It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ceritanya bener2 bagus walaupun gw telat bgt dan belom kelar bacanya.. Haha..
Yg bikin bacanya makin enak jg, gara2 gw jg domisili dibogor jadi lokasi yg sering di sebutin gw jg tw.. Makanya bener2 dapet feel bwt bacanya..
Over all, well done bwt bang remy sampe bisa nerbitin bukunya..
Salamat ya bang
Kirain bakal ada endingnya kisah bang remy ama iqbal. But it's great enough la.. )
gue baru baca smpek page 10,
Dan ma.af gue harus berkata seperti ini pada kamu : kamu jahat banget yah?? Kan kasian dgn rumah tangga iqbal, apalagi dgn anaknya??, setau gue ngesex dgn gay lain aja udah bermain api, tp kamu udah kejauhan bro,dgn merebut suami orng(ma.af ya skali lg). Menurut gue dgn otak dan fisik kamu, kamu bisa dapat cwo yg lebih baik, bukan cwok yg sudah berkeluarga.
Ma.af gue terkesan menggurui, tp gue nggak mau kaum gay itu di pandang lebih hina lagi, dgn jalan seperti yg anda lakukan.
@Linguini.remy
#salam damai
Wow.... (Terpojok ke dinding)
18.35 di gerbong kereta kelas ekonomi-AC.
Aku memundurkan kepalaku sedikit agak ke belakang menghindari perut maju seorang bapak yang sedang berdiri di depanku. Tampak sekali dia kesulitan menahan beban begitu banyaknya orang yang berdiri berdesakan hingga sebelah tangannya dia biarkan bertumpu di kaca gerbong. Aku menoleh ke luar. Suasana gelap di luar jendela menyebabkan aku tidak tahu pasti sudah sampai stasiun mana kereta ini berjalan. Untunglah aku mendapat tempat duduk, kalau tidak, mungkin saja nasibku sama seperti si bapak di depanku dan puluhan orang lainnya yang terpaksa memenuhi gerbong kereta ini akibat dibatalkannya salah satu jadwal perjalanan.
Aku memandang ke barisan orang yang berdiri di depanku mencoba mencari sosok ibu yang memiliki anak balita, orang jompo, wanita hamil, maupun orang yang sedang sakit. Tapi tidak ada. Terus terang aku malas memberikan tempat duduk kepada para wanita muda yang masih segar bugar sehat walafiat karena, hey! bukankah sekarang jamannya emansipasi wanita? lagipula kadang aku kesal dengan orang-orang yang seenaknya duduk di bangku prioritas untuk keempat jenis mahluk yang aku sebutkan tadi. Bangku prioritas disediakan untuk ibu yang sedang hamil, bukan untuk ibu-ibu dengan kelebihan berat badan yang mengakibatkan mereka tidak kuat berdiri!
Cukup sudah aku meracau. Hari ini tepat dua tahun aku mengenal Iqbal. Banyak hal sudah berubah dalam kurun waktu ini. Seperti misalnya, tadi pagi terpaksa aku menambahkan sekeping uang limaratusan karena terhitung tanggal satu bulan ini harga koran Media Indonesia naik menjadi seribu limaratus rupiah. Padahal dua tahun lalu, koran Tempo lah yang seharga seribu rupiah sebelum beranjak naik menjadi dua ribu, sehingga membuatku beralih ke Media Indonesia. Hal lain yang berubah adalah ponsel yang aku gunakan. Rupanya setahun belakangan 'fetish' ku akan barang elektronik berubah haluan menghadap kiblat ke Korea Selatan. Ponsel bermerek Samsung salah satunya. Ah! semuanya itu tidak penting. Yang paling berubah adalah... sejak bulan ini aku memutuskan untuk membeli abodemen atau tiket berlangganan kereta selama sebulan penuh untuk kelas ekonomi-ac. Artinya, kemungkinanku melihat atau bertemu dengan Iqbal menjadi semakin kecil karena aku harus bangun dan berangkat lebih pagi menyesuaikan jadwal keberangkatan kereta ekonomi-ac yang datang di stasiun jam 6.30 pagi. Lagu "Always Be My Baby" yang dilantunkan David Cook di pemutar musik ponselku agak terganggu oleh getar dari SMS yang masuk.
"A, pulang ke ****** (rumah ortu) gak? go-ut mw ke acara ultahnya RCM (Republik Cinta Manajemen) dulu.. paling ntar dijemput."
SMS itu dari adikku. Bahkan orang yang menjemputnya itu adalah pacarnya yang baru. Berbeda dengan setahun lalu saat dia sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pernikahan yang belakangan dibatalkan. Tapi itu akan aku ceritakan nanti. sampai kira-kira tiba di Stasiun Lenteng Agung, aku memberikan tempat dudukku pada seorang gadis yang terkantuk-kantuk sambil salah satu tangannya berpegangan di palang besi atas sementara tangannya yang lain mencengkeram tasnya agar tak tergantung-gantung bebas. Sempat sedikit meringis saat sepatu selop si gadis menginjak sepatuku, aku mengambil posisi berdiri mengisi ruang yang dia tinggalkan. Kemudian aku merasakan ada yang mengganjal di kantung kemejaku. Rupanya aku melupakan selembar tiket abodemen yang sedari tadi disiapkan kalau-kalau si petugas pemeriksa karcis hendak memeriksa. Tapi melihat situasi dalam gerbong yang penuh sesak seperti ini, rasa-rasanya tidak akan mungkin petugas berseragam hitam-hitam itu mau menyusuri setiap gerbong super-penuh itu.
