It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Fffiiiuuhhh.... capeknyaaaa," Septi terus mengeluh capek sejak tadi.
Padahal tadi dia yang semangat 45 buat jalan-jalan. Kayaknya nih anak lagi pdkt sama Vivie. Dan Vivie itu suka jalan-jalan. Biasanya cewek kan emang suka jalan-jalan. Kalau sudah di mall...wiiii...cowok yang perkasa aja nih, bisa keok.
Ino yang ikut juga nampak capek. Dia memilih duduk di samping manekin. Akhir-akhir ini si Ino ikutan keluar dengan kami. Vivie dan Septi menerima dia dengan senang hati. Mereka berdua emang cepet akrab sama orang. Beda sama aku sebenarnya.
Aku berjalan ke arahnya sambil menyodorkan minuman dingin.
"Oh...thanks."
Aku memilih duduk di sampingnya. Sedangkan Septi masih setia ngikutin Vivie.
Untuk beberapa saat kami terdiam melihat ramainya orang.
"Udah baikan sama Erru? Sama Eggy juga?" tanya Ino sebelum meminum minumannya.
Ino taunya aku bertengkar sama Erru dan Erry, untuk jelasnya dia sih nggak tau.
Aku menggeleng pelan.
"Belum. Rasanya aku males ngomong sama mereka. Mereka itu aneh tau nggak sih. Susah berhadapan sama mereka."
Ino terkekeh pelan.
"Ya...kamu yang sabar aja. Mereka itu kan sedang bingung."
"Bingung apaan? Emang sifat mereka aneh saja."
Ino menatapku.
"Orang tuaku juga cerai, jadi aku tau gimana rasanya."
Aku menatap Ino.
"Sorry," desisku.
"Nggak apa-apa. Nggak usah minta maaf. Aku cuma mau cerita."
"..."
"Yaahh...sebagian besar anak yang sekolah di sekolah kita ini, pasti punya masalah keluarga."
"Iya, dulu aja aku sampai denger ada yang tertangkap karena narkoba ya?"
"Iya. Macem-macem masalahnya. Sampai sekolah sudah diawasi sama pihak berwajib."
"..."
"Untungnya Erru cuma kecanduan obat penenang. Yaaahh...nggak untung juga sih. Kalau bisa jangan sampai kecanduan apapun. Nggak ada untungnya."
Aku menghela nafas.
"Lagi ngobrolin apaan nih? Serius amat," Vivie yang sudah ada di belakangku tersenyum lebar.
"Lagi bahas cewek," sahut Ino.
"Iya percayaaaa...yang punya wajah cakep."
Ino terkekeh.
"Uuuhhhuukkk...." aku yang mendengar pujian Vivie buat Ino langsung melirik Septi yang cemberut.
Hahahahahaha....ya biarpun Ino itu albino, tapi wajahnya emang ganteng. Jadi kayak kebule-bulean. Lihat aja bulu mata dan alisnya, kuning keputih-putihan. Ya...hampir semuanya sih, rambut, matanya.
"Kenapa Vi?" tanya Septi saat Vivie terbengong melihat sesuatu.
Aku dan yang lainnya ikut melihat apa yang dilihat Vivie. Tapi cuma keramaian yang ada. Orang berlalu-lalang.
"Nggak..." desis Vivie sambil menatapku, "aku mungkin salah lihat sih. Cuma tadi aku kayak lihat...bu Anna."
"Huh??? Manaaa???" mataku kembali menjelajahi tempat itu.
"Sama...cowok."
...
...
"Salah lihat kali," sahutku, "soalnya waktu aku tanya dia ada dimana lewat bbm, dia bilang ada di rumah saudaranya."
"Oh...ya mungkin memang salah lihat."
"Siapa sih bu Anna itu??" tanya Ino penasaran.
"Pacarnya Ervan," sahut Septi.
"Nggak...belum," sahutku.
"Sana buruan di resmiin!!" goda Septi.
Vivie masih terdiam.
"Udahlah!! Apaan sih!!" aku menampol kepala Septi.
"Aku kalaaahh..." desis Ino.
Setelah dari mall, aku langsung pamit pulang karena memang nggak enak kalau pulang terlalu malem. Nggak enak sama papi. Aku pulang diantar Ino, sedangkan Septi ngantar Vivie.
Langkah kakiku berhenti saat melewati kamar Erru. Pintunya terbuka sedikit. Karena penasaran aku mengintip ke dalam. Aku lihat Erru sedang berdiri depan meja belajarnya.
Apa itu??
Obat??
Bukannya penggunaan obat dikurangi?
"Erru!!" aku langsung membuka pintu itu.
Erru terdiam menatapku. Dia memasukkan kembali obat itu ke dalam laci.
"Ngapain masuk ke kamarku?"
!!
Ya ampun. Sumpah aku tersinggung. Setelah dia memeluk dan menciumku tanpa izin. Dan bahkan dia nggak memperhitungkan perasaanku, sekarang dia mengusirku karena aku...ya...dia nggak mengusir juga. Tapi kan...
"Bukannya kamu nggak dibolehin minum obat setiap hari? Dan juga...obatmu..."
"Bukan urusanmu."
Aku menelan ludah.
Tanganku mengepal.
Wajahku rasanya panas.
Suaranya memang pelan, beda sama suara Erry yang bisa memprovokasi. Nada Erru juga kalem. Tapi nggak tau kenapa aku merasa emosi mendengarnya.
"Apaan sih kamu itu?! Aku itu cuma khawatir sama kamu."
"Itu...nggak perlu."
"Erru!!!"
Erru menghela nafas.
Dia duduk di mejanya. Wajahnya nampak putus asa.
"Aku minta maaf karena kejadian tempo hari. Aku jamin itu nggak akan terulang lagi."
...
Apaan...
Bisa-bisanya dia. Setelah dia menciumku dengan alasan...patah hati.
"Terserah," desisku sebelum keluar dari kamarnya.
"Mas Erry potong rambut ya?" teguran mbak Putri membuatku memegang beberapa helai rambut depanku, "aku kira tadi mas Erru yang pulang ternyata mas Erry."
Aku melempar tasku ke sofa.
Selain papi mamiku, mbak Putri yang bisa membedakan aku sama Erru. Tapi karena aku nggak suka terlalu rapi, aku mulai bereksperimen dengan mengecat rambut, atau melubangi daun telingaku alias tindik. Jadi semua orang bisa membedakan mana Erry dan mana yang Erru. Tapi pada dasarnya memang kami ini kembar identik. Dan tadi aku baru potong rambut. Sisa-sisa semir rambutku dulu sudah hilang.
