It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
panggil pacarnya remy ah @meongkecil
"Jadi... gimana hubungan Remy deng itu... si kereta?" tanya Paul hati-hati.
"Siapa? Iqbal?" tanyaku. Tanpa menunggu Paul bertanya lagi, aku kemudian melanjutkan, "Udah berakhir... yah, setidaknya itu yang kita putuskan bersama."
"Remy masih cintakah?"
Aku mendengus sambil tersenyum. "Dari dulu gue enggak begitu percaya sama cinta... maksud gue, I do believe in romance between two guys, tapi gue enggak percaya kalau itu bisa disebut cinta."
Paul diam. Aku memerhatikan label sebuah makan ringan tanpa benar-benar membacanya. Aku kembali memikirkan reaksi Iqbal saat aku pernah mengatakan kalimat itu dulu.
Mari aku ceritakan sedikit mengenai keluarganya. Dilahirkan dengan nama M. Iqbal Ardiansyah pada tahun 1977, dia berayahkan orang Betawi dan ibu dari suku Sunda. Dibesarkan dalam keluarga yang cukup religius, Iqbal sudah terbiasa mendalami pelajaran agama sejak dia kanak-kanak, termasuk kegiatan seninya seperti Marawis yang dia ikuti saat kelas tiga Sekolah Dasar. Anak bungsu dari dua bersaudara ini dari kecil dikenal pendiam, serius, dan agak sinis. Orangtua dan kakak perempuannya yang lima tahun lebih tua pun tidak bisa berbuat apa-apa terhadap sikap Iqbal yang perkataannya terlampau lugas dan hampir tak pernah berbasa-basi kepada sanak keluarga yang lebih tua. Prestasinya di sekolah termasuk biasa saja walau tak pernah terlempar dari peringkat sepuluh besar setiap tahunnya. Tak pernah membuat masalah, tidak pernah juga memperoleh penghargaan atas prestasi di suatu bidang. Yang pasti, dia sangat menyukai sepak bola sejak kecil. Iqbal pernah bilang, dia dulu tak pernah sekalipun melewatkan setiap akhir pekannya tanpa bermain sepak bola sore hari. "Kecuali kalau hujan badai Rem!" ujarnya. Karena aktif bermain sepakbola itulah, Iqbal tumbuh sebagai pemuda yang tinggi dan atletis pada saat memasuki masa remaja. Hanya saja, kulitnya yang seharusnya putih, menjadi legam karena aktifitasnya itu.
Merasa bersalah kepada kakaknya karena hanya dialah yang melanjutkan kuliah, Iqbal makin pendiam saat di kampus. Akibat lebih banyak berpikir dan mengasah kekritisannya karena masuk ke jurusan Ilmu Politik, Iqbal mulai kecanduan merokok. Tapi kebiasaan buruknya mungkin saja diakibatkan oleh ayahnya yang perokok berat itu secara konstan terus menerus melarang Iqbal ikut merokok kecuali dia telah lulus SMA atau sudah memiliki penghasilan sendiri.
Kehidupan asmaranya juga tidak terlalu berwarna. Pernah beberapa kali berpacaran saat SMA dan kuliah, namun tak ada yang berlanjut ke jenjang pernikahan kecuali dengan Andini. Teman satu SMP yang dia temui saat reuni dua tahun sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Walaupun bersikap sepertinya sangat cuek dan sinis, tidak begitu halnya saat dia memandang cinta. Dia cuma geleng-geleng kepala tak setuju saat aku mengungkapkan kalimat yang kutujukan pada Paul tadi "I do believe in romance between two guys... tapi gue enggak percaya itu bisa disebut cinta"
"Cinta datang dalam berbagai aspek... kalau pemikiran kita saja udah enggak sama memandang yang kita jalanin, gue heran kenapa kita masih bersama sampai sekarang?" Kata Iqbal.
"Maksud Abang?"
"Iya! elu menganggap kalau yang terjadi sama kita cuma sekadar romansa. Romantic gestures yang bisa elu baca di novel-novel percintaan, sedangkan gue menganggapnya lain." Jelas Iqbal.
"Yah.. maaf kalo pola pikir kita beda." kataku.
