BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

HEART STATION

1909193959699

Comments

  • selama 4 malem gua tidur jam 12 mulu, demi nyelesaiin cerita ini. suka duka jadi satu, sedih gak ada iqbal lagi :'(
    bang remy, hidupmu betapa penuh warna. mau dong bang di operin Paul :p
  • lho. ini cerita toh? maaf @boljugg belum sempet baca.... :((
  • It's great to read this one! Ga kerasa udah page 23.. Lumayan bacaan kala macet :p
  • stres aku bacanya .... keknya tak pernah putus2nya remy mempersulit diri sendiri ... ama dosenlah, ama suami orglah, ama atasanlah, halah ..... aku yg udh 34 tahun dan masih perawan ting2 ini jadi binun .... dan keknya memutuskan ... no i dont wanna enter such kind of life like this ... memasukkan diri dlm sebuah resiko yg tak berakir .... confused la! "mungkin lebih baik begini, menyendiri d sudut kota ini. ku tutup pintu hati, untuk semua cinta, walau hati ni menangis :)

  • edited January 2013
    @calberuz

    Ceritanya bagus banget kak. Romantis :'( jadi nangis lg :'( *maklum abis putus cinta* X"D
    Speechless.
  • Jd dbkin cerbung, ah bete gw. page udah 94 .pasti pnjg bgt
  • SEMARANG MIDDLE OF MARCH.

    Laporan-laporan keuangan yang harus kuperiksa di kantor cabang cukup membuat pikiranku

    teralihkan dari terus memikirkan Iqbal. HP ku hanya kuaktifkan 1, Nomor resmi yang

    diketahui semua orang di kantor kecuali Iqbal. Sedang nomor yang kuberikan pada Iqbal

    sengaja tidak aku aktifkan.

    Kadang-kadang aku hampir tergoda untuk menyalakan HP ku yang satu itu. Tapi segera ku

    simpan jauh-jauh.

    Makin hari, kesibukanku tidak dapat membuatku melupakan Iqbal. Bahkan saat hari ke-4

    aku di Semarang dan mengikuti RAKER 2008, sama sekali aku ga bisa berkonsentrasi

    mengikuti jalannya rapat.

    Hari Jum'at pagi di Semarang aku berpamitan dengan jajaran direksi untuk kembali ke

    Jakarta.

    Sabtu malam aku putuskan untuk menyalakan HP ku.

    4 SMS Notifikasi masuk. Nomor XXXXXX menghubungi anda jam XX:XX silakan hubungi

    kembali no. tsb.

    Tiga diantaranya dari No. Iqbal.

    Aku tahu bila notifikasi itu datang, maka HP Iqbal akan diberi tahu bahwa no HP ku

    telah aktif kembali.

    1 Jam kemudian SMS kembali masuk. Dari Iqbal: "Gue kangen."

    Aku balas "Ane juga."

    Iqbal membalas lagi "Gue ke rumah ya?"

    Aku tahu SMS terakhir itu tidak perlu jawaban.

    30 Menit kemudian motor Iqbal datang.

    Aku membuka pintu. Iqbal sudah duduk bersila dilantai teras sambil menyalakan rokok,

    tapi tidak seperti biasanya kalau melihat dia merokok, kali ini aku tidak protes, aku

    kemudian mengikuti duduk disebelahnya.


    "Dari luar kota?" tanyanya pelan.

    aku cuma mengangguk

    "Pantesan kulitnya lebih gosong.."

    aku tertawa pelan sambil berkata "Lupa bawa sunblock."

    Kami pun tertawa bersama. Lalu kembali terdiam.

    "Boleh masuk?" tanyanya pelan.

    "Enggak harus dijawab kan?" ujarku sambil bangkit dari duduk.

    Iqbal pun beranjak hendak masuk, tapi aku tahan.

    "Kenapa?" tanyanya heran

    "Buang dulu rokoknya..."