Aku memandang kartu kecil berlaminating berwarna merah jambu itu. Tersenyum kecut sambil mendengus aku menyesal karena tak mendengarkan kata-kata papaku beberapa hari yang lalu untuk tidak membeli abodemen seharga seratus delapan puluh lima ribu itu karena aku sendiri yang bilang pada beliau kalau ada rencana ditugaskan ke Ambon di bulan Februari. Tapi aku membandel dan memilih untuk berjaga-jaga membeli daripada harus bertahan membeli karcis tiap hari. Akhirnya aku harus merugi lebih dari seratus ribu rupiah. Tapi tak masalah. Aku tinggal menghibahkan kartu ini pada orang yang tepat dan membutuhkannya. Tetapi benarkah cuma itu alasannya? alasan bahwa sekarang aku meninggalkan Pakuan Express hanya semata faktor penghematan. Ataukah ini hanya salah satu cara aku untuk benar-benar memperkecil kemungkinan aku bertemu dengan Iqbal lagi? Aku sendiri tidak bisa memutuskan.
*****
05 Februari 2010
"Rem! aku ke Ambon juga!" kata Pak Ferry ketika dia hendak kembali ke ruangannya. Tampangnya sangat sumringah. Dia berkata sambil mencolek bahuku. Pak Ferry adalah pria 37 tahun kelahiran Palembang yang baru saja menempati posisi sebagai Manajer Marketing di divisi Properti.
"Oya? Sama dong sama saya? kapan berangkat Oom?" tanyaku sedikit tak konsen karena hari itu aku sangat mengantuk.
"Tanggal sepuluh!" jawab Pak Ferry nyengir.
"Wah, saya berangkat hari selasa dini hari Oom... gak bareng dong? baru pertama kali ke Ambon ya Oom?"
"Iya. Gue disuruh bantu pemasaran perumahan di sana Rem! survey lokasi sekaligus jalan-jalan. hahaha! lo udah pernah ke sana?"
"Nanti yang ke tiga kalinya Oom"
"Lo stay di hotel mana? gue mau booking di situ juga dong."
"Grand soya... saya udah booking. Soalnya hotel yang deket kantor sana udah full. Yakin oom mau di situ? katanya agak jauh loh dari pusat kota..." kataku sambil sebenarnya berharap dia tidak berubah pikiran. Maksudku, kalau ada gadun lumayan seperti Pak Ferry yang ikut ke Ambon juga, bukannya lebih baik tinggal di hotel yang sama? hehehe.
"Gitu ya?" kata Pak Ferry terdengar bimbang. Dahinya berkerut dan dia mengetuk-ngetukkan kertas yang sedari tadi dibawanya ke dagu.
Yah.. Jadi ragu beneran. Keluhku dalam hati.
"Oke deh Rem! nanti gue kabarin lagi ya? see-ya!" kata Pak Ferry riang sambil berlalu.
Aku manyun.
***
Lewat tengah malam...
Entah sudah berapa jam sudah aku dalam penerbangan menuju Bandara Pattimura Ambon. Penerbangan dini hari adalah penerbangan yang langsung tanpa transit. Badanku sejak tadi sudah merasa tidak enak. Aku memutuskan untuk berangkat langsung dari kantor malam hari menuju bandara. Tidak sempat mandi dan berganti baju karena seharian aku membereskan meja dan pekerjaan-pekerjaan yang tidak akan sempat aku bawa ke Ambon nanti, aku merasa mengantuk. Untunglah, pesawat yang aku tumpangi tidak mengalami delay. Hanya saja karena arlojiku rusak, orang yang duduk di sebelahku tidak memakai jam tangan, serta tidak mungkin pula melihat jam yang ada di ponsel karena semuanya sudah dimatikan, aku tidak punya bayangan sudah jam berapa sekarang. Penerbangan terasa lama. Saat berangkat, langit cerah dan aku tertidur walau tidak bisa menemukan posisi nyaman di tempat duduk kelas ekonomi Lion Air (keluh). Dan saat aku tidak ada bayangan sudah berapa lama penerbangan ini, aku terbangun oleh pengumuman bahwa pesawat akan melewati daerah bercuaca buruk dan semua penumpang diminta untuk memakai sabuk pengamannya. Dan mulailah aku merasakan getaran dari turbulensi udara.
Aku yang biasanya sangat ngeri apabila pesawat melewati daerah bercuaca buruk, malam itu tidak merasakan takut atau apa. Mungkin karena mengantuk, aku sendiri merasa berada pada batas antara kesadaran dan tidak. Sebenarnya aku adalah orang yang memiliki phobia terhadap ketinggian, termasuk juga apabila naik pesawat. Tapi kalau sudah masuk ke dalam kabin, mungkin bisa dibilang aku adalah orang yang paling pasrah sedunia. Yah, kalau memang umur gue berakhir di pesawat ini, mau bilang apa? paling-paling perkataan semacam itu yang bisa membuat aku tenang, disamping berdoa tentu saja. Sambil merapatkan sweater aku menyandarkan kepalaku yang terasa berat ke sandaran kursi di depanku. Guncangan mulai terasa keras tapi aku mencoba untuk melanjutkan tidurku. Saat seperti ini aku ingat ucapan Iqbal suatu hari saat aku bilang dulu sangat takut untuk naik pesawat dan enggan mencobanya jika tidak ada sesuatu yang sangat penting.
