It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dengan sabar menunggu kelanjutan ceritanya.
Bakalan hot nih.
Ane ama Paladin udah tutup risleting... eh.. tutup buku ooom....
*tapi kalo dia mau sih, kapan aja ane siap.... 8)
Cerita ini kupersembahkan untuk kamu say, mudah-mudahan Dia pantas mendapatkan cintamu.... luv u bro...
X-DOSEN-X [part-1]
"Ijazahmu kapan mau di ambil Rem?"
Ucapan Papa di hari Sabtu pagi yang cerah ceria itu membuat aku menghentikan kegiatanku yang sedang memperebutkan mikrofon dengan keponakanku yang berusia hampir dua tahun. Ya, keponakanku yang cowok ini memang sedang berada dirumah kakek-neneknya. Dia begitu tergila-gila dengan lagu-lagu Peterpan dan D'masiv sehingga kami terpaksa harus menuruti keinginannya memutar lagu-lagu itu setiap hari, termasuk hari Sabtu ini saat aku hendak berkaraoke lagu-lagu Peterpan, keponakanku mencoba merebut mikrofon saat aku sedang bernyanyi.
"Kapan-kapan deh, Pa!" jawabku malas-malasan. Aku kemudian menyerah dan membiarkan mikrofon itu dikuasai keponakanku.
"Sayang kalo enggak diambil, Rem!" kata Papa sambil melanjutkan membaca Trubus tetapi dari balik kacamata bacanya dia melirik ke arahku.
"Maleeees.. banget kalo balik ke kampus..." ujarku sambil rebahan di atas sofa sementara keponakanku mulai bernyanyi dengan suara yang tak jelas lewat mikrofon.
"Kamu tuh kebiasaan Rem! kalau sudah lulus suka enggak inget sama almamater!" kata Papa lagi.
"Abisnya... setiap lulus dari sekolah suka ada kejadian yang enggak enak sampe bikin trauma sih!" kataku membela diri.
"Tibang ditinggal kawin aja Rem! cari cewek laen lah!" Papa berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Kalau saja Papa tahu kejadiannya enggak sesederhana itu.. Huh! ujarku dalam hati.
****
Sejak tahun 2005 aku memang memutuskan untuk melanjutkan studi jenjang S-1 dengan mengambil kuliah khusus kelas karyawan. Saat itu kebetulan perusahaan lama tempatku bekerja memang menawarkan biaya pendidikan untuk karyawannya melanjutkan kuliah. Salah satu yang terpilih adalah aku. Semua itu kulalui dengan perjuangan berat. Perusahaan menetapkan syarat bahwa aku akan mendapatkan biaya kuliah untuk semester selanjutnya dengan catatan bahwa aku berhasil mendapatkan IP minimal 3,0 pada semester sebelumnya. Kalau saja aku hanya berfokus pada kuliah mungkin akan lebih mudah mencapai target seperti itu, tetapi kesibukan pekerjaan hampir selalu menyita waktuku. Aku yang sudah kelelahan menghadapi rutinitas pekerjaan seharian rupanya menjadi sulit berkonsentrasi menghadapi mata kuliah yang diajarkan pada malam harinya.
Sebenarnya siapa yang dimaksud oleh Papa dengan 'ditinggal kawin'? Saat aku masuk pertama kali, seperti biasa aku tidak terlalu kenal dengan siapapun di kampus karena aku memang orang yang memiliki kebiasaan enggan menyapa orang yang baru di kenal. Sampai pertengahan semester awal aku hanya berteman dengan seorang teman perempuan bernama Rya. AKu mengenalnya sebelum masuk ke kampus saat kami berdua sama-sama ikut bimbingan di sebuah lembaga pendidikan karena sebelumnya selama beberapa semester aku sempat tercatat sebagai mahasiswa Universitas Terbuka. Saat itu kami sadar bahwa sekeras apapun usaha yang dilakukan, sangat sulit untuk mencapai nilai yang diharapkan karena ujian UT memang terkenal berat. Akhirnya kami memutuskan untuk masuk kampus yang lebih umum dari UT agar kami lebih mudah mendapatkan nilai yang lebih baik.
