"Jangan dekati dia, dia itu monster"
"Monster? Dia terlihat seperti manusia meskipun tampak menakutkan"
"Bodoh, apa kamu gak tau. Dia itu seorang cenayang yang bisa mengutuk orang"
"Cenayang?? Mengutuk??"
"Iya, menurut desas desus yang kudengar. Dia bisa mengutuk orang yang dianggapnya mengganggu dengan kutukan buruk bahkan kabarnya sampai ada yang meninggal"
"Ihh... Mengerikan"
"Liat aja penampilannya yang serba hitam itu"
"Dia mendekat, pelankan suaramu"
"Jangan tatap matanya, dia bisa menyertaimu dengan kutukannya hanya dengan tatapan matanya aja"
"Ihh... Dia benar-benar menakutkan. Ayo kita pergi aja sebelum terkena kutukannya"
Suara sumbang tentangnya selalu kudengar hampir tiap saat. Bukan hanya dari dua orang siswa yang tadi berbisik-bisik disampingku. Semua penghuni asrama disekolah ini gak ada yang mau berteman dengannya. Bahkan ketika dia melintas dikoridor tadi, gak ada satupun yang mau menatapnya. Semua siswa akan memilih menghindari berpapasan dengannya.
Comments
Namaku Diaz. Diaz Wangsa Dipura. Tapi panggil saja aku, Diaz. Aku juga murid kelas dua Fisika. Sekelas dengan si cenayang. Sebenarnya, aku sudah memperhatikan si cenayang ini sejak awal aku masuk sekolah asrama ini. Penampilannya yang mencolok membuatku tertarik.
Karena itu, saat tadi dia melintas didepanku. Aku langsung merangkul bahunya. Aku tau dia terkejut tapi aku bersikap seolah gak tau.
"Kenapa?" suaranya berat.
"Apanya?" aku menatapnya, dalam jarak sedekat ini aku bisa melihat bulu matanya yang letik, hidung yang ramping dan bibir yang berwarna sedikit kebiruan.
"Kamu gak takut denganku?" dia bertanya sambil menatapku. Aku tercengang sejenak.
Dia menatapku tajam sebelum akhirnya pergi meninggalkan ku yang masih menatapnya lekat. Aku menyentuh dada kiriku, bisa kurasakan jantungku berdetak cepat.
Dia menyimpan keunikan dimatanya. Keren. Istilah kedokteran meyebutnya Heterochroma iridium yang berati kelainan yang terdapat pada iris mata sehingga berbeda warna.
Aku gak tau apa penyebab hal itu, mungkin keturunan. Yang kutau Heterochroma iridium hanya terjadi pada binatang seperti kucing atau kuda. Aku gak tau kalo manusia juga bisa mengalami kelainan mata seperti itu. Karena itukah dia selalu menutupi matanya dengan poni panjangnya? Apa karena itu juga dia ditakuti?
Aku mengejar si cenayang itu yang sudah berjalan semakin jauh didepanku. Ketika jarak ku sudah semakin dekat dengannya, sebuah tangga tiba-tiba menghantam tubuhku. Aku terpelanting dengan kening menyentuh lantai lebih dulu.
Sosoknya hilang saat beberapa kawan datang menolongku. Pergi kemana dia? Apa dia yang membuat tangga itu terlempar kearahku? Tapi itu gak mungkin, diakan berjalan didepanku tadi. Tangganya datang dari arah belakang, apa jatuh dari atas?
Aku mendongak menatap langit-langit koridor asrama yang tampak terbuka, sepertinya benar kalo tangga itu jatuh dari atas. Tampaknya atap koridor asrama sedang direnovasi. Apa yang kupikirkan tadi? Sepertinya aku mulai terpengaruh omongan-omongan miring tentang si cenayang itu.
"Dasar bodoh, ngapain kamu dekati cenayang itu?" ucap salah seorang siswa yang menolongku.
"Lihat akibat kecerobohan ulahmu mendekati cenayang itu, kamu jadi kena kutukannya" ucap siswa itu lagi sambil mengantarku ke UKS.
Aku diam, sambil terus melangkahkan kakiku.
"Benarkah?" tanyaku.
"Tentu saja benar, dulu kami bertetangga. Waktu kelas dua SMP, dia hampir aja membakar ayahnya sendiri" jelasnya lagi.
