It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
lah?? Tante suci itu mamanya Diaz kak @lulu_75
Malamnya, kawan-kawan sekelas ku datang menjenguk. Termaksud si cenayang, tapi dia gak masuk, dia hanya berdiri dipintu sambil menatapku.
Baru setelah kawan yang lain berpamitan pulang, si cenayang itu mendekatiku. Raiz menatap tajam padanya.
"Kamu keliatan lebih sehat, Yas" katanya lalu duduk disisi tempat tidurku.
"Kamu tau namaku?" tanyaku, si cenayang terlihat mengerutkan keningnya. Lalu menatapku dan Raiz bergantian.
"Di, kita ini sekelas. Jadi sudah pasti Toni tau nama mu" ucap Raiz. Si cenayang mengangguk tanda setuju dengan ucapan Raiz.
Aku diam, mencoba meningat apa aku memang kenal dengan si cenayang itu.
"Yas, kenapa diam?" tanya Toni.
"Ah aku hanya sedikit lupa" elak ku, Raiz menatapku cemas.
"Aku bawakan sesuatu buatmu. Ini buatan ibuku" ucap Toni sambil mengeluarkan sebuah kotak dari dalam ranselnya.
"Apa ini?" tanyaku lalu menerima kotak yang Toni berikan.
"Ini manisan, ayo coba" Toni mengambil satu manisan berbentuk dadu sebesar bawang lalu menyuapkannya padaku.
"Aku minta" lalu dengan kasar Raiz merebut kotak manisan dipangkuanku.
"Manis, sama sepertimu" ucap Raiz lagi sambil menatap Toni. Toni menunduk, wajahnya terlihat merona.
"Terimakasih" ucap Toni pelan.
"Aku gak tau kalo kamu juga bisa bersikap normal. Bukankah biasanya kamu mengutuk orang" ucap Raiz tajam. Toni menunduk semakin dalam. Aku menatap Raiz kesal. Mulutnya busuk sekali.
"Tapi, aku gak keberatan kalo dikutuk orang semanis kamu" ucap Raiz membuatku tersedak manisan. Toni mengangkat wajahnya yang merah seperti tomat, dia tampak gugup.
Aku merasa ada sesuatu yang Raiz dan Toni sembunyikan dariku. Mereka terlihat sangat dekat.
"Tapi sayang, hatiku hanya untuk Diaz" ha? Raiz ngomong apa sih? Kenapa dia jadi ngelatur.
Toni segera beranjak dari tempatnya duduk lalu berlari keluar.
"Toni...." panggilku sambil kebingungan.
"Biarkan dia" ucap Raiz cuek.
"Ada apa sebenarnya, Iz? Kenapa mulutmu jadi jahat?"
"Si cenayang itu. Dia bilang kalo dia mencintaiku"
"Apa??"
Makasih sudah mampir.
"Iz jangan bohong"
"Aku serius Di"
"Tapi ini gak mungkin, aku bahkan gak pernah melihatnya mendekati mu, Iz"
"Itu karena aku gak memberinya kesempatan"
"Kamu juga gak pernah cerita apa-apa soal ini sama aku, Iz"
"Karena aku merasa itu bukan hal yang penting untuk diceritakan" Raiz emosi.
"Gimana kamu bisa tau kalo Toni suka kamu, Iz?"
"Tiga bulan belakangan, aku sering menerima surat kaleng dalam lokerku. Mulanya aku mengabaikan semua itu, tapi lama kelamaan aku muak. Jadi aku menyelidiki siapa pengirim surat kaleng itu dan ternyata itu Toni. Aku memergokinya saat dia memasukan surat cinta itu ke lokerku"
"Tiga bulan, selama itu. Tapi aku gak pernah tau. Lalu apa saat kamu pergoki, Toni mengakui kalo dialah pengirim surat kaleng itu?" ucapku sambil menatap Raiz yang terlihat gusar.
"Tapi Iz, apa yang terlihat kadang gak sama...."
"Ah udah! Aku malas membahas ini" bentak Raiz, aku hanya menghela nafas.