    RABU 2 APRIL
    Lokasi : Peron Tengah Stasiun KRL, Tiang terujung.

    Kerasnya suara pengumuman kedatangan Kereta mengalahkan lagu yang kudengar lewat

    earphone. Sambil melipat koran se-ceng yang sebentar lagi nasibnya akan menjadi alas

    duduk tempat lesehan di gerbong, aku melihat ke sebelah kanan... dimana Iqbal akan

    datang ke arahku sambil tersenyum... bersama-sama akan menaiki gerbong no. 6


    Diantara kerumunan cuma dia yang kulihat. Dan... enggak ada yang perlu kukeluhkan....


    Sorry guys.... no sex at ALL!
    THANX FOR READING
    bukanya apa apa tapi ini ceritanya gak jelas iqbal ngapain sama kamu apa akhirnya kalian jadian apa gmn huh masa gini
  • Udah baca sampai page 16, anjrit. You're smart bro, gaya tulisan, ceritanya well.menarik. mantap
  • Gw sampai di page 26 . Fvck! Rem, cerita lu bner2 T.O.P :^^. Gaya penceritaan lu seakan-akan.gw memang yg mengalaminya, kebingungan dgn ini itu eh trnyta bgini. Apa ya istilahnya ,bnyk kejutan / apa lah yg gak terduga sama pkiran kita. Ini bner2 krasa bgt . Lu musti novelin ini. Keren asli.
  • ini Fiksi atau Non ya?
    ceritanya seperti di sinetron :)
    hehe.
    banyak sekali "pria-pria" disekeliling anda.
  • THE STALKER -Part VII

    Sabtu pagi jam 9.20
    Aku memerhatikan ujung-ujung sepatu kets Puma ku sendiri saat sedang duduk sambil berpikir di sebuah bangku panjang yang ada di stasiun kereta Pondok Cina. Seorang pria tua kumal duduk agak jauh dariku dibangku yang sama. Sesekali dia meremas gelas-gelas plastik yang sepertinya telah dia kumpulkan dalam sebuah karung butut yang berlubang disana-sini hingga menimbulkan suara 'Plok' berkali-kali. Aku memandang pria tua itu dan dia balik menatapku galak. Aku tidak yakin kalau pria itu orang gila, akan tetapi akhirnya aku memilih untuk menyingkir dan duduk di bangku yang ditempati beberapa orang mahasiswa.

    Pagi ini aku ada janji dengan Iqbal untuk jalan-jalan di daerah Depok sekaligus memberitahu dia bagaimana keputusanku tentang ajakannya untuk berangkat bersama kembali pagi-pagi. Aku belum pernah turun di stasiun Pondok Cina ini sebelumnya. Aku tahu kalau di situ ada sebuah Mall karena aku melihat gedung tempat parkir yang berbatasan langsung dengan dinding stasiun, tetapi aku tidak tahu Mall apa itu. Kemudian Iqbal meneleponku.

    "Halo?"
    "Elu dimana?"
    "Udah nyampe..." kataku
    "Kan dah gue bilang! tungguin gue di stasiun. Kita berangkat sama-sama."
    "Tadi pas gue nyampe ada kereta datang, karena kosong ya udah gue naik aja." kataku beralasan. Padahal aku masih belum nyaman kalau harus berangkat bersama Iqbal.
    "Ya udah.. tungguin! gue baru sampe Depok lama."
    "Iya.. gue enggak kemana-mana!" Aku menutup pembicaraan.

    Sepuluh menit kemudian dari pengeras suara terdengar pengumuman bahwa kereta ekonomi dari arah selatan akan masuk. Pasti ini kereta yang ditumpangi oleh Iqbal! Kenapa sih mesti naik kereta kalau hanya ke Pondok Cina? kenapa enggak naik motor aja sih? Aku terus menerus bertanya dalam hati namun tidak punya keberanian untuk mencoba menanyakannya pada Iqbal nanti.