Sebenarnya juga, alasanku dekat dengan Rya karena dia jauh lebih supel dalam bergaul dibandingkan aku. Aku yang malas meminjam catatan atau apapun yang berhubungan dengan perkuliahan kepada orang lain, menggunakan keramahan Rya untuk ikut sekadar meminjam catatan kalau-kalau aku terlalu sibuk lembur sehingga tidak sempat ikut perkuliahan. Lalu apakah Rya orang yang dimaksud Papa yang telah meninggalkan aku untuk menikah dengan orang lain? Bukan. Rya yang lebih tua dua tahun dariku, sudah kuanggap seperti Mbakyu ku sendiri. Cewek cantik berkulit putih kelahiran solo ini memang cepat akrab dan populer di kampus dengan keramahan dan kecantikannya sehingga banyak juga cowok-cowok kampus yang naksir padanya. Kalau saja yang naksir itu seumuran dengan kami dan belum menikah mungkin tidak akan menjadi masalah. Tapi karena kami mengikuti kelas karyawan, tidak semua teman satu angkatan kami yang usiannya sepantar. Ada yang memang baru lulus SMA, namun banyak juga yang sudah berkeluarga bahkan ada pula seorang bapak yang beberapa tahun lagi akan memasuki masa pensiun, akan tetapi masih bersemangat melanjutkan studinya. Itulah masalahnya! Rya kadang juga menjadi sasaran godaan Oom-oom atau bapak-bapak yang sudah berkeluarga yang sekadar coba-coba menarik perhatiannya, Padahal Rya sendiri saat itu sudah memiliki seorang pacar perwira Polisi, itulah sebabnya Rya membiarkan anak-anak kampus menyangka aku dengannya ada sebuah hubungan istimewa. Hal ini sudah diketahui oleh Mas Widodo, pacar Rya. Dia memaklumi bahkan berterimakasih padaku karena sudah menjaga kekasihnya di kampus. Kalau kamu menyangka Mas Widodo cemburu padaku, kamu salah besar! Mas Widodo berpacaran dengan Rya saat aku sudah menjadi temannya. Itulah sebabnya Mas Widodo tidak khawatir karena sebenarnya aku pun sudah mati rasa dengan Rya dan murni menganggap persahabatan kami sebagai sebuah hubungan simbiosis mutualisme.
*****
Kemudian semester selanjutnya aku mengenal cewek itu. Namanya Ice. Diejanya bukan seperti melafalkan dalam bahasa Inggris, tetapi dibaca 'I-Ceu' seperti penyanyi Itje Trisnawati. Sebenarnya kepanjangan nama cewek itu adalah Ice Juice, tetapi tentu saja, nama pengulangan suku kata khas sunda tersebut akan mudah menjadi bahan olok-olok apabila diucapkan dengan lafal bahasa Inggris. Akhinya dia hanya menggunakan nama depannya saja saat kuliah. Ice adalah wanita yang sangat manis. Rambutnya sebahu dan berkacamata. Saat kuliah dia sangat suka memakai jaket denim dan celana panjang lengkap dengan sepatu ketsnya. Ya! dia akan kelihatan sangat sporty seandainya dia tidak membawa tas tangan super-besar yang kontras dengan tubuhnya yang mungil. Soal kebiasaanya memakai tas berukuran seperti itu dia pernah bercerita kalau dia sangat suka memasukkan perlengkapannya di dalam dari mulai buku-buku kuliah, berkas-berkas pekerjaan, sampai peralatan kecantikan dan sebuah discman. Soal matanya yang minus, aku pernah menyarankannya untuk menggunakan softlens karena akan membuat wajahnya semakin cantik dan dia menurutinya walau tidak pernah sering-sering.
Kalau ada yang bisa menggambarkan perasaanku pada Ice saat itu mungkin istilah termehek-mehek adalah kata yang tepat. Ice adalah tipe cewek yang bisa dibilang lumayan agresif mendekatiku. Awalnya memang dia termasuk salah seorang yang menyangka bahwa aku dan Rya adalah sepasang kekasih. Namun Rya yang mendapai gelagat bahwa Ice tertarik padaku buru-buru menjelaskan padanya kalau diantara kami hanyalah sebatas teman saja. Rya dan Ice kemudian menjadi cepat akrab, mungkin juga itu salah satu taktik Ice untuk mendekati aku. Awalnya aku memang merasa tidak yakin kalau aku bisa setertarik itu pada seorang wanita. Namun perhatian Ice, cara bicaranya, tertawanya, membuatku jatuh hati dan bahkan bisa membayangkan bercinta dengannya sampai-sampai beberapa kali aku bermimpi basah dengan bintang utamanya aku dan dia. Kadang aku belum bisa berkonsentrasi dalam kelas kalau belum melihatnya datang. Aku juga bingung, sebenarnya apa sih yang kurasakan waktu itu? apakah itu yang dinamakan cinta? kalau memang bukan dan hanya menikmati perhatiannya saja, mengapa aku bisa sangat tertarik padanya baik dengan hati maupun secara seksual? Rya menyarankan aku agar buru-buru meresmikan hubunganku dengan Ice karena menurutnya kalau seorang pria tidak buru-buru menyatakan cintanya pada seorang cewek, maka cewek itu akan keburu disambar orang. Dan itu yang membuatku terjebak dalam dilema...