"Mau kemana?" tanyaku saat melihat tas belanja mbak Putri melingkar manis di pergelangan tangannya.
"Mau beli obat, sama belanja sekalian. Tadi sih maunya nyuruh pak Yoyok yang jaga rumah. Kasian Lena badannya panas."
"Lhah ibunya kemana?" dengusku.
Jangan bilang kalau dia keluar lagi. Lama-lama dia jadi mirip...mami.
"Ibu tadi di ajak bapak pergi kondangan."
Halah...lama itu pasti. Tiga sampai empat jam.
"Udah di telfon belum? Terus Ervan mana?"
"Tadi aku sudah telfon ibu, tapi nggak aktif. Mungkin nggak ada sinyal kali ya disana? Nomernya bapak juga gitu soalnya. Kalau mas Ervan...belum pulang sejak tadi. Hpnya...ada dikamar. Nggak dibawa. Mas Errunya juga nggak tau pergi kemana."
Aku sih nggak tanya Erru.
"Aahh...payah," desisku, "udah sana buruan berangkat. Keburu panasnya makin parah."
"Tadi sudah aku kasih obat kok. Udah mendingan sekarang. Ya udah mas aku keluar dulu."
Saat mbak Putri keluar dari rumah aku berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Kamar Ervan terbuka lebar. Ada Lena yang sedang tidur di kasur.
Gimana sih mbak Putri, tau kalau ada anak kecil sakit, pintu di buka lebar-lebar. Bukannya aku ini perhatian. Tapi gimana kalau dia sampai kenapa-kenapa? Nanti yang disalahin yang ada di rumah saat ini dan itu aku.
Aku masuk ke dalam kamar itu sambil menutup pintunya. Kamar yang dulu milikku sekarang jadi benar-benar berbeda. Banyak poster motor gede dan poster alat musik, gitar. Tanganku memungut sesuatu di atas meja belajar.
Semvak.
Aku langsung membuangnya ke lantai. Setidaknya aku masih lebih rapi dari dia. Di atas meja ada beberapa bingkai foto kecil yang mungil. Ada foto...keluarganya. Ayahnya... Aku mengambil salah satunya. Ayahnya cakep. Pantes...menurun ke anak ceweknya. Lena.
Ini bukan pertama kalinya aku melihat kamar Ervan, dulu aku pernah bersandar di pintu kamarnya. Tapi aku nggak lihat isi kamarnya dengan seksama. Lagian aku terlalu fokus adu mulut sama Erru dan berakibat...aku tau kalau Jenus itu Ervan. Semua kekacauan itu awalnya dari sana. Rasanya kayak kutukan, setiap hari ada aja masalah yang datang.
Aku menghela nafas.
Kini aku berdiri di depan kaca yang tergantung di dinding. Aku ngeliat Erru di sana. Potongan rambut ini, hidung ini, mata ini, bibir ini, wajah ini. Semua hal yang aku benci darinya ada semua di diriku. Ini kutukan yang lebih mengerikan yang harus aku tanggung seumur hidupku. Kenapa aku dan dia harus sama secara fisik? Saat aku benci sama Erru, aku juga benci sama diriku sendiri. Sebisa mungkin aku merubah diriku supaya ada perbedaan diantara kami. Tapi saat ini...aku memotong rambutku, menatanya sama persis seperti Erru.
...
...
Apa yang aku harapkan?
Kedua mataku menangkap sesuatu di antara buku-buku yang berserakan di atas meja.
Kacamata...
Kacamanya Erru.
Si bajingan itu ninggalin kacamata di sini.
Wajah Erru yang aku lihat di kaca saat aku memakai kacamatanya.
"Dasar otak mesum," desisku saat ingat dia sering datang kekamar ini.
Tapi rasanya akhir-akhir ini sudah nggak lagi.
Mungkin setelah kejadian ciuman itu mereka...bertengkar.
"Ah... Erru..." rasanya jantungku hampir meledak saat melihat Ervan sudah membuka pintu kamar itu, "kamu...ada dikamarku."
Apa? Dia tadi manggil aku siapa? Erru??
Aku menelan ludah.
Dia berjalan masuk ke dalam kamar secara perlahan. Tapi saat melihat Lena tergeletak tak berdaya di kasurnya dia buru-buru berlari mendekat. Dia menyentuh kening Lena.
Bego! Makanya jangan kelayapan! Kalau punya adik itu di jaga. Kalau sakit gini gimana? Siapa yang mau tanggung jawab??
"Dia sudah minum obat. Sudah baikan."
Fvck!!!
Ngapain nada bicaraku kayak Erru???
Kalau terlalu lama disini bisa gawat rasanya.
"Makasih sudah jagain Lena," kata Ervan pelan tanpa menatapku.
"..."
Kayaknya aku harus pergi.
Kakiku pelan-pelan mulai melangkah. Tapi tarikan di bajuku membuatku harus berhenti.
Aku mencoba melihatnya. Dia menunduk.
"Jangan minum obat itu lagi. Aku bener-bener khawatir sama kamu," katanya pelan.
Dia masih memegang ujung bajuku dan masih menunduk.
Obat yang...di minum Erru? Obat penenang itu?
"Aku cari-cari info di google, kalau kebanyakan minum obat penenang...bisa membahayakan......hidupmu."
"Mati maksudmu?" aarrgghh mulutku kelepasan.
Tapi Ervan nampaknya masih nggak sadar kalau aku Erry.
Tapi jujur saja kepedulian Ervan ke Erru membuatku muak.
"Kalau bisa kamu cari penggantinya. Jangan terlalu tergantung sama obat itu."
"..."
Aku nggak tau harus ngomong apa. Rasanya aku memang harus pergi dari sini.
Sekarang kedua tangan Ervan malah mencengkeran erat bajuku.
"Kamu boleh tidur disini," kata Ervan pelan, "kamu juga boleh...menciumku. Asalkan kamu lepasin obat itu."
Hasem...ngomong apa tadi dia barusan? Dia?? Seorang Jenus mau ngasih tubuhnya ke Erru??? Apa nggak salah?
"Kenapa...kamu peduli?" desisku.
Kini Ervan menatapku.
"Aku...nggak mau liat orang yang...yang...meninggal di depanku lagi. Itu rasanya nggak enak."