"Bego... kalau takut naik pesawat, berarti semangat menggebu-gebu elu pengen naik haji atau umroh itu cuma omong kosong dong?" katanya.
"Loh? apa hubungannya?" aku memprotes.
"Iya lah! naik haji sama umroh hari gini pake pesawat kan? sekarang dalam hati kecil lu kalau masih takut naik pesawat, ya gak akan kesampaian terus umroh atau naik hajinya! pasti bakalan ada semacam, um.. apa ya? penolakan alam bawah sadar! Intinya, Allah juga mungkin ragu-ragu ngabulin doa lu kalau begitu." jelasnya panjang lebar.
Itulah yang kadang bikin aku geregetan kalau menghadapi Iqbal. Dia susah sekali mendukung atau setidak-tidaknya berpura-pura setuju dengan pendapat yang aku utarakan. Selalu saja menemukan cara beragumen dengan celetukannya yang khas dan langsung pada tujuan. Satu-satunya yang bisa membuat dia tidak berkutik adalah saat aku beragumen dengannya soal rokok. Sudah beberapa kali aku mengingatkan dia supaya berhenti, setidaknya mengurangi, tapi dia tidak pernah menanggapi. Paling-paling kalau sudah terdesak dia akan berkata, "iya gue tahu! rokok gak baik buat kesehatan! tapi gue udah kecanduan dan belum ada niat buat berhenti! titik!"
"Sama kayak kecanduan pacaran sesama cowok yah? hehehe" ujarku bercanda.
Iqbal langsung melotot.
Bayangan itu kemudian berubah menjadi agak menyebalkan. Aku melihat diriku sendiri berwajah masam bercampur marah, sedangkan Iqbal duduk di hadapanku, matanya sesekali dialihkan dari tatapanku tidak berani lama-lama menatap seolah ada perasaan bersalah. Mulutnya bergerak-gerak mengatakan sesuatu, tapi aku sama sekali tidak mendengar suara apapun. Bahkan aku sendiri tidak ingat apa yang dikatakannya. Tapi yang jelas perkataannya itu membuat aku marah dan kesal padanya.
Aku terbangun karena ponselku bergetar. Aku bingung, sebab aku yakin betul sudah mematikan seluruh ponsel sebelum pesawat lepas landas. Semua bayangan dan mimpi tadi mendadak lenyap. Rupanya alarm bangun pagi aku setiap paginya lupa aku nonaktifkan. Buru-buru aku meraih ponsel di saku dan mematikan alarmnya. Aku menoleh ke arah kiri. Dua penumpang disebelahku tertidur pulas. Sinar matahari pagi menerobos jendela pesawat dan mengenai wajah si bapak yang duduk paling pojok. Pasti sudah hampir jam tujuh di daerah ini, mengingat alarm ponselku berbunyi jam lima kurang limabelas menit. Pesawat sudah terbang dengan tenang. Cuaca di luar sangat cerah dan sebentar lagi aku akan kembali menjejakkan kaki di Ambon.
*****
"Rem... biar Raymond saja yang jemput ee? Oom Unu seng bisa jemput.." kata Bu Vera Rissakota, Direktur cabang Ambon.
"Iya Bu... tapi orangnya yang mana yah? beta seng kenal..." jawabku khawatir.
"Beta su kasih Remy pung no hape toh? nanti beta suruh Raymond telepon Rem, ee..?"
"Oh.. iya bu... makasih..." pungkasku.
Aku kembali menunggu. Pegal karena tas netbook yang terlalu lama tersampir di pundak, aku menaruhnya di bangku sebelah. Udara pagi itu cukup menyengat. Lebih menyengat dari pada udara Jakarta. Buru-buru aku melepas sweaterku dan menggulungnya asal-asalan kemudian menjejalkannya ke dalam ransel.
Lima menit kemudian bagasi pesawat satu persatu mulai dikeluarkan. Mataku mencari-cari kopor biru yang selalu setia menemai setiap perjalanku ke luar kota. Sepuluh menit kemudian, aku mengangkat koporku dari ban berjalan, menarik tangkainya, dan menyeretnya menuju pintu keluar. Di luar banyak sopir-sopir taksi tidak resmi menawariku untuk memakai jasanya. Tak jarang ada yang begitu ramah namun agresif membujuk aku. Aku menggeleng sambil tetap tersenyum. Tak lama, ponsel Samsung Soul ku kembali bergetar mengiringi nada dering lagu Technicolour milik Paloma Faith (aku kecanduan lagu ini gara-gara iklan Samsung Corby).
"Hallo?" ujarku.
"Bung Rem...! beta Raymond... su tiba kah? Bung di mana?" ujar sebuah suara di ujung telepon.
"Beta su ada di parkiran... Bung di mana?" tanyaku sambil celingukan.