Kurebahkan lagi tubuhku ke bangsal lalu memunggungi Raiz. Aku cari tau sendiri aja nanti kalo dokter sudah mengijinkan aku pulang.
"Di....." Raiz menyentuh lenganku yang masih diperban. Eh?? Tunggu, sepertinya aku melupakan sesuatu. Sejak Raiz bilang kalo aku ditabrak motor, aku sama sekali belum memeriksa kondisi tubuhku.
Maksudku, apa tubuhku masih lengkap atau ada yang kurang? Selain kening dan lenganku sepertinya gak ada lagi yang diperban. Tapi kalo luka-luka ku seringan ini, kenapa aku pingsan sampai tiga hari?
Aku bangkit dari posisiku yang semula berbaring lalu menyibakan selimut yang menutupi tubuhku.
"Ada apa Di?" tanya Raiz bingung. Mataku menangkap kotak ditangan Raiz.
"Apa itu?" tunjuk ku pada kotak yang Raiz pegang.
"Hah?? Ini? Manisan" jawab Raiz.
Cepet sembuh Diaz
@boyszki
"Enak gak? Aku mau coba" ucapku sambil mendekati Raiz.
"Di? Kamu gak apa-apa?" tanya Raiz dengan kening berkerut.
"Memang aku kenapa?" tanyaku sambil mengunyah manisan yang terasa manis dilidahku.
"Di???" Raiz menatapku khawatir.
"Iz, aku pingin kencing" ucapku lalu turun dari tempat tidur. Tapi baru aja kaki ku menempel dilantai, kepalaku berdenyut sakit. Aku meremas kepalaku sendiri sampai Raiz menangkap tubuhku.
"Di !! Dokter !!!" Raiz berteriak keras, sambil membaringkan kembali tubuhku.
Aku gak tau yang terjadi sesudah itu, semuanya terdengar sangat berisik, tapi aku bisa rasakan sesuatu menusuk lenganku. Lenganku yang lain, yang gak diperban.
Perban?? Oh iya, tadikan aku mau mengecek kelengkapan tubuhku, kok malah lupa?
"Iz....."
"Ya Di, tenang ya jangan banyak gerak dulu. Nanti kepala mu sakit lagi"
"Iz, kaki ku masih ada?"
"Apa??"
"Kaki ku, apa masih lengkap?" ulangku.
"Kaki? Masih Di, masih utuh" ucap Raiz sambil menyentuh kedua kaki ku. Baguslah, artinya aku sehat.
"Adek !!" aku menoleh dan mendapati papa sedang duduk diluar kamar.
"Pa, Diaz pingin pipis" jelasku.
"Didalam ada toiletnya nak, ayo papa tunjukin" ucap papa sambil menggandengku.
"Pa, Raiz mana?" papa menatapku sejenak lalu mengusap rambutku.
"Raiz tidur, itu" papa menunjuk Raiz yang tidur sambil duduk disisi bangsal, tadi aku gak liat ada Raiz disana.
Aku mengeluarkan semua cairan yang mengisi penuh kantong kemihku. Lega. Papa kemudian kembali menggandengku menuju bangsalku.
"Pa, kapan Diaz bisa pulang?"
"Besok"
"Sungguh?"
"Iya, sekarang adek tidur lagi ya ini masih malam" ucap papa sambil menyelimutiku. Raiz membuka matanya tiba-tiba karena gerakan yang kubuat.
"Om?" ucap Raiz parau.
"Iz, besok aku udah bisa pulang" ucapku senang. Raiz hanya menguap tanda masih ngantuk.
"Iz, tidur sini" ucapku sambil menunjuk sisi kanan tempat tidurku. Raiz beranjak dari kursinya, setelah mengulet. Raiz merebahkan tubuhnya disampingku.
"Di, kamu udah gak marah?" tanya Raiz.
"Marah kenapa??" tanyaku sambil menatap Raiz yang juga menatapku.
Raiz mengusap pipiku, dia menggigit bibirnya sendiri. Jemarinya mengusap bibirku, aku menarik jarinya. Setelah tersenyum pada Raiz, aku menggigit jarinya.