Ah...ayahnya ya. Dia trauma? Tapi masa pakai obat penenang bisa bikin mati?
Ervan mendekat padaku.
"Kalau meluk dan nyium aku bisa gantiin obat itu...lakuin aja."
"Ervan..."
"Aku nggak suka liat kamu minum obat itu. Kalau bisa obat itu dibuang aja."
"Ervan denger dulu!"
"Aku bisa kasih kamu pelukan dan...dan...dan ciuman. Tapi aku nggak bisa suka sama kamu. Aku punya...punya...pacar. Jadi......"
!!!
Pacar??? Jenus punya pacar???
Aku menatap tajam Ervan, tapi dia langsung mengalihkan pandangannya.
Pacar? Dia punya pacar dan masih mau ngasih tubuhnya ke Erru? Terus kalau aku juga mau tubuhnya? Apa dia mau ngasih? Apa dia bisa sebaik ini sama aku yang nggak kecanduan obat?
Dadaku sakit. Kayak di remas-remas. Aku kalah...aku kalah lagi sama Erru. Si brengsek itu selalu saja...ngalahin aku. Semua yang aku punya selalu dia rebut. Semuanya...selalu kayak gitu.
Aku kenal Jenus lebih dulu dari dia. Aku kagum sama Jenus sebelum dia kenal sama Ervan. Aku yang pertama kenal dan aku yang pertama suka...
ERRU NGGAK BERHAK!!!
Aku menarik lengan Ervan. Ervan nampak kaget. Dia menatapku.
"Erru..."
"Bukannya kamu yang bilang kalau mau ngasih pelukan dan ciuman??" Jakun Ervan naik turun, "kalau gitu cium aku."
Ervan nampak terdiam sesaat. Sebenarnya ada keraguaan di hatinya saat mengucapkan persetujuan untuk dipeluk dan dicium dan sekarang, Erry yang terlihat seperti Erru baginya memintanya.
Wajah Ervan memanas. Tatapan tajam Erry membuatnya memejamkan kedua matanya. Dia hanya berharap adiknya tidak terbangun saat Erru (Erry) menciumnya.
Tapi saat Erry mendekatkan bibirnya, Ervan membuka kedua matanya.
"Tapi kamu harus janji dulu, nggak akan pakai obat itu setiap hari. Mulai dikurangi," katanya pelan , "kalau bisa nggak usah diminum."
Erry hanya terdiam. Ervan kembali menutup matanya.
Pemuda tanggung yang menyukai game rpg itu bukannya mencium atau memeluk Ervan. Tapi dia memukul kepala Ervan dengan keras.
"Aaaahhh!!! Apaan sih kamu itu?!" Ervan memegang kepalanya sambil menunduk tapi sedetik kemudian dia menatap Erry, "kamu...kamu....E...Erry??"
"Bego ya??!! Masa nggak bisa bedain mana aku mana Erru? Bukannya kamu sudah pernah tidur bareng dia bahkan sudah pernah ciuman juga?"
Wajah Ervan nampak merah padam. Dia langsung menjauh dari Erry. Salah tingkah terlihat jelas.
"Nggak...nggak usah keras-keras. Nanti Lena bisa bangun."
Ervan menggatur nafasnya, rasa terkejutnya membuat jantungnya terpompa keras.
Erry langsung melangkahkan kakinya.
"Bego," desisnya sambil menutup pintu kamar Ervan.
Srrukkk....bugh...
Ervan terduduk di lantai. Kedua tangannya memegang bibirnya. Dia tidak menyangka mengatakan itu semua di depan Erry.
"Begooo....begoooo!!!!" Ervan mengatai dirinya sendiri dengan kesal.
Dia menarik-narik rambutnya lalu mengacak-ngacaknya.
Jam pelajaran sedikit terganggu saat ada rapat guru. Dua jam mata pelajaran pertama sudah melayang entah dimana. Yang ada hanyalah keributan tanpa arah. Para siswa berjalan-jalan seolah sedang jam istirahat. Beberapa kelas nampak kosong karena siswanya sudah pergi entah kemana. Ada juga kelas yang terlihat lengkap penghuni karena tugas dari guru yang diberikan tadi pagi.
Para siswa sibuk mencari kesibukan sendiri. Ada yang jajan di kantin. Ada yang menggerombol di kelas dan di lorong-lorong. Ada yang bermain bola di lapangan. Ada yang ngegossip di sisi lapangan. Ada yang merokok di sisi kantin.
Sama halnya dengan Anton dan kawan-kawan. Dia sedang asik dengan dua temannya. Hanya ada satu wajah yang tidak terlihat.
Erry.
Entah apa yang mereka obrolin. Sesekali mereka terdiam, memainkan hp masing-masing. Ada yang bilang jika hp itu menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Terkadang juga mereka mengobrol dan tertawa bersama. Rudi menceritakan pacar dan mantan pacarnya yang bertengkar hebat. Sedangkan Cahyo mendengus tak senang.
"Aku itu penasaran sama kalian berdua," kata Cahyo yang rasa penasarannya sudah di ambang batas.
"Sama siapa? Aku sama Rudi??"
"Ya nggak lah. Kamu sama si Erry."
Anton menghela nafas.
"Oh iya, kalian itu sebenernya ngapain sih? Berantem??" kali ini Rudi juga ikut penasaran.
Sudah lama juga mereka bersikap biasa dan berpura-pura masa bodoh. Tapi lama-lama gerah juga mereka karena mereka nggak bisa kumpul berempat lagi. Setiap hari mereka giliran jalan sama siapa. Kalau Cahyo sedang jalan sama Erry, otomatis Rudi bareng Anton. Begitu juga sebaliknya. Tapi lama kelamaan kesabaran mereka habis. Apalagi saat ini Erry sedang tidak minat berkumpul dengan siapapun.
"Nggak baik tau diem-dieman lama. Dosaaaa...."
"Kayak kamu nggak banyak dosa aja," sindir Anton ke Rudi.
Rudi terkekeh.
"Nggak gitu. Kamu ngapain juga sih berantem sama tu anak?? Kamu kan udah tau dia kayak gimana. Masa masih bisa kepancing sama sifatnya sih?!"
"Karena kamu nggak tau sifat dia yang sebenarnya."
"Emangnya kamu tau?" Cahyo ikut bertanya.
Anton menghela nafas.
"Sudahlah! Ngapain sih kita bahas dia? Kayak nggak ada sesuatu yang berbobot buat di bahas."
