It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
kok berubah jadi YaMes nih ....................jadi ceritabya ngegantung donk
Senin, 27 Oktober, Dini Hari...
Bagaimana ceritanya sampai ada api membesar dan nyaris menghanguskan seluruh dapur rumahku, aku sendiri masih bingung. Tapi yang pasti, tengah malam itu aku terbangun setelah tertidur pada jam delapan karena mendengar suara berkelotakan mengerikan dan suara desisan tabung gas yang bocor dan terbakar. Aku melihat dari balik pintu dapurku api sudah membesar sehingga pintu yang buru-buru kubuka sudah terasa panas. Aku segera menghambur ke tetangga tanpa memedulikan kakiku yang tidak mengenakan alas apapun.
Untunglah, dengan bala bantuan dari tetangga, api itu berhasil dipadamkan dan tabung gas yang terbakar tidak sampai meledak. Hanya saja, api telanjur membakar salah satu kabel listrik di rumahku sehingga akhirnya sikringnya putus dan rumahku menjadi gelap gulita. Aku sudah tidak mau membayangkan harus membersihkan sebagian besar rumahku yang kini penuh dengan tanah dan sangat becek akibat banyaknya orang bolak-balik membantu memadamkan api tersebut. Urusan membersihkan rumah akan aku pikirkan pagi-pagi saja.
Kemudian aku menerima tawaran tetanggaku yang juga teman dekat saat aku bekerja di tempat lama, untuk menginap di rumahnya. Dengan hanya membawa sarung dan ponselku aku kemudian menempati salah satu kamar kosong di rumahnya itu.
"Udah Rem, kunci aja rumah kamu. tidur dulu, kalo perlu besok enggak usah kerja, jangan lupa telepon orangtua kamu bilang ke mereka enggak usah khawatir.." kata Mas Dwi sambil menepuk pundakku. sementara Istrinya yang juga Ce-es ku saat kerja dulu mengangguk-angguk sepaham.
"Makasih ya?" ucapku lirih.
"Itulah gunanya bertetangga Rem!" ujar Mas Dwi lagi.
****
Masih memikirkan lagi penyebab kebakaran itu, aku tidak bisa memejamkan mata sampai jam dua pagi. Ditambah lagi aku masih memikirkan kata-kata Shahrul kemarin pagi sebelum dia berangkat kembali ke Jakarta.Saat itulah SMS baru datang, provider "baik hati" yang kugunakan ternyata kurang bagus sinyalnya di rumahku sehingga SMS yang dikirimkan bisa datang kapan saja. SMS itu dari Nugie... "rem.. gw gak ngerti... kok lu tega sih sama gw?!!"
Mendadak tubuhku menggigil membaca SMS itu. Aku merasakan ada sesuatu yang menusuk-nusuk di telapak kakiku. Saat kuperiksa rupanya ada dua potongan kaca yang menancap di situ yang mungkin saking paniknya aku sampai tak sadar dari tadi telah menginjaknya. Aku mencoba menariknya hingga berdarah... seharusnya luka seperti itu tidak akan terlalu sakit, tapi yang kurasakan membuatku nyaris melelehkan air mata. Bukan karena sakit di kaki itu, tapi SMS kekecewaan yang Nugie kirimkan padaku seolah-olah seperti palu besar yang telah meruntuhkan perisai kekebalanku terhadap rasa sakit. Inikah yang namanya merasa bersalah? otakku berputar keras mencoba mengartikan perasaan yang kini melandaku. Kemudian aku meraih ponsel dan mengetikkan SMS untuk Shahrul: "Rul.. kayaknya gue enggak mau ngehubungin elu dulu... enggak tahu sampe kapan..."
Aku terkejut saat pipiku terasa panas karena ada sesuatu yang mengalir melewatinya. Dengan keheranan aku mencoba memastikan dengan meraba pipiku kalau yang aku pegang adalah air mata. Ya Tuhan! apakah aku menangis? sebab aku sendiri sudah lupa kapan terakhir kali aku menitikkan air mata. Bahkan saat aku diputuskan oleh Iqbal di Kebun Raya dulu pun aku sama sekali tidak menangis, hanya kesal dan sedih, tapi tidak menangis!