"Gue tau masalah lu apa Rem. Elu bukannya gak sadar kalau sedang mencintai seseorang... cuma masalahnya elu agak sulit nunjukkinnya."
Pernyataan Iqbal itu sangat menohok pikiranku. Walau mencoba menyangkal namun apa yang dia katakan itu benar. Aku tak pernah menyalahkan keluargaku. Aku bersyukur dengan apa yang telah Tuhan karuniakan padaku sejak lahir= Keluarga yang sempurna! Tapi itu kadang tidak cukup menghentikanku untuk berpikir bahwa watak dan sifatku terbentuk akibat perlakuan orangtuaku. Terutama mama.
Mama orangnya cukup keras. Saat beliau berumur empat tahun, dia dipisahkan dari orangtua kandungnya untuk diasuh oleh paman dan bibinya yang tidak dikaruniai anak. Dari sebuah kota kecil, Mama dibawa dan dibesarkan di Bandung bersama seorang famili lain yang juga diangkat anak. Bibi mama cukup keras dalam pola asuhnya. Disiplin dan harus patuh pada aturan. Entahlah, kadang aku merasa bahwa mama tidak bisa mengekpresikan kasih sayang kepada anak-anaknya dengan cara membelai, mendongeng, ataupun memeluk. Seperti selalu ada tembok yang menghalangi. Aku menduga karena Mama tidak mendapatkan hal-hal semacam itu dari bibinya. Seringkali juga aku berpikir bahwa di lubuk hati Mama yang paling dalam, beliau memendam pertanyaan yang jawabannya tidak dia dapatkan sampai sekarang. Pertanyaan itu adalah, mengapa dari lima bersaudara harus dia yang dipisahkan dari keluarganya? mengapa bukan kakak atau adik perempuannya? pertanyaan itu tidak akan pernah dia lontarkan. Bahkan aku masih teringat saat nenek kandungku meninggal, mama hanya berduka tanpa meneteskan air mata. Mungkinkah ini karena ikatan ibu-anak yang harusnya kuat, ternyata memudar sejak Mama dipisahkan? aku tidak tahu pasti. Yang jelas, bagi mama, melaksanakan tugas sebagai Ibu, merawat, mengasuh kami, adalah sebuah bukti cinta. Tak perlu lagi dipertanyakan walau sebenarnya seorang anak membutuhkan lebih dari sekadar pengabdian seorang ibu dengan cara memeluk, membelai dan lain sebagainya. Itulah sebabnya pula, pola pikirkupun terbentuk. Buat aku, menyetujui bahwa aku bersama seseorang, bersedia melakukan kontak fisik seksual bersamanya adalah bukti kalau aku sayang padanya.
"Emangnya selama ini gak cukup? what kind of another romantic gestures do you need?" tanyaku pada Iqbal.
"Jangan perlakukan orang lain seperti benda." kata Iqbal datar.
*****
Aku mengangsurkan dua lembar limapuluh ribuan padanya. Paul tidak belanja apapun tadi sedangkan isi kantung plastikku lumayan penuh.
"Danke, Usi." kataku sambil tersenyum ketika menerima kembaliannya.
Saat berjalan menuju pintu keluar plaza, aku merogoh kantung belanjaanku mencari-cari sesuatu dan ketika aku mendapatkannya aku memberikannya pada Paul.
"Nih, buat ngemil di kantor." Aku berkata sambil menyodorkan sebatang cokelat Chunky Bar pada Paul.
"Ah.. seng usah Rem! buat ale saja.." tolak Paul.
"Gue udah ada kok! kayak gak tau gue aja... gak mungkin gue ngasih sesuatu ke orang laen kalau buat diri sendiri gak ada." Candaku.
Paul terkekeh. Akhirnya dia mau menerima cokelat yang memang kesukaanya itu.
"Beta tarima ya? Danke Remy..." Kata Paul.
"Kalau beta ada waktu, nanti beta jemput ke hotel. Kita jalan-jalan malam." Tawar Paul simpatik.
"Oke Paul. Ditunggu." Kataku. Dan kemudian kami berdua berpisah jalan.
"Pokoknya terima! pegang satu kunci rumah Aa!" perintahku sambil menyodorkan satu dari kunci pintu rumahku pada seorang pemuda di depanku.