*****
Ada beberapa faktor yang membuatku ragu menyatakan cinta (kalau itu bisa disebut cinta) pada Ice. Pertama aku masih minder dengan keadaanku saat itu. Ice berasal dari keluarga berada. Bahkan sebenarnya dia tidak butuh bekerja seandainya dia masih mau menggantungkan hidup pada keluarganya. Aku saat itu masih menjadi seorang pegawai yang sedang merintis karir. Walau bisa dibilang jabatanku lumayan, gaji yang kuterima masih pas-pasan. Istilah Pangkat Jenderal tapi Gaji Kopral sangat sesuai dengan kondisiku saat itu. Mungkin bagi seorang wanita itu tidak penting kalau memang sudah cinta, tapi bagiku hal-hal itu masih kuanggap sangat penting apalagi dalam berpacaran. Sebenarnya, aku yang saat itu masih tinggal di Mess fasilitas kantor, sudah ditawarkan untuk menggunakan motor sebagai tunjangan transport dengan seluruh pengeluaran seperti perbaikan dan bensin yang ditanggung oleh perusahaan. Tetapi aku yang tidak begitu menyukai naik motor, bahkan sekarang pun paling sering hanya sebatas transportasi antara rumah dan stasiun, menolak tawaran itu. Memikirkan bahwa setiap hujan turun aku harus menggunakan mantel, kedinginan, dan kebasahan atau sekedar menepi untuk berteduh saja, sudah membuatku gila. Apalagi kalau memikirkan harus merawat motor itu dengan mencucinya dan rutin membawanya ke bengkel. Aku orang yang tidak mau rumit! Jadinya aku memilih untuk mengganti fasilitas itu dengan tambahan tunjangan pada komponen gajiku. Itulah sebabnya aku menjadi rada minder karena tidak seperti teman-temanku yang lain yang memaksakan diri mencicil motor aku dengan santai melenggang bolak-balik antar kampus dan mess dengan menggunakan kedaraan umum. Efeknya aku merasa tidak akan menjadi pacar yang baik apabila tidak bisa mengantar-jemput Ice dangan motor.
Faktor ke dua adalah Dosen itu. Pada semester awal Dosen itu mengajar mata kuliah Pengantar Bisnis. Namanya Pak Anwar. Kalau di Kereta ada istilah 3G alias Gerbong Gelap Gulita, atau pada ponsel ada istilah generasi 3,5G, maka Pak Anwar menurutku masuk pada kategori 4G: Gadun Ganteng Gemanaaaa Getuh.... Usianya saat itu sekitar empat puluh tahun, sudah berkeluarga dengan dua orang anak. Sebenarnya kalau dia mau menghitamkan rambutnya yang sudah mulai memutih, maka dia akan terlihat jauh lebih tampan. Namun wajahnya yang berkacamata dan berkumis itu memang telah membuatku tertarik padanya, apalagi dia juga sangat ramah pada murid-muridnya. Bukannya aku ke ge-eran, tapi sepertinya Pak Anwar memberikan perhatian agak berlebih untukku. Saat bertemu di lobby kampus, dia sering menyapaku dan menjabat tanganku. Kalau hanya jabat tangan mungkin biasa, namun Pak Anwar seringkali menjamah wilayah tubuhku yang lain, seperti meremas bahu, mengusap lengan atau yang paling aneh kadang dia juga suka menepuk pipiku. (kalau dicium mungkin lebih enak ya?) maka dari itu, kadang aku berharap sesuatu yang lebih terjadi diantara kita. Sepertinya tahun-tahun perkuliahanku akan membuatku sering bertemu dengannya. Soalnya Pak Anwar tidak hanya mengajar Pengantar Bisnis saja. Setidaknya aku akan dibimbing lagi olehnya pada mata Kuliah Manajemen Operasional satu dan dua dan Penganggaran.
Aku sering berpikir, mengapa aku merasa hidupku jauh lebih rumit dari orang lain? mungkin itu tidak sepenuhnya benar, hanya saja aku merasa seperti masuk dalam pusaran yang memusingkan atau gulungan benang kusut yang tak berujung. Apa salahku? apa aku secara tidak sengaja pernah makan sesajen atau menginjak makam keramat tanpa meminta maaf saat aku masih kecil? entahlah! aku mencoba enjoy saja dengan hidupku walau kadang-kadang merasa ingin meledak saja karena tidak sanggup menghadapi kerumitan hidup.