"Di sini..." kata Raymond. Tapi kali ini aku tidak mendengarnya hanya dari ponsel. Tetapi juga dari arah belakangku. Aku menoleh dan langsung disambut senyum ramah dengan barisan gigi rapi super-putih milik seorang Pria. Aku tertegun sesaat. Pria di hadapanku cukup tampan. Tubuhnya tegap berbalut kemeja kuning pas badan dengan dua kancing atasnya yang dibiarkan terbuka untuk memamerkan kalung rantai salibnya. Alisnya tebal, rahangnya kuat khas pria maluku, namun tatapan matanya sangat teduh. Dia mengulurkan lengannya yang kelihatan kokoh dan berhiaskan gelang rantai besi putih itu.
******
"Raymond... Bung Remy?" tanyanya.
"I.. iya.. Remy.." jawabku sambil menjabat tangannya.
"Mari... mobilnya ada di sebelah sini..." ajaknya sambil hendak mengambil alih koperku.
"Eh! seng usah lai..." tolakku merasa tak enak karena koporku hendak dibawakan olehnya.
"Gak papa bung.." kata Raymond sambil tersenyum. Kemudian dia menyeret koporku menuju bagasi mobil Avanza merah yang terpakir agak jauh di ujung.
Setelah meletakkan kopor, kami berdua masuk ke dalam mobil. Berada di sebelah pemuda Maluku yang gagah ini membuatku sedikit salah tingkah . Mobil mulai melaju meninggalkan bandara dan banner besar bertuliskan SUKSESKAN SAIL BANDA 2010 dengan gambar Gubernur Maluku dan Nyonya yang berdiri tersenyum ramah. Sinar matahari yang cukup panas memaksaku memakai kacamata hitam sebelum aku terbiasa dengan matahari di provinsi ini.
"Bung dari GMT (nama perusahaan -pen.) juga?" tanyaku membuka percakapan.
"Iya... beta kebetulan pegang cabang Ternate." jawab Raymond. Matanya fokus menatap jalan raya.
Aku mengangguk-ngangguk.
"Rencana berapa lama di Ambon?" Raymond balik bertanya.
"Kira-kira dua minggu. Mungkin juga lebih. Tergantung tenaga baru di GMT nya. Gampang ditraining atau tidak." Jawabku.
"Su pernah ke Ambon jua?"
"Sudah..."
"Betah kah?"
"Lumayan... dibanding Ternate, makanan di sini lebih murah." Jawabku nyengir. Raymond tertawa keras.
"Ha ha ha... Bung bisa aja..! memang benar.. di Ternate makanannya mahal ee?" kata Raymond sedikit mengeluh.
"Su pernah ke Ternate?" tanyanya lagi. Aku mengangguk.
"Wah... nanti kalau bung ada rencana lai ke Ternate, tinggal deng beta saja.. seng usah di hotel! nanti beta ajak jalan-jalan.." tawarnya.
"Boleh.. boleh... " kataku sambil mengangguk-angguk.
****
"Stay di mana Bung?" tanya Raymond.
"Hotel? beta su booking di Grand Soya." jawabku.
"Hee? kenapa Grand Soya? jauh dari kantor..." protesnya.
"Gak apa-apa... kemarin waktu booking, Amboina udah penuh..."
"Ooo.. kalau begitu kita ke Grand Soya sudah.."
Karena masih letih, aku meminta untuk dijemput ke kantor jam dua sore. Aku memanfaatkan waktu tersebut untuk menyegarkan diri, mengeluarkan pakaian dari koper, dan mencoba tidur sejenak. Setelah mandi, aku kemudian berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar, mencoba mengingat-ingat kembali mengapa segala ingatan mengenai Iqbal tiba-tiba kembali lagi saat di pesawat tadi. Mungkinkah itu adalah semacam efek ketakutan akibat bergetarnya pesawat dan kalau-kalau diriku tidaklah selamat, maka aku akan menyesal membiarkan hubungan silaturahim dengan Iqbal pada keadaan yang tidak baik. Pikiranku kembali menerawang ke waktu berbulan-bulan lalu saat aku dalam kondisi yang kurang baik dan merasa terabaikan oleh sikapnya yang mendadak menjauhiku.
Aku ingat. Saat itu aku mendesak Iqbal untuk menceritakan alasan dibalik perubahan sikapnya. Dia diam saja tak mau menjawab. Bahkan dia menyangkal telah berubah sikap.
"Gue? masa sih? biasa aja kok Rem..."
Aku menatapnya tajam sambil diam. Iqbal mengalihkan pandangannya.
"Ente mau ini berakhir? kalo iya bilang aja... gue juga enggak maksa kok sama janji ente waktu tahun baru kemarin..."
Waktu tahun baru lalu itu Iqbal pernah berjanji walaupun hubungan 'percintaan' kita berakhir, kita akan tetap berhungunan sebagai sahabat. Walau terlalu muluk dan tak yakin aku bisa bertahan pada kondisi hanya sahabat seperti itu, waktu itu aku mengiyakan.
"Dini Rem..." kata Iqbal menyebut nama istrinya.
"Kenapa dengan Mbak Dini?" tanyaku tak mengerti. Aku sayang kepada mbak Dini, tapi hal itu tidak dapat mencegahku terjalari cemburu setiap kali Iqbal menyebut namanya.
"Elu tahu kan dia sedang hamil?"
"Iya tahu... lalu?"
"Menurut USG kemarin, kemungkinan besar anak gue yang ke dua itu laki-laki..." ujar Iqbal sambil tersenyum.
"Wah.. bagus dong? punya anaknya jadi sepasang..." komentarku turut bahagia.
Iqbal kembali murung.
"Loh? kenapa Bang?"