"Ih, enggak mau ah.." Tolak si cowok.
Aku tetap memaksanya dan tanpa meminta persetujuannya aku kemudian mengaitkan kunci itu ke gantungan kunci flashdisknya.
"Mau gak mau, kita jadian sekarang." kataku puas.
"Ih, aa maksa..." katanya. Sayup-sayup aku mendengar suara telepon berdering.
"Kalo gak dipaksa, gak bakalan pernah jadian. ngegantung terus. Mulai sekarang, gak perlu tunggu aa dateng kerja atau harus berangkat pagi bareng kalau dari sini." Kataku.
"A... gak diangkat dulu teleponnya?" Tanya si cowok.
"Hah? Telepon? Aa kan gak pasang telepon di rumah." kataku heran. Namun suara dering telepon itu semakin kencang dan seluruh gambar makin hitam dan menjauh. Hal pertama yang kulihat adalah langit-langit kamar hotel.
Aku terlonjak mendengar pesawat telepon di meja sisi ranjang terus berdering. Buru-buru aku mengangkatnya.
"Halo?"
"Rem! keluar cari makan yuk? kita pake mobil." Celoteh Pak Ferry terdengar riang di ujung satunya.
Masih mengantuk, aku melongok keluar jendela kamar hotel di lantai lima ini. Di luar cukup gelap. Pasti sedang padam listrik lagi. Terdengar deru mesin generator di mana-mana. Hanya beberapa bangunan saja masih terlihat berpendar dengan pencahayaan yang minim. Termasuk pohon terang dari perayaan Natal akhir tahun lalu. Aku kemudian mencari-cari ponselku dan melihat sudah jam sepuluh malam lewat lima belas menit. Dari tadi aku belum merasakan lapar dan kini perutku mulai keroncongan. Ah! dasar! mungkin karena jam biologis aku dan Pak Ferry masih berada di Waktu Indonesia Barat maka kami berdua baru merasa lapar jam segini.
"Diluar gelap loh pak." kataku.
"Gapapa Rem! saya yakin di kota sih pasti masih terang, hayuk!"
Aku menghela nafas. Agak malas sebetulnya keluar jam segini. Tapi perutku memang sudah lapar dan minta di isi.
"Sebentar pak, saya siap-siap dulu. Barusan ketiduran agak lama." Kataku.
"Ya sudah! saya tunggu di bawah ya?"
"Iya iya." pungkasku.
Aku meregangkan badan. Rupanya saat aku selesai mandi dan berganti pakaian aku langsung tertidur pulas.
Kemudian setelah bersusah payah memaksa rambutku turun (Rambutku selalu membandel apabila baru bangun tidur) aku mencari-cari ponselku satunya lagi. Di situ ada dua panggilan tak terjawab dan satu SMS. Dari Paul.
"Rem, tadi beta ada cari dirimu mau ajak makan pisang hijau. tapi kayaknya ketiduran ya? yasudah. besok-besok saja ya?" begitu isi SMS Paul.
Aku menghela nafas tapi tak berniat untuk membalas SMS itu. Kemudian aku mencari sandal gunungku dan bergegas menuju lobby.
****
"Kamu udah lama kenal Paul?" tanya Pak Ferry dari kejauhan. Dia sedang mencari posisi berdiri agar nama mesjid terlihat di foto.
"Hah? Oh.. iya." jawabku sedikit tak konsentrasi dengan pertanyaan Pak Ferry karena sibuk mencari sudut yang pas dari layar kamera digital.
"Akrab?" tanya Pak Ferry lagi. Kali ini dia mencoba posisi duduk di tangga mesjid.
"Lumayan." jawabku.
Kemudian seperti teringat sesuatu, aku bertanya pada Pak Ferry.
"Pak, mau tanya dong."
"Tanya apaan?" Pak Ferry kini berdiri dekat tanaman merambat dekat dinding mesjid. Tetapi dia tak berlama-lama di dekat situ. Mungkin agak seram.
"Dulu sebelum nikah, pasti pernah beberapa kali pacaran kan?" tanyaku.
Pak Ferry agak bingung mendengar pertanyaanku. Tapi dia menjawab juga. "Iya. Terus kenapa?"