****
27 Oktober... Pagi hari, rumahku...
Aku yang bersandar di pintu dapur hanya bisa mengamati Papa yang menggeleng-gelengkan kepala heran melihat nyaris tak ada lagi perlengkapan makan milikku yang masih tersisa. Pagi setelah kebakaran itu aku menelepon kantor untuk memberitahukan kalau aku akan mengambil cuti selama dua hari untuk membereskan dapur rumahku.
"Kok bisa enggak sadar sih Rem?" tanya Papa sekali lagi sambil memungut wajan yang kini tidak sampai separonya yang masih tersisa. Aku sudah bosan menjelaskan kalau aku sendiri tidak tahu dari mana api itu berasal
"Gimana jadinya Pa?" tanyaku.
"Yah, perbaikan sana-sini. Kalau mau, panggil aja tukang yang kemarin bikin pager di depan rumah Rem, nanti papa coba taksir kira-kira berapa biaya yang harus kamu keluarin." kata papa lagi sambil memandangi sisa-sisa barang yang terbakar.
*****
Karena trauma maka aku berencana untuk tinggal di rumah orangtuaku selama satu minggu penuh, dan karena itu pula aku membiarkan para tukang itu membereskan dan merapikan kembali dapur di rumahku.
Malamnya saat di kamar rumah orangtuaku, aku kembali mengulas apa saja yang telah aku lakukan semenjak aku bekerja di Jakarta. Aku sendiri kini mempertanyakan kembali apakah bekerja di Jakarta lebih menyenangkan daripada di Bogor? aku sendiri menjadi terkenang-kenang saat aku masih begitu menikmati fasilitas internet kantor yang seadanya, terlalu sibuk sehingga tidak pernah tahu yang namanya browsing dunia gay dan tergiur untuk masuk forum. Aku memang tidak begitu suka ke warnet untuk browsing-browsing situs seperti itu karena khawatir ada penjaga warnet nakal yang selalu ingin tahu urusan pribadi pengunjungnya. Bertemu dengan cowok-cowok tidak melalui dunia maya melainkan dengan hanya jalan-jalan malam saja menikmati wisata kuliner. Pergi ke kampus bersama teman-teman dan setelahnya kita semua minum bandrek susu di Air Mancur... semua seolah seperti gulungan pita seluloid yang terburai kembali dalam otakku.
Entah mendapat dorongan dari mana akhirnya malam itu aku menelepon Bang Rey, komisaris dan pemegang saham perusahaan lama tempat aku bekerja dulu untuk berbicara padanya dan membuat janji untuk bertemu...
******
(back to "satu")
Jauh sblm gw kenal jckjackme, gw udah kenal remi dluan, mlh remi dan vire_alert lah yg ngenalin gw ke jckjackme.
sampe skrg pun, gw msh syg ma jckjackme, cm emg gak pernah ssyg jckjackme ke gw (gw berterima kasih ma dia dan jujur sampe skrg gw msh gak tau knp dia bs jd syg bgt ke gw). makin kesini, ada bbrp hal (yg gak penting jg gw tulis disini) yg membuat gw mutusin, lbh baik gw nyoba wat gak ganggu jckjackme lg.
drpd gw cerita panjang lebar (nanti dikira bikin story tandingan lg,hehe) intiny gini deh, antara jckjackme dan remi, klo mereka gak salah paham satu sama lain, berarti mereka udah kemakan sama kelakuan minus gw yg gampang ngebet tapi gampang bosen jg.hehe.
Remy gak salah. gw yg nagih2 dia wat posting ceritany. karena remi udah janji duluan ke gw wat mosting story ini jauhhh sblm remi bikin janji ke jckjackme. gw yg ngebet pgn ktemu remi, gw jg yg punya ide wat nginep di rumahny. gw jg yg mulai semuany.