Iqbal tak menjawab. Dia menghela nafas dengan berat.
"Gue takut kena karma..." ujarnya pelan.
Selama beberapa saat aku tidak mengerti dengan apa yang Iqbal katakan. Lalu setelah menyadarinya aku tertawa. Tertawa kesal tepatnya!
"Karma? maksud abang...." aku tak melanjutkan ucapanku dan kembali tertawa.
Iqbal menatapku kesal karena merasa ditertawakan.
"Gue serius Rem..."
"Maksud abang.. maksud abang... abang takut? kalau misalnya anak abang kelak bakalan...." lanjutku memastikan.
"Gak usah diterusin! gak ada yang lucu!" sahut Iqbal ketus.
"Aduh bang....." ujarku sambil meringis. Leherku entah mengapa mendadak pegal.
*****
Ya ampun! kebiasaan buruk aku dari dulu adalah, suka lupa memberi kabar jika telah sampai tujuan apabila telah berjanji sebelumnya. Buru-buru aku membalas SMS yang membuat aku terjaga itu. Aku melihat jam di ujung kanan atas layar ponsel sudah menunjukkan angka jam setengah dua lewat. SMS itu dari seseorang yang sedang dekat denganku selama lima bulan ini.
"Udah.. hehe.. tadi jam setengah 8 dijemput langsung ke hotel. Lupa sms ^_^;"
Kemudian aku mencari nomor Mama. Orang yang selalu mengkhawatirkanku kemanapun aku pergi walau beliau selalu berusaha keras tidak memperlihatkannya. Setelah beberapa saat meminta maaf karena nada suara Mama yang agak kesal gara-gara aku lupa untuk segera menelepon, aku bersiap-siap untuk pergi ke kantor setelah resepsionis lantai dasar memberitahukan bahwa jemputanku telah tiba.
Di dalam lift, aku menunggu sambil membuka daftar kontak di ponsel. P.. P.. P.. gumamku dalam hati sementara tanganku menekan-nekan tombol ponsel. Aku menghentikan jariku ketika ingat tak lagi menyimpan nomor orang itu. Aku tersenyum sendiri. Sudahlah... walau aku ingin mengetahui kabarnya, aku tak bisa lagi menempatkan diri pada situasi yang tidak aku inginkan. Cerita lama! basi! ujarku dalam hati.
Tak ada yang menarik di hari pertama aku kerja. Seringnya aku hanya terkantuk-kantuk dan tak konsentrasi saat harus menjelaskan tata cara penggunaan sistem pada karyawan baru. Hampir saja aku terantuk meja saat tak fokus melihat laporan di layar laptopku. Saat tersadar, beberapa karyawan berusaha menahan tawa melihat tingkahku. Ibu Xiang, manager finance yang mewakili direktur untuk membantu keperluanku selama ada di kantor, menyarankanku untuk kembali ke hotel.
"Pak Rem, kalau su mangantuk lebih baik balik saja lagi ke hotel..." saran wanita Ambon keturunan Tionghoa itu.
"Beta panggilkan supir saja ee?" tanyanya lagi dan tanpa minta persetujuanku, dia kemudian menyuruh supir di bawah untuk bersiap-siap.
****
Minggu-minggu belakangan di Ambon merupakan hari-hari dimana krisis listrik terjadi. Sehari bisa lebih dari duabelas jam listrik dipadamkan oleh PLN secara bergantian di berbagai wilayah kota. Efeknya, biasanya kalau Malam Hari kota Ambon sangat cantik oleh lampu-lampu di pelabuhan dan di perbukitannya, kini hampir seluruh kota sangat gelap. Hanya bangunan-bangunan tertentu seperti Gereja, hotel, pertokoan, dan kantor pemerintahan yang masih terlihat terang. Untunglah, tinggal di hotel membuatku tidak terlalu merasakan efek pemadaman listrik yang berkepanjangan ini. Hanya saja, malam pertama ini aku yang hendak pergi mencari makanan di luar sambil menikmati angin malam tidak bisa terlalu menikmatinya karena suasana gelap dan bising oleh suara mesin generator listrik dimana-mana.
"Dah maem A?" tanya seseorang di sms yang masuk ketika aku sedang berjalan di lorong (sebutan di Ambon untuk jalan/gang selain jalan raya utama) menuju supermarket yang tak jauh lokasinya dari hotel.
"Belum... lagi nyari. Ni mau ke supermarket.. gimana skripsi?" balasku.
"Heu. hari kamis dpn deadline, a. "
"masih ngelab?"
"masih a, bolak-balik juga ke perpus. gmn a? dah ketemu sama si itu? "
"siapa?"
"itu tuh. si nyong ambon.. "
"gak tertarik buat ketemu tuh..."
"ketemu juga gapapa a. diijinin kok "
"gak niat."
Inilah resikonya bila kehidupan pribadi dituangkan dalam cerita dan dibagi ke semua orang. Bahkan ketika aku mulai dekat dengan seseorang yang telah membaca ceritaku, dia sudah tahu banyak mengenai masa laluku. Sekarang sudah bulan Februari. Berarti sudah lima bulan aku berkomitmen untuk berpacaran dengannya. Sebuah hubungan yang tidak bisa dibilang terlampau mulus memang, mengingat masing-masing dari kita memiliki masa lalu dalam romansa yang cukup traumatis bisa dibilang. Nanti saja kuceritakan soal bagaimana dia dekat denganku sekarang. Sekarang tugasku adalah mencari makan dan persediaan untuk aku bertahan hidup di hotel sendirian. Dan itu tak jauh dari supermarket!