Anton yakin seratus persen mereka akan ikut marah jika tau apa yang dipikirkan Erry tentang mereka. Mungkin saja mereka akan meninggalkan Erry begitu saja. Anton jauh tau betul bagaimana sifat Erry jika di bandingkan dengan Rudi dan Cahyo.
"Yang jelas kamu harus baikan sama dia," kata Rudi yang dalam nadanya tidak ada sedikitpun niat membujuk.
Hanya sebuah kata-kata tanpa dicerna lebih dulu.
"Ya nanti aku usahain," kata Anton yang beranjak dari duduknya.
Mereka bertiga sedang bergerombol di sisi lapangan melihat anak-anak bermain bola.
"Mau kemana?" tanya Cahyo.
"Mau ke toilet. Ikut??"
"Nggak."
Anton berjalan meninggalkan kedua temannya. Berjalan melewati segerombolan siswa dengan berbagai kesibukannya. Saat angin bergembus kencang membawa serpihan debu, Anton melihat Erry yang sedang menundukkan kepalanya. Erry menghindari debu yang akan masuk kedalam mata. Anton berfikir untuk mencari jalan lain tapi akhirnya dia mengurungkan niatnya.
"Kenapa..." desisnya saat melihat Erry berjalan dengan seorang cewek, "kenapa selalu cewek? Kenapa selalu orang lain??"
"Ervan," panggilan bunda terdengar saat aku sedang menyiapkan piring dengan mbak Putri.
"Ya bun??" sahutku tanpa menatap bunda.
Tanganku masih sibuk menata sendok garpu.
Kalau di rumah ini semua harus tertata rapi. Bahkan sendok garpu dan semuanya sudah harus pada tempatnya. Dirumahku dulu kalau mau makan ya makan aja. Nggak ada penataan kayak gini. Kalau laper ya silahkan makan.
"Panggilin Erru dong," kali ini aku langsung menatap bunda, "mbak Putri nggak berani masuk ke kamarnya."
Aku menatap mbak Putri kali ini.
"Mas Erru pernah marah ke aku mas. Karena jam tidurnya keganggu."
Erru?? Marah??
"Kayak apa sih marahnya mbak??"
Mbak Putri nampak berfikir. Bunda sudah kembali ke dapur.
Setahuku Erru nggak pernah ngeliatin ekspresi marah yang waaahhh...jadi aku sedikit penasaran.
"Ya gimana jelasinnya ya. Dari nada ngomongnya. Dari tatapan matanya. Kayak gitu lah mas."
Aku manggut-manggut.
"Kalau Erry sedang keluar ya mbak?"
"Iya. Kalau mas Erry lagi keluar sama temen-temennya."
Mbak putri sekarang menata letak piring.
Aku menatap ke lantai dua. Kamar Erru nggak kelihatan dari sini. Tapi...
Kayaknya mau nggak mau aku harus kekamarnya.
Pintu kamar Erru tertutup. Jendela kamarnya sih kebuka. Tirai putihnya bikin merinding. Jadi inget film horror. Tirai putih yang melambai-lambai.
"Erru..." panggilku pelan.
Tok...tok...tok...
"Makan malamnya udah siap nih."
Tok...tok...tok...
"Erru...??"
...
...
...
Dia ada di kamarnya nggak sih?? Aku mencoba mengintip dari jendela. Tirai putih tebal itu aku tahan dengan kedua tanganku.
Ada.
Erru sedang tidur.
Aku mencoba mengetuk pintunya lagi. Tapi dia nggak bangun-bangun.
Aku ketuk lagi tapi dia nggak bangun-bangun juga. Aku ketuk berkali-kali.
Kenapa sih dia ini? Tidurnya kayak kebo...
...
...
Apa dia minum obatnya lagi???
"ERRU!!!"
Aku panik.
Tanpa pikir panjang aku mencoba masuk lewat jendela. Susah. Tapi aku memaksa untuk masuk. Aku bisa denger kalau ada sesuatu yang berbunyi 'krek'.
Dengan susah payah akhirnya aku bisa masuk kedalam kamarnya. Aku buru-buru menghampirinya.
"Erru," aku menggoyang tubuhnya, "Erru!! Kamu nggak minum obatnya lagi kan???"
Dia masih nggak bangun.
Serius nih???
"Erru!!!"
...
...
Dia masih nafas kok. Dia mungkin meminum obat itu lagi.
"Udah aku bilangin juga," desisku sambil terus menggoyang tubuhnya.
Suasana kamar Erru yang cukup menakutkanpun nggak punya pengaruh apa-apa padaku. Yang dipikiranku cuma Erru yang tidur nggak bangun-bangun.
"Aku kasih tau bunda du..." baru juga aku mau melangkah pergi.
Tarikan di tanganku membuatku sadar kalau Erru nggak tidur.
Nah kan...dia memegang pergelangan tangan kiriku. Kedua matanya terbuka menatapku.
"Heh!! Jangan bikin panik!! Aku kira tadi kamu kenapa-napa gara-gara obat itu," dengusku kesal.
Aku mencoba melepaskan tanganku dari cengkramannya.
"Erru!! Lepasin!!"
Dia masih menatapku.
Tiba-tiba dia menarikku ke arahnya. Satu tarikan darinya membuatku jatuh di atas tubuhnya.
"Uuhh...Erru!!!"
Saat aku mau menjauh darinya, lagi-lagi dia menahanku. Kali ini dengan pelukannya.
"Aku senang...." desisnya, "aku senang kamu mengkhawatirkanku."
...
"Jelas dong. Jelas saja. Erru...lepasin."
"Nggak mau."
"Hei!!!"
Aku memukul-mukul dadanya.
Dia menatapku. Salah satu tangannya menahan kepalaku. Lalu dia mencium keningku.
Deg...deg...deg
Deg..deg..deg..deg..
Deg.deg.deg.deg.deg.
Degdegdegdegdegdeg
"Errruuu!!!"
"Sssttt...jangan keras-keras!"
"Erruu!!!"
Dadaku sesak. Debaran jantungku nggak terkontrol. Aku tau aku jadi aneh setelah dia menciumku dulu. Rasanya aneh. Aku nggak suka. Aku...
!!
Tangan Erru memegang pipiku. Dia membelainya. Sekuat apapun aku menghindari tatapan matanya. Tapi semua itu sia-sia. Nggak tau kenapa aku selalu dan selalu kembali menatap Erru.