Sdgkan jckjackme, dia co baik, good looking (apalagi 'anuny' ckckc, ajiib om, boleh cek ke toko sebelah, garansi test semalem, klo gak puas uang kembali ), gak ngondek (halah!), polos dan lugu cm mgkn agak seriusan aja orgny. pokokny gak rugi wat siapa aja yg emg nyari bf untuk hubungan yg serius. gw di dunia kek gini msh br dan blom ada niatan wat memiliki hubungan yg serius. klo mslny jckjackme itu cewe, pasti udah gw gotong kenalin ke ortu gw. hehe. emg dr awalny kita b2 beda visi dan misi, cm br sadar pas di akhir, jdny ya kek gini endingny.
pokokny cepetan kaka, embah, kisanak, om, segera pm jckjackme mumpung dia msh available.hoho. limited edition tuh org:P
mohon abis gw posting ini, gak ada yg bahas2 lagi ttg masalah ini di BF. thx b4 smuanya.
nb: rem, itu dapur ente kebakar gara2 ane kah?! hehe,,,ampun juragaan...
remy: kakak
paladin: TTM
Emang
Charliiiiiiiiieeeeee..... telepon dari ente bikin gue jd susah tidur........ :oops: :oops: :oops: :oops: :oops: :oops: :oops:
*kalo jadi ke Bogor/Jkt, kabari yak? heheheh....
Namanya juga Banci oom... hobi infotainmen.... banyak gosip pan...
@paladin: Heh! iya gara2 ente! gw tuntut kerugian immaterial aja sama ente deh...
@tri_s : ente *sok* sibuk banget siiiih... lagian "traktor" ane lagi ngadat, kalo kemaleman angkutan dah kagak ada tuuuh....
hmmm, kamis aku ngajar cuma sampe jam 5, hari jumat aku ngajar cuma ampe jam 6. gak kemaleman kok...
lagian aku kan sebenernya pagi2 itu cenderung santai, tapi pasti kan gak bakalan nyambung ama jadwal ente...
30 Oktober, malam hari...
Hal yang paling berat adalah saat aku mengatakan pada Iqbal kalau aku berencana hendak kembali bekerja di tempat lama. Sesuai dugaanku, Iqbal menanggapinya dengan dingin. Kesalahanku adalah memberitahukan hal itu lewat telepon terlebih dahulu. Iqbal juga marah karena aku telat mengabarinya soal musibah yang kualami dan sama sekali lupa memberitahunya kalau aku tidak masuk selama dua hari dan mengungsi di rumah orangtua sehingga otomatis aku tidak akan berangkat pagi hari bersamanya.
"Gue lagi di rumah bokap!" desisku di telepon sambil perlahan menutup pintu teras saat Iqbal meneleponku.
"Ya elu bisa kan nelepon di wartel kek? keluar sebentar kek?" tuntut Iqbal.
"Terus maunya ente gimana? dateng ke mari? ke rumah bokap?" tanyaku kesal.
"Ketemuan kek di mana!"
"Di mana?! gue kan naek busway tiap hari!"
Di ujung sana kudengar Iqbal menghela nafas seperti berpikir.
"Ya udah.. elu dateng ke stasiun sore-sore pulang kerja. Gue tungguin di A-W!" pintanya.
****
31 Oktober, Stasiun Kota, sore hari...
Tadi saat masih di kantor aku sedikit terburu-buru untuk pulang agar bisa cepat-cepat sampai Stasiun Kota karena langit yang sudah gelap membuatku khawatir akan kehujanan. Saat bertemu dengan Iqbal aku disambut oleh wajah kesalnya. Dia duduk di bangku AW pojok dan tepat di hadapannya ada secangkir kopi yang sudah habis setengahnya. Sebelah kakinya dia goyang-goyangkan seolah-olah tak sabar menunggu penjelasan dariku.
Aku yang duduk didepannya memandangnya dengan tatapan membela diri, namun kedua lenganku yang terlipat agaknya membuktikan kalau aku sedikit defensif menghadapinya. Bagaimanapun memang kesalahanku tidak mengabari Iqbal secepatnya sejak kejadian itu. Apalagi kita baru saja mencoba menghangatkan kembali hubungan yang sempat mendingin sejak lebaran lalu.
"Enggak pesen makanan Rem?" tanyanya berusaha bersikap ramah namun sama sekali tidak terdengar pada nada suaranya.
Aku menggeleng.
"Coba kasih tau gue... apa ini salah satu alasan lagi buat ngehindarin gue?" tanya Iqbal datar.