*****
Nyaris menjatuhkan ponselku yang satunya, aku buru-buru menerima panggilan masuk itu.
"Unnnng... halo?"
"Rem! gue udah nyampe! lu nginep dimana?" suara riang Pak Ferry di ujung sana terdengar nyaring.
"nggg...... di Grand Soya pak.. bapak dimana?"
"Aku juga di Grand Soya Rem! kamar 510! udah dibooking dari kemarin rupanya... sekarang aku masih di jalan. Baru dijemput dari bandara nih."
"Oya? saya 503 Oom." jawabku antusias langsung terlonjak dari ranjang.
"Ya.. ya... kayaknya aku ga bisa ketemu kamu pagi-pagi Rem.. kamu mau ke kantor kan? aku juga... tapi mau mandi dulu."
"Iya oom.. gapapa."
"Eh! Rem! kayaknya aku bakalan dipinjemin mobil nih! nanti makan siang bareng ya? aku jemput!"
"Boleh.. boleh... ditunggu Oom.." sahutku.
Jemput? ya! karena Pak Ferry bertugas di kantor divisi properti, maka dia tidak satu gedung denganku.
****
Pukul sebelas lewat sedikit. Udara di luar ruangan kantor sangat panas sehingga mengalahkan usaha keras pendingin udara di dalam ruangan. Aku menyesali keputusanku membawa baju kerja hampir semuanya berlengan panjang. Apalagi hari ini aku memakai kemeja hitam! lengkap sudah penderitaanku harus bolak-balik ke bawah AC untuk sekadar mendinginkan badan. Domi, karyawan bagian akunting tersenyum-senyum menahan tawa melihat aku bolak-balik setiap sepuluh menit ke bawah AC dan harus melewati mejanya. Aku agak heran dengan beberapa karyawati di lantai ini, termasuk Ibu Xiang sendiri, masa tidak ada yang menyadari keanehan pada pria muda bernama lengkap Dominggus Marasabessy ini? Oh! bukannya aku bermaksud untuk usil, tapi sudah jelas kelihatan kalau cowok dua puluh empat tahun ini gay! Pertama, dia memutar lagu-lagu Mariah Carey dan diva-diva lain di komputernya. Kemudian Foto profil di Facebooknya sangat narsis dan bertelanjang dada, lalu di screen saver nya berseliweran beberapa foto cowok setengah telanjang. (untuk hal ini, saat dia mendapati aku melihat heran layar komputernya, buru-buru dia menonaktifkan screen savernya).
"Pak Rem.. kepanasan sekali ya?" tanya Domi.
"Iya nih.... terpaksa bolak-balik" jawabku sambil mengipas-ngipas tubuh sendiri dengan telapak tangan tepat dibawah semburan angin AC.
"Su dengar kabar Pak? katanya di Jakarta sedang banjir ya?" tanya Domi lagi.
Aku langsung teringat berita tadi pagi. Kabarnya Jakarta bersiap-siaga menerima kiriman air dari daerah Bogor karena hujan terus menerus melanda kota kelahiranku sepanjang hari dan curahannya sangat tinggi. Kalau melihat seperti itu, aku merasa beruntung bisa meninggalkan Jakarta saat puncak musim hujan melanda dan harusnya aku bersyukur di sini musim hujan belum lagi datang dan aku tidak perlu susah payah menerobos hujan, banjir, dan genangan air setinggi lebih dari mata kaki setiap kali aku berangkat kerja.
Jam setengah duabelas telepon di meja Ibu Xiang berdering.
"Halo?"
"...."
"Oh.. ada... Pak Rem... ada yang tunggu di bawah, katanya mau ajak makan siang." kata Bu Xiang.
"Oh.. iya bu.. makasih. beta makan siang duluan ya?"
"Iya silakan."
Dengan semangat laskar Pattimura mengusir Pasukan Belanda dari tanah Ambon, aku menuruni tangga dari lantai tiga. Melewati Showroom motor hingga nyaris menyenggol jatuh Office Girl, sampai terburu-buru melangkahi beberapa sparepart motor yang tergeletak di lantai tak jauh dari bengkel. Bukan.. bukannya aku kegenitan ingin bertemu Pak Ferry si gadun itu! tapi aku tahu, di dalam mobil pasti AC nya jauh lebih dingin.
Setibanya di tempat parkir aku melihat wajah Pak Ferry menyembul dari jendela sebuah Daihatsu Feroza putih sambil tersenyum dan melambaikan tangannya. Mataku terpaksa kupicingkan karena matahari bersinar sangat terik. Setengah berlari aku menuju mobil dan buru-buru masuk melalui pintu belakang saat kusadari di sebelah pak Ferry ada orang lain yang duduk.
"Rem! sampai kapan rencananya di Ambon?" tanya orang di sebelah Pak Ferry.
"Eh.. Pak Dharma? Bapak ke Ambon juga??" tanyaku. Rupanya orang yang disebelah Pak Ferry adalah Pak Dharma, bos divisi properti yang dulu adalah atasan dari...
"Iya Rem! ada urusan masalah genset di plasa..." kata Pak Dharma.
