, gabung sini tah?” aku memonyongkan bibirku kea rah Sasha
“Hii .. najis dicium sama kamu.” Sasha berjalan keluar kamar. Aku dan Ino hanya bisa tertawa.
“Aku pulang dulu ya mas.” Aku mencium keningnya.
“Iya, makasih ya ito sayang!”
Kami berdua berjalan ke lantai bawah. Sasha sudah mengenakan tas nya. Bersiap – siap pulang. Ino memanggil mamanya dari dalam kamar. Tante Litha pun keluar.
“Kok udah mau pulang?”
“Iya nih tante, udah sore, lagian rumah Sasha jauh. Tapi tenang aja, besok – besok kita main kesini lagi kok.”
“Iya, jangan sungkan yah main kesini. Lha terus Ito pulangnya gimana?”
“Ito pulang sama Sasha aja tante, lagian rumah saya juga gak jauh dari sini kok.”
Aku dan Sasha kemudian pamit dan mencium tangan Tante Litha, kami meninggalkan rumah mewah ini. Sasha yang menyetir, dan aku membonceng di belakangnya. Ino dan Tante Litha melambaikan tangan mereka pada kami. Kami membalasnya.
Mereka pun tak tampak lagi. Kami berbelok keluar dari Perumahan ini. Menuju ke rumahku. Aku bahagia hari ini. Ino telah menjadi milikku. Masih banyak kejutan lain kata Ino yang akan menunggu. Aku akan menunggu kejutan demi kejutan itu.
“Gimana ma? Mama suka sama Ito?”
“Ya. Mama juga yakin, dia lebih baik dari yang dulu.”
Ino tersenyum dan mencium mamanya.
“Makasih ya ma, Ino juga yakin dia yang terbaik. Masuk yuk ma.”
Ino dan Tante Litha pun masuk ke dalam rumah mereka. Masih banyak mimpi indah akan menantiku esok hari.
Ino-ny mo pegi jauh kmn neh? jadi penasaran,, jgn lama2 y lanjutanny.. moga2 cerita lo pny happy ending y?
dilanjut bro..