    Penumpang yang turun di stasiun ini tidak terlampau banyak. Kebanyakan dari mereka adalah Mahasiswa yang kampusnya tidak jauh dari situ seperti UI atau Universitas Pancasila. Oleh karena itu aku dengan mudah bisa menangkap sosok Iqbal yang turun dari kereta. Dia memakai kemeja lengan pendek kotak-kotak oranye dengan celana khaki serasi dengan sepatu kets coklat yang dia pakai. Bayangkan! di usianya yang awal tiga puluhan itu dia masih menarik perhatian beberapa mahasiswi yang ikut turun bersamanya untuk memperhatikan atau sekadar curi-curi pandang ke arahnya. Tetapi sepertinya Iqbal tidak menyadarinya, tak lama setelah turun dia langsung merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sebatang rokok yang kemudian dinyalakannya. Dia kelihatan mencari-cari aku, ketika Iqbal melihatku dia langsung berjalan menuju tempatku duduk.

    Aku tadinya menyangka Iqbal akan ikut duduk didekatku begitu sampai, namun dia malah lewat begitu saja didepanku. Begitu sadar aku tidak mengikutinya, dia menoleh dan berkata, "Ngapain masih duduk di situ? cepetan!"
    Aku bersungut-sungut kesal namun akhirnya aku bangkit dan mengikuti dia juga.

    Aku benar-benar tidak tahu tempat ini saat aku mengikuti Iqbal menyusuri jalan setapak sempit di belakang stasiun menuju sebuah bangunan yang tampaknya adalah bagian belakang sebuah Mall.

    "Lewat sini! kalo lewat dalam masih tutup." ajak Iqbal ketika dia melihatku berusaha membuka sebuah pintu kaca.

    Kemudian aku mengikuti Iqbal mengambil jalan di sisi gedung. Setelah sampai di jalan raya, baru aku sadari bahwa gedung disampingku ini adalah DETOS alias Depok Town Square. Diseberangnya berdiri Margo City yang biasa kulihat di acara musik live di sebuah stasiun televisi.

    "Oh...!" kataku baru tersadar sambil menunjuk-nunjuk paham.
    "Jangan norak deh!" kata Iqbal.
    "Ya gue kan belum pernah ke sini!"

    Iqbal geleng-geleng kepala melihat tingkahku dan kemudian dia berlalu hendak menyebrang jalan. Aku berlari kecil mengikutinya.



    "Seminggu?" tanya Iqbal. Aku mengangguk sambil tanganku sibuk memotong-motong chicken steak gordon bleu dengan pisau dan garpu. Kita berdua adalah pelanggan pertama di sebuah restoran yang walaupun namanya restoran mereka meminta kita membayar terlebih dahulu seperti layaknya kedai ayam goreng cepat saji.

    "Lama amat?" Protes Iqbal.
    "Kan gue harus pamitan dulu sama temen se-geng gue yang baru..." kataku.
    "Lu mau ngaku dulu?"
    "Enggak lah! gue bilang aja udah balikan sama mantan.... eh... sori.. kalo emang kita udah balikan..." ralatku buru-buru.

    "Habis itu?"
    "Ya, mulai senin depannya gue bareng lagi sama ente..." lanjutku.

    Iqbal tampak berpikir keras. Kemudian dia berkata, "oke seminggu... tapi ada syaratnya!"

    Aku berhenti mengunyah karena heran. "Syarat? syarat apaan?" tanyaku bingung.
    Tapi Iqbal tidak menjawab dia malahan memakan menu pesanannya dengan lahap sambil tersenyum-senyum penuh misteri.


    "Ini??" kataku tak percaya. Iqbal mengangguk. Wajahnya diliputi senyum kemenangan.

    Setelah kami selesai makan, kita berdua berada di lapangan pelataran mall tempat wahana flying fox berada. Iqbal benar-benar keterlaluan! padahal dia tahu persis aku takut ketinggian. Apalagi harus meluncur di seutas tali dari atas tempat itu.