(interupsi: karena cerita ini semacam blog pribadi dengan setting kejadian sesungguhnya, oleh karena ada kekhawatiran beberapa orang dari kantor mungkin akan mendapatkan link menuju page ini menggunakan mbah google, maka saya akan merubah ejaan sedikit.. harap maklum)
"Loh? kenapa pak?" tanyaku heran. Pak Ferry mulai menghidupkan mesin.
"Lonjakan permintaan solar meningkat. Intinya sih itu. Kita sebagai pengurus plasa sudah didesak para tenant supaya membantu mereka menangani krisis listrik di sini. Mesin dieselnya kurang cukup. Apalagi buat Matahari sama F00dmartnya."
Yap! perusahaan kami memang membangun Amb0n Plasa dan bertindak sebagai pengelola gedung. Krisis listrik di Ambon akhir-akhir ini membuat pengusaha yang menyewa tempat di plasa menjerit kewalahan.
"Seandainya ada Paul... ah.. kalau saja dia masih kerja sama kita... pasti masalah ini gak usah sampai orang pusat yang turun tangan" ujar Pak Dharma lagi.
Deg! jantungku serasa mau copot ketika nama itu disebut. Paul memang sudah sejak lama mengundurkan diri dari perusahaan. Alasannya sederhana, dia ingin menggantikan ayahnya yang pensiunan Pegawai Negeri Sipil dari sebuah Departemen. Dan dia kini menjadi pegawai negeri sipil dan bertugas pada departemen tersebut.
"Paul siapa pak?" tanya Pak Ferry sambil terus menyetir. Sebagai manajer baru, dia tidak kenal dengan Paul.
"Itu.. karyawan kita dulu. Sekarang dia udah sukses di sini. Kabarnya hanya dia yang jago Autocad di kantornya, makanya dia sering diajak atasannya kemana-mana buat presentasi.." jelas Pak Dharma sambil tersenyum. Kelihatan sekali dia sebenarnya sangat kehilangan salah seorang anak buahnya yang berbakat... baik dalam hal pekerjaan, maupun di ranjang. Untuk yang kedua mungkin pak Dharma tidak lebih tahu daripada aku.
*****
"Mau makan dimana kita?" tanya Pak Dharma.
"Terserah bapak deh." sahut Pak Ferry. Perhatian lelaki gagah berkacamata itu terpaku pada sebuah toko penuh dengan barang-barang unik khas Maluku.
"Sebenarnya saya gak suka makan di sini. Masih ada yang lebih enak dibanding makanan di foodcourt sini. Tapi si Paul maksa makan di KFC sini." gumam Pak Dharma.
Eh? si-siapa? Paul? Makan siang bareng? kenapa dari tadi tidak ada yang menyebutkan kalau kita semua akan makan siang bersama dengan Paul? Aku jadi salah tingkah.
"Dia jarang-jarang kali makan KFC Pak! hahaha." kata Pak Ferry.
"Pa-Paul makan bareng kita?" tanyaku memastikan. Ingin rasanya secepat kilat kabur dari tempat ini. Tapi nanti akan terlihat sangat ganjil. Lagipula aku tidak bisa menemukan alasan yang kuat untuk menghindar.
"Iya. Saya mau tanya pendapat dia. Lagipula Dia kerja di PU. Hubungannya sama orang-orang di kantor Gubernur cukup dekat." Kata Pak Dharma lagi sambil kemudian dia berjalan menuju eskalator mati menuju lantai yang lebih tinggi.
Aku mengikuti langkah Pak Dharma dibelakangnya bersama Pak Ferry. Langkahku terasa sangat berat. Sumpah! dia adalah orang yang sama sekali tidak aku niatkan untuk bertemu walau aku kini berada di kota kelahirannya. Ketika akhirnya kami tiba di dekat pintu masuk KFC, disanalah aku melihat orang itu lagi. Berpakaian safari, berdiri sambil mengetik sesuatu pada ponselnya dengan wajah serius: Paul...
****
Aku terbatuk walaupun tenggorokanku tak terasa gatal sama sekali. Kata orang, kalau posisi kaki kita tidak berada pada tempat yang benar, terlihat janggal, itu artinya kita sedang grogi ataupun salah tingkah. Aku melihat kakiku sendiri, sebelah menghadap samping, satu lagi tanpa sadar menepuk-nepuk lantai seolah sedang mengikuti irama musik yang sebenarnya tidak aku dengar sama sekali. Ah! kenapa musti begini sih? biasa aja Rem! ujarku kepada diri sendiri. Akhirnya setelah berdeham sedikit, memperbaiki posisi berdiri, dan memantapkan hati, aku berdiri tepat di belakang Pak Ferry menunggu untuk pertemuanku kembali dengan Paul setelah sekian lama.
"Pak Dharma.... bagaimana kabar pak?" tanya Paul terlihat antusias yang pas tanpa berlebihan ketika menjabat tangan Pak Dharma.
Sejenak mereka berdua basa-basi saling menanyakan kabar, keadaan pekerjaan, dan lain-lain, kemudian Pak Dharma mengenalkan Paul pada Pak Ferry. Akhirnya Paul bertatap mata denganku. "Hai Rem... Apa kabar?" tanyanya sambil memamerkan barisan gigi putihnya.