"Kenapa dia melakukan hal itu?"
"Karena kemauannya gak dituruti, karena itu ibunya memasukannya ke sekolah asrama ini. Kamu tau, dari kabar yang kudengar si cenayang itu pertama masuk kesekolah ini sudah melukai kepala sekolah"
"Benarkah? Apa yang dilakukannya sama kepala sekolah?"
"Dia mengutuk kepala sekolah, dan akibatnya mobil kepala sekolah mengalami kecelakaan, beliau meninggal" aku menatap siswa yang tampak serius bercerita. Sepertinya siswa ini tau banyak hal tentang si cenayang.
"Sulit dipercaya" ucapku.
"Kamu gak percaya, lihat yang dilakukannya padamu" ucap siswa itu sambil menunjuk keningku.
"Itu semua karena kutukannya" tambahnya lagi.
"Oh iya, siapa nama mu?" tanyaku.
"Surya. Surya Permana" jawabnya mantap.
Cerita Surya tentang si cenayang itu membuat pikiranku melanglang keluar angkasa. Rasanya aneh, dijaman yang sudah maju seperti sekarang. Masih ada orang yang percaya pada kutukan. Lagipula kurasa tangga tadi jatuh karena kecerobohan orang-orang yang bekerja merenovasi atap koridor asrama. Bukan karena kutukan. Mungkin karena getaran saat aku berlari membuat tangga itu jatuh menimpaku.
Kalo karena kutukan, gak mungkin si cenayang itu membuat ekspresi terkejut.
Ahh aku semakin penasaran pada si cenayang itu.
Aku tersentak saat seseorang menepuk pundak ku.
"Keningmu sudah diobati, apa kamu masih mau melamun disana?"
"Ah maaf, dokter"
"Cepat kembali ke kelas mu" aku segera berpamitan pada dokter jaga di UKS dan secepat mungkin kembali ke kelas.
Saat masuk kelas, aku bertemu mata dengan si cenayang itu. Kuberikan senyum terbaik ku, dia menunduk. Beberapa teman tampak berbisik. Raiz menatapku heran, dia kawanku.
"Menurutmu?" jawabku lalu duduk disamping Raiz.
"Ingat Di, dia bisa mengutukmu"
"Kamu percaya hal itu, Iz?"
"Sedikit" ucap Raiz sambil menatapku.
"Hey, jangan biarkan gosip miring itu mempengaruhi mu Raiz" ucapku sambil menarik gemas kedua pipi Raiz.
"Aku hanya khawatir, Di"
"Khawatir apa?"
"Kawan-kawan lain bilang karena kamu gangguin dia, kamu kena kutuk, makanya kejatuhan tangga" ucap Raiz, aku ngakak.
"Aku kejatuhan tangga itu karena kecerobohanku, Iz. Lagipula kenapa kamu gak datang nolongin aku tadi?" protesku.
"Aku mau tolong tapi kuliat tadi kamu udah sama Surya" jawab Raiz.
"Kamu kenal Surya, Iz?" tanyaku, Raiz mangguk.
"Surya si raja gosip, aku sekelas sama dia waktu kelas satu" jelas Raiz.
"Ohh... Surya itu kayaknya tau banyak soal dia, Iz" ucapku
"Oh ya?"
"Tadi dia cerita banyak soal si cenayang"
"Jangan percaya Di, Surya itu suka melebih-lebihkan cerita" ucap Raiz.
Aku spontan menoleh kearah belakang saat kudengar suara meja dipukul dengan keras.
"Dasar pembunuh !!" bentak seorang siswa berperawakan besar sambil menarik krah jaket yang dipakai si cenayang.
"Lepas" berotak si cenayang.
"Pegang tangannya, cepat !!" perintah siswa besar itu lalu dua anak buahnya segera menahan tangan si cenayang.
"Apa mau mu?" tanya si cenayang, suara beratnya terdengar sangat tenang.
"Membuatmu jera, dasar pembunuh!" ucap siswa besar itu lantang.
**
"Siapa orang itu Iz?" bisik ku.
"Anak kelas tiga, Di. Dia anak mantan kepala sekolah yang meninggal karena kecelakaan" jawab Raiz yang juga berbisik. Oh, jadi dia anak kepala sekolah itu. Tapi kenapa aku gak tau berita itu??