"Ng.. gimana caranya ngelupain mantan? tetep jadi teman atau malah..." Kalimatku terpotong karena seluruh bangunan dan pekarangan mesjid mendadak terang benderang. Rupanya listrik kembali menyala.
"Rem! kita ke Gong yuk! mumpung listrik nyala! ayo.. cepat!" ajak Pak Ferry buru-buru. Rupanya dia tidak berminat membahas yang aku tanyakan tadi. Aku menghela nafas dan mengikuti Pak Ferry yang bergegas menuju mobil.
Aku terkejut saat ponsel yang kuletakkan di saku celana jeansku bergetar. Aku melihat nomor ponsel di layarnya. Walau nomor itu tidak tersimpan di kontak ponsel (sudah kuhapus) tapi aku masih hafal pemilik nomor itu.
"Halo?"
"Elu lagi di Ambon Rem?" tanya suara di seberang.
"Iya. Kok tau?" tanyaku.
"Lihat status elu di facebook."
"Tumben dibuka? biasanya dibiarin aja." sindirku.
"Ah, gue bikin facebook juga gara-gara dipaksa elu kan?"
"Aktiflah sedikit. Males banget silaturahim sama temen-temen lama. Aktif di facebook bagus buat kesehatan."
"Males ah. Gak ngerti gue gitu-gituan."
Aku mengehela nafas."Tumben nelepon. Ada apa ya bang?"
"Titip sesuatu boleh?"
"Barang atau orang?" tanyaku sekenanya.
"Barang. Emang kalau orang, siapa?"
"Mau dibawain Paul?"
"Emangnya ketemu ama si Paul?"
"Kalo ketemu emang kenapa?"
"Kenapa jawab pertanyaan sama pertanyaan lagi sih?"
"Kan gue nyebelin."
"Kapan nyebelinnya bisa ilang?"
"Gak tau. Settingannya udah begitu dari dulu. mau nitip apa sih?"
"Itu.. gelang-cincin-kalung yang dari besi putih. Elu pernah bilang kan murah-murah. Gue mau beliin buat temen-temen kerja gue."
"Berapa banyak? terus terang bujet gue agak mepet nih."
"Yaudah, kalo gitu beli cincinnya aja dua tiga biji kek."
"Yang kayak gimana? Tapi gue gak janji ya."
"Kayak yang waktu itu elo kasih ke gue. Gue gak inget lagi bentuknya, kalo gak salah ada ukir-"
"Gak inget bentuknya?" aku memotong.
"Ng.. iya soalnya gue ilangin. Pokoknya kayak yang punya elo lah. Kan sama..."
"Punya gue juga udah ilang..." kataku pelan.
"Kok bisa? ikut-ikut aja."
"Yeee.. apa hubungannya? Gue kan emang gak betahan pake kayak gituan. Pasti sering copot atau lepas."
"Iya. Emang orangnya gak betahan. Gak bisa jaga barang..."
"Maksudnya? ente juga ngilangin kan?" tanyaku mulai sewot.
"Iya.. iya.. satu sama deh." kata orang di seberang kedengaran menyerah.
"Yaudah. Kalo gue sempet mampir gue beliin. Tapi kalo gak bagus, gue gak maksa beli ya?" aku mengajukan syarat.
"Oke. Gue tahu kok. Elu kan kalo milih barang suka bingung. Ujung-ujungnya gak jadi beli."
Aku tidak menjawab.
"Masih marah?" tanyanya.
"Masih." Aku menjawab apa adanya.
"Berarti belom bisa ngelupain gue dong?" tanyanya. Entah karena perasaanku sedang kesal sehingga menjadi semakin sensitif, aku menangkap ada nada ejekan dari pertanyaan yang dia lontarkan.
"Kayaknya gak ada istilah ngelupain deh. mana mungkin mahluk sebesar ente ngilang dari memori otak gue?"
Baru aku sadar. Sedari tadi aku berbicara di telepon tanpa menghiraukan kalau di sebelahku, tepat di belakang kemudi, Pak Ferry sepertinya mendengarkan. Aku tidak tahu apakah dia curiga aku berbicara seperti itu dengan seorang pria atau tidak.
"Eh, udah dulu ya? gue udah sampe Gong."
"Sendiri?"