"Baek Paul... kayaknya ente juga baek yah?" aku bertanya balik. Bukan maksud menyindir, tapi bisa dibilang Paul sekarang terlihat sangat "sehat". Dia sepertinya lebih berisi beberapa kilo dan tidak se-berotot dulu. Mungkin karena dia sekarang merasa nyaman berada di kampung halamannya sendiri dibandingkan ketika harus bekerja di Jakarta.
"Gemukan maksudnya? benar Rem... di sini beta makan su paling banyak.." katanya sambil tertawa dan menatapku penuh arti seolah mengatakan, 'Ah! kayak lu enggak aja!'.
Sesuai kesepakatan dan ajakan Paul, kami makan siang di KFC. Kami mengantri di belakang Pak Dharma dan Pak Ferry sambil mengobrol mengenai pekerjaannya.
"Hebat euy, udah jadi PNS. Tapi enggak terlalu aktif ya di FB? suka main rahasia-rahasiaan sekarang. hahaha..." kataku sambil menepuk lengan Paul. Paul cuma tersenyum.
Paul memang ada di friendlist akun Facebook-ku. Tapi kami jarang sekali berinteraksi. Lagipula Paul sepertinya bukan orang yang gila facebook dan memperbaharui statusnya setiap waktu. Kebanyakan dia selalu menyebut keagungan Tuhan dan menyatakan kecintaannya kepada Yesus Kristus dan mengunggah foto-foto bertema cinta kasih dan perdamaian. Hampir tak bisa ditebak isi hatinya maupun aktivitasnya lewat status-statusnya itu. Terakhir dia bilang, dia akan menjauh dari kehidupan gay dan mencoba untuk mencari pasangan hidup seorang wanita dan menikah di jalan Tuhan. Tapi sepertinya hal itu belum terlaksana.
Efek kurangnya energi listrik juga terasa di KFC Ambon Plasa. Sebenarnya ruangan ini akan terasa dan terlihat nyaman kalau saja lampu-lampunya menyala lebih terang dan pendingin ruangannya memadai.
"Pesan apa?" tanya Paul padaku sambil melihat daftar menu di atas.
Saat itu aku sangat lapar hingga rasa-rasanya sanggup untuk menghabiskan dua porsi paket yakiniku ala KFC ditambah dua gelas jumbo Cola. Akan tetapi penjelasan sang penjaga kounter membuatku mengurungkan niat.
"Maaf Pak, untuk Yakiniku saladnya kurang lengkap dan hari ini minumannya tidak memakai batu es." Jelasnya.
Ini pasti efek dari pemadaman listrik! sayuran salad yang ada tidak bisa disimpan terlalu lama. Dan sepertinya mesin pembuat es batu pun tidak berfungsi. Padahal aku sudah membayangkan betapa segarnya meneguk minuman dingin soda dengan buih-buih dan batu esnya dalam udara panas seperti ini.
Melihat wajahku yang berubah kecewa, Paul nyengir nyaris tertawa.
"Pesan yang paket dua ayam saja Usi! (Usi= panggilan untuk perempuan yang lebih tua) pesan dua! tapi yang satu dong pung minuman diganti saja deng seven-up..." ujar Paul tiba-tiba mengambil alih.
"Hey! suka sok tahu!" protesku tapi tetap tersenyum.
"Habisnya ale lama sekali.. beta masih ingat kesukaan Remy, ayam dua, minumannya ganti deng seven-up kan?"
Aku cuma mengedikkan kepala sedikit. Menunggu pesanan dan kami berdua menuju meja pak Dharma dan Pak Ferry untuk bergabung dengan mereka.
"Yang menarik di sini apa ya?" tanya Pak Ferry sambil menyeruput minumannya.
"Terakhir saya ke sini, Gong Perdamaian Dunia belum diresmikan tuh... kayaknya saya pengen jalan-jalan ke situ." Aku berkata memberi saran sepintas lalu.
"Kesana! harus! foto-foto!" kata Pak Ferry tiba-tiba. Aku heran, apakah dia memang bersemangat melihat Gong nya ataukah memang sekadar narsis? Paul terkekeh dan berkata "Beta saja yang su lama di Ambon belum pernah foto di situ."
"Loh? kenapa?" tanya Pak Dharma.
"Mungkin sama seperti kalian di Jakarta. Kalian di Jakarta merasa norak tidak kalau foto-foto di Monas?" tanya Paul kembali terkekeh.
Aku tertawa sambil menyetujui ucapan Paul dalam hati.
"Su ada calonkah?" aku bertanya pada Paul sambil berbisik menanyakan apakah dia sudah memiliki calon istri.
"Eee? calon? Maitua?" Paul balik bertanya. (maitua = istri)
Aku mengangguk sambil tersenyum kekanak-kanakan.
"Belum... su ada beberapa calon... tapi belum ada yang sreg di beta pung hati..." jawab Paul.
"Yang bikin sreg itu yang gimana sih Paul? yang berkumis ya?" candaku. Dan Paul pun tersedak minumannya.
Untung saja Pak Ferry dan Pak Dharma sedang asyik berdiskusi sehingga sangat kecil kemungkinan mendengar candaanku. Apalagi aku berbicara dengan suara pelan. Tapi Paul tetap merasa khawatir.
"Rem... bicara seperti itu nanti saja.. kalau kita berdua..."
"Hehehe.. sori Paul. Lagian kayaknya mereka enggak denger tuh." kataku meyakinkan.
*****