BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

CAGE of MEGALEIO - MARSANIANS (END)

17810121317

Comments

  • edited October 2015
    14| BLUE


    Neil berjalan perlahan meninggalkan kami. Sesekali ia menoleh, menatapku beberapa saat lalu terus berjalan. Punggungnya semakin lama semakin menjauh, lalu menghilang.

    Aku membantu Miro berjalan hingga sampai tenda. Aku segera membantunya masuk dan membaringkannya.
    Sepertinya pukulan Neil cukup keras hingga ia seperti ini.

    Aku pun segera masuk Ble, menuju kabin. Mencari obat-obatan dan mengambil semangkuk air hangat dan handuk bersih.
    Aku menyuruhnya menyeka memar dipipinya dengan es yang ku balut handuk. Sedangkan aku membersihkan luka disudut bibibirnya.
    Saat ku buka kemejanya, ternyata pukulan Neil membuat perut Miro memar dan membiru.
    Oh, God! Kenapa bisa sampai seperti ini.

    Ku seka memarnya dengan handuk hangat, lalu memberinya salep.

    Seusai mengobatinya, aku membantunya minum obat.

    "Thanks, Alan!"

    Aku mengangguk, lalu menyelimuti tubuhnya.
    Aku duduk disampingnya. Menatapnya beberapa saat.

    "Tidurlah! Kau tampak letih. Besok kita akan menempuh perjalanan yang jauh."

    Aku hendak menulis sesuatu, namun R-Trix ku tertinggal ditenda Neil. Ia tampak mengerti apa yang sedang ku pikirkan.
    Ia mengulurkan miliknya.

    Aku pun segera menulis,
    (Istirahatlah! Dan besok biar Lyra saja yang mengemudi. Ia bisa menjalankan Ble.)

    "Apa yang terjadi?" ia malah menanyakan masalah tadi.

    Aku hanya menggeleng, lalu menulis.
    (Lupakan saja! Hanya masalah sepele.
    Apa yang kau lakukan malam-malam begini dihutan?)

    "Oh, aku buang air kecil sekalian mencari kayu karna api unggunnya mati."

    (Oke, istirahatlah!)

    Miro mengangguk, lalu menyuruhku untuk istirahat juga. Namun aku menolak dan takkan tidur. Aku akan menjaganya, kalau dia butuh sesuatu sewaktu-waktu.
    Ia sedikit memaksa, namun aku bersikukuh takkan tidur. Dan menyuruhnya segera tidur.

    Kejadian tadi masih berputar-putar dikepalaku. Aku tak menyangka Neil bisa setega itu. Kesal sih dan sedikit kecewa.

    Beberapa menit kemudian tanpa sadar aku tertidur. Saat pagi menjelang, aku sudah tertidur disamping Miro.
    Ia tampak masih terlelap nyenyak. Aku tak ingin membangunkannya.

    Aku segera beranjak dan keluar dari tendanya. Saat itu juga aku melihat Neil tengah duduk melamun didepan api unggun. Entah sejak kapan...
    Ia menatapku beberapa saat, lalu berjalan menghampiriku saat tahu aku keluar dari tenda.

    Aku menghela nafas. Berusaha menghindarinya namun tak dapat ku lakukan.
    Aku malah berdiri tak bergeming didepan tenda.

    Ia menatapku. Hendak menggenggam tanganku, namun ia menarik tangannya lagi.
    Matanya berkantung, kulit dan bibirnya pucat, serta rambutnya acak-acakan.
    Dan parahnya ia hanya memakai jeans hitam itu. Bertelanjang dada ditengah udara sedingin tadi malam.

    Apa jangan-jangan sejak tadi malam dia duduk disana?
    Udara tadi malam kan benar-benar dingin.

    Aku mendaratkan telapak tanganku didahinya. Astaga, ia demam tinggi.
    Saat ku sentuh lengannya, tubuhnya sangat dingin.

    Apa sih yang ada dipikirannya? Kenapa dia malah duduk disana semalaman?

    Ia tak mengatakan apapun. Hanya terus menatapku.

    Saat ku baca pikirannya, ia terus mengucapkan kata maaf, dan bahwa ia sangat mencintaiku.

    Aku hendak berlalu, namun hati ini tak kuasa meninggalkannya seperti itu. Sontak aku mengajaknya masuk ke tenda. Membaringkannya dan menyelimuti tubuhnya.
    Ku genggam tangannya dan ku tiup-tiup. Ku gesek-gesek beberapa kali dengan kedua tanganku. Mencoba membuatnya lebih hangat.

    Ia menatapku dalam-dalam. Membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, namun kemudian ia mengurungkan niatnya.

    Aku berlalu, segera memanaskan air dan menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sup.
    Setelah matang, aku segera kembali dan menyuapi Neil. Ia memakan setiap suapanku.
    Lalu aku menyuruhnya meminum obat.
    Namun setelah dua mangkuk sup habis, tubuhnya masih saja dingin.
    Aku semakin cemas...

    Apa sih yang ada dipikirannya? Kalau seperti ini kan aku yang repot dan khawatir.

    Tanpa berfikir panjang, aku segera melucuti jeansnya dan membuatnya telanjang bulat.

    Oke, ini tak apa. Takkan terjadi apapun Alan. Cukup hangatkan dia seperti secara alamiah.

    Aku pun segera melucuti seluruh pakaianku dan mendekapnya erat. Lalu menyelimuti tubuh kami.
    Ia tampak mengerti dengan apa yang sedang ku lakukan. Ia hanya diam dan memelukku.
    Kami hanya saling menatap dan memeluk untuk beberapa saat.

    Tiba-tiba ia mengusap kepalaku lembut. "Thanks, Alan! Tapi kau tak seharusnya melakukan ini."

    (Berjanjilah kau takkan melakukan hal gila seperti itu lagi! Kau membuatku sangat khawatir.)

    Ia mengangguk, "Aku minta maaf. Aku memang hanya pria bodoh yang sangat mencintaimu!"

    Aku menghela nafas, lalu menggosok-gosok tangannya, dadanya, punggungnya. Berusaha menghangatkannya. Namun tubuhnya masih saja sangat dingin.

    Aku benar-benar cemas dan bingung apa yang harus ku lakukan.

    Ia tampak mengamati pendar gelisah dalam mataku, "Aku tak apa, tak usah khawatir!" ia melepas pelukanku, lalu beranjak.
    Ia mengambil bajuku dan memakaikannya ke tubuhku. Namun aku menolaknya.
    Kami duduk berhadapan. Aku kembali memeluknya erat, menggosok-gosok tubuhnya dan berusaha menghangatkannya.

    "Hei, kau tahu? Itulah kenapa aku sangat mencintaimu."

    Kata-kata itu seakan membuatku merasa... Entahlah! Senang, haru, semuanya bercampur jadi satu.

    "Aku tak apa, Alan. Pakai pakaianmu, aku tak mau kau juga sakit!"

    Aku menggeleng. Aku terus memeluknya erat dan terus menggosok-gosok tubuhnya.
    Ku raih tangannya, ku gosok dan ku tiup-tiup.

    Ia tersenyum geli melihat tingkahku. Lalu membenarkan poniku yang berantakkan.

    Tiba-tiba ia mengecup keningku. "Baiklah, ayo pakai pakaianmu!" ia memakaikannya ke tubuhku.

    ***

    Tak lama kemudian orang-orang suruhan Miro datang, membawa banyak persediaan. Dan anak-anak segera bangun, lalubersiap-siap. Setelah semuanya siap, kami segera membereskan tenda dan masuk ke Ble.

    "Ready?"

    "Yeah!"

    Lyra segera membawa kami membumbung tinggi. Walau ia mengemudikannya sedikit serampangan dan mengerikan. Membuat anak-anak lain ikut gelisah.

    Perjalanan ke Bumi membutuhkan waktu satu jam. Lyra sibuk mengontrol Ble, Oscar tengah asik memakan sekeranjang anggur, Miro terlelap, melanjutkan tidurnya. Sedangkan Neil hanya duduk terdiam disampingku. Menatap kosong ke jendela,
    mengamati bintang-bintang yang berkelap-kelip, menghiasi langit kelam yang tiada ujungnya.
    Saat ku sentuh tubuhnya, suhu tubuhnya mulai hangat. Aku benar-benar lega.

    40 menit kemudian kami mulai melihat planet biru yang indah dengan lebih jelas.
    Walau sudah ada banyak daerah-daerah yang tak hijau lagi. Banyak daerah-daerah tandus kecokelatan.
    Aku benar-benar merindukan planetku, rumahku, semuanya...

    Bumi, April 2.817
    Melbourne, Australia

    Sebelum sampai di Victoria, kami melewati Melbourne. Keadaan disana tak berubah. Begitu memprihatinkan.
    Gedung-gedung rusak dan rapuh, kemacetan dimana-mana, demo, kerusuhan, asap yang membumbung tinggi di beberapa bangunan, ditambah udara yang tercemar dan sinar matahari yang menyengat.
    Kami melewati kawasan Aplhington, Ivanhoe, lalu Heidelberg. Disana juga tak berubah, malah menurutku semakin parah.

    Kami mulai semakin dekat ke Saint Adrew. Kami memasuki kawasan Eltham, Kangaroo Ground, yang tak sehijau dan seindah dulu. Tampak tandus dengan pepohonan kering dan tanah yang retak-retak dimana-mana.
    Banyak pula kangguru yang mati. Tampak sangat memprihatinkan.

    Saint Andrews, Victoria - Australia

    Kami tiba didaerah hutan tandus. Ada beberapa area yang berasap, membumbung tinggi. Bekas kebakaran hutan.
    Kami menyusuri jalanan Heidelberg - Kinglake dan aku segera menyuruh Lyra berhenti disalah satu rumah kayu mungil.

    Kami segera membangunkan Miro dan Neil. Memakai alat bantu pernafasan, lalu berjalan ke rumah tersebut.

    Dari kejauhan, disisi kanan rumah tampak punggung seorang Pria yang tengah sibuk memotong kayu dengan kapak besar ditangannya.
    Ia hanya mengenakan jeans abu-abu belel, dengan beberapa robekan dipaha dan sekitar lututnya.

    Aku tak sabar, segera berlari ke arahnya dan memeluknya erat.

    "Alan?!" pekiknya tak percaya. Ia memelukku erat, menciumi pipiku beberapa kali, lalu mengacak-ngacak rambutku seperti yang biasa ia lakukan saat dulu.

    "Oh, Jesus! Kemana saja kau selama ini? Aku senang kau baik-baik saja."

    Aku hanya tersenyum haru, lalu membersihkan dada dan bahunya yang kotor terkena serpihan kayu, sekaligus keringatnya yang lengket.

    Aku menulis,
    (Tenang saja, aku baik-baik saja di Mars. Kau tak berubah, tetap saja Garth yang tampan dan bawel.)

    Ia tertawa geli. Namun ia menatapku cemas, kenapa aku tak bicara dan malah menulis. Kemudian Lyra menjelaskan keadaanku.

    Garth memelukku erat. "Astaga! Apa saja yang telah mereka lakukan disana? Hal apa saja yang telah menimpamu?"

    Ia Garth, kakak laki-lakiku. Anak keempat dari lima orang bersaudara yang pernah ku ceritakan.

    "Jadi mereka siapa? Teman-temanmu di Mars?" tanya Garth. Aku mengangguk, lalu anak-anak memperkenalkan diri mereka satu per satu.

    "Baiklah, ayo masuk! Pintu rumah ini terbuka lebar untuk kalian."

    Rumah itu tak berubah. Rumah kayu mungil dengan banyak kenangan yang berlarian didalam otakku.

    Kami menaiki tangga, lalu Garth segera membuka pintu dan mempersilahkan kami masuk.
    Disana tampak sangat sunyi, dengan beberapa perabotan yang berantakkan, barang, bahkan pakaian dimana-mana.
    Garth segera membereskannya dan membenarkan posisi kursi-kursi kayu, lalu mempersilahkan anak-anak duduk.
    Sedangkan aku berjalan terus, mencari orang-orang rumah lainnya. Menengok dari kamar ke kamar, memeriksa ruangan lain.

    Tiba-tiba seekor anjing jenis Retriever berlari menghampiriku. Ia menggonggong, lalu mengendus-endus kakiku.
    Aku pun segera menggendongnya dan memeluknya.

    Oh, Fritz! Tampaknya Garth merawatmu dengan baik. Aku mengusap-usap bulu orange keemasan nya yang halus. Mengacak-acak bulunya.
    Ia menjilati pipiku gemas. Aku tertawa geli dan berusaha menghentikannya, lalu menurunkannya.
    Ia anjing kesayanganku.

    Aku melanjutkan langkahku, memeriksa ruang makan, dapur, kamar mandi, bahkan gudang. Tak ada seorang pun disini.
    Lalu aku berlari dan kembali ke ruang tengah. Menaiki tangga secepat yang ku bisa.
    Memeriksa setiap kamar dan ruangan dilantai atas, namun tak ada siapapun disini.
    Aku segera turun dan menemui Garth yang tengah memberi anak-anak minuman dan cemilan.

    Aku menulis,
    (Where's Dad and Greg? Where's Mom?)

    Garth menghela nafas, lalu menarik tanganku mengajakku ke belakang.
    Kami duduk diruang makan.

    Ia menggenggam tanganku, "Dad and Greg, I dunno... When they've received the money, they were gone."

    Garth menghela nafas. Matanya berkaca-kaca. "And Mom... She was passed away, Alan."

    Seketika itu juga tangisku pecah. Aku menangis sejadi-jadinya. Terduduk lemas dilantai.
    Garth memelukku erat dan mengusap-usap punggungku. Berusaha menenangkanku.

    Anak-anak jadi ikut kemari. Menatap kami bingung.
    Neil segera menghampiriku dan membantuku berdiri.

    "Dimana kamarnya? Kita bawa ke kamar saja." cetus Neil. Lalu ia dan Garth membawaku ke kamar.

    Aku terbaring lemas tak berdaya. Meratapi kepergian Ibuku yang sangat ku sayangi.
    Bahkan didetik-detik terakhirnya aku tak dapat melihatnya, tak berada disampingnya.
    Memang Ibuku sudah tua dan mengidap kanker paru-paru dan gangguan dipencernaannya. Namun aku tak menyangka ia akan pergi secepat ini.

    Garth dan Neil memberiku minum dan berusaha menenangkanku.

    Neil duduk ditepi ranjang dan memelukku erat, "Tak apa, biar aku saja yang menenangkannya."

    "Baiklah, Thanks!" Garth meninggalkan kamarku, lalu menutup pintu.

    Aku terisak dalam pelukan Neil. Ia mengusap-usap kepalaku, mengusap air mataku.

    Sejak saat itu aku lebih banyak diam. Tak mau makan dan sesekali kembali terisak dalam sakitnya kehilangan.
    Neil mulai cemas dan bosan melihatku seperti ini.

    Ia memelukku, "Hei kau tahu, kehilangan seseorang memang sangat menyakitkan. Apalagi orang yang sangat kita sayangi.
    Tapi ia juga akan merasakan sakit bila melihat kita terus bersedih karna kepergiannya.
    Dan orang yang masih hidup, ada disekitar kita, yang juga sangat menyayangi kita, akan merasakan sakit melihat kita terus menerus seperti ini."

    Ia melepas pelukannya, mengusap air mataku, lalu menggenggam kedua tanganku.
    Menatapku dalam, "Lihat aku, Alan! Aku salah satu orang yang sekarat harus melihatmu seperti ini setiap hari. Kau tak mau makan, terus diam, dan menolak semua apa yang kami bisa lakukan.
    Aku juga pernah merasakan sakitnya kehilangan. Bahkan kehilangan semuanya, tak tersisa satu pun. Aku hanya punya kau sekarang. Jadi aku takkan membiarkan apapun merenggutmu. Aku takkan membiarkanmu sakit atau kenapa-kenapa.

    Lihat Garth! Lihat kantung matanya, lihat betapa letihnya dia! Lihat betapa ia juga pernah sakit harus kehilangan Ibu, dan sekarang harus melihatmu seperti ini!"

    Ia meraih sepiring nasi dimeja, "Maka makanlah dan berhentilah seperti ini!"

    Ia mengulurkan sesendok nasi, hendak menyuapiku. Aku pun mendekatkan mulutku dan memakannya.
    Ia tampak sangat senang, lalu mengacak-acak rambutku.

    Inti dari niat kami ke sini pun tiba. Malam itu kami berkumpul diruang tengah. Neil menjelaskan dan mencoba mengajak Garth untuk ikut bersama kami.
    Garth tampak memikirkan sesuatu, lalu menolak ajakan kami.

    Aku pun segera menghampirinya dan menulis,
    (C'mon, Garth! Aku hanya punya kau saat ini. Aku ingin kau ikut bersama kami!
    Disini tak baik dan tak sehat.)

    Ia menatapku, tampak gelisah.

    (Apa yang kau cari disini? Apa yang kau tunggu?
    Ikutlah bersamaku, daripada kau sendirian disini! Aku tak bisa pergi tanpa membawamu. Tujuan kami ke sini adalah membawamu bersama kami. Kalau kau terus disini, kesehatanmu akan semakin buruk.
    Aku tak mau kau sakit, apalagi kehilanganmu juga! Kau satu-satunya kakak yang paling ku sayangi. Sekarang aku hanya punya kau. Kau satu-satunya keluargaku yang tersisa.
    C'mon, Garth! Please...!)

    Ia tampak menimbang-nimbang keputusan. Namun kemudian Ia tersenyum dan mengangguk. Sontak aku memeluknya dan segera menyuruhnya berkemas untuk besok. Kami akan melanjutkan perjalanan besok. Aku juga akan membawa Fritz, anjingku.

    Malam itu kami berbincang-bincang, bersenda gurau diruang tengah. Menikmati kebersamaan kami.

    "Alan, ayo ikut ke belakang!" Garth membawa teko dan gelas-gelas kosong, sedangkan aku membantunya membawa toples-toples kosong. Kami mengisinya kembali didapur.

    Namun tiba-tiba Garth menanyakan sesuatu yang membuatku sangat kaget, "Siapa Neil? Apa dia juga temanmu?"

    Aku mengangguk cepat.

    "Tapi kenapa aku merasa bahwa kalian berdua sangat dekat. Kau tampak lebih dekat dengannya daripada anak-anak yang lain. Dan dia kelihatannya selalu memperhatikanmu dan sangat menyayangimu. Siapa dia? Apa hubungan kalian?" tanyanya menyelidik.

    Aku mengambil secarik note dikulkas, dan sebuah pena diatas meja.

    (Kami hanya teman. Memang kami sudah sangat dekat.)

    Ia mengernyit, "Jangan bohong, Alan! Aku tahu kalau hubungan kalian lebih dari teman."

    (What the...? Apa maksudmu?)

    Ia berhenti mengisi teko, lalu meremas lenganku dan menatapku lekat, "Aku tahu kalau kalian berpacaran, iya kan? Tatapan mata dan sikap kalian berbeda. Aku bisa lihat itu."

    Aku hanya diam, menggigit bibir bawahku.

    "Jawab, Alan!" pekiknya.

    Akhirnya aku mengangguk lemas...

    "Sejak kapan?"

    "Sejak kapan kau suka laki-laki? Sejak kapan kalian pacaran?"

    (Cukup, Garth! Kau ini kenapa sih?!)

    ***
  • Oh Alan my sweet boy,,ga pa2. Jujur aja ma Grath, dia pasti setuju...
    Tsnya jhat, ane ga di mention..:(
  • Jangan bilang kalau garth bakal gak setuju alan ma neil pacaran......please jangan....
  • kisah cinta neil dan alan seperti biasa, seperti rasa permen nano nano, bedanya cuma setting tempat dan keadaan, itu yg bikin menarik, over all bagus
  • edited October 2015
    15| RED


    "Lalu, sejauh apa hubungan kalian? Bisa-bisanya kau pacaran dengan pria sepertinya."

    Aku menghela nafas, melepaskan cengkeraman tangannya, lalu hendak berlalu. Namun ia menarik tanganku dan menatapku lekat.

    "Katakan, sudah sejauh apa hubungan kalian? Jangan-jangan kalian juga sudah melakukannya?"

    Aku menulis,
    (Apa pedulimu?! Berhentilah terlalu ikut campur dalam kehidupanku!)

    Ia mencengkeram tanganku, "Jauhi dia! Akhiri hubungan haram kalian!"

    Aku menatapnya tak percaya,
    (Berhenti ikut campur! Kau bukan Ayah atau Ibuku. Kau tak bisa mengaturku! Kau tak tahu betapa aku sangat mencintainya!)

    "Alan!!!" pekiknya geram. Ia mengangkat tangannya hendak menamparku.

    Aku tak takut, aku malah mendekatkan wajahku.
    (Apa yang kau tunggu?!)

    Ia menarik tangannya, "Aku bersumpah akan menjauhkan kalian berdua!" ia berlalu, membawa teko dan gelas-gelas yang sudah terisi.

    Aku berdiri lemas, bersandar didinding. Meremas-remas kepalaku. Menyapu barang-barang dimeja penuh amarah, hingga berjatuhan ke lantai.

    Aku pun berlari menuju ruang tengah, dan segera menarik Neil pergi. Menuju keluar rumah. Garth dan anak-anak menatapku bingung, namun mereka tak berkomentar.

    Sesampinya disamping halaman rumah, Neil tampak kebingungan, "Ada apa, Sayang?"

    Aku langsung memeluknya erat...
    Mataku mulai berkaca-kaca.

    "Hei, ada apa? Apa ada masalah?"

    Aku hanya terus memeluknya erat, tak mau melepaskannya sedetik saja.
    Aku membayangkan bagaimana dunia tanpanya. Dunia takkan berarti.
    Aku membayangkan bagaimana bila kita dipisahkan atau harus berpisah karna sesuatu.

    "Sssttt... Katakan! Ada apa?" ia mengusap-usap punggungku. Menatapku lekat.

    Aku menggeleng cepat, lalu mengecup bibirnya lembut. Itulah kali pertama aku menciumnya.
    Ia cukup kaget, lalu membalas ciumanku, mempererat dekapannya.

    Aku menggerakkan bibirku, I love you so much!

    Ia tampak terharu dan sangat bahagia. "Hey, love you too, Sweetheart!"

    "Kau ini kenapa sih? Tiba-tiba menyeretku kemari dan memelukku.
    Dan anehnya tiba-tiba kau menciumku. Tumben sekali? Hahaha..." ia memegang-megang bibirnya.

    (Kenapa, kau tak suka?)

    "Te-tentu aku suka! Aku sangat senang!
    Hanya saja kau tampak aneh."

    Malam itu seperti biasa, anak-anak tidur ramai-ramai diruang tengah, Garth dikamarnya, Lyra dikamar orangtuaku, sedangkan aku dan Neil tidur dikamarku.

    Neil tengah sibuk push up dilantai. Sedangkan aku baru saja selesai mandi. Aku memutuskan untuk mandi lagi karna kegerahan. Bumi benar-benar panas sekarang. Bahkan meskipun hari sudah malam masih saja gerah.

    Aku melangkah mendekatinya. Memperhatikannya yang sedang sibuk.

    "304-305-306..."

    Aku menulis,
    (Ini sudah malam, bodoh! Hentikan!)

    "Sebentar, tanggung!"

    Aku menepuk-nepuk punggungnya. Ia pun menghentikan kesibukannya, lalu menatapku.

    "Ada apa, Sayang?"

    Aku menulis sesuatu, lalu membuka handukku.

    Ia sangat terkejut, "Hei, kenapa kau membukanya?"

    (Yang waktu itu... Kau ingat? Lakukan saja! Aku takkan marah. Ayo kita lakukan!)

    Aku merebahkan tubuhku diatas ranjang, lalu menarik-narik tangannya.

    Ia sangat terkejut, "Tidak-tidak! Kau ini kenapa sih, dari tadi aneh..."

    Ia berjalan menuju lemari, mengambil pakaian untukku. "Ayo, cepat pakai!"

    (Aku serius, ayo kita melakukannya!) Aku menariknya, hingga menindih tubuhku.

    "Tidak-tidak! Kau sangat aneh! Ada apa? Katakan!" pekiknya mulai kesal.

    Namun aku merangkul lehernya, lalu melumat bibirnya. Mendekapnya erat. Ia berusaha melepaskanku, namun akhirnya mengikuti permainanku.

    Beberapa menit kemudian aku melucuti jeans dan celana dalamnya. Kami telanjang bulat saat ini, tanpa sehelai kainpun.
    Memadu kasih yang tertunda. Mencari tahu sejauh apa perasaan kami bertaut.

    Entah kenapa aku merasa kami akan dipisahkan oleh sesuatu sebentar lagi. Entah kenapa aku merasa kami akan berpisah.
    Aku akan berikan apapun asal sebelum hal itu terjadi aku sudah membuatnya bahagia. Dan aku ingin dapat membuatnya bahagia walau sebentar saja.
    Selama ini Ia selalu berusaha membuatku bahagia dan menjagaku. Ia tak pernah menuntut apapun. Ia tak pernah menerima apapun dariku, ia selalu memberi.
    Walapun sebenarnya aku jijik dan takkan mau melakukan hal seperti itu, tapi setelah ku pikir-pikir asal dapat membuatnya bahagia disisa kebersamaan kita, aku akan senang melakukannya untuknya. Asal orang itu adalah Neil, aku akan melakukannya dengan senang hati.

    Pukul 02:15 pagi...

    "Love you so much, Alan!" ia meraih tissue, lalu membersihkan cairan putih kental yang membasahi tubuhku.

    Aku tersenyum manis padanya.

    Ia merebahkan tubuhnya, masih tersengal-sengal. Kemudian menempatkan kepalaku didadanya.

    "Kenapa kau tiba-tiba mau dan mengajakku melakukannya? Ada apa? Bukankah terakhir kali..."

    Aku membungkam mulutnya, lalu kembali mendaratkan kepalaku didadanya.

    "Ada apa, Sayang? Kau sangat aneh seharian ini. Katakan!"

    Namun aku memejamkan mataku dan pura-pura tidur.

    Setelah itu kami tidur saling mendekap erat tanpa busana hingga pagi menjelang.

    Pagi itu kami memutuskan untuk mandi bersama. Kami bermain-main air seperti anak kecil. Saling menyemprot dan menyiram.
    Kemudian ia mengajakku masuk ke dalam bath tube. Mendudukkanku dipangkuannya, lalu mengusapkan busa dengan lembut ke dada dan perutku.
    Sebaliknya, aku pun juga mengusapkan busa diseluruh tubuhnya dan menggosok punggungnya lembut.
    Seusai mandi, ia mengeringkan tubuhku dengan handuk, lalu membopongku dan menaikkanku diatas ranjang.
    Ia menggelitik perutku manja. Kami pun tertawa bersama-sama. Saling menggelitik.

    "Kau tahu, ini hari terindah yang pernah ku dapatkan! Kau lah satu-satunya kebahagiaanku!" cetusnya bahagia.

    Senyumku merekah lebar, lalu memeluknya erat.

    Seusai berpakaian, kami segera turun ke bawah. Anak-anak ternyata sudah berkumpul diruang makan.

    "Aku baru saja mau memanggil kalian untuk sarapan." ujar Lyra, sembari menata piring-piring dimeja makan.

    "Thanks!" timpal Neil.

    Kami pun segera bergabung bersama mereka.

    "Mari makan!"

    Tiba-tiba Neil berbisik, "Thanks untuk semalam, Sayang! Aku benar-benar senang."

    (Kau senang?)

    Ia tersenyum lebar, "Tentu! Bagaimana bisa aku tak menyukainya? Semalam itu takkan pernah terlupakan. Momen terindah dalam hidupku." ia tampak menerawang.

    (Kau berlebihan!)

    "Ba-bagaimana permainanku?" tanyanya menggoda. Sontak aku tertawa lebar.

    (Entahlah! Aku kan tak pernah melakukannya. By the way, itu' mu mengerikan. Kenapa bisa sangat besar dan panjang. Saat pertama kali kau hendak memasukkannya, aku sangat takut sebenarnya. Rasanya ingin berhenti disitu saja.)

    Ia berbisik, "Hahaha... Entahlah, dari sananya memang begitu. By the way, jujur... Hole mu itu adalah hole ternikmat yang pernah ku rasakan. Aku beruntung jadi orang yang pertama..."

    Aku menginjak kakinya keras-keras. Ia mengaduh, berusaha menahan suaranya.

    (Kalau dituruti, kau makin gila! Kenapa harus membahas hal-hal seperti itu sih!)

    "Kan kau yang pertama kali mulai. Membahas punyaku." ia tak mau kalah.

    Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya.

    Garth sesekali tampak memperhatikan kami dari seberang dengan tatapan tak suka. Namun aku mengacuhkannya.

    Seusai sarapan, kami segera merapikan dan memasukkan barang-barang yang hendak dibawa ke Ble.

    "Yeah, Tampa! I'm coming!" seru Oscar girang.

    "Memang kau mau menjemput siapa sih?" tanya Lyra penasaran.

    "Ada lah! Seseorang yang spesial!"

    "Perempuan?"

    "Iya lah! Jangan samakan aku dengan mereka bertiga ya!" timpal Oscar menggoda.

    Neil mengepalkan tangannya, "Bertiga siapa? Kau benar-benar mau mati ya!"

    "Hei, aku kan hanya bercanda..."

    "Kemari kau!" pekik Neil geram. Akhirnya mereka kejar-kejaran.

    Dasar kekanak-kanakan...

    "Aku bersumpah akan membuatmu jadi gay juga! Atau mendoakanmu jadi gay akut!" pekik Neil kesal.

    "Astaga!"

    Aku dan Lyra tertawa geli menyaksikan tingkah mereka.

    Tiba-tiba ada seseorang yang menarik tanganku, "Ayo ikut aku!"

    Ia membawaku ke lantai atas...

    "Kau sudah memikirkannya kan? Kau harus segera mengurusnya, atau aku yang akan bertindak sendiri." ancam Garth.

    Aku menulis,
    (Garth, kau tak bisa seperti ini... Aku sangat mencintainya! Memisahkan kami hanya akan membuat kami berdua sekarat dan mati perlahan-lahan.)

    "Apa kau sadar hubungan apa yang sedang kalian jalani, hah?!" bentaknya.

    (Apa maumu?)

    "Aku sudah katakan, akhiri hubungan itu, jauhi dia! Lalu kita akan tinggal berdua di Mars."

    (Maaf tapi aku tak bisa melakukannya!)

    Ia meremas bahuku, "Kenapa kau begitu keras kepala?!"

    (Berhentilah mengaturku dan terlalu ikut campur dalam hidupku. Aku sudah dewasa!)

    "Kau masih 16 tahun. Kau tak tahu apa yang kau lakukan! Saat ini aku hanya punya kau. Aku hanya melakukan apa yang harus ku lakukan sebagai Kakakmu!"

    Garth menghela nafas, "Baiklah kalau kau mau dipisahkan dengan caraku!" ia segera berlalu. Aku hanya terdiam, berdiri mematung.

    Tiba-tiba dari balkon terlihat Garth menuju ke depan halaman rumah. Ia berlari ke arah Neil, lalu menghajarnya bertubi-tubi.

    "Jauhi, Alan!!!" pekiknya geram.

    Astaga!!!

    Aku pun segera turun ke bawah. Berlari menghampiri mereka.

    Garth memukuli Neil bertubi-tubi, namun Neil tak membalasnya.

    "Kau kenapa, Garth?"

    "Jauhi Adikku! Berhentilah berpura-pura! Aku tahu hubungan kalian!"

    Aku mendorong Garth kuat-kuat dan menjatuhkannya ke tanah. Kami berguling-guling beberapa saat.

    "Minggir, Alan!" ia mendorongku, lalu berlari dan kembali memukuli Neil.

    Oscar dan Miro segera berlari dan memisahkan mereka berdua.

    Neil tampak sangat kacau. Rambutnya acak-acakan, kemejanya robek.
    Hidungnya mengeluarkan darah, area sekitar mata kirinya bengkak membiru, sudut bibirnya berdarah.

    Garth tampak meronta-ronta berusaha melepaskan Oscar dan Miro yang memeganginya. Sedangkan Lyra hanya berdiri mematung. Ia sangat shyock.

    Aku segera berlari, memeriksa keadaan Neil. Tangisku pecah, aku memeluknya erat.

    "Aku tak apa, Sayang!" Neil mengusap kepalaku lembut.

    "Alan...! Jauhi dia!" pekik Garth. Ia semakin berontak, berusaha melepaskan diri. Namun tak berhasil. Oscar dan Miro memeganginya kencang dan segera membawanya masuk ke rumah.

    Aku merangkul Neil, membawanya ke dalam Ble. Merawat lukanya.

    "Aaarrrgghh!"

    Aku menulis,
    (Keputusanku salah! Harusnya aku tak usah menjemput Garth. Biarkan saja dia sendirian disini.)

    "Hei, kau tak salah! Dan aku mengerti perasaannya. Dia hanya terlalu menyayangimu dan ingin yang terbaik untukmu."

    Neil terbatuk-batuk, "Memang aku bukan Pria yang baik untukmu. Aku hanya berandalan miskin dan bodoh."

    (Itu tak benar! Aku sangat mencintaimu!
    Aku hanya ingin bersamamu, Neil.
    Aku tak perduli dengan Garth, dia hendak memisahkan kita. Kita pergi saja!)

    "Kemana?"

    (Kemana pun... Asal itu bersamamu! Aku tak bisa hidup tanpamu!)

    Ia terkekeh, "Apa aku harus babak belur dulu baru bisa mendengarmu berkata seperti itu, menatapku seperti ini?" ia membelai wajahku, mengamati setiap sudut wajahku. Ia tampak sangat bahagia.

    "Aku akan melakukan apapun untuk terus bersamamu! Apapun maumu, kemanapun kau mau!"

    Kami berciuman... Saling mendekap erat. Tak mau dipisahkan barang sedetik pun.

    Namun tiba-tiba ada suara ledakan yang sangat keras.

    "Apa itu?!" Neil hendak bangun dan memeriksanya, tapi aku melarangnya.

    Aku pun segera memeriksanya. Saat aku membuka pintu, ternyata rumahku diserang. Ada bumbungan api dan asap tinggi dimana-mana. Rumahku hancur berkeping-keping.
    Aku segera berlari sembari menyeka air mataku, berusaha mencari Garth dan anak-anak.

    Namun tiba-tiba dari kejauhan ada yang menembakiku. Aku pun segera membuat Forcefield.

    Pasukan tentara Alle berlari mendekat, mengepungku. Dan ada puluhan Ble bermunculan dari balik hutan.

    Astaga!

    Mereka terus menembakiku. Aku pun melakukan Telekinesis dan menghempas mereka jauh hingga berguling-guling ke tanah.
    Sebagian yang lain ku kontroll untuk menembaki Ble dan pasukan Alle yang lain.

    Tiba-tiba ada seseorang yang merengkuh dan menggendongku.

    "Hancurkan setiap tentara yang mengikuti kita! Aku akan membawa kita menjauh secepat mungkin!" Neil segera berlari, memasuki hutan.

    Aku berusaha melepaskan diriku. Bagaimana dengan Garth dan anak-anak yang lain. Neil tampak mengerti dan malah terus membawa kami berlari semakin jauh.
    Aku memukul-mukul kepalanya, ia tak bergeming dan terus berlari semakin kencang.

    Aku hanya dapat terisak dan menatap nanar ke belakang. Kami berlari semakin jauh, meninggalkan daerah tersebut.

    Puluhan Ble dan sejumlah pasukan Alle berlari mengejar kami. Mereka menembaki kami bertubi-tubi. Neil berusaha menghindari tembakan laser tersebut.
    Ada sejumlah pepohonan yang mereka tembaki, membuat jalanan kami terhalang.
    Neil pun segera berbelok memutar.
    Namun kemudian tembakan mereka ada yang hampir mengenai kami dan membuat ledakan ditanah. Kami pun terjatuh, terguling-guling, hingga masuk ke lembah.
    Terguling ke bawah, masuk ke dalam selama beberapa saat.

    Aku terbatuk-batuk, memuntahkan darah. Mengusap hidungku yang mimisan. Sedangkan dari kejauhan ku lihat Neil kepalanya berdarah, terantuk batu.

    Aku merangkak, mengarahkan tanganku dan melakukan Telekinesis. Membuatnya segera mendekat ke arahku.

    Ia mengerang kesakitan. Aku segera merobek kaosku, menyeka dan mengikat lukanya.

    "Aaarrrggghhh...!! Per-pergi Alan, tinggalkan aku!" rintihnya.

    Tangisku pecah, aku menggeleng cepat.
    Aku segera menaikkannya ke punggungku.
    Aku berusaha bertahan dan berdiri. Tubuhnya sangat berat.
    Perlahan aku mulai melangkah, tertatih-tatih.

    Ia merontak, "Pergi! Pergi bodoh!
    Kalau kau mencintaiku, cepat pergi!"

    Aku tak bergeming... Terus melangkah sebisaku. Berusaha menjauh secepat mungin dari mereka.

    "Pergi, Alan! Pergi kalau kau memang mencintaiku!"

    Namun tiba-tiba Neil mendorong dan menjatuhkanku. Terdengar suara tembakan tepat saat itu.
    Saat ku lihat, ternyata ada tentara Alle yang sudah berhasil menemukan kami.
    Lengan dan perut Neil bersimbah darah, tak karuan. Terkena tembak...

    Neil...!!!

    ***
  • aduh ceritanya semakin seru saja..... ayo lanjutkan... jangan lupa d mention ya TS
  • Sumpah aku nggak bisa komen apa - apa selain KEREN
  • Kerennnnn¡¡¡¡¡
  • Ya ampun God, please jgn mati Neil, jgn buat Alan sedih....
    Ceritanya makin keren,btw ts ada bayangan kira2 siapa yg cocok jadi Neil and Alan. Lok aku rekomendasikan Daniel Radcliffe as Alan.
  • Lanjut lanjut lanjuuut
  • Aaaaaaa seruuu bangetttt kak ceritanyaaaa XD
    Ditunggu kak kelanjutannyaa XD
  • Aaaaaaa seruuu bangetttt kak ceritanyaaaa XD
    Ditunggu kak kelanjutannyaa XD
  • baru aja romantisan ... mudah-mudahan Neil tidak apa-apa ...
Sign In or Register to comment.