"Enggak. Ama temen."
"Paul?"
"Emangnya di Ambon cuma ada manusia yang namanya itu aja?"
"Oh. Ya sudah. Jangan lupa pesenan gue."
"Kalo sempat ya." dan kemudian aku menyudahi pembicaraanku dengan Iqbal.
Aku menutup slider ponsel Samsung Soul-ku dan menyelipkannya di kantung celana Jeans sambil menghela nafas.
"Siapa Rem?" tanya Pak Ferry. Nadanya agak menyelidik. Atau mungkin aku hanya paranoid?
"Temen."
"Judes amat? Baru tau gue kalo elu bisa jutek juga." canda Pak Ferry.
"Wah! belum tahu aja kalo gue udah jutek. Mau gue jutekin pak?" Aku berkata sambil terkekeh.
"Hehehe. Bukan gitu. Elu ngomongnya kayak ngomong ke pacar aja. Jutek-jutekan gitu." Kata Pak Ferry.
"Masa sih?"
"Iya. Tapi pas elu bilang 'Bang' yaa.. berarti bukan pacar dong? masak pacar elu cowok? atau emang elu pacarannya ama cowok?" tanya Pak Ferry.
"Ah! si Bapak. Enggak lah... Tapi... kalau sama cowok memang kenapa?" tanyaku santai sambil nyengir.
Pak Ferry menatapku heran.
*****
Wajah pak Ferry yang tadinya menatap penuh selidik, berangsur mengendur dan cengiran muncul di wajahnya.
Syukurlah, alun-alun tempat monumen Gong perdamaian itu masih terang benderang. Setelah membayar retribusi untuk masuk, aku dan Pak Ferry mulai sibuk mengambil gambar dengan kamera digital kami masing-masing. Selain itu, tepat dibawah undakan tangga gong, terdapat ruangan khusus tempat dipajangnya foto-foto yang mengenang akan masa kerusuhan serta upaya perdamaian di kota Ambon. Pak Ferry dengan serius mengamati dan membaca setiap foto yang berbaris rapi di sekeliling dinding memutar ruangan itu. Sementara aku mulai merasa bosan.
Aku melirik arloji dan waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Akan tetapi simpul syaraf di otak masih mengirim informasi ke seluruh tubuh bahwa saat ini masih jam sepuluh. Itulah sebabnya, dengan berat hati, aku dan Pak Ferry kemudian kembali ke hotel.
"Tadi mau cerita apa Rem?" Tanya Pak Ferry sambil mengemudi.
"Hah? yang mana?" aku terjaga dari lamunan.
"Ngelupain siapa? mantan?" Pak Ferry bertanya untuk menyegarkan ingatanku.
Aku menghela nafas sambil melesakkan punggung ke sandaran kursi mobil. Pak Ferry nyengir melihat ekspresiku yang kelihatan betul enggan membicarakan topik tersebut.
"Kalau kata gue sih, gak mungkin kita bisa ngelupain mantan. Tapi enggak bisa dilupain, bukan berarti harus diingat-ingat terus tho?" kata Pak Ferry. Dia berkata tanpa memedulikan ketidakmauanku membahas masalah itu.
"Udah pak, gak usah dibahas lagi.. males." ujarku.
"Hehehe... denger ya, setiap orang gak mungkin gak punya cerita di masa lalu kan? seperti saya misalnya. Saya dan istri sama-sama punya seseorang... mm.. maksud saya mantan pacar di masa lalu. Tapi masa iya, setelah berkeluarga mau diomongin terus setiap hari? masa iya gak ada hal-hal yang lebih penting yang bisa dibicarakan atau dipikirin sih?"
Aku diam.
"Intinya, walau kedengarannya gampang dan prakteknya sulit, kadang kita harus menutup buku yang lama, menyimpannya di lemari, di kunci rapat, dan berkonsentrasi menulis sesuatu di buku yang baru. Buku lama itu masih ada. Elo masih bisa melihatnya dari balik kaca. Boleh sesekali dikeluarkan, dibersihkan, agar yang tertulis masih bisa bikin elo senyum saat membacanya lagi. Tidak perlu dibakar... buku itu bukan mesin waktu... tidak bisa membuat elo kembali ke masa itu..."