"Aww !!" Raiz merengut sambil meniup jarinya.
"Tingkahmu kadang aneh Iz" ucapku.
"Jahat" ucap Raiz.
"Kamu naksir aku, Iz?" tanyaku.
"Gak, masa aku naksir orang pikun" ku tendang Raiz hingga jatuh dari atas bangsal ku. Rasain.
"Bunyi apa nak?" papa setengah berlari masuk kembali kedalam dan mendapati Raiz duduk dilantai.
"Raiz ditendang om sama Diaz" cih tukang ngadu, batinku.
"Adek?"
"Raiz ngatain Diaz pikun, pa" sewotku, Raiz nyengir.
"Kamu juga nakal, Raiz" ucap papa sambil membantu Raiz berdiri.
"Raiz cuma canda, om" Raiz cengengesan, aku menatapnya kesal. Papa mengusap punggungku pelan.
"Raiz gak serius, dek. Gak usah diambil hati" ucap papa, aku tetap merengut.
Aku memang sedikit pelupa tapi aku gak pikun. Aku kesal tiap kali Raiz menyebut kata pikun. Kawan macam apa begitu.
"Pa, kenapa Diaz pikun?" tanyaku, papa tampak terkejut dengan pertanyaanku.
"Adek gak pikun, hanya kurang fokus aja" jawaban papa sama aja kayak mama tadi siang.
"Tapi Diaz sering lupa, pa"
"Gak apa-apa, kalo lupa adek boleh tanya sama papa"
"Diaz sakit ya pa?"
"Kata siapa? Jagoan papa sehat begini" aku menghela nafas mendengar jawaban papa.
Mama sama papa sama aja, kalo ditanya pasti jawabannya gak apa-apa, kalo lupa boleh tanya. Aku bosan mendengarnya. Aku ingin jawaban yang bisa membuat hatiku lega, bukan sekedar ucapan yang bermaksud menenangkan tapi justru membuatku bosan.
Mama terlihat sedih, sedang papa menepuk-nepuk bahu Raiz. Ada apa? Apa yang mereka obrolkan? Jangan-jangan ngomongin aku. Aku buru-buru berpakaian lalu mendekati ketiganya. Mereka menatapku lekat.
"Apa?" tanyaku bingung. Mama senyum lalu menghampiri ku.
"Adek pake jaket ya, biar gak masuk angin" ucap mama sambil memakaikan jaket padaku.
"Ma..."
"Iya nak"
"Ada apa? Kenapa semuanya ngeliatin Diaz serius begitu?" tanyaku.
"Gak ada apa-apa. Yuk kita berangkat sekarang" ucap mama yang langsung disetujui papa juga Raiz.
Aku tau, mereka menyembunyikan sesuatu dariku. Aku bisa rasakan perubahan sikap papa, mama juga Raiz saat menatapku tadi. Raiz bahkan melongo.
Apa yang salah denganku? Aku memandangi diriku sendiri. Rasanya gak ada yang salah denganku. Tapi kenapa semuanya jadi canggung. Mereka pasti menyembunyikan sesuatu dariku. Aku harus mencari tau.
Dikoridor menuju kamarku, aku berpapasan dengan Toni. Dia menunduk saat aku dengan sengaja menghalangi langkahnya.
"Yas" ucap Toni, suara beratnya saat menyebutkan namaku membuat dadaku deg-degan.
"Mau kemana?" tanyaku sambil melepaskan jaketku.
"Ke kamarku" Toni menjawab sambil menatapku. Garis hitam dimatanya membuatku merinding. Kenapa Toni memakai celak dimatanya. Wajah pucatnya itu ditambah garis hitam dimatanya membuat Toni terlihat seperti setan.
"Oh oke" ucapku lalu menyingkir dari hadapannya.
"Yas bajumu"
"Bajuku? Kenapa?" aku spontan menunduk melihat kemeja ku.
"Baju mu terbalik" ucap Toni, aku melongo sejenak. Lalu buru-buru melepas kemejaku.
Tapi saat memakai kembali kemeja ku dengan posisi yang benar, entah kenapa aku kesulitan memasukan kancing kelubangnya.