Jakunku naik turun saat Erru menahan kepala belakangku dan mendekatkannya ke arahnya.
"E...Erru...." desisku.
Nafas Erru menerpa wajahku.
...
...
"Erru...makan malam...nya..."
"Selamat makan..."
Bibirnya menempel di bibirku. Aku menutup mataku rapat-rapat.
Ya benar...ini demi Erru. Ciuman ini untuk mengganti obat itu. Kalau aku bisa gantiin obat itu...aku rasa...ini nggak masalah.
Jari Erru mencoba membuka bibir bawahku. Dan kembali...Erru menempelkan bibinya.
Lembut...
Dan basah...
...
Lidahnya.
Masuk...
"E...rrr..." kata-kataku kembali ternggelam lidah itu menekan lidahku.
Nafasku sudah memburu. Dadaku semakin sesak. Wajahku rasanya panas. Jantungku...jangan ditanya.
Ciuman kami terlepas tapi dia langsung menjatuhkan tubuhku di atas kasur lalu dia sudah ada di atasku.
"E...Erru...kamu mau...ngapain??" tanyaku dengan nafas yang masih memburu.
Erru nggak menyahut. Dia cuma...menatapku tajam. Tatapannya seolah-olah menelanjangiku.
!!!
Mataku terbelalak lebar saat Erru menempelkan sesuatu di bawah sana. Aku kelabakan.
Ya...dia menempelkan juniornya yang bersarang di celana ke juniorku.
"Aaa....Erruuu!! Errr....!!!"
Dia menekannya lalu menggeseknya.
Aku makin kelabakan. Juniorku yang sudah membengkak dari tadi dipaksa menerima geseken demi gesekan.
"Haaaahh....haaaahhhh...." aku masih kelabakan.
Jangan....!!!
Ini nggak sesuai perjanjian!!!
....
....
Tapi sejak kapan ada perjanjian??
Kami belum berjanji apa-apa.
Erru masih menggeseknya di bawah sana. Aku berusaha biasa. Toh ini cuma gesekan. Cuma gesekan.
Aku menggigit bibir bawahku. Rasanya enak. Ditekan kayak gini rasanya...
Aku melingkarkan tanganku di leher Erru. Menariknya ke arahku dan aku menciumnya.
Aku tau aku gila.
Tapi ini enak banget.
BRAAAAAAAKKKKK!!!!!
Aktivitas kami terganggu. Erru melepaskan ciuman kami dan menatap ke arah pintu. Masih tertutup.
"Makan malam," sebuah suara yang aku kenal betul terdengar dari balik pintu yang tertutup.
Erry!!!!
Kejadian tadi ternyata punya dampak serius buatku.
Si brengsek itu!!! Erru!!! Dia....
Aku menghela nafas. Nggak...!!! Aku harus cari cara buat ngejauhin Jenus dari Erru. Nggak bisa kayak gini terus. Sampai kapan Erru mau memonopoli Jenusku???
Jenusku...
Jenus...ku...
Aku langsung membekap wajahku dengan bantal.
Serius nih aku suka sama Jenus?? Aku baru sadar kalau rasa sukaku ini nggak main-main. Jenus...Ervan. Sebenernya sih yang aku suka?? Jenus apa Ervan?
...
Tapi aku kesal banget sama mereka berdua. Terutama Erru. Kalau saja aku nggak menggebrak pintu kamarnya. Aku yakin...mereka sudah aha-aha dan ihi-ihi.
Mataku melirik jam yang di atas meja. Jam tiga pagi. Aku nggak bisa tidur. Kebayang Mereka ciuman pakai gesek-gesek. Jijik banget tau nggak sih.
...
...
...
...
Aaaaaaaaahhh!!!!
Bruuugghh...
Aku melempar bantalku jauh-jauh.
Brengsek...aku nggak bisa tidur.
Apa mereka sudah tidur? Kenapa aku sangat penasaran? Ya...normal sih kalau aku ini penasaran.
Aku menelan ludah.
Buru-buru aku keluar kamar. Dengan sangat perlahan mendekati kamar Erru. Aku menempelkan telingaku ke pintu yang tertutup itu. Sepi nggak ada suara apa-apa. Jendelanya tertutup rapat.
Cih...
Kali ini aku bergerak kekamar Ervan. Sama tertutup rapat. Jendela juga tertutup.
Saat aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Hpku bergetar.
Erru?? Bbm??
Erru : klo mw ngintip
Erru : bsk mlm
Erru : aku ksh tontonan buatmu
"BRENGSEK!!!!"
Erru :
Aku lupa...aku bener-bener lupa kalau sebelum jadi anak yang pendiam, Erru itu orang yang paling nyebelin. Dia orang brengsek yang nyebelin dengan otak mesum. Yah...mesumnya baru-baru ini setahuku.
Beneran deh. Kenapa aku bisa lupa. Erru itu iblis dengan muka malaikat. Ya...bukan mukanya sih...karena mukaku dan mukanya sama. Tingkah lakunya tuh yang selalu berpura-pura. Karena sifatnya yang itu banyak orang yang suka sama dia tapi benci sama aku.
Aku menjatuhkan tubuhku ke tempat tidur.
"Aku nyesel udah khawatir sama dia dulu."
Saat dia pingsan di sekolah. Mungkin lebih baik aku masa bodoh saja. Kalau aku yang pingsan juga...belum tentu dia sepanik aku. Dia egois. Dia seenaknya sendiri. Bermuka dua.
Kenapa aku harus lahir dari rahim yang sama dengannya???
Aku menghela nafas panjang.
"Aku nggak bisa...dari dulu aku selalu kalah. Nggak cuma perasaan papi mami, tapi sekarang juga Jenus dia ambil. Jenusku...Jenusku satu-satunya."
Ingatanku saat Jenus nolongin aku waktu antar server. Cuma Jenus yang bisa...membuatku merasa...berharga.
"Terus kenapa nilaimu turun? Wali kelasmu bilang ke papi kalau kamu itu sukanya main game di kelas."
Aku terdiam. Nggak bisa membantah. Yah...lebih baik memang gini sih. Daripada membantah terus mendapat ceramah lebih lama dan hasil terburuk bisa kena tampol.
"Yah...namanya juga susah pi," sahutku sambil memainkan jariku yang kulit jarinya terkelupas kena sabun mandi.