******
Suatu hari saat kami semua pulang kuliah, aku sedang menunggu angkutan umum dengan teman-teman. Awalnya Rya dijemput oleh Mas Widodo, kemudian saat itu tinggal aku berdua dengan Ice. Saat itu sudah lewat jam sepuluh malam.
"Sori ya Ce, gak bisa anter kamu pulang..." ujarku.
"Gapapa lagi Rem, kamu pulang aja. Kalau kamu antar aku dulu, di depan rumahku sudah tidak ada angkot lagi yang lewat.. daripada kamu kemalaman.." kata Ice.
"Tapi gak papa kalau naik angkot sendirian?" tanyaku khawatir.
Saat itulah Johan teman satu kelas kami lewat dengan motornya. Aku malah menawarkan Ice untuk pulang bersamanya.
"Jo! ente bisa anter Ice pulang enggak? kan kalian satu arah ya?" pintaku.
Johan mengangkat kaca penutup helmnya dan bertanya pada Ice. "Mau bareng Ce?"
Awalnya Ice sempat ragu dan bergantian menatapku dan Johan. Ketika aku mengangguk setuju, Ice akhirnya naik juga di jok belakang motor Johan. Saat motor itu berjalan, kulihat Ice menatapku dengan pandangan misterius.
Setelah motor Johan tidak kelihatan, aku berdiri dari tempat duduk di teras kampus dan hendak menuju pinggir jalan untuk menyetop kendaraan umum. Aku merapatkan jaketku karena udara Bogor sudah mulai terasa dingin dengan angin yang bertiup agak kencang. Saat aku menantikan angkot yang akan kuhentikan, tak jauh dari tempatku berdiri sebuah mobil Isuzu Panther biru tua berhenti. Aku menoleh saat orang didalamnya membunyikan klakson. Tak lama kemudian kaca samping mobil itu diturunkan dan wajah Pak Anwar menyembul menatapku sambil tersenyum.
"Pulang ke arah mana Rem? mau ikut saya?" tanyanya ramah.
Sesaat aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang tiba-tiba itu, lalu aku berkata buru-buru. "Eh.. ke Gunung Batu Pak..!"
"Mau ikut saya? kebetulan saya juga lewat sana, mau ikut sama-sama?" tanyanya lagi.
"Ng..." aku tidak bisa memutuskan, namun Pak Anwar telanjur membuka pintu mobilnya sehingga aku merasa tidak enak untuk menolak.
Kemudian aku naik dan Pak Anwar kembali berujar, "ikut saya sampai Jembatan Merah ya?"
Aku mengangguk setuju.
Di dalam mobil, Pak Anwarlah yang memulai percakapan. "Hasil mid-test kemarin kamu paling tinggi Rem, mudah-mudahan bisa kamu pertahankan sampai ujian akhir." Katanya sambil tetap menatap ke depan.
"Makasih Pak.. itu juga karena cara mengajar bapak yang cocok sama saya." ujarku. Pak Anwar tertawa.
"Semester depan saya pegang mata kuliah Manajemen Operasional satu."
"Oya? wah, kalau dosennya bapak sih, insya Allah saya bisa dapat nilai bagus ya Pak?" komentarku. Entah mengapa aku berkata demikian. Mungkin karena kebiasaan flirting apalagi menghadapi 4G macam dia ini.
"Katanya kamu sebelum masuk kampus sekarang, kamu pindahan dari UT (Universitas Terbuka) ya?"
"Iya Pak! soalnya susah banget dapat nilai bagus, paling sering dapat nilai C." jawabku.
Pak Anwar mengangguk-angguk sambil tertawa.
Tak terasa mobil Pak Anwar sudah sampai di Jembatan Merah, sebelum berbelok, Pak Anwar menurunkan aku di depan plaza Jembatan Merah yang sudah tutup namun deretan penjual makanan dari mulai sate, martabak hingga es buah.
"Sampai sini aja ya?" tanyanya.
"Iya..makasih pak!" kataku sambil melepas sabuk pengaman dan bersiap turun. Aku menghentikan gerakanku saat aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh pahaku. Aku menoleh dan mendapati Pak Anwar telah meletakkan telapak tangannya disitu sambil tersenyum penuh misteri. Aku yang terkejut tidak bisa berkata apa-apa namun tetap berusaha bersikap sopan dan tenang, kemudian Pak Anwar berkata, "Sampai ketemu lagi di kampus..."
"Eh.. i.. iya pak!" kataku gugup sambil perlahan beringsut melepaskan pahaku dari tangannya dan keluar dari pintu.
Tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu, aku merasakan jantungku berdegup kencang.
*****
dah di posting toh oom
dosen juga di embat :twisted:
ditunggu kelanjutannya ya ^^