**
"Lucuti pakaiannya" perintah siswa besar itu lagi. Dua anak buahnya segera menarik paksa jaket hitam yang dipakai si cenayang itu hingga koyak.
"Bagus, telanjangi dia hahaha" tawanya terdengar memuakan ditelingaku.
"Hentikan!" ucapku membuat Raiz mendelik padaku.
"Aku ketua kelas, kalian berhenti atau kulaporkan pada guru" ucapku sambil bersedekap.
"Cih!! Pikirmu aku takut dengan ancaman monyet kayak kamu!!" suaranya keras sekali.
Aku maju lalu menarik kuat si cenayang itu hingga dia menabrak ku. Aku sedikit terkejut saat merasakan tubuh si cenayang gemetar. Dia berusaha menutupi tangannya dengan jaket yang sudah koyak. Apa yang dia sembunyikan dibalik jaket hitamnya?
"Kamu!! MINGGIR !!" bentak siswa besar itu menggelegar.
"Gak" jawabku. Siswa besar itu terlihat geram, dia lalu meninjuku hingga aku tersungkur. Bibir dan hidungku berdarah.
"Anak monyet mau ikut campur!!" sebelum siswa besar itu menendangku, aku segera berdiri. Meski sedikit limbung tapi aku masih bisa menghindari tendangannya.
"Ada apa ini?!" ucap seorang guru yang datang bersama Raiz.
"Siapa yang membuat onar dalam kelas!?" tanya guru itu, aku langsung menunjuk siswa besar itu.
"Kingkong" ucapku.
Aku melangkah sedikit terhuyung-huyung.
"Pak, apa boleh saya mengantar Diaz ke UKS dulu?" itu suara Raiz.
"Biar aku aja yang antar" suara berat itu membuat seisi kelas menatapnya.
"Ya sudah biar Toni yang mengantar Diaz" ucap guru bp itu lalu pergi di ikuti siswa besar dan dua anak buahnya.
Raiz menatapku cemas, aku menepuk bahunya sebelum keluar dari kelas menuju UKS. Dokter jaga UKS tampak shock menatapku. Lalu menatap si cenayang horor.
"Apa hidungku patah dokter?" tanyaku.
"Gak, hanya terjadi pendarahan akibat benturan. Obat ini akan menghentikan pendarahannya" ucap dokter itu lalu memberiku obat.
"Terimakasih dokter" ucapku.
"Sekedar saran, sebaiknya berhati-hatilah memilih teman" ucap dokter itu lalu pergi. Apa maksudnya?
"Te... Terimakasih" aku menatap si cenayang lekat. Apa tadi dia berterimakasih padaku?
"Aku Diaz, kamu siapa?" tanyaku.
"Anthoni. Anthoni gotthard" jawabnya sedikit tersipu.
"Ayahku orang belanda" jelasnya sambil memperbaiki letak jaketnya. Mungkin karena itu matanya jadi unik, batinku.
"Lepas aja jaket itu" ucapku sambil memperhatikannya. Toni tersentak lalu menatapku.
"Apa?" tanyaku heran. Dia menggeleng lalu melangkah mendahului ku.
Aku menyusulnya kemudian, meski langkahku gak bisa secepat Toni. Kami akhirnya berkumpul diruang bp.
Setelah mendapat ceramah yang panjang dari guru bp, kami disuruh bermaafan. Sebenarnya, aku gak bisa mendengarkan dengan jelas apa yang guru bp itu bilang, entah kenapa telingaku jadi berdengung. Makin lama dengungan ditelingaku makin kencang.
Aku bahkan gak bisa mendengar suaraku sendiri, aku berusaha berteriak karena panik. Guru bp terlihat bingung, Toni menatapku lalu menahan tubuhku. Aku mendorongnya dan berlari kejalanan.
Toni dan siswa besar itu mengejarku. Aku berteriak sekerasnya, tapi aku tetap gak bisa mendengar suaraku. Lalu sesuatu menabrak tubuhku.
"Di?? Kamu sadar?"
"Iz...."
"Di akhirnya kamu sadar, tunggu disini aku panggil dokter" Raiz melangkah keluar ruangan dengan tergesa.