"Biasanya gue membenci seseorang untuk ngelupain.." gumamku.
"Jangan Rem.. jangan buang energi buat membenci seseorang. Gak akan pernah ada gunanya. Semua rasa benci itu akan mengumpul di diri elo sendiri." sambung Pak Ferry.
Aku berusaha untuk tidak memberikan kesempatan kepada Pak Ferry untuk terus menerus membahas hal ini dengan cara diam sampai kami berdua tiba di hotel. Setelah berpamitan sejenak, aku buru-buru masuk ke kamar dan membanting tubuh ke atas ranjang. Pikiranku kacau. Sepertinya sudah terlalu kusut pikiran dalam kotak ini. Aku memaksakan diri memejamkan mata untuk tertidur. Untunglah berhasil.
*****
Keadaanku tak bertambah baik keesokan harinya. Seperti biasa, jika mood aku berubah buruk, seketika itu pula aku menjadi pribadi yang tidak menyenangkan. Beberapa kali aku tidak berkonsentrasi bekerja. Selain karena udara Ambon di pertengahan Februari yang sangat panas, pikiran-pikiran kacau itu tidak bisa aku enyahkan dari kepalaku. Terus terang, aku butuh hiburan. Tapi apa daya, tidak ada yang bisa aku perbuat selama berada di kota ini.
Ponselku bergetar kira-kira pukul satu siang. SMS masuk dari Paul yang mengatakan sore ini akan mengajakku ke tempat es Pisang Hijau yang paling enak di Kota Ambon.
"Jam berapa?" balasku.
"Jam setengah lima."
"Hm.. nanti gue kabarin lagi ya. Mungkin gue gak bisa soalnya harus kerja sampai malam." balasku lagi.
Paul tak membalas. Dan aku pun tidak memberi kabar kembali kalau aku bisa meluangkan waktu untuk menerima ajakannya menikmati es pisang hijau. Sebenarnya malas sekali untuk kemana-mana. Ditambah lagi jaringan internet hari itu bermasalah. Aku kesulitan mengirimkan database yang harus diperiksa oleh bagian IT di pusat. Itulah sebabnya, jam enam setelah sampai di hotel, aku buru-buru mandi dan keluar kamar mencari warnet terdekat untuk mencoba kembali mengirim file tersebut.
Warnet terdekat kira-kira jaraknya dua puluh meter dari hotel. Tarif perjamnya cukup mahal jika dibandingkan dengan tarif di Jabodetabek. Tapi karena butuh, aku tetap memakai jasa warnet ini walaupun gelap, pengap, kecepatannya lambat, dan berisik oleh suara mesin diesel. Aku hampir mengabaikan panggilan masuk karena suaranya tertutup oleh bunyi berisik mesin diesel.
"Rem! ale dimanakah? beta su tiba di hotel. tapi nona manis ini bilang lihat ale ada pi kaluar..." Kata Paul saat aku menjawab panggilan masuk itu.
"Hey.. beta ada di warnet, Paul. Dekat saja dari hotel.." Aku berkata sedikit kencang khawatir suaraku tenggelam oleh gemuruh suara mesin diesel.
"Beta ke sana ya?" kata Paul.
"Oke." jawabku.
Tak berapa lama aku melihat sebuah motor berhenti tepat di halaman depan warnet. Karena tidak memakai helm, aku langsung mengenali pengendara motor itu: Paul.
"Sedang apa?" tanya Paul ketika dia menghampiri kubikal tempatku ber-internet dan langsung melihat layar komputer. (untung saja, jendela browser yang menampilkan situs forum ini berhasil aku tutup sesaat sebelum Paul melihat)
"Lagi kirim email data bung..." jawabku.
"Masih lama?"
"Udah beres sih. Kenapa? jadi mau ajak beta makan pisang ijo?" tanyaku.
"Wah, kalau jam segini sih su tutup Rem... bagaimana kalau beta ajak ke Gong saja?" tanya Paul antusias. Dia tampak keren dengan polo shirt belang putih-hijau dan jaket kulitnya.
"Yaah... beta su pi ka gong kemarin..." kataku sedikit mengeluh.
Sejenak Paul tampak berpikir serius. Lalu dia berkata "Ya sudah, katong jalan aja dulu. Yuk?"