Aku nggak kuat kena murahan. Apalagi sabun batangan. Aku biasa pakai sabun dari dokter. Tapi karena si tante belinya sabun batangan terpaksa aku pakai itu. Kalau nggak dipakai nanti ngadu ke papi.
Papi lagi duduk di sofa depan, sedangkan aku bersandar di lemari hiasan. Lemari hiasan isinya kaca-kaca nggak penting, souvenir, dan lain-lain.
"Gitu kamu harus lebih giat belajar kayak Erru...dan....itu...."
Aku menghela nafas.
Kelanjutan kata-kata papi langsung nggak tertangkap telinga saat nama Erru dia sebut. Selalu Erru. Apa-apa selalu Erru. Selalu dibandingin sama Erru. Erru selalu ini, Erru selalu itu, bla...bla...bla... Erru mulu. Duniaku kayak berputar di bokongnya Erru. Aku berasa nggak di hargai sama sekali. Tiap aku dapet nilai bagus 'Ya memang seharusnya gitu.' Atau kalau nilai jelek 'Kenapa nggak kayak Erru.'
Kesel banget tau nggak sih?
"Erru itu nggak pernah ma..."
"Ya memang enak kalau jadi anak kesayangan. Apa-apa selalu di puji," dengusku kesal tapi bibirku tersenyum lebar.
Papi menatapku.
Tatapannya tajam menusuk.
Senyumku langsung hilang.
"Kamu nggak tau gimana Erru kerja keras selama ini dan... ... ... ... ...."
Papi terus mengoceh.
Astaga...dia nggak tau kalau anak kesayangannya itu...pecandu obat penenang. Gimana ya...kalau aku kasih tau dia?
...
...
...
Erru harus berterima kasih, aku nggak sampai hati buat ngadu ke papi.
Dan papi masih terus mengomel. Aku beruntung nggak kena bentak. Mungkin hatinya sedang bagus-bagusnya hari ini.
"Ya udah, papi mau keluar sama mamimu."
Mami...ah sama si tante.
Si tante sudah rapi dengan baju bagusnya. Pantes suasana hati papi bagus hari ini. Lena juga ikut.
"Pokoknya jangan sampai ujian kenaikan nanti nilaimu hancur kayak kelas sepuluh dulu."
Dan setelah itu mereka pergi keluar.
Aku kembali menghela nafas.
"Hati-hati," desisku entah kesiapa.
Nggak ada siapa-siapa juga. Mereka sudah pergi. Aku cuma pengen ngomong gitu aja sih.
Klek...
Suara pintu terbuka itu membuatku menatap ke sana. Aku kira papi atau tante kembali lagi buat ngambil sesuatu yang ketinggalan. Tapi ternyata...Ervan.
Aku masih menatapnya dalam diam saat dia kembali menutup pintu itu dengan wajah menunduk. Bahkan saat melewatiku dia juga menunduk.
"Ervan..." panggilku pelan.
Dia menatapku.
Dan tersenyum. Senyum aneh menurutku. Dipaksain.
???
"Darimana kamu? Udah makan belum?"
Dia cuma menggeleng.
"Emang kamu darimana??" aku kembali bertanya pelan.
"Dari rumah temen," sahutnya tanpa menatapku.
"Oohh...makan dulu yuk."
Dia kenapa?? Aku jadi nggak sampai hati buat ngomong kasar kedia.
"... .... ..... nggak nafsu," sahutnya pelan.
...
...
Aku menghela nafas lalu menariknya hingga ke meja makan. Tanpa banyak bertanya dan dia juga diem aja. Aku langsung ngambil nasi dan lauk untuknya. Lauk hari ini...pindang di bumbu sambal goreng. Ada sayur lodeh sih. Tapi pindang di bumbu sambal goreng enak lo. Ini masakannya tante.
Ervan menatap makanan itu tanpa ada niat buat menyendoknya.
"Di makan dong," kataku pelan.
"Nggak nafsu. Lena mana?"
"Ikut papi keluar."
"Bunda juga?"
"Iya," aku menatap piring itu, "mau aku suapin??"
Dia menggeleng.
Sumpah dia kenapa sih??
"Aku...baru putus."
...
...
...
"Huh??"
"Mungkin..." Ervan menatapku lalu tersenyum, "dia mau married sama temen kuliahnya dulu."
...
...
Aku harus gimana?? Ya ampun...maksudnya itu dia putus kan sama pacarnya?? Tadi dia bilang putus kan??
...
...
Wow...
...
...
Wooowww...
Aku hampir tersenyum tapi buru-buru aku tahan.
Ya ampun...hahahaha...
"Sorry..."
Eeehh...kenapa aku minta maaf coba?? Aku terlalu senang. Sampai aku merasa bersalah.
Aku menelan ludah.
"Bukan salahmu kok."
Jahat banget aku. Dia patah hati tapi aku bisa-bisanya berfikir itu keberuntunganku.
"Kamu...kamu nggak apa-apa kan?! Kamu baik-baik aja...kan?" tanyaku pelan.
Dia terdiam cukup lama sebelum menjawab, "apa aku kelihatan baik-baik aja?"
!!
Rasanya menatapnya dengan wajah yang putus asa gini jantungku terasa di remas pelan.
Deg...
Ervan meremas ujung bajuku.
"Aku...nggak pernah ngerasa kayak gini," desisnya, "sakit banget ternyata...ha...haha..."
"..."
"Dia...ninggalin aku. Cuma karena aku...lebih muda dari dia. Dia...ninggalin aku."
Ervan menghela nafas panjang.
...
...
Aku deg-deg an. Aku nggak mesum kayak Erru. Tapi ngeliat Ervan kayak gini...aku merasa dia sangat...manis.
Aku suka...
Entah dorongan darimana, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya.
"Mau aku buat lebih baik?" tanyaku pelan.
Dia menatapku. Hanya menatapku. Nggak ada satupun yang keluar dari bibirnya. Aku anggap itu persetujuan darinya.
Aku menelan ludah sebelum kembali mendekatkan wajahku ke arahnya. Nafasnya menerpa wajahku. Jantungku mengganggu. Detakannya itu lo. Ya ampun....YA AMPUN BIBIRKU MENEMPEL DI BIBIRNYA. DIBIBIR SEORANG...COWOK.
Haaa...haaaahhh....aku seakan kehabisan oksigen. Aku menciumnya dengan mata yang masih terbuka lebar. Sedangkan dia sudah menutup kedua matanya rapat-rapat.