Gak lama dokter datang, setelah memeriksa kondisiku dan memastikan aku baik-baik aja, dokter lalu kembali keruangannya.
"Aku kenapa Iz?" tanyaku.
"Aku gak tau jelas kamu kenapa Di. Yang aku tau kamu ditabrak motor. Kamu pingsan tiga hari. Aku takut banget Di, aku takut kamu pergi ninggalin aku" ucap Raiz dengan mata berkaca. Raiz gampang sekali terbawa perasaan.
"Ditabrak motor??" lalu ingatan tentang kejadian diruang bp bermunculan dalam pikiranku.
"Ini pasti karena kutukan si cenayang itu. Aku akan beri dia pelajaran" ucap Raiz kesal.
"Bukan karena dia, Iz. Telingaku mendadak berdengung keras, karena panik aku jadi gak bisa mengontrol emosiku. Bukan karena kutukan" jelasku.
"Telingamu berdengung??" tanya Raiz, aku mangguk.
"Aku gak tau, aku gak pernah ngerasain sebelumnya"
"Jangan-jangan karena...."
"Sebaiknya ku tanyakan langsung aja sama dokter" potongku, karena aku bisa menebak kemana arah omongan Raiz.
"Mungkin tante Suci sudah melakukannya" ucap Raiz.
"Hah? Kamu kasih tau mama, Iz?"
"Kamu pingsannya lama, aku takut jadi aku telpon orangtua mu"
"Hizz, mama pasti akan menceramahi ku"
"Tabahkan hatimu, Di" ucap Raiz menahan tawa, dasar!!
Mama datang ketika hari menjelang sore. Begitu melihatku, mama langsung memeluk ku penuh sayang. Tapi gak lama setelah itu.
"Mama tadi dari asrama, kamar adek kotor banget. Baju kotor dimana-mana, bau. Buku sama sampah nyampur jadi satu, jorok" omel mama sambil menyentil hidungku. Kuberi tatapan membunuh pada Raiz yang tersenyum sangat lebar.
"Pantesan gak ada yang betah sama adek. Jangan begitu nak, nanti adek gak punya teman. Tadi udah mama rapikan semua dibantuin nak Iwan, adek harus lebih rajin setelah ini"
Kesal melihat ledekan Raiz, kulempar dia dengan apel diatas meja kecil disamping bangsal.
Dengan sigap Raiz menangkap apel itu lalu menggigitnya.
"Apelnya manis tante. Adek mau?" ucap Raiz penuh kepuasan.
"Awas kamu" dengusku jengkel.
"Sudah-sudah, nanti jangan lupa bilang makasih sama nak Iwan, dek" ucap mama sambil menyuapiku bubur yang tadi dibawanya.
"Iwan siapa, ma?" tanyaku.
"Kingkong, Di" sahut Raiz.
"Kingkong? Ah iya, siswa besar itu. Kok aku bisa lupa" ucapku sambil menepuk keningku sendiri.
"Aku gak pikun!" sahutku kesal.
"Udahlah, terima kenyataan aja kalo kamu pikun, Di"
"Raiz!!" bentak ku sambil melotot. Raiz menjulurkan lidahnya.
"Gak apa-apa, kalo adek lupa, boleh tanya sama mama" ucap mama sambil mengusap rambutku.
"Kalo Raiz yg lupa, boleh tanya juga gak tan?"
"Boleh, siapa aja boleh tanya" jawab mama sambil tersenyum. Kalo kupikir-pikir, aku memang gak bisa mengingat banyak hal. Aku juga sering lupa, bahkan untuk sesuatu yang baru ku dengar aja aku bisa lupa.
"Ma, kenapa Diaz pikun?" tanyaku, mama menatapku lembut.
"Adek hanya kurang fokus, jadinya gampang lupa" jawab mama sambil mengusap pipiku.
"Tapi ma..."
"Sudah gak usah dipikirkan, cepat habiskan buburnya terus minum obat" ucap mama lagi.
"Tan, besok sekolah libur. Jadi malam ini Raiz mau disini nemenin Diaz" ucap Raiz, mama mengangguk setuju.
"Kalo gitu nanti tante pulang dulu, adek sama Raiz ya" aku mangguk.