Merasa mendapat kalimat bernada menyerang seperti itu aku tiba-tiba menjadi sangat malas untuk menjelaskan semuanya pada Iqbal. Lalu aku berdiri hendak pergi.
"Rem! elu enggak bisa seenaknya aja bersikap kayak gitu! mutusin sendiri balik kerja ke tempat lama.. terus bilang enggak mau ketemu lagi sama gue..." ujar Iqbal menghentikan langkahku.
Aku membatalkan niatku untuk pergi dan kembali duduk.
"Gue enggak liat ada pilihan lain..." ujarku lirih.
"Selalu ada pilihan!" potong Iqbal cepat.
Aku menggeleng-geleng tidak yakin.
"Jadi begini aja? elu pindah lagi ke tempat lama dan kita juga berakhir?" tanya Iqbal.
Aku mengangkat bahu. "Maunya ente gimana? dijadwal gitu ketemuannya? kayaknya enggak mungkin..."
"kenapa enggak?! kita sama-sama tinggal di Bogor kan?!"
"Bukan itu masalahnya..." kataku. Lalu aku menghela nafas dan melanjutkan, "gue cuma enggak tahan kalo misalnya ngebayangin kita enggak pergi sama-sama... gue akuin gue orangnya posesif dan cemburuan... makanya... gue takut ente kegoda sama cowok laen di kereta... mikirin hal gituan aja udah bisa bikin gue naik darah..."
Iqbal tertawa namun dengan wajah yang keheranan dengan penjelasanku yang memang tidak masuk akal baginya.
"Gue mau kenalan sama cowok yang mana sih Reeem?" tanyanya gemas.
"yah, gak tau! sama yang turun di Gambir itu kali? kan dia keren juga..." kataku sekenanya.
"Mana gue perhatiin?! malah elu kayaknya yang jelalatan!"
Aku diam. Iqbal pun tidak berkata apa-apa lagi melainkan menekan-nekan bagian di antara kedua alisnya dengan tangannya.
"Kalau soal ML... kapan aja ente mau, gue siap..." ujarku.
Rupanya perkataan itu malah membuat Iqbal semakin meradang.
"Elu pikir gue sedangkal itu? kenapa sih Rem? elu tuh hobi banget bikin gue pusing?"
Aku tak menjawab. Di tengah keramaian stasiun aku mendengar hujan mulai turun dengan lebatnya di luar.
"Jangan udahan..." kata Iqbal.
"Liat aja nanti Bang! gue belom bisa jawab..." kataku.
Samar-samar terdengar pengumuman bahwa kereta Pakuan terakhir akan masuk ke jalur duabelas.
"Tuh.. keretanya udah mau datang... jangan sampe enggak dapet tempat duduk." ujarku sambil meraih ranselku dan berdiri.
"Kita pulang sama-sama!" pinta Iqbal.
"Enggak bisa... baju kerja gue ada di rumah Bokap..." tolakku.
"Hujan..."
"Gue bawa payung..."
Iqbal menghela nafas lebih panjang dan bangkit dari tempat duduknya. Sebelum dia melewatiku dia kembali berkata, "jangan udahan Rem..."
"Kita lihat aja nanti Bang.." ujarku sekali lagi mengulangi kalimat yang tadi kuucapkan. Kemudian aku dan Iqbal berpisah jalan.
****
Aku memandangi hujan yang turun dengan derasnya dari jendela Busway. Lagu Flavor of Life milik Utada Hikaru yang sedang kudengarkan terasa begitu sesuai dengan suasana hatiku saat itu. Bagiku terlalu rumit... ataukah memang diriku sendiri yang membuat segalanya menjadi rumit? batinku. Lagi-lagi aku membuat ketidak-jelasan hubungan antara aku dan Iqbal. Pantaskah aku menyesalinya? mungkin ini dikarenakan aku sangat takut kalau sewaktu-waktu Iqbal akan meninggalkanku dan beralih pada cowok lain sementara kami masih saling berkomitmen, maka itu aku merasa lebih baik semuanya disudahi saja dari awal daripada harus mendengar kabar buruk di kemudian hari yang malah akan lebih menyakitkan. Kalau kamu anggap aku seorang pengecut, mungkin ada benarnya... karena aku orang yang tidak mau mengambil resiko dalam hubungan percintaan...
*****