Setelah beberapa saat hanya menempelkan bibir, aku menjilat bibirnya. Dari hembusan nafasnya aku tau kalau dia juga deg-degan sama kayak aku. Nafasnya cepat. Saat dia membuat sedikit bibirnya aku langsung menyelipkan lidahku masuk.
...A...astaga...jantungku. Sumpah tubuhku ikut bergetar gara-gara ini. Tanganku....juga gemetar. Dingin. Tubuhku mendadak dingin.
Lidahnya...aku menyentuh lidahnya dengan lidahku. Aku tetap menciumnya dengan lembut. Sampai dia menggigit pelan bibir bawahku.
"E...Erru...." desisnya sambil membuka pelan kedua matanya.
"..."
...
...
...
Huh?
~ Author Pov ~
Erru yang sedang menuruni tangga. Waktu makan malam. Langkahnya terhenti saat dia melihat ke arah meja makan. Saat itu juga dia membatu. Matanya sedikit membulat melihat adegan yang dia tangkap. Sedetik kemudian dia berkedip-kedip beberapa kali. Niatnya untuk ke meja makan hilang seketika. Dia putar balik. Naik lagi ke atas. Masuk ke dalam kamarnya. Dia menutup pelan pintu itu. Cukup lama dia berdiri di balik pintu yang tertutup.
Erru memegang keningnya dengan tangan kiri. Menyisir rambut depannya ke atas sambil menghela nafas. Lalu dia kembali menutup wajahnya dengan kedua tangan. Mengusapnya pelan, ketas dan kebawah. Berakhir setelah mengusap hidungnya. Dia kembali menghela nafas.
Sekali lagi dia menghela nafas panjang.
...
...
"E...erru," nama yang meluncur dari bibir Ervan membuat Erry membeku.
Erry menatap tajam Ervan. Dia menjauhkan wajahnya dari Ervan secara perlahan.
Wajah yang sama, suara yang sama, seperti di fotocopy. Mungkin hanya tanda lahir yang berbeda. Dan hanya beberapa orang yang bisa membedakan mereka berdua jika berpenampilan sama persis. Papi, mami, mbak Putri dan....
Anton.
"Makan dulu ya..." kata Erry pelan.
Ervan tersenyum.
Ervan mulai menyendok nasinya. Erry yang melihat itu ingin menyentuhnya tapi dia membatalkan niatnya saat ingat Ervan memanggilnya Erru bukan...Erry.
Perlahan-lahan Erry pergi dari sisi Ervan. Ervan hanya diam sambil terus menyuapkan nasi demi nasi kemulutnya. Dia menelannya tanpa mengunyahnya terlebih dulu. Dengan susah payah dia menelan semuanya.
Sesekali dia menghela nafas. Setelah beberapa suapan dia meletakkan sendoknya dan bersandar di kursi. Ingatannya kembali saat dia bertemu dengan Anna. Dia kembali menghela nafas. Kali ini dia memejamkan kedua matanya.
"Sial...." desis Erry saat dia sudah ada di dalam kamarnya.
Dia duduk di atas kasurnya dengan lutut terlipat. Dia menyembunyikan wajahnya di sana. Di antara kedua lututnya. Dia memeluk lututnya semakin Erat.
"Siaaall...." desisnya lagi.
Dari bekas tindik seharusnya semua orang tau jika dilihat dari dekat. Tapi sudah dua kali ini Ervan tidak menyadarinya. Ervan melewatkan tanda yang sangat jelas.
...
...
...
"Anna....kok nggak di makan?" tanya seorang pria sambil memperhatikan sang hawa.
Pandangan Anna yang jauh menembus derasnya hujan tak terusik sedikitpun. Tangan kanannya sejak tadi memegang hp dengan merk samsung yang ada di atas meja.
"Nggak laper."
Malam ini Lena tidur sama bunda. Sejak tadi pergi sama papi dan bunda dia agak rewel. Aku nggak tau ada apa. Mungkin dia memang lagi kangen sama bunda. Kadang sikap papi nggak bisa di terima sama anak sekecil Lena. Aku ragu Erru dan Erry dulunya juga...ya kalau di liat dari sifat mereka berdua, aku tau kalau papi sedikit kurang bisa mendidik anak.
Setidaknya aku bisa pastiin kalau Lena nggak tumbuh besar seperti Erru dan Erry.
Aku menghela nafas.
Rasanya aku males banget. Gimana ya bilangnya, aku nggak ada tenaga. Seperti...semuanya itu kosong. Nggak ada hal yang bisa membuatku bersemangat. Aku tau kenapa bisa seperti ini. Anna...ya karena aku baru putus dari Anna.
Aku tersenyum masam.
Berguling ke kiri sambil mendekap gulingku.
Putus? Jadian aja...kayaknya belum. Darimana bisa aku bilang kami putus? Sejak awal Anna selalu minta waktu buat mutusin hal itu. Tapi aku tau kalau dia sayang sama aku, jadi aku merasa kami sudah jadian dan ternyata...
Umurku ini masih terlalu kecil buat Anna. Usia cewek segitu pasti sudah ribut mau nikah. Mamaku aja nikah umur 22 kalau nggak salah. Kalau menurutku Anna jahat...terus aku ini egois? Aku lebih egois dari Anna. Aku mau membuat Anna bahagia nantinya. Tapi kalau Anna tetap sama aku juga...belum tentu dia bahagia. Kalau otakku sedang jernih-jernihnya gini aku bisa berfikir dengan baik. Memang aku masih kesal dengan Anna tapi rasanya aku juga tidak boleh menyalahkannya seperti itu. Apalagi melihat kedua orang tuanya Anna. Aku tau kalau hubungan kami pasti tidak akan pernah berhasil. Sampai kapanpun.
Aku menghela nafas panjang.
Rasanya ada yang salah. Aku harus tetap ketemu sama Anna. Aku harus bicara baik-baik sama dia. Aku nggak mau kalau Anna berfikir aku tidak bisa menerima keputusannya. Ya memang tidak terima sih. Tapi bukan itu yang aku mau. Aku mau Anna bahagia biarpun tidak denganku.
Aku tersenyum.
Bullshit banget rasanya kalau aku ngomong gitu. Tapi...serius...aku cuma mau Anna bahagia.
Tapi benar-benar...terdengar seperti omong kosong.
"Ayolah Ervan...dewasalah!! Berfikir lebih dewasa dan bijaksana!!"
Klek...
!!!
Entah kenapa aku refleks memejamkan kedua mataku saat pintu kamarku terbuka.
