BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Help Me Once More

1456810

Comments

  • Kira2 gmna yah reaksi joy akan pengakuan damar?
  • Kira2 gmna yah reaksi joy akan pengakuan damar?
  • Kira2 gmna yah reaksi joy akan pengakuan damar?
  • ts masukin gua di daftar meniton yaahhhhh..
    gua sukaa.. hehhe
  • JENGJEEEEENNG!!!!!! Bagaimana reaksi joy setelah tau kalo damar gay? Apakah akan shock, panik,pingsan, mules eh?
    Kita tunggu next updatenya


    Kak updatenya ampun dangu² nggeh. :D maternuwuuuunn
  • buku itu isinya apa sih jadi penasaran ... aku kira Damar mengatakan perasaannya sama Joy ...
  • Astaga, gw ingatnya Gilang Dirga, kwkwkwkw

    Btw, makin maknyos storynya.

    Kira2 si Joy ngebunuh si Damar ga' ya karena dia udah jujur?

    Semoga aja iya, dicemplungin atau dibakar hidup2!

    Keren!
  • Astaga, gw ingatnya Gilang Dirga, kwkwkwkw

    Btw, makin maknyos storynya.

    Kira2 si Joy ngebunuh si Damar ga' ya karena dia udah jujur?

    Semoga aja iya, dicemplungin atau dibakar hidup2!

    Keren!
  • @ularuskasurius kakak sadis bener dah suka main BDSM kayaknya :D
  • Duhdek baru baca nih dududu
    Jd akhinya damar jujur ma joy nih :cold_sweat:
  • mention aku y bang @SamPtz999
  • mention aku y bang @SamPtz999
  • Ini mana lanjutannyaaa…


  • -8-

    Pernah memperhatikan kayu yang terbakar api? Dari luar kayu tampak seperti bongkahan yang kuat dan kokoh. Berkebalikan dengan sifat kayu yang sebenarnya rapuh karena dapat dengan mudah memicu percikan api untuk membakarnya. Pada awalnya timbul percikan kecil, semakin lama berkobar semakin besar. Sekali bongkahan kayu terlalap api maka akan sulit untuk dipadamkan. Begitu pun dengan kondisi hati gue yang sedari lahir dapat digambarkan layaknya bongkahan kayu itu. Mudah terbakar namun sulit untuk padam. Gue kira gue tak akan mempercayainya lagi. Namun sepertinya masih terdapat bagian-bagian hati ini yang tak terlalap api karena tanpa disadari mata gue kerap kali bergerak mengikutinya ketika ia tak sedang memperhatikan.

    Bukan hanya itu, emosi gue menjadi kian memuncak bila melihatnya bertingkah ceroboh. Seperti ketika dia berjalan sendirian masuk ke dalam taman tempat anak-anak punk berkumpul dan remaja-remaja yang tak jelas asal-usulnya atau ketika dia terjatuh di jalanan. Gue seharusnya acuh dan marah, pergi tak mempedulikannya. Namun entah kenapa selalu berakhir dengan gue nolongin dia dengan sukarela tanpa ada rasa terpaksa sama sekali.

    Gue hanya mau tahu alasan kenapa dia bohong sama gue tentang buku itu. Namun disanalah tiba-tiba dia mengeluarkan buku diary itu sambil menyerahkannya ke gue. Awalnya gue kira buku itu cuma akal-akalan dia tetapi begitu gue lihat dia menyeret kakinya susah payah dan masuk ke dalam kolam sampai membuat badannya menggigil kedinginan hanya untuk ambil buku itu, gue sedikit menyalahkan diri gue sendiri. Entah dia benar atau salah, gue tak peduli lagi. Karena kali ini dia benar-benar membuat gue berpikir bahwa apapun itu gue cuma harus percaya sama dia.

    Namun kata-kata terakhirnya membuat gue sedikit bingung.

    “Kalau gitu kamu harus percaya satu hal lagi kalau aku.. Aku gak normal.”

    “Aku suka sama cowok” katanya sambil menengadahkan kepalanya, memandang lurus ke mata gue.

    “Maksudnya?”

    “Mmmh.. maksudnya.. ya pokoknya suka sama cowok aja.” Jawabnya bingung.

    “Yakin?” Ia mengangguk pelan. “Lo tahu. Suka itu ada banyak artinya. Lo aja jawabnya bingung gitu. Yang lo maksud itu suka yang mana?”

    “Meskipun banyak artinya, cuma ada satu kata suka kan. Apapun artinya tetap aja jadinya ‘aku suka cowok’.” Dia merenggut sambil menggigit bibir bawahnya. Satu hal yang baru gue sadari kalau dia akan mulai menggigit bibir bawahnya bila merasa cemas.

    “Kamu gak percaya?”

    “Iya. Iya.” Jawab gue sambil garuk-garuk kepala.

    “iya iya gimana? Kamu aja jawabnya bingung gitu.” dia balik ngomong ke gue. “Kalau garuk-garuk kepala berarti bingung kan?” Emangnya kalau gue garuk-garuk kepala gue.. iya sih gue bingung. Sejak kapan dia perhatiin gue, gue aja gak sadar.
    “Ntar kita lanjutin lagi. Sekarang kita balik dulu. Udah malem.”
    Damar cuma manyun-manyun, gak mau bergerak. Sebel mungkin sama gue. Akhirnya gue narik-narik dia ke parkiran kampus depan dan sepanjang jalan dia terus-terusan nanya kayak anak kecil. “Sekarang udah percaya?” “masih belum?” “Joy, udah percaya?”

    “Jooooy!!!”

    “Kenapa lagi???” tanya gue kesal.

    “Di- Dingin.” Jawabnya sambil memeluk badannya dengan kedua tangannya, giginya mulai bergelutuk kedinginan.
    Ya ampun, gue sampai lupa kalau tadi dia baru nyebur ke kolam. Pantesan dari tadi tangannya dingin banget. Gue kira dia lagi panik takut gue gak percaya kata-katanya. Tangannya dia kan suka dingin kalau lagi panik.

    “Nih, pake jaket gue dulu aja. Lain kali kalo lo mau keluar rumah malem-malem jangan lupa bawa jaket. Bandung kan dingin banget kalau malem. Kecuali kalau lo mau jadi penguin.” Omel gue. Tapi Damar malah ketawa-ketawa.

    “Kok malah ketawa?”

    “Lucu. Masa jadi penguin.” Balasnya. Sekarang dia malah senyum-senyum waktu gue bantuin pakai jaketnya.

    “Sekarang kok malah senyum?” tanya gue heran.

    “Seneng. Kamu kayak dulu lagi.” Jawabnya polos.

    “Lo seneng gue marah-marah? Aneh dasar.”

    “Yang ini marahnya beda.” komentarnya, bikin gue ikut-ikutan senyum.

    “Pegangan yang kenceng. Gue mau ngebut biar cepet nyampe.” Perintah gue.

    Gue langsung bawa Damar pulang ke rumah gue pakai motor. Sebelumnya gue udah sms Erick kalau kita bakal pulang duluan dan gue gak bisa jemput dia balik ke kosannya. Baju gue jadi ikut basah gara-gara Damar peluk gue waktu dia gue bonceng dia tadi. Mungkin gara-gara tadi gue ngebut juga. Kalau gue bonceng Damar pakai motor, rasanya biasa aja meskipun dia peluk-peluk kayak tadi. Gue juga suka wangi parfumnya dia. Tapi kalau sama Erick, gue agak risih. Apalagi kalau gue nganter dia kuliah jam 7 pagi atau ngejemput malam. Dia jadi suka nempel-nempel, dingin katanya. Sepanjang perjalanan, yang ada di pikiran gue suma satu, gimana caranya supaya bisa cepat sampai rumah. Bahkan gue sampai lupa kalau beberapa jam sebelumnya gue masih marah sama Damar dan gue juga lupa sama apa yang tadi kita bicarain di taman.

    Sesampainya di rumah gue langsung teriak-teriak, panggil bi Inah. “Bi, siapin handuk sama selimut yang anget ya. Yang cepet tapi.”

    “Siap siap den. Emangnya den Joddy mau buru-buru kemana?” tanya bi Inah heran.

    “Bukan gue. Tuh si Damar habis nyebur ke kolam.” Jawab gue sembari lari ke atas, ke kamar gue.

    “Eh, ada Den Damar. Gustiii.. meni jibreg bajuna. Karunya pisan atuh katirisan. Emangnya abis mancing ikan den?” Tanya bi Inah dengan gaya bicaranya yang setengah sunda yang kadang bikin gue gak paham perkataannya. (Gusti, basah gini bajunya. Kasian banget kedinginan)

    “Mancing. Tapi bukan ikan.” Jawabnya. Sisanya obrolan mereka tidak terdengar jelas lagi kecuali suara ketawa bi Inah di tengah-tengah.

    Tak lama terdengar suara ketukan pintu. “Joy?” kepalanya Damar nongol dari balik pintu kamar gue.

    “Sini masuk aja.”

    “Tapi bajunya basah. Nanti lantainya kotor.”

    “Selow aja kali. Sini masuk.” Ajak gue. Dia pun masuk pelan-pelan dengan kaki berjinjit, mungkin supaya lantai kamar gue gak basah. Sedangkan tangannya terus memegangi handuk yang membungkus tubuh dan pakaiannya yang masih basah.

    “Ya udah, gue siapin baju kering dulu buat lo.” Gue mulai cari baju yang cocok buat Damar di lemari baju. Tapi baju gue kan gede semua, kayaknya kalau buat dia gak ada yang pas deh. Adanya juga kaos fitness gue yang emang ketat di gue, tapi kan gak ada bagian lengannya. Celananya juga pasti kepanjangan. Tadinya mau gue pinjemin boxer gue aja, tapi dia lagi kedinginan. Cari baju yang paling anget aja deh kalau gitu.

    “Mar, baju gue kayaknya gak ada yang pas deh di badan lo. Longgar dikit gak apa-apa kan? Nih baju lo gue simpen di atas kasur.”

    “Dibawa aja.” sambarnya cepat dari tangan gue. “Ini apa?”

    “Apa? Oh, itu celana dalemnya lo pake yang gue aja dulu. Kan yang lo basah.” Jawab gue yang entah kenapa bikin mukanya Damar jadi merah.

    “Pakai yang aku aja. Yang ini gak usah.” Bukannya bilang terima kasih, dia malah nyuruh gue ambil lagi tuh celana dalem.

    “Lo mau pakai yg basah? Bisa jamuran kulit lo. Emangnya lo pikir gue penyakitan apa? Udah jangan banyak protes. Tuh kamar mandinya, air panasnya udah gue nyalain.” Kata gue sambil nunjuk ke pintu yang ada di sebelah lemari kaca.

    “Lo masuk duluan aja. Ntar gue nyusul.”

    “hah?”

    “Udah buruan masuk sono.” Perintah gue.

    Gue ambil handuk gue yang menggantung di gantungan dekat kaca sebelum gue menyusul Damar ke kamar mandi.

    “Joy?” Dia menoleh ke belakang, memperlihatkan wajahnya yang nampak sangat terkejut sewaktu gue masuk ke dalam. Sepertinya dia baru saja melepas semua pakaiannya. Baru pertama kali ini gue lihat punggung cowok yang putih pucat dan mulus kaya dia. Pantatnya juga lucu, montok kaya pantat cewek. Entah kenapa rasanya gue berasa baru lihat adegan di film bokep.

    “Kamu mau apa?” tanya Damar tak berani menoleh lagi.

    “Mandi lah. Baju gue juga basah gara-gara lo.” Jawab gue sambil buka celana jeans, menyisakan boxer dan kaos yang masih basah.

    “Kalau gitu ka-kamu duluan aja. A-aku keluar dulu.” Dia mulai berjalan mundur, kedua tangannya seperti menutupi bagian depan bawah agak tengahnya -kalau lo tahu maksud gue-

    “Bareng aja kali. Ngomong-ngomong, pantat lo lucu juga ya. Montok kayak bapau.” Goda gue sambil merhatiin pantatnya dia. Mungkin dia baru inget sama pantatnya karena sekarang kedua tangannya pindah ke belakang, nutupin pantatnya. Gue jadi penasaran, mukanya Damar kayak gimana ya sekarang. Gue mulai mendekati dia dan ngintip mukanya dari samping.

    “Lah, yang depan ini gak ditutu-”

    “Jangan liat!” Pekiknya mendekat sambil membungkam mulut gue dengan kedua tangannya. Mata gue terbelalak melihat wajahnya merona, benar-benar merah layaknya kepiting rebus. “Joy gak boleh lihat ke bawah.”

    Mata kami bertemu. Ada perasaan takut terlihat dari matanya. Entah apa yang membuatnya takut. Gue lepas kacamata yang masih menempel di kepalanya. Sekarang linangan air mata terlihat jelas terbendung di bawah kelopak matanya. Kacamata yang kerap kali menutupi matanya, kini seakan-akan menunjukkan siapa dirinya.

    “Dam- mmmh-”

    “Jangan bicara!” pekiknya lagi sambil terus mendekatkan tubuhnya, berusaha menutup mulut gue lebih kencang. Tubuhnya mungkin terlalu menempel dengan tubuh gue saat ini. Karena rasanya gue merasakan sesuatu menekan di bagian paha gue. Karena gue cuma pakai boxer dan dia telanjang jadinya bisa gue rasain dengan jelas. Damar memang lebih pendek dari gue. Jadinya gue yakin kalau itu adalah ‘itu’nya dia.

    Apa dia gak sadar kalau itunya nempel dan neken paha gue. Mau gue kasih tau tapi dia ngotot banget nutup mulut gue. Mungkin harus gue sadarkan sedikit. Gue mundurin kaki kanan belakang. Tapi Damar keliru mungkin dia kira gue mau kabur. Dia malah bergerak semakin maju dan menepel ke badan gue. Sekarang itunya tambah kerasa di paha kanan gue. Gue salah ambil strategi rupanya. Menjauh bukan ide bagus, mungkin harus didekatkan dan agak ditekan sedikit.

    Paha kanan gue mulai gue majukan pelan tapi belum mampu membuat dia sadar juga. Mungkin harus agak digesek dan digoyang sedikit lagi. Secara perlahan gue mundurkan paha kanan gue menjauh dari itunya Damar dan gue majuin lagi sampai menekannya beberapa kali. Tak lama, sepertinya Damar mulai sadar sama apa yang gue lakuin. Reaksinya terlalu lama dari apa yang gue pikirkan sebelumnya. Gue senyum, sedikit menggodanya. Pertahanan Damar berhasil gue jebol. Ia mulai melepaskan tangannya dari mulut gue.

    “Rasanya gimana? Sekarang udah enakan?” tanya gue usil, masih menggoyang-goyangkan paha gue menekan si Damar kecil.

    “Jo-Joy.. Nnnngh.. be- berhenti.” Ucapnya terbata-bata sedikit mengerang.

    Kalau dia cewek mungkin dia udah habis malam ini sama gue. Gue akhirnya berhenti. Dan mengambil handuk gue yang tadi gue gantung dekat pintu.

    “Nih pake. Gue gak liat apa-apa kok.” Kata gue sambil melingkarkan handuk di badannya.

    “Cup.. Cup.. Sayang. Sayang. Jangan nangis. Maafin gue yah..” Gue peluk dia sambil gue tepuk-tepuk kepalanya kayak anak kecil karena gue tahu kemana semua ini akan mengarah. Mungkin gue agak sedikit kelewatan tadi kalau gue lihat ekspresi dia sekarang.

    “Ya udah, lo mandi disana. Tirainya ditutup jadi gue gak bisa lihat. Gue mandinya pake shower yang ini aja.” Bujuk gue sambil bawa dia ke tempat biasa gue bilas dan mandi sambil nutup tirai mandinya. Tepat di sebelah tirai itu masih ada satu shower kecil yang terhubung ke keran. Biasanya gak pernah gue pakai buat mandi karena gue biasa mandi di tempatnya Damar sekarang yang bisa tertutup tirai supaya airnya gak nyiprat keluar.

    Suara air terdengar dari dalam tirai. Untunglah Damar gak sampai marah besar sama gue. Gue pun mulai ikut-ikutan membilas rambut dan badan gue yang lengket karena beraktivitas seharian penuh.

    “Joy.” Sahut Damar dari balik tirai sebelah gue. ”Kamu gak boleh kayak tadi.”

    “Hmm? Kenapa? Ya sorry, gue cuma ngegodain lo dikit tadi.”

    “Bukan itu masalahnya.” Gumamnya. “Kan aku udah bilang. Aku suka cowok. Kamu masih belum percaya?”

    “Suka cowok? Maksud lo… Oooh.. Gue ngerti.. Jadi maksud lo, lo terangsang secara seksual sama cowok? Lo lebih suka ncus ncus sama cowok? Emangnya bisa kalau cowok sama cowok?” dia tidak menjawab, tidak berani mengatakan iya dan menjelaskan apa yang gue tanyakan.

    Gue kira sewaktu dia bilang dia suka cowok itu maksudnya dia lagi cari teman-teman cowok. Teman cowok dalam artian yang sebenarnya sebagai sahabat. Gue gak nyangka ternyata maksudnya dia itu dia gay. Cowok sepolos dia gay? Kok bisa? Kok dia bisa tahu dia gay. Salah pergaulan kali dia atau gagal memahami diri sendiri. Mungkin kelamaan jomblo jadinya dia pikir dia suka cowok. Untuk saat ini gue setuju aja sama ucapannya itu. Biarinlah gue nambah satu teman gay lagi selain Erick. Erick kan setengah maho. Yah, walaupun dia gak pernah pacaran sama cowok tapi dia emang otaknya agak-agak menjurus kesana. Sekali disenggol dikit kayaknya bisa jadi maho permanen tuh.

    “Damar.. Kan lo yang suka sama cowok bukan gue. Jadi kalau gue ya boleh-boleh aja.” Sambung gue.

    “Maksud kamu Joy?”

    “Ya maksud gue, kalau lo yang begitu sama gue, berarti lo emang ada nafsu terpendam. Jadinya lo dilarang. Tapi kalau gue gitu ke elo ya sah-sah aja. Gue kan cuma main-main gak pake nafsu.” Terang gue bangga karena gue gak salah sekarang.

    “Gak bisa gitu Joy. Tetep aja. Kalau kamu kayak tadi, aku..”

    “Lo suka sama gue?” celetuk gue. “Kalau lo suka sama gue, berarti tadi lo bisa sampai konak ya? Atau emang udah konak? Jadi bisa konak sama semua cowok? Gue bisa kasih lo privasi kalau misalnya mau lo keluarin sekarang. Gak enak kalau ditahan-tahan.” Komentar gue.

    Suara deru air dari dalam tirai itu menghilang.

    “Aku udah selesai.” Pungkasnya, keluar sambil mengenakan handuk yang terlilit menutupi dada sampai ke atas lutut.

    “Loh mandinya udah selesai lagi?” tanya gue. Dia sontak melihat ke arah gue dan langsung memalingkan wajahnya seketika. Gue salah lagi. Oh, kalau sekarang mungkin karena dia lihat gue telanjang bulat.

    “Aku mau pulang.” Balasnya sambil mengambil pakaiannya keluar dari kamar mandi.
    Gue cepat-cepat membersihkan sabun yang masih ada di badan gue dan melilitkan handuk ke pinggang, keluar dari kamar mandi.

    “Damar! Lo gak boleh pergi. Ini udah malem. Lo harus tidur disini.” Omel gue.

    Disana, di pinggir tempat tidur, dia sudah berdiri mengenakan pakaian yang tadi kuberikan.

    “Bajunya kebesaran.” Ujarnya sambil meluruskan tangannya ke depan, menunjukkan lengan baju yang terlalu panjang, seakan-akan ia lupa pada apa yang terjadi di kamar mandi tadi.

    “Damar.” Sahut gue lirih. “Perkataan gue tadi salah ya? Gue minta maaf yah. Gue.. Gue belum begitu paham sama dunia yang lo maksud. Tapi gue pengen tetep jadi temen lo.” Sambung gue sebelum sepi kembali menyelinap di antara kami berdua.

    “Gue punya satu permintaan.” “Aku punya satu permintaan.” Ucap kami berdua berbarengan, memecah keheningan kala itu.

    “Oh.. Aku kira kamu udah selesai bicara. Kamu duluan Joy.” Sesaat matanya melihatku namun kembali ia mengalihkannya ke arah lain.

    “Lo duluan aja. Kayaknya yang lo lebih penting deh.”

    “Bareng aja.” Celetuknya. Aku mengangguk menyetujuinya.

    “Oke. Kita bilang bareng-bareng ya di hitungan ketiga.. satu, dua, tiga..”

    “Ajarin aku suka cewek.” “Ajarin gue dunia lo.” Terang kami berdua di detik yang sama, yang dilanjutkan dengan tawa kami berdua saat kami mengerti maksud satu sama lain. Gue harap tawa itu akan terus mengiringi hari-hari kami berdua pada esok dan hari-hari berikutnya sampai kami tak sadar lagi bahwa tawa itu lenyap dan meninggalkan kenangan yang tak kan terlupakan.
Sign In or Register to comment.