Kemudian aku menutup jendela browser, mencabut flashdisk, dan membayar jasa internet kepada penjaganya, sebelum mengikuti Paul ke tempat dia memarkir motor. Agak ragu sejenak, sepertinya aku merasa bersalah, jauh dari pasangan di sebuah kota-pulau eksotis (dengan pria yang lumayan ekstotis pula ), menerima ajakan pria ini untuk berboncengan motor berkeliling kota.
****
Paul memacu motornya meninggalkan pusat kota. Aku tahu karena kita berdua menyusuri jalan utama menuju luar kota. Di persimpangan wilayah Batu Merah, Paul berseru padaku, "Rem, kalau ose kehabisan duit, mangkal saja di situ! hahaha.."
Aku mendorong helm paul ke depan sebagai reaksi candaannya. Namun dia masih tertawa. Tempat yang dia tunjuk adalah tempat yang terkenal dengan transaksi prostitusinya.
Motor kemudian menyusuri jalanan sepanjang Teluk Ambon. Udara dingin mulai menembus sweater yang aku pakai. Telapak tanganku yang memegang pinggiran motor mulai membeku. Aku tergoda untuk memeluk pinggang Paul hanya saja aku merasa tidak pantas melakukan itu sekarang.
"Paul! kita mau ke mana sih?" tanyaku sambil mengetuk bagian belakang helmnya.
"Nanti ose juga tahu..." sahut Paul.
Di sebuah persimpangan, akhirnya kami berbelok ke jalan menanjak ke perbukitan. Jalan itu lumayan curam walaupun sudah diaspal mulus. Aku tahu jalan ini. Jalan ini adalah jalan menuju komplek perumahan yang dikembangkan oleh grup perusahaan tempatku bekerja. Ketika motor sudah tiba di deretan perumahan pertama, jalan sudah mendatar. Paul memperlambat motornya ketika kami sampai di ujung jalan komplek perumahan. Dia memarkir motor di pinggir jalan dan menuyuruhku mengikutinya agak naik ke sebuah batu besar dipinggir lereng bukit. Di samping kanan jalan buntu ini ada sebuah bedeng dari triplek kokoh yang sepertinya digunakan sebagai tempat beristirahat para pekerja yang sedang membangun rumah. Aku baru ingat, sebelum Paul mengundurkan diri, dia adalah salah satu pimpinan proyek pengembang divisi properti yang menangani pembangunan perumahan ini.
Paul melompat ke atas batu dan kemudian duduk berbalik. Aku mengikutinya dan ketika berbalik, aku melihat pemandangan indah luar biasa. Pemandangan teluk Ambon dan perbukitan di seberang sana sungguh indah di malam hari. Indah sekaligus misterius. Aku bisa melihat jelas seluruh komplek perumahan menghampar, kemudian berganti pemandangan teluk dan dikelilingi rimbunnya pepohonan, pantulan sinar terlihat berkilau di permukaan air teluk yang tenang. Tanpa sadar aku menggumam "wow" pelan.
"Bagus ya?" tanya Paul.
Aku tidak menjawab karena merasa tidak perlu menjawab pertanyaan yang jawabannya sudah jelas itu. Aku merapatkan sweaterku karena udara terasa sangat berangin di ketinggian ini.
"So... gimana dengan kehidupan percintaan ale sekarang Rem?" tanya Paul membuka percakapan. Dia menyodorkan sebatang coklat yang aku yakin itu adalah coklat yang sama yang kubeli untuknya di supermarket.
"Thanks.." kataku pelan setelah mengambil sepotong coklat itu dan memakannya.
"Hmm... gue lagi deket sama satu cowok sekarang..."
"Sudah enggak lagi sama yang di kereta? atau masih?" tanya Paul.
Aku mendengus sambil tertawa dan menggelengkan kepala. "Sudah enggak... enggak lagi sama yang di kereta..."
"Kalau gitu cerita dong... dekat dengan siapa ale?"
"Ng.. dia masih mahasiswa.." kataku sambil menunduk dan tersenyum.
"Wah, sekarang mainannya brondong ya?" ledek Paul.
"Eh, masa ente gak tahu kalo gue bisex? demen oom-oom demen brondong juga. hahaha..." sahutku sambil meninju lengan Paul.