    "Kalau elu berani naik ini, syarat lu yang seminggu gue terima!"
    "Ente gila ya?" protesku.
    "Terserah..."

    Aku berpikir agak lama. Yah.. mungkin tidak terlalu menakutkan, pikirku.

    "Tapi ente ikut juga ya?"
    "Iya... gue duluan malah!" kata Iqbal sambil berjalan menuju seorang cowok yang bertugas menerima uang.
    "Loh kok empat puluh ribu? bukannya tiketnya cuma sepuluh ribu?" tanyaku heran melihat Iqbal menerima kembalian selembar sepuluh ribuan.

    "Iya... gue sekali. Elu naik tiga kali.." ujar Iqbal santai.
    "Tiga kali??" sahutku tak percaya. Iqbal tersenyum jahat.

    Setelah aku dan Iqbal dipasangkan helm dan pengaman tubuh lainnya, kami berdua naik ke atas menara. Kakiku gemetar, perutku yang baru diisi seakan ingin dimuntahkan kembali karena khawatir. Iqbal kemudian meluncur lebih dulu. Neraka sebanyak tiga kali itu akhirnya bisa kulalui, pada luncuran pertama aku sempat membentak si cowok flying fox karena berusaha mendorong-dorong aku yang belum siap, namun pada luncuran ke tiga aku menjadi terbiasa.


    Akhirnya kami berdua kembali pulang setelah berkeliling mall. Aku benar-benar mengalami hari yang menyenangkan dengan Iqbal. Sampai di penitipan motor Iqbal mengambil motornya dan hendak berpamitan. Tapi aku merasa tidak bisa membiarkan Iqbal pergi begitu saja. Tidak setelah pertemuan hari ini! Kemudian aku melompat dan duduk diboncengan motor Iqbal. Iqbal keheranan.

    "Loh.. motor lu gimana?" tanyanya.
    "Gampang.. besok gue naek angkot kemari.." kataku. "pokoknya anterin gue pulang..."

    Iqbal tidak menjawab, dia menyalakan motornya dan dia membiarakan aku memeluk pinggangnya erat-erat selama perjalanan ke rumahku.
    lho ? Bukanya umur iqbal 26 ,lu blg sndri di page awal2 kok skrg jd awal 30 thn
  • THE STALKER -Part VII

    Sabtu pagi jam 9.20
    Aku memerhatikan ujung-ujung sepatu kets Puma ku sendiri saat sedang duduk sambil berpikir di sebuah bangku panjang yang ada di stasiun kereta Pondok Cina. Seorang pria tua kumal duduk agak jauh dariku dibangku yang sama. Sesekali dia meremas gelas-gelas plastik yang sepertinya telah dia kumpulkan dalam sebuah karung butut yang berlubang disana-sini hingga menimbulkan suara 'Plok' berkali-kali. Aku memandang pria tua itu dan dia balik menatapku galak. Aku tidak yakin kalau pria itu orang gila, akan tetapi akhirnya aku memilih untuk menyingkir dan duduk di bangku yang ditempati beberapa orang mahasiswa.

    Pagi ini aku ada janji dengan Iqbal untuk jalan-jalan di daerah Depok sekaligus memberitahu dia bagaimana keputusanku tentang ajakannya untuk berangkat bersama kembali pagi-pagi. Aku belum pernah turun di stasiun Pondok Cina ini sebelumnya. Aku tahu kalau di situ ada sebuah Mall karena aku melihat gedung tempat parkir yang berbatasan langsung dengan dinding stasiun, tetapi aku tidak tahu Mall apa itu. Kemudian Iqbal meneleponku.

    "Halo?"
    "Elu dimana?"
    "Udah nyampe..." kataku
    "Kan dah gue bilang! tungguin gue di stasiun. Kita berangkat sama-sama."
    "Tadi pas gue nyampe ada kereta datang, karena kosong ya udah gue naik aja." kataku beralasan. Padahal aku masih belum nyaman kalau harus berangkat bersama Iqbal.
    "Ya udah.. tungguin! gue baru sampe Depok lama."
    "Iya.. gue enggak kemana-mana!" Aku menutup pembicaraan.

    Sepuluh menit kemudian dari pengeras suara terdengar pengumuman bahwa kereta ekonomi dari arah selatan akan masuk. Pasti ini kereta yang ditumpangi oleh Iqbal! Kenapa sih mesti naik kereta kalau hanya ke Pondok Cina? kenapa enggak naik motor aja sih? Aku terus menerus bertanya dalam hati namun tidak punya keberanian untuk mencoba menanyakannya pada Iqbal nanti.

    Penumpang yang turun di stasiun ini tidak terlampau banyak. Kebanyakan dari mereka adalah Mahasiswa yang kampusnya tidak jauh dari situ seperti UI atau Universitas Pancasila. Oleh karena itu aku dengan mudah bisa menangkap sosok Iqbal yang turun dari kereta. Dia memakai kemeja lengan pendek kotak-kotak oranye dengan celana khaki serasi dengan sepatu kets coklat yang dia pakai. Bayangkan! di usianya yang awal tiga puluhan itu dia masih menarik perhatian beberapa mahasiswi yang ikut turun bersamanya untuk memperhatikan atau sekadar curi-curi pandang ke arahnya. Tetapi sepertinya Iqbal tidak menyadarinya, tak lama setelah turun dia langsung merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sebatang rokok yang kemudian dinyalakannya. Dia kelihatan mencari-cari aku, ketika Iqbal melihatku dia langsung berjalan menuju tempatku duduk.

    Aku tadinya menyangka Iqbal akan ikut duduk didekatku begitu sampai, namun dia malah lewat begitu saja didepanku. Begitu sadar aku tidak mengikutinya, dia menoleh dan berkata, "Ngapain masih duduk di situ? cepetan!"
    Aku bersungut-sungut kesal namun akhirnya aku bangkit dan mengikuti dia juga.

    Aku benar-benar tidak tahu tempat ini saat aku mengikuti Iqbal menyusuri jalan setapak sempit di belakang stasiun menuju sebuah bangunan yang tampaknya adalah bagian belakang sebuah Mall.

    "Lewat sini! kalo lewat dalam masih tutup." ajak Iqbal ketika dia melihatku berusaha membuka sebuah pintu kaca.

    Kemudian aku mengikuti Iqbal mengambil jalan di sisi gedung. Setelah sampai di jalan raya, baru aku sadari bahwa gedung disampingku ini adalah DETOS alias Depok Town Square. Diseberangnya berdiri Margo City yang biasa kulihat di acara musik live di sebuah stasiun televisi.

    "Oh...!" kataku baru tersadar sambil menunjuk-nunjuk paham.
    "Jangan norak deh!" kata Iqbal.
    "Ya gue kan belum pernah ke sini!"

    Iqbal geleng-geleng kepala melihat tingkahku dan kemudian dia berlalu hendak menyebrang jalan. Aku berlari kecil mengikutinya.



    "Seminggu?" tanya Iqbal. Aku mengangguk sambil tanganku sibuk memotong-motong chicken steak gordon bleu dengan pisau dan garpu. Kita berdua adalah pelanggan pertama di sebuah restoran yang walaupun namanya restoran mereka meminta kita membayar terlebih dahulu seperti layaknya kedai ayam goreng cepat saji.

    "Lama amat?" Protes Iqbal.
    "Kan gue harus pamitan dulu sama temen se-geng gue yang baru..." kataku.
    "Lu mau ngaku dulu?"
    "Enggak lah! gue bilang aja udah balikan sama mantan.... eh... sori.. kalo emang kita udah balikan..." ralatku buru-buru.

    "Habis itu?"
    "Ya, mulai senin depannya gue bareng lagi sama ente..." lanjutku.

    Iqbal tampak berpikir keras. Kemudian dia berkata, "oke seminggu... tapi ada syaratnya!"

    Aku berhenti mengunyah karena heran. "Syarat? syarat apaan?" tanyaku bingung.
    Tapi Iqbal tidak menjawab dia malahan memakan menu pesanannya dengan lahap sambil tersenyum-senyum penuh misteri.


    "Ini??" kataku tak percaya. Iqbal mengangguk. Wajahnya diliputi senyum kemenangan.

    Setelah kami selesai makan, kita berdua berada di lapangan pelataran mall tempat wahana flying fox berada. Iqbal benar-benar keterlaluan! padahal dia tahu persis aku takut ketinggian. Apalagi harus meluncur di seutas tali dari atas tempat itu.

    "Kalau elu berani naik ini, syarat lu yang seminggu gue terima!"
    "Ente gila ya?" protesku.
    "Terserah..."

    Aku berpikir agak lama. Yah.. mungkin tidak terlalu menakutkan, pikirku.

    "Tapi ente ikut juga ya?"
    "Iya... gue duluan malah!" kata Iqbal sambil berjalan menuju seorang cowok yang bertugas menerima uang.
    "Loh kok empat puluh ribu? bukannya tiketnya cuma sepuluh ribu?" tanyaku heran melihat Iqbal menerima kembalian selembar sepuluh ribuan.

    "Iya... gue sekali. Elu naik tiga kali.." ujar Iqbal santai.
    "Tiga kali??" sahutku tak percaya. Iqbal tersenyum jahat.

    Setelah aku dan Iqbal dipasangkan helm dan pengaman tubuh lainnya, kami berdua naik ke atas menara. Kakiku gemetar, perutku yang baru diisi seakan ingin dimuntahkan kembali karena khawatir. Iqbal kemudian meluncur lebih dulu. Neraka sebanyak tiga kali itu akhirnya bisa kulalui, pada luncuran pertama aku sempat membentak si cowok flying fox karena berusaha mendorong-dorong aku yang belum siap, namun pada luncuran ke tiga aku menjadi terbiasa.


    Akhirnya kami berdua kembali pulang setelah berkeliling mall. Aku benar-benar mengalami hari yang menyenangkan dengan Iqbal. Sampai di penitipan motor Iqbal mengambil motornya dan hendak berpamitan. Tapi aku merasa tidak bisa membiarkan Iqbal pergi begitu saja. Tidak setelah pertemuan hari ini! Kemudian aku melompat dan duduk diboncengan motor Iqbal. Iqbal keheranan.

    "Loh.. motor lu gimana?" tanyanya.
    "Gampang.. besok gue naek angkot kemari.." kataku. "pokoknya anterin gue pulang..."

    Iqbal tidak menjawab, dia menyalakan motornya dan dia membiarakan aku memeluk pinggangnya erat-erat selama perjalanan ke rumahku.
  • TUMPENG (Cont'd)

    Tidak mungkin kalau aku mengajak Paul ke rumah Iqbal! Itulah sebabnya, walau kelihatan tidak rela, Paul bersedia kuantar hingga stasiun dengan motorku. Paul tidak langsung masuk ke dalam stasiun, melalui kaca spion, aku bisa melihatnya berdiri mengawasi motorku yang menjauh.

    ----

    Pantas saja Mbak Dini mengundang aku untuk makan siang di rumah Iqbal. Rupanya mertua Iqbal tidak ada di rumah. Makan siang keluarga ini hanya diikuti oleh kami berempat. Si Kecil Kayla pun kelihatan senang menikmati potongan cake ulangtahun di hadapannya. Di meja makan itu Aku memilih duduk di samping Kayla, sedang Iqbal duduk tepat di hadapanku.

    "Maaf ya Rem, mendadak. Tadinya Mbak udah nyuruh Papanya Kayla buat antar makanan ini ke rumah kamu, soalnya Mbak enggak enak mau ngundang kamu kemari... takut ganggu acara cowok bujangan!" Kata Mbak Dini sambil memotong tumpeng dan meletakkannya ke piring. Iqbal sudah lebih dulu mendapat bagian teratas tumpeng itu dan sedang memakannya bersama potongan daging ayam dan sayuran.

    "Haha.. enggak kok Mbak. Kebetulan aku enggak kemana-mana minggu ini.. cuma emang tadi aku ke stasiun dulu... ngantar TEMAN..." Dua kata terakhir kuucapkan sambil melirik Iqbal karena ingin tahu reaksinya.

    Iqbal melirik ke arahku tajam, dan kemudian melanjutkan makan. Mbak Dini menyerahkan piring berisi nasi tumpeng lengkap dengan lauknya padaku dan aku menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.

    "Tapi tadi pagi Kakek-Neneknya Kayla mendadak harus pergi ke Jakarta Rem! Harusnya kita makan siang keluarga ramai-ramai, malahan sepi. Makanya tadi Bang Iqbal nyuruh Mbak nelepon kamu..." Kata Mbak Dini. Gantian aku yang melirik Iqbal sementara dia dengan tenang masih asyik menyantap makanannya.

    "Oh iya, nih! kado buat yang ulang tahun," kataku sambil menyerahkan bungkusan plastik berisi sekarton panjang rokok yang tidak sempat aku bungkus dengan kertas kado karena baru saja kubeli di minimarket.

    Mbak Dini tertawa melihat pemberianku. "Wah, jadinya Mbak enggak perlu beli rokok buat Papanya Kayla selama seminggu ke depan dong?"

    Sambil tersenyum masam Iqbal menerima bungkusan itu dan berkata, "Makasih ya Rem.."



    Makan siang sudah selesai. Saat Mbak Dini sedang sibuk membereskan peralatan makan, aku menawarkan diri untuk mengajak Kayla jalan-jalan. "Waduuh.. makasih ya Rem! Mbak jadi punya waktu beres-beres." Kata Mbak DIni.

    Setelah meletakkan Kayla di atas sepeda roda tiga Barbie-nya, aku meraih dorongan sepeda itu dan mendorongnya ke jalan. Kayla bertepuk-tepuk senang saat sepeda roda tiga miliknya mulai bergerak ke depan. Sesekali dia sibuk menekan tombol-tombol berwarna merah muda yang berderet pada kemudinya sehingga terdengar alunan musik lucu anak-anak. Untunglah, saat menjelang sore itu udara sudah tidak terlalu panas, bahkan angin berhembus lumayan kencang.

    Baru dua rumah kulewati bersama Kayla, kusadari Iqbal mengikuti kami. Aku menoleh dan melihat Iqbal berjalan dibelakang sambil menyalakan sebatang rokok. Akhirnya dia berhasil merendengi kami.

    "Kemarin-kemarin... naik kereta di gerbong mana?" tanyaku.

    Iqbal menggeleng sambil menghembuskan asap rokoknya. "Enggak naik kereta... beberapa hari kemarin gue ke Bogor nemuin klien." Katanya.

    Aku tidak bereaksi. Kami meneruskan jalan-jalan, Kayla di atas sepedanya sudah mulai tenang, dia asyik memerhatikan segala sesuatu yang dilewatinya mulai dari binatang sampai kendaraan.

    "Belok sini Rem..." ajak Iqbal. Aku menurutinya membelokkan sepeda Kayla. Jalan yang kami lalui dinaungi pepohonan rindang dan pinggirannya dihiasi batu-batu kali besar dan tanaman pagar berbunga merah cerah. Iqbal kemudian berhenti di salah satu pohon rindang dan memetik setangkai bunga berwarna merah itu dan diserahkannya pada Kayla. Anak kecil itu dengan riang memain-mainkan bunga tersebut.

    Iqbal lalu duduk di sebuah batu yang paling besar dan melanjutkan menghisap rokoknya. Aku berdiri tak jauh dari Kayla dan dalam diam aku memerhatikan anak itu.

    "Mungkin lu udah enggak inget. Waktu kita pertama kali ngobrol, sebelum lu bilang kalo lu enggak begitu tertarik sama cewek... ada perkataan lu yang masih gue inget sampe sekarang." Kata Iqbal.

    Aku menoleh padanya tak mengerti.

    "Iya! bahkan waktu gue sempet ngehindarin lu beberapa hari sebelum banjir di Jakarta itu... kata-kata itu yang bikin gue berani nyapa lu lagi... sampai akhirnya kita jadian."

    "Kata-kata yang mana?" tanyaku masih tak mengerti.

    Iqbal tertawa kecil. "Masih inget gak waktu lu cerita kalau lu pengen banget ke Italia? elu bilang bakalan seru kalau kita bisa bolak-balik antara dua negara hanya dengan satu lompatan? Sesaat elu di Italia, begitu lompat elu sudah sampai di Vatikan yang beda negara. Italia... Vatikan... Italia... Vatikan..."

    Aku baru teringat dan langsung tertawa, "iya... gue inget! childish ya?"

    Iqbal menggeleng. "Tau enggak Rem? sejak SD kalau gue lewat jalan Tol ke Jakarta, gue selalu iri sama orang-orang yang tinggal di dekat-dekat gapura penanda batas antara Bogor Jakarta. Gue ngebayangin betapa enaknya bisa main bolak-balik antara Jakarta-Bogor hanya dengan melewati gapura itu. Jadi waktu lu cerita soal Italia-Vatikan itu, gue langsung terkejut! Wow.. ternyata bukan cuma gue yang nganggap permainan kayak gitu menarik!" Jelasnya panjang lebar.

    Entah mengapa Aku menjadi terharu mendengar cerita Iqbal. Tiba-tiba Iqbal bangun dari duduknya.

    "Nah! sekarang kita juga bisa main kayak gitu disini..." Katanya sambil tertawa.
    "Hah?"
    Iqbal berjalan menuju sebuah prasasti penanda batas wilayah di pinggir jalan yang bertuliskan 'BATAS KABUPATEN BOGOR' tak jauh dari tempat kami berdiri.

    "Kalau gue berjalan ngelewatin batas ini, gue udah ada di DEPOK, sementara lu masih ada di BOGOR..." katanya.

    Aku berdiri diam memerhatikan Iqbal berjalan menjauh, dan akhirnya dia berhenti dan berdiri menghadapku, sementara Prasasti penanda batas wilayah itu berada ditengah-tengah kami berdua. Kulihat Iqbal mengeluarkan ponselnya dan menekan-nekan tombolnya sambil tersenyum. Tak lama ponselku bergetar dan aku mengangkatnya.

    "Halo Rem? lu dimana?" terdengar suara Iqbal.

    Mengerti dengan permainan ini aku menjawab, "Gue masih di Bogor... ente dimana?"
    "Ng... gue kayaknya udah sampe Depok nih... Hahahahaha..." Jawabnya sambil tertawa. Akupun ikut tertawa geli.
    "Gimana? gue tahu ente lagi di Depok... tapi besok kita berangkat kerja sama-sama naik kereta kan?" tanyaku.
    "Oke deh Rem! tapi gue harus balik dulu nih dari Depok ke Bogor..."
    "Jauh enggak?" tanyaku sambil bercanda.
    "Enggak kok... tinggal lompat aja! Hahahaha..."

    Kami berdua tertawa dengan kelakuan kami sendiri yang kekanak-kanakan sementara Kayla memandangi kami heran.

    aanjrittt so sweet bgt, I luph u pull bang iqbal haha
Sign In or Register to comment.