Siapa??
Erru??
Lena??
...
...
Dari langkah kakinya dan begitu senyapnya...pasti Erru.
Aku menelan ludah.
Jantungku seperti dipacu.
Hembusan nafas di telinga kananku membuat bulu kudukku meremang.
"Van..." panggilnya pelan.
Erru...
"Sudah tidur?" dia kembali berbisik.
Aku tidak bergerak. Instingku bilang...aku harus terus diam. Maksudku aku juga nggak tau harus ngapain kalau bangun. Lagian...dia pasti...melakukan sesuatu yang aneh-aneh supaya bisa tidur. Aku nggak mau dia tau aku masih terbangun. Rasanya jadi makin canggung. Apalagi tadi dia sudah menciumku dan...kapan hari itu dia...melakukan hal aneh dengan juniornya. Dia menempelkan juniornya ke punyaku.
Aku berusaha bernafas senormal mungkin saat dia mulai memegang bahuku. Padahal dia cuma memegang bahuku.
...
...
...
Nggak ada kegiatan yang terjadi. Dia hanya diam. Aku semakin panik. Mempertahankan posisi ini membuat tangan kiriku kesemutan.
Sedetik kemudian aku merasakan gerakan halus di belakangku. Dia mencoba tidur di belakangku.
"Dia tadi menyentuhmu kan?!"
???
"Di sini??" tangannya melingkar ke depan memegang bibirku.
Nafasku....
"Lalu di mana lagi? Di sini??"
??
????
Kali ini tangannya turun ke leherku.
"Apa dia membuat tanda di sini??"
Maksudnya apa sih? Aku nggak ngerti.
Bulu kudukku yang sempat menjinak kembali meremang saat aku merasakan ada sesuatu yang menempel di tengkuk. Mataku langsung terbuka lebar saat merasakan ada benda basah bergerak pelan disana, dari bawah ke atas. Lalu disertai kecupan demi kecupan.
Li...lidah??? Bibir???
Pompaan jantungku semakin tak terkontrol. Aku buru-buru memejamkan kembali kedua mataku.
Satu hisapan dileherku membuatku mendesah pelan. Terserah dia sadar atau tidak. Yang pasti aku nggak bisa mengontrol suaraku karena kaget.
Kali ini tangan kanannya yang nakal. Tangan yang tadi memegang leher depanku kini semakin turun kebawah dan semakin kebawah. Aku menyesal pakai baju dan celana yang longgar. Dengan bebasnya dia menyusupkan tangannya ke dalam bajuku. Dari gerakan perutku seharusnya dia sudah tau kalau aku masih terjaga. Tapi aku tetap menutup kedua mataku.
Erru masih sibuk dengan leherku. Dia menciumiku. Terkadang ciumannya merambah ke pipiku. Sedang tangannya hanya sebentar bermain-main di perutku. Yang aku rasakan saat ini ada sesuatu yang menempel di pantatku. Sesuatu yang...keras.
Aku menggigit bibir bawahku saat menyadari apa itu.
Erru....dia ini...mesum...
Dia menempelkan itunya ke pantatku. Menekannya sesekali. Beberapa kali...
Sampai...aku merasakan tangannya berusaha menyingkap celana pendekku. Dan sedetik kemudian...
!!!
"Aaaahhh..." desahku tanpa bisa aku kontrol saat merasakan sesuatu menyusup di sana.
Sesuatu yang hangat. Keras...menempel di kulitku. Kulit pantatku.
Kali ini mataku terbuka lebar. Nafasku benar-benar tidak terkontrol saat ini.
!!!
Sekali lagi Erru menekan-nekannya. Hanya di kulitku. Tapi tetap menyenggol juniorku.
Erru mencoba memiringkan daguku kearahnya. Mata kami bertemu. Dia tersenyum.
"Kamu masih belum tidur," katanya pelan dengan nada sedikit bergetar.
"Nnh..." sahutku sekenanya.
Aku mengalihkan pandanganku darinya. Rasa malu yang teramat sangat aku rasakan.
!!!
Dia kembali menekannya di kulitku. Kali ini ada sesuatu yang menggangguku. Ada yang ikut menusuk-nusuk dibawah sana.
"Nnhh...aaahhh...E...Erruuu...." kali ini aku benar-benar terganggu.
Erru hanya tersenyum samar sambil terus menekannya.
Aku yakin dia baru mencukur rambut kemaluannya. Rambutnya menusukku. Membuatku geli-geli gimana gitu.
Erru menarikku hingga aku terlentang. Tangannya tanpa izin menarik lepas celana pendek dan cdku. Aku ingin menolak tapi responku terasa lambat. Atau mungkin aku tidak merespon?
Aku menelan ludah saat Erru juga melucuti celananya. Kini dia menindihku. Bagian tubuh bawah kami bersentuhan. Kali ini aku panik. Apalagi saat dia mulai menempelkan juniornya pada juniorku dan...menekan-nekannya.
"Aaa...aaahh...." aku melemparkan pandanganku ke arah lain.
Aku tidak mau menatapnya. Aku juga tidak mau menyentuhnya. Aku tau ini salah tapi aku tidak merespon. Aku ikut menikmatinya.
"Aaaahh....E....Errruuu...." desahku saat merasakan sesuatu yang lebih enak lagi.
Kedua paha kami bersentuhan...junior kami bergesekan. Wajahku terasa panas. Dia menggerakkan kaki dan bagian tubuhnya yang lain dengan sangat perlahan. Erru menempelkan pipinya ke pipiku. Nafasnya terdengar menggebu. Dan kini dia mulai mengecup pipiku. Ujung bibirnya mengecup ujung bibirku dan berakhir dengan dia yang melumat bibirku. Kedua tanganku yang daritadi hanya diam tak bergerak kini melingkar di pinggangnya. Kakiku juga mulai ikut bergerak merasakan sensasi dari gesekan kedua kulit kami berdua. Lidahnya aktif di dalam mulutku. Basah. Kenyal. Dan....
Aku meremas bongkahan pantatnya dan menekannya ke arahku sehingga junior kami makin tertekan satu sama lain.
Insting seorang laki-laki??
"Aaa...aaaahhh....Er..van."
!!!
Gerakanku terhenti. Aku mencoba menatap Erru yang sedang menyembunyikan wajahnya di bahuku. Aku langsung melihat ke bawah. Bau khas tercium.
Dia....baru saja....
...
...
Aku menelan ludah.