"Hehehe.. so, kayak gimana orangnya? Ketemu dimana?" tanya Paul lagi.
Beberapa lama aku terdiam. Tak mungkin aku menceritakan pada Paul bagaimana aku berkenalan dengannya dari forum ini yang juga menceritakan tentang hubungan kami secara detail.
"Hmm.. yah, gue kenal sama dia lumayan lama. Setelah dekat, gue memberanikan diri meminta dia jadi pacar gue, walau.... kita berdua masih berusaha sembuh dari putus hubungan yang lumayan bikin sakit..."
Paul tersenyum menyimak semua ceritaku.
"Dia... gimana ya? clumsy." Aku sendiri heran mengapa kata itu yang keluar dari mulutku.
"Clumsy? ceroboh maksudnya?" tanya Paul tak mengerti.
"Iya. sering menumpahkan sesuatu, merusak barang tanpa sengaja, suka ketinggalan sesuatu kalau pergi, kadang ngejatuhin barang kalau bergerak..." aku meyelesaikan kalimatku dengan tawa.
"Tapi gue gak bisa kesel lama-lama walau dia kayak begitu. Cuma dengan bilang 'maaf" dengan ekspresi wajah yang menggemaskan, gue langsung luluh..." Lanjutku.
"Sepertinya ale sayang betul dia ya?" tanya Paul sambil tersenyum.
Aku mengangguk. "Iya... karena dia ion positif gue..."
Paul memandangku tak mengerti.
Aku terkekeh. "Iya. Dia itu ion positif gue. ente tau sendiri kalo aura gue jelek banget alias penuh aura negatif. Dia bisa netralin ke-negatifan gue..."
"Hubungan Remy baik-baik saja kah dengan dia?"
"Hmmm.. sering juga sih berantem..."
"Lho? kenapa bakalai?" tanya Paul.
"Guenya punya penyakit insecure parah...." jawabku sambil tersenyum.
"Posesif?"
Aku mengangguk. "Kadang gue enggak bisa bedain, apa gue bersikap begitu karena memang sayang dan tidak ingin kehilangan, atau cuma sekadar ke-egoisan gue aja yang nganggap dia hak milik..."
Paul tertawa. "Pacar itu seperti sabun mandi batangan Rem. Kalau Ale ada pegang kuat-kuat, pasti sabunnya loncat. Hehehe.."
"Yah.. gak tahu deh... Sekarang aja kita lagi berantem. Tadinya berharap Valentine tahun ini bisa sama-sama dia, sekarang malah gue rusak dengan sms yang bikin dia kesel."
"Ose ada kirim SMS apa memangnya?"
"SMS... bilang.. bahwa gue bukanlah yang terbaik untuk dia. Dan seharusnya dia bisa dapat yang lebih baik dari gue..."
Paul mendengus pelan. "Siapapun pasti kesal kalau pacarnya bilang begitu..."
"Kadang gue ngerasa insecure karena gak memiliki apa-apa yang bisa dibanggakan. Kalau gue membandingkan dengan mantan-mantannya yang lebih punya materi daripada gue, gue merasa kasihan sama dia. Gue gak seperti mantan-mantannya yang punya apartemen, kendaraan yang bisa antar jemput dia, atau mungkin uang yang bisa untuk sering-sering ajak dia makan di luar..."
"Kalau begitu ose-lah yang harusnya dikasihani.... Ose gak seperti Remy yang beta kenal! mengasihani diri sendiri seperti itu." ujar Paul dingin.
"Tunggu dulu. Bukan seperti itu! gue cuma berpikir, bahkan seorang pangeran pun membutuhkan kuda putih dan pedang bergagang emas untuk mendapatkan sang Puteri dalam cerita dongeng kan?"
"Tapi ose lupa satu hal!" sela Paul.
"Apa itu?"
"Bukan kuda putih atau pedang emas yang akhirnya membangunkan sang Puteri. Tapi ini... yang di dalam sini..." Kata Paul sambil menekan dadaku dengan jarinya.
Aku tertegun.
****
Lanjut....
Lanjut....
lanjutnya taun depan
Nggak kok, gue nggak